Sagara memasuki rumah dengan wajah yang tidak bersahabat. Langkah kakinya terhenti saat mendengar intrupsi dari mamanya.
“Darimana saja kamu?” tanya Kirana menatap tajam putra keduanya.
“Sagara dari makan.”
Karina tersenyum miring. “Makan sama gadis miskin itu ‘kan?”
Sagara mengepalkan tangannya mendengar penghinaan mamanya terhadap Gistara. Wanita paruh baya itu membenci Gistara. Sejak awal, saat papanya masih ada mamanya itu tidak setuju dengan rencana perjodohan yang di lakukan papanya dan orang tua Gistara, karena mamanya sudah memiliki seseorang yang juga akan dijodohkan kepada Sagara. Tapi dengan bujukan dan rayuan papanya akhirnya mamanya setuju.
Sagara tidak tahu kalau ternyata persetujuan mamanya ternyata hanya di mulut. Nyatanya setelah papanya meninggal, mama kembali ingin menjodohkan Sagara dengan anak dari sahabatnya, Nesa.
“Mama bisa gak, gak usah bawa-bawa materi. Gistara gak sem
Ruangan VIP di restauran itu tampak sunyi padahal terdapat empat orang di dalamnya. Salah satu wanita paruh baya itu tersenyum canggung kepada calon besannya. Hatinya bergemuruh marah, karena putranya tidak kunjung datang.“Mbak, ini Sagara jadi dateng kan?” tanya Dina — ibunya Nesa, memastikan kembali apakah anak sahabatnya itu jadi datang atau tidak. Sudah hampir satu jam mereka datang tapi pria itu belum juga datang.“Eumm.. ““Maaf telat Om, Tante.”Sagara berjalan ke arah meja yang berada di ruangan itu. Memberi salam kepada Dina dan suaminya. Setelah itu dia duduk di samping mamanya. Pria itu melirik sekilas Nesa yang terus menatapnya sejak dia datang.“Sekali lagi maaf Om dan Tante karena keterlambatan saya, anda berdua harus memundurkan jam makan malam anda,” ucap Sagara tersenyum tipis.Doni — papanya Nesa tersenyum hangat. “Tidak perlu meminta maaf, kami sangat tahu
‘Beb, lo sidang jam 1 'kan? Nanti gue langsung ke kampus aja ya. Sorry gue gak bisa bantuin bawa barang-barang lo’Gistara mengirim pesan kepada sahabatnya. Hari ini Kristina akhirnya sidang setelah di beri semangat oleh Gistara dan Willi. Sahabatnya itu sedikit malas, dia selalu banyak alasan jika Gistara dan Willi menyuruhnya untuk mengerjakan skripsinya. Hingga entah dorongan darimana gadis itu akhirnya mau menyelesaikan skripsinya.“Pagi Bu Gita.”Suara Leon membuat Gistara mengalihkan atensinya dari ponselnya. Senyum manis terbit di bibir gadis itu dengan eyes-smile khas miliknya.“Pagi Pak Leon.” Leon meletakkan tasnya di mejanya setelah mendapat jawaban dari Gistara.“Bu Gita doang ya Pak yang di sapa. Iya kita gak keliatan. Udah bener emang,” sahut Vallen melirik Leon sekilas.“Loh ada Bu Vallen? Selamat pagi Bu Valen,” sapa Leon dengan heboh.“Telat Bapak!&rdqu
Semester genap sudah selesai. Para guru dan wali kelas sibuk mengisi nilai dan rapot para siswa. Gistara dan beberapa guru yang lain tengah menginput nilai-nilai rapot ke aplikasi yang disediakan oleh sekolah seraya diselangi canda tawa. Gadis itu terkekeh ketika mendengar cerita dari guru pria yang terkenal dengan selera humornya yang baik itu.“Bu Gita ini beneran si Devano dapet nilai segini? Dia anaknya rajin loh,” tanya Berta, guru bahasa Indonesia yang kebetulan berada disamping meja Gistara.Gistara tersenyum maklum dengan pertanyaan yang dilontarkan wanita paruh baya itu. Entah sebuah pertanyaan atau kritik yang pasti wali kelas dari siswa yang bernama Devano itu tidak terima kalau siswanya mendapat nilai kecil.“Devano memang agak sedikit kurang kalau di pelajaran saya Bu dan dia juga jarang masuk,” jelasnya.Berta mencebikkan bibirnya. “Emang gak bisa ditambahin ya Bu?” tanya Berta mencoba menegosiasikan nilai
