Gistara Alivia Singgih, gadis bermata monolid itu tengah asik memperhatikan mahasiswa-mahasiwa bermain di kolam ikan -yang biasa disebut embung oleh anak-anak di kampusnya- yang berada di dekat gedung fakultas pendidikan. Seorang pria dilempar kedalam kolam dengan digendong oleh beberapa temannya, ia tebak pria itu sedang ulang tahun jadi teman-temannya memberikan surprise kepadanya dengan melemparkannya kedalam kolam ikan yang besar itu.
Gistara tersenyum senang dan haru karena akhirnya dia akan wisuda dan berhasil selesai menempuh pendidikan sarjananya. Banyak rintangan yang harus dia hadapi sampai dia bisa di titik ini, mulai pergi dari desa ke kota ini dengan tekad yang kuat, bekerja part-time karena harus membiyayai sekolah dan kuliahnya. Dia juga bersyukur berkat otak cerdasnya yang diwarisi oleh kedua orangtuanya dia bisa mendapatkan beasiswa sejak sekolah menengah atas sampai kuliah.
Bukan dari keluarga miskin. Ayah gadis itu adalah seorang guru honorer, dan ibunya adalah seorang penjual sembako di rumahnya, karena memiliki adik yang masih kecil gadis itu memutuskan untuk pergi ke kota setelah sekolah menengah pertamanya selesai.
Dering ponselnya membuyarkan lamunan gadis itu, nama 'dedek' tertera di layar ponselnya.
'Hallo'
"Teteh dimana?"
'Teteh masih di kampus, Adek udah nyampe?"
"Udah Teh."
'Oke, Teteh pulang sekarang. Kuncinya ditempat biasa ya.'
"Oke, hati-hati Teh."
Gistara bergegas pergi dari embung, mengambil motor maticnya yang terparkir diparkiran embung. Dia hampir lupa kalau adik dan kedua orangtuanya itu akan mengunjunginya, lebih tepatnya mengantar adiknya test di sekolahan dimana dia dulu bersekolah, Bimantaras' School.
Senyumnya berkembang ketika melihat kedua orang tua dan adiknya sedang duduk di sofa yang berada di ruang TV. Sudah dua bulan dia tidak pulang kampung karena kesibukannya mengurus skripsinya yang hampir selesai, dan minggu lalu dia berhasil menyelesaikan skripsinya.
Gistara berjalan menuju bundanya, memeluknya dengan erat. "I miss you so much Bun," bisiknya lirih. Entah mengapa air matanya menggenang dipelupuk matanya.
"Miss you too Nak." Wanita paruh baya itu membalas pelukan anak gadisnya dengan erat.
"Teteh gak kangen sama Ayah?" Tanya pria paruh baya yang duduk disamping bundanya itu.
"Kangen lah Yah," rajuk gadis itu melepas pelukan bundanya, berpindah haluan memeluk ayahnya.
"Anak gadis Ayah sudah besar." Pria paruh baya itu mengecup puncak kepala anak gadisnya.
"Aku pengen juga dipeluk Yah," rajuk Gian bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri kedua orang tua dan tetehnya.
"Sini Ayah peluk semua."
Keempat manusia berbeda generasi itu berpelukan dengan perasaan haru dan bahagia.
***
Gistara berjalan dengan hati-hati menuruni tangga, kedua orang tua dan adiknya berencana mengecek lokasi untuk test besok. Tadi pagi Gistara harus berangkat lebih dulu karena dia yang merupakan salah satu panitia penerima siswa baru ditugaskan untuk mengecek segala keperluan untuk besok. Dan beberapa menit yang lalu adiknya mengirim pesan kalau mereka sudah sampai di lokasi tersebut.
Gistara tersenyum cerah melihat kedua orang tua dan adiknya sedang duduk di kursi dekat post satpam, ayahnya sedang bercengkrama dengan Pak Supri, satpam di Bimantaras' School.
"Pagi Neng Gita," sapa Pak Supri dengan senyum khas pria paruh baya.