Gistara membereskan rumah yang akan dia tinggal untuk satu bulan ke depan. Mulai hari ini bebas dari urusan rapot dan nilai. Tugasnya sebagai guru selesai untuk sementara waktu.Besok Gistara berencana pulang ke kampung halamannya. Dia rindu dengan keluarganya. Sejak lima bulan yang lalu dia tidak pulang membuat rasa rindunya mengakar. Sebenarnya dia bisa saja pulang jika dia mau tapi banyaknya pekerjaan membuat dia menahan keinginannya untuk pulang.Gistara merebahkan tubuhnya di sofa setelah selesai membersihkan rumah. Gadis itu mengambil ponselnya yang berada di meja kaca depan sofa. Dia membuka aplikasi WhatsApp. Membaca pesan di grupnya bersama ketiga sahabatnya.Kristina dan Willi menanyakan kapan Gistara akan pulang dan dengan menggunakan apa. Gistara pun membalas pesan dari kedua sahabatnya itu.‘Kalau nih ya. Kalau ada yang nganterin lo ke rumah lo. Lo mau gak?’Gistara terkekeh membaca pesan dari Kristina. Jika ada yang mengan
Sagara menghembuskan nafasnya perlahan menatap kedua orangtua Gistara. Beberapa menit yang lalu Gistara izin untuk menemani Gian ke rumah temannya mengembalikan novel yang dia pinjam. Sejak saat itu Sagara masih berusaha untuk menyusun kata yang baik untuk memberitahu orangtua Gistara.Kedatangan Sagara ke rumah Gistara bukan tidak disengaja. Pria itu berencana ke rumah Gistara untuk membicarakan perihal perjodohan dia dan Gistara.“Jadi gimana Nak Gara?” tanya Singgih mencoba memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.“Papi waktu itu sudah bilang ‘kan ke Om dan Tante kalau saya akan melaksanakan pertunangan dengan Gistara setelah Gistara selesai kuliah,” kata Sagara dengan sedikit ragu menatap wajah Singgih dan Novi bergantian.“Iyaa. Kenapa Nak? Kamu sudah tidak mencintai putri Om lagi?” tanya Singgih melihat wajah Sagara yang sejak tadi tidak tenang.Sagara menggeleng dengan cepat. “Bukan
Gistara, Gian dan Singgih sedang berada di kebun milik keluarga mereka yang berada tak jauh dari rumahnya. Kebun dengan seratus meter persegi itu di tanami berbagai sayuran, seperti kangkung, bayam dan sawi.Sayuran itu tidak dijual. Ayah Gistara sengaja menanam itu untuk kebutuhan keluarganya. Tak jarang orang ingin membeli sayuran yang di tanam Singgih tapi pria paruh baya itu tidak mengizinkan, beliau justru memberikan dengan percuma sayuran itu kepada orang yang membutuhkan.Gistara duduk di karpet yang di gelar di bawah pohon rambutan menyaksikan ayah dan adiknya mengambil sawi. Dia merindukan suasana seperti ini, suasana asri khas pedesaan.“Teteh!” Panggil Novi berjalan menuju putrinya dengan bawaan di tangannya.Senyum Gistara terbit. “Ayah, Adek sini buruan, Bunda bawa makanan!” teriak Allisya saat melihat tempat makan yang dibawa Novi.“Iya ini bentar lagi selesai!”Gian dan Singgih berjalan menu
Sagara mengetuk pintu rumah Gistara. Dia memenuhi janjinya kepada Novi kalau dia akan menginap di kediaman keluarganya satu minggu yang lalu."Bang Gara!" panggil Gian membuat pria itu menoleh.Senyum Sagara terbit melihat Gian yang berjalan kearahnya. "Ayah sama bunda mana Yan?" tanyanya saat Gian sudah berada dihadapannya.Gian mencium punggung tangan Sagara. "Ayah sama bunda lagi ke rumah pak RT Bang. Anaknya pak RT mau nikah jadi bantu-bantu gitu deh." Jawabnya.Gian mempersilahkan Sagara untuk masuk. Anak laki-laki itu segera pergi ke dapur, membuatkan minum untuk Sagara. Sagara memperhatikan rumah itu yang tampak sederhana, sepi dan nyaman membuatnya betah."Ke rumah Nenek kamu jam berapa Yan?" tanya Sagara saat anak laki-laki itu sudah kembali dengan membawakan minuman untuknya."Siang kayaknya Bang. Jam tigaan. Mungkin hehe." Sagara tersenyum mendengar jawaban dari Gian."Abang mau istirahat dulu gak?" tanya Gian memperhatikan