"Pagi menjelang siang Pak," kekeh Gistara dengan eyes smilenya yang selalu nampak ketika tersenyum.
"Neng Gita mirip banget ya sama adiknya, kaya pinang dibelah dua," komentar Pak Supri menepuk pundak Gian yang sedang duduk didekatnya.
"Satu produk Pak," cengir Gistara, membuat keempat orang itu tertawa.
Setelah sedikit mengobrol dengan pak Supri keempat orang itu izin undur diri untuk berkeliling sekolah itu. Gistara menggandeng kedua orang tuanya, sedangkan Gian berjalan dibelakang menikmati bangunan yang megah itu.
"Ayah sama Bunda besok harus ngisi questioner bersama wali siswa yang lain dilantai dua, dan adek besok langsung masuk keruangan," tutur Allisya semangat dengan masih menggandeng tangan kedua orang tuanya.
Bimantaras' School merupakan sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan menengah atas swasta terbaik di Jawa yang terletak di Bandung, Jawa Barat. Dibangun pada tahun 2005 oleh mendiang Antares Bimantara. Bukan hanya SD, SMP dan SMA, keluarga Bimantara berencana membangun TK, rencananya setelah pembangunan gedung SD selesai.
Antares Bimantara dalah salah satu orang yang berpengaruh dalam kesuksesan seorang Gistara, beliau membantu gadis itu ketika dulu dia membutuhkan pekerjaan. Dengan otak cerdas yang dimiliki Gistara, Pak Antares memberikan pekerjaan sebagai guru privat disalah satu tempat privat milik temannya, privat khusus anak SD yang bayarannya lumayan untuk seorang siswa menengah atas, tapi tidak lama setelah itu Pak Antares memaksa Gistara untuk pindah dari pekerjaan itu dan memberikan pekerjaan lagi sebagai seorang penjaga toko bunga milik sahabat istrinya, bukan hanya itu Pak Antares selalu mendaftarkan Gistara ketika ada lomba biologi antar sekolah dan olimpiade. Dan ketika dia memasuki jenjang kuliah, beliau memberi kepercayaan kepada Gistara untuk mengajar kelas sepuluh mata pelajaran biologi.
Setelah berjalan menyusuri sekolah memberi tahu sedikit sejarah tentang sekolahan itu, Gistara pamit kepada ketiganya karena masih ada beberapa ruang yang harus dia cek. Gadis itu berjalan menuju lantai dua, tempat dimana para wali siswa akan melakukan questioner.
"Guru junior seharusnya tidak ada hak untuk mengajak wali siswa berkeliling sekolah."
Gistara tersentak kaget dengan ucapan pria berwajah dingin itu. Sejak kapan pria itu berada di ruangan ini. Kenapa tiba-tiba pria itu ada dilingkungan sekolah dan berbicara yang tidak masuk akal dan lagi kapan dia mengajak wali siswa berkeliling sekolah. Dasar pria aneh rutuknya.
"Pak Sagara? Sejak kapan bapak disana?" Alih-alih menjawab ucapan pria itu, Gistara justru memberikan pertanyaan yang membuat pria itu jengkel, Sagara Kin Bimantara, anak kedua pemilik sekolah Bimantaras' School.
"Basa-basi yang memuakkan," cibir pria itu menatap Gistara tajam.
Gistara tersenyum miris mendengar balasan pria dingin yang sialnya tampan itu. Kalau bukan anak pemilik sekolah dimana dia mencari sesuap nasi, sudah daritadi Gistara pergi meninggalkan pria menyebalkan itu.
"Bapak ada keperluan apa kemari?" tanya Gistara dengan senyum tipisnya, mencoba bertanya lagi, siapa tahu kali ini dijawab. Ya walaupun kemungkinannya kecil.
"Sekolahan ini milik saya kalau kamu lupa, jadi terserah saya mau ngapain disini."
Gistara merutuki pertanyaan bodohnya itu. Menggigit bibir bawahnya mencoba menghilangkan rasa gugupnya itu. Bodoh seharusnya tadi jangan nanya itu rutuknya dalam hati.
Sagara berjalan mendekati Gistara dengan mata tajam yang menyorot tepat di mata monolid itu. Sedangkan Gistara gelagapan ditatap dengan begitu tajam oleh pria dingin itu, mencubit kedua tangannya yang saling bertautan.
Gistara menahan nafasnya ketika tubuh jangkung itu menunduk, jarak tinggi mereka cukup jauh, Gistara bahkan hanya sampai pundaknya saja meskipun gadis itu sudah menggunakan high heels. Dengan jarak sedekat ini Gistara dapat mencium parfume mahal yang dipakai pria itu.
"Dasar gadis menyebalkan," bisiknya tajam kemudian pergi meninggalkan Gistara dengan wajah merah padam, malu bercampur kesal dan bingung. Apa yang di maksud pria dingin itu.
"Dasar pria aneh," rutuknya.
Jam setengah tujuh pagi pada hari minggu, Gistara sudah berada di sekolah. Hari ini merupakan test penerimaan siswa baru gelombang kedua. Panitia penerima siswa baru diharuskan berangkat lebih awal karena harus memeriksa kembali semua keperluan test, memastikan semuanya aman, tidak ada yang salah.Gistara berjalan seraya mengetikkan pesan kepada adiknya, kalau adiknya itu harus berangkat lebih awal agar tidak kena macet dan mudah mendapatkan taxi online. Karena kecerobohannya gadis itu hampir saja tersandung anak tangga kalau tidak ada tangan yang menahan tubuhnya.“Menyebalkan, ceroboh,” cibir pria jangkung, kemudian pergi meninggalkan Gistara dengan wajah tegangnya.Gistara merutuki dalam hati dengan tingkah cerobohnya itu, kalau saja pak Sagara tidak menolongnya, mungkin saja dia tidak bisa memandu para calon wali siswa Bimantaras’ School mengsisi questionernya.Gadis itu berjalan menuju ruangan para panitia, meletakkan tasnya kemudia
Gistara menggigit kukunya, perasaan gugup melingkupinya ketika sekarang waktu menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit, padahal ketika membaca pesan dari teman-temannya subuh tadi gadis itu tidak merasa gugup.Gadis bermata monolid itu berjalan untuk membukakan pintu kontrakannya yang diketuk. Willi dan Kristina mungkin sudah sampai karena kedua sahabatnya itu mengatakan kalau mereka akan sampai pukul enam lewat tiga puluh.“Lama banget kalian dat-” perkataannya terpotong ketika bukan kedua sahabatnya yang mengetuk pintu itu. Melainkan seorang pria paruh baya yang merupakan tukang kebersihan dikompleknya.“Ini Neng, ada buket bunga dari akang ganteng.” Pria paruh baya itu memberikan sebuket bunga kepada Gistara.Dengan bingung gadis itu menerima buket bunga itu, “siapa namanya Pak?” Tanya Gistara memperhatikan buket bunga yang sangat cantik itu.“Gak tau Neng, Bapak teh cuma disuruh ngasihin aja ke Ene
Sagara mengusap wajahnya dengan kasar. Merutuki perkataan bodohnya. Kenapa dia berkata hal seperti itu kepada Gistara. Dia tidak bermaksud menyakiti gadis itu tapi entah kenapa perkataan kurang ajar itu keluar begitu saja. Sagara mengambil ponselnya di atas meja. Mengirim pesan kepada kaka laki-lakinya. ‘Bang, aku udah buat Gita nangis. Maafin aku ya. Aku salah. Harusnya aku ngucapin selamat untuk dia bukan justru bikin dia nangis.’ Pria itu meletakkan ponselnya ketempat semula. Beberapa menit kemudian balasan dari abangnya masuk ke ponselnya. Dengan cepat dia membaca pesan itu. ‘Minta maaf sama Gita, bukan sama Abang. Btw hadiah kamu udah Abang kasih ke Gita.’ Sagara melempar ponselnya ke atas mejanya. Bagaimana dia meminta maaf kepada gadis itu. Lagi pula meminta maaf bukan lah gayanya. Sagara jembali merutuki mulut pedasnya yang di warisi oleh mamanya. *** Gistara berjalan menelusuri koridor sekolah masih dengan air
Sagara terkejut dengan kedatangan sepupunya di ruang kerjanya. Gadis itu dengan tiba-tiba melemparnya dengan buku yang dia pegang. Membuat buku itu mendarat dengan mulus di kepalanya. “Apaan sih lo Wiliii!” Sagara menatap dengan kesal Willi yang bertolak pinggang di depan meja kerjanya. “Lo itu yang apa-apaan. Lo mikir gak sih kalau ngomong. Lo itu udah nyakitin hati Gita. Hari ini harusnya jadi hari bahagia dia. Tapi lo ngerusak nya dengan kata-kata lo itu. Lo ngebuka luka lama dia. Kalau lo gak mau minta maaf sama Gita. Gue gak akan bantuin lo lagi!” Setelah berkata panjang lebar Willi pergi begitu saja meninggalkan Sagara yang terdiam dengan tatapan kosong. Memikirkan semua perkataan gadis itu. Dia ingin meminta maaf. Tapi itu terlalu aneh. Mereka tidak pernah mengobrol sebelumnya. Bukankah terlihat aneh jika dia tiba-tiba meminta maaf kepada gadis itu. Dia memang bersalah, tapi bukannya itu terlalu konyol. Meminta maaf kepada orang yang baru beber
Pagi ini seperti apa yang di katakan oleh Gistara. Gistara berusaha menjadi Gistara yang tidak peduli dengan orang-orang yang telah menyakiti hatinya. Seperti saat ini, gadis itu terus berjalan saat berpapasan oleh Sagara di koridor sekolah. Biasanya dia akan menyapa sebagai bentuk kesopanan. Tapi hari ini dia tidak peduli dengan itu semua.Sagara menatap Gistara dengan tatapan yang sulit di artikan. Pria itu tidak mengenali Gistara yang seperti itu. Gistara yang dia tahu selalu peduli dengan sekitarya, dia akan memberikan senyuman dan menyapa kepada orang-orang yang dia kenal. Tapi tadi Gistara tidak melakukan keduanya.Sedangkan Gistara, gadis itu menghembuskan nafasnya setelah melewati Sagara, jantung gadis itu berdegup dengan cepat. Dia merasa sangat berdosa karena tidak menyapa pria itu. Tapi kesadarannya kembali, mengingat pria itu yang sudah merendahkannya.Gistara memasuki ruang guru. Menduduki pantatnya di kursi miliknya. Tangannya mengambil ponselnya d
Sagara menatap kakak laki-lakinya yang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu ruangannya. Pria itu berjalan menghampiri Sagara. Melihat apa yang sedang adik laki-lakinya itu kerjakan."Bener-bener kaya penguntit ya kamu. Abang merinding liat kamu kaya gini," ucap Kalan — kaka laki-laki Sagara, bergidik ngeri melihat adiknya.Sagara mendengus. "Kalau nguntit calon istri gak papa Bang," sahutnya membuat Kalan memutar matanya, malas mendengar perkataan adiknya."Masalahnya adalah, emang Gita mau sama kamu. Cowok dingin dan gengsi gede." Kalan berjalan menuju sofa di ruangan itu, mendudukkan bokongnya di sana.Sagara mendengus sebal mendengar perkataan Kalan. "Susah Bang. Aku mau minta maaf sama Gita, tapi berat banget," keluh Sagara menyugar rambutnya.Kalan terdiam mendengar perkataan adiknya. Dia tahu bagaimana Sagara. Adiknya itu akan sangat susah jika meminta maaf. Gengsinya terlalu tinggi, pria itu beranggapan orang yang meminta maa
Pergi ke mall di hari senin siang merupakan waktu yang pas menurut Gistara. Gadis itu tiba-tiba ingin pergi ke mall sendiri setelah mengawasi anak-anak ujian semester. Alih-alih membeli barang seperti baju, tas dan sepatu, Gistara lebih memilih membeli makanan.Kaki jenjangnya melangkah memasuki pusat perbelanjaan itu, tujuannya adalah tempat dimana dia bisa makan dengan harga yang tidak terlalu membuat dompetnya meronta-ronta, foodcourt.Tangannya mengetuk-ngetuk meja, menunggu pesanannya datang. Setelah sampai ditempat tujuan gadis itu langsung saja memesan makanan kesukaannya, untuk saat ini dia tidak mau makan makanan berat jadi dia hanya memesan seblak, cireng, dan pem-pek khas palembang. Untuk minumannya dia memesan jeruk hangat. Nasihat ibunya selalu dia ingat kalau setelah makan tidak boleh minum es, karena tidak baik untuk tubuh terutama jantung. Benar-benar gadis yang sehat.Gistara tersenyum cerah ketika pesanannya datang. Setelah berdo’a diapun
Sagara memasuki rumah dengan wajah yang tidak bersahabat. Langkah kakinya terhenti saat mendengar intrupsi dari mamanya.“Darimana saja kamu?” tanya Kirana menatap tajam putra keduanya.“Sagara dari makan.”Karina tersenyum miring. “Makan sama gadis miskin itu ‘kan?”Sagara mengepalkan tangannya mendengar penghinaan mamanya terhadap Gistara. Wanita paruh baya itu membenci Gistara. Sejak awal, saat papanya masih ada mamanya itu tidak setuju dengan rencana perjodohan yang di lakukan papanya dan orang tua Gistara, karena mamanya sudah memiliki seseorang yang juga akan dijodohkan kepada Sagara. Tapi dengan bujukan dan rayuan papanya akhirnya mamanya setuju.Sagara tidak tahu kalau ternyata persetujuan mamanya ternyata hanya di mulut. Nyatanya setelah papanya meninggal, mama kembali ingin menjodohkan Sagara dengan anak dari sahabatnya, Nesa.“Mama bisa gak, gak usah bawa-bawa materi. Gistara gak sem
Nesa menahan tangisnya. Dia sudah menjadi istri Beni. Seorang pria yang selalu dia jadikan alat untuk melukai Gistara. Seorang pria yang diperintahkan papanya untuk menikah dengannya.Sejak kejadian di desa dua minggu yang lalu. Doni membawa Nesa pulang. Pria paruh baya itu memberikan tamparan kepada Nesa. Nesa gemetar melihat papanya yang terlihat murka. Pria itu menampar Nesa sampai pipi gadis itu biru.Beni menghentikan amarah Doni. Perkataan Beni membuat Nesa terkejut. Pria itu berkhianat.“Jangan sakiti Nesa, Om janji tidak menyakiti Nesa jika saya memberitahu keberadaan putri Om.”Doni menatap Beni dengan mata melotot. Nafas pria itu tidak teratur. Dia ingin membuat pelajaran kepada putrinya tapi janjinya kepada Beni membuat dia membatalkannya.Doni mendengus berjalan meninggalkan Nesa dan Beni. Sebelum menghilang di balik pintu perkataan Beni sukses membuat takdir Nesa berubah seperti sekarang.“Jangan lupa janji yan
Sagara terbangun saat merasakan istrinya tidur dengan gelisah. Sejak keluar dari rumah sakit istrinya selalu mengigau memanggil putrinya. Gistara bilang dia bisa mengikhlaskan putrinya tapi kenyataannya tidak. Istrinya masih sering memanggil putrinya dalam tidurnya.Gistara sudah keluar dari rumah sakit dan sehat total dua minggu yang lalu. Gistara melakukan sedikit terapi berjalan karena komanya. Kurang lebih dua minggu melakukan terapi, Gistara sudah mulai berjalan dengan nyaman.Dokter menyarankan Sagara untuk membawa istrinya ke psikolog. Gistara menolak dengan keras saat Sagara memberitahu saran dari dokter. Gistara merasa dia baik-baik saja. Dia merasa sudah ikhlas dengan kepergian putrinya. Tapi tanpa sadar istrinya itu sering memanggil putrinya di dalam tidurnya.Sagara membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Istrinya akan berhenti memanggil putrinya jika Sagara membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.“Huss
Wanita dengan gaun pink itu berjalan menyusuri taman bunga yang sangat indah. Senyumnya terbit saat melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di taman itu.Bunga-bunga di taman itu terlihat sangat terawat. Dia belum pernah melihat taman secantik ini. Melihat bunga-bunga dengan berbagai warna membuat pikirannya damai. Semua bebannya seperti ditarik pergi.Anak-anak itu menggunakan dress berwarna putih. Semua terlihat cantik mengenakan dress itu. Wanita itu bisa melihat wajah anak-anak yang begitu bahagia. Mereka seperti tidak merasakan beban kehidupan.Senyumnya pudar saat melihat seorang anak duduk seorang diri di bawah pohon. Anak itu terlihat sedih menatap teman-temannya.Wanita itu berjalan menghampiri anak itu. Anak berusia lima tahun itu terlihat cantik. Wajahnya seperti tidak asing. Dia seperti melihat wajah anak itu.“Kamu kenapa?” tanyanya. Duduk di samping anak itu dengan perlahan.“Mama!” panggil anak itu
Hujan turun dengan derasnya seperti air mata Sagara yang berlomba-lomba untuk keluar. Dia tidak menyangka kalau makan siang kemarin adalah makan siang terakhirnya bersama calon putrinya.Sagara mengusap tangan Gistara dengan lembut. Istrinya masih kritis. Dokter bilang Gistara koma karena kecelakaan yang menimpanya. Alat-alat penunjang hidupnya terpasang di tubuhnya.“Bangun, Sayang.” Sagara berkata lirih.Keluarga Sagara dan Gistara menatap sedih keduanya dari luar ruang rawat Gistara. Novi pingsan saat mendengar putrinya kecelakaan.Kecelakaan satu hari yang lalu membuat semua orang terkejut. Willi dan Kristina yang sedang membeli keperluan untuk bayi Gistara menangis membuat pengunjung lain bingung. Keduanya berlari menuju rumah sakit dimana Gistara dibawa.Sagara yang tengah meeting, membatalkan meetingnya begitu saja. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai kalau saja Tama tidak datang menemuinya yang sedang mengangkat telpon.Sagar
Willi dan Kristina sedang berada di baby shop dekat dengan perusahaan. Keduanya sedang memilih kado untuk bayi Gistara. Keduanya sengaja memberikan kado lebih dulu agar kado mereka tidak tertumpuk dengan kado yang lain.Gistara menginginkan stoller seperti milik Nagita Slavina. Willi dan Kristina meringis mendengar permintaan Gistara.“Makanya jangan nanya gue. Gue pengen stoller itu. Tapi apapun yang kalian kasih, pasti gue terima.”Kristina menghembuskan nafasnya lega saat mendengar jawaban sahabatnya saat itu.“Ini lucu gak sih? Bayangin bayinya Gita pake kayak gini. Gue ngebayanginnya pasti lucu banget. Apa lagi dengan pipi gembul.”Kristina menunjuk baju bayi dengan motif hewan dan berbentuk romper. Ada berbagai jenis hewan tapi Kristina jatuh cinta dengan bentuk bird-bees berwarna pink.“Iyaa, ambil deh yang ini. Sama yang lain dong motifnya.” Willi memberikan berbagai motif kepada Kristina.B
Sagara menatap Gistara dengan bingung. Sejak dia pulang dari kantor. Istrinya itu lebih banyak diam. Gistara memintanya untuk pulang cepat, Sagara melakukannya tapi jalanan kota Bandung sangat macet karena adanya perbaikan jalan. Sehingga Sagara sampai rumah lebih lama.Sagara sudah meminta maaf. Dia juga sudah memberikan alasan, istrinya bilang kalau tidak apa-apa tapi Sagara merasa istrinya belum sepenuhnya memaafkannya.“Masih marah ya?” tanya Sagara. Membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya.Gistara tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. Wanita itu mematikan ponselnya. Meletakkan di nakas samping kasurnya.“Gak marah. Aku lagi kepikiran pesan bunda.”Sagara mengecup pelipis istrinya. “Pesan apa? Tell me, Baby.”“Jovanka dan om Beno, mereka ada hubungan.” Gistara melirik Sagara sekilas.“Something like Affair?” tanya Sagara ragu. Melihat gelagat istrinya yang terlihat
Beni memperhatikan ponselnya yang menyala. Memperlihatkan foto seorang gadis yang dia cintai. Gadis yang terobsesi dengan pria lain.Nesa, gadis itu tidak bersalah karena terobsesi dengan Sagara. Yang harusnya disalahkan dalam hal ini adalah, Dina.Dina -wanita yang melahirkan Nesa- sejak kecil mendoktrin Nesa kalau Sagara dan dia akan menikah. Sagara adalah milik Nesa, begitupun sebaliknya. Hingga sampai dewasa Nesa meyakini itu, kalau Sagara selamanya milik Nesa.Doni, pria paruh baya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya itu tidak memperdulikan perkataan Dina. Hingga dia mendengar istrinya berbicara pada Nesa kalau putrinya itu harus merebut Sagara dari Gistara tepat setelah Sagara menolak pertunangan mereka.Doni yang sedang mengikuti kampanye sebagai dewan perwakilan rakyat tidak terima dengan perkataan istrinya. Perkataan istrinya membahayakan jalannya menjadi salah satu dewan perwakilan rakyat. Dia tahu Nesa, putrinya sejak kecil selalu melakukan b
Suasana meja makan terlihat hangat tidak seperti semalam. Gian memperhatikan Sagara dan Gistara yang mulai memperlihatkan kemesraan mereka. Gian berpikir apakah secepat itu jika suami dan istri marahan? Dalam semalam mereka akan langsung berbaikan?“Gian, bareng Abang ya. Teteh gak ngajar hari ini.”Gian mengangguk. Dia tidak masalah bareng siapapun. Yang penting dia berangkat tanpa ongkos alias gratis.“By, ada duit cast gak?” tanya Gistara.“Ada, dua ratus kayaknya.” Sagara memberikan dompetnya kepada istrinya.“Aku pinjem ya. Nanti aku ganti, dompet aku di kamar, aku males ngambilnya.” Gistara nyengir memperlihatkan giginya yang rapi.“Ambil aja. Tapi cukup gak dua ratus?” tanyanya.“Cukup banget,” sahut Gian cepat, membuat Sagara dan Gistara terkekeh.“Bang, Gian tunggu depan ya. Mau bersihin sepatu dulu.”“Iya. Abang bentar lag
Warning!Mengandung Adegan Dewasa.***Beni memperhatikan Nesa yang berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Nesa mengirim pesan setengah jam yang lalu. Wanita itu mengajaknya untuk makan siang bersama.Nesa membuka pintu mobil dengan perlahan. “Lo kenal sama bokap gue?” tanya Nesa tiba-tiba.“Gue tahu bokap lo.” Beni menjalankan mobilnya meninggalkan perkarangan Bramantas’ School.“Bukan itu yang gue tanyain. Lo deket atau enggak sama bokap gue. Karena dia bilang ke gue kalau dia mau ngomong sesuatu sama lo.”Nesa memincingkan matanya menatap Beni. Dia tidak tahu kalau papanya kenal dengan Beni. Karena selama ini, dia tidak pernah membawa Beni ke hadapan kedua orangtuanya. Sedangkan Beni menghembuskan nafasnya, berusaha menghilangkan kegugupannya.“Gue pernah sekali ketemu bokap lo, saat nganter lo dari acara reuni. Bokap lo nanya-nanya biasa, kayak kerjaan gue apa. Terus gue bil