Singgih keluar terlebih dulu diikuti oleh yang lainnya. Nenek dan Kakek Gistara keluar menyambut mereka dengan senang. Keduanya nampak masih sehat meskipun umurnya tidak lagi muda.Kelimanya memberikan salam kepada nenek dan kakek. Sepasang suami istri itu mempersilahkan mereka masuk. Sagara memperhatikan bangunan sederhana tapi nampak luas dan bersih milik keluarga orang tua Singgih."Ini siapa anak ganteng?" tanya eyang putri - panggilan dari seluruh cucunya. Memperhatikan Sagara dari kepala sampai ujung kaki."Ini Sagara Eyang Uti. Kepala sekolahnya Gita," sahut Singgih.Eyang putri hanya mengangguk. Jadi ini pria yang diberitahu oleh anaknya kalau dia akan membawa calon mantunya ke acara keluarga. Rapi, khas pria kaya pikirnya."Calon cucu Eyang ini mah," celetuk Eyang kakung, yang sukses mambuat Singgih, Novi dan Eyang putri tertawa.Gistara terdiam memperhatikan Sagara. Dia ingin melihat reaksi pria itu. Tapi pria itu hanya tersenyum m
Nesa menahan tangisnya. Dia sudah menjadi istri Beni. Seorang pria yang selalu dia jadikan alat untuk melukai Gistara. Seorang pria yang diperintahkan papanya untuk menikah dengannya.Sejak kejadian di desa dua minggu yang lalu. Doni membawa Nesa pulang. Pria paruh baya itu memberikan tamparan kepada Nesa. Nesa gemetar melihat papanya yang terlihat murka. Pria itu menampar Nesa sampai pipi gadis itu biru.Beni menghentikan amarah Doni. Perkataan Beni membuat Nesa terkejut. Pria itu berkhianat.“Jangan sakiti Nesa, Om janji tidak menyakiti Nesa jika saya memberitahu keberadaan putri Om.”Doni menatap Beni dengan mata melotot. Nafas pria itu tidak teratur. Dia ingin membuat pelajaran kepada putrinya tapi janjinya kepada Beni membuat dia membatalkannya.Doni mendengus berjalan meninggalkan Nesa dan Beni. Sebelum menghilang di balik pintu perkataan Beni sukses membuat takdir Nesa berubah seperti sekarang.“Jangan lupa janji yan
Sagara terbangun saat merasakan istrinya tidur dengan gelisah. Sejak keluar dari rumah sakit istrinya selalu mengigau memanggil putrinya. Gistara bilang dia bisa mengikhlaskan putrinya tapi kenyataannya tidak. Istrinya masih sering memanggil putrinya dalam tidurnya.Gistara sudah keluar dari rumah sakit dan sehat total dua minggu yang lalu. Gistara melakukan sedikit terapi berjalan karena komanya. Kurang lebih dua minggu melakukan terapi, Gistara sudah mulai berjalan dengan nyaman.Dokter menyarankan Sagara untuk membawa istrinya ke psikolog. Gistara menolak dengan keras saat Sagara memberitahu saran dari dokter. Gistara merasa dia baik-baik saja. Dia merasa sudah ikhlas dengan kepergian putrinya. Tapi tanpa sadar istrinya itu sering memanggil putrinya di dalam tidurnya.Sagara membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Istrinya akan berhenti memanggil putrinya jika Sagara membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.“Huss
Wanita dengan gaun pink itu berjalan menyusuri taman bunga yang sangat indah. Senyumnya terbit saat melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di taman itu.Bunga-bunga di taman itu terlihat sangat terawat. Dia belum pernah melihat taman secantik ini. Melihat bunga-bunga dengan berbagai warna membuat pikirannya damai. Semua bebannya seperti ditarik pergi.Anak-anak itu menggunakan dress berwarna putih. Semua terlihat cantik mengenakan dress itu. Wanita itu bisa melihat wajah anak-anak yang begitu bahagia. Mereka seperti tidak merasakan beban kehidupan.Senyumnya pudar saat melihat seorang anak duduk seorang diri di bawah pohon. Anak itu terlihat sedih menatap teman-temannya.Wanita itu berjalan menghampiri anak itu. Anak berusia lima tahun itu terlihat cantik. Wajahnya seperti tidak asing. Dia seperti melihat wajah anak itu.“Kamu kenapa?” tanyanya. Duduk di samping anak itu dengan perlahan.“Mama!” panggil anak itu
Hujan turun dengan derasnya seperti air mata Sagara yang berlomba-lomba untuk keluar. Dia tidak menyangka kalau makan siang kemarin adalah makan siang terakhirnya bersama calon putrinya.Sagara mengusap tangan Gistara dengan lembut. Istrinya masih kritis. Dokter bilang Gistara koma karena kecelakaan yang menimpanya. Alat-alat penunjang hidupnya terpasang di tubuhnya.“Bangun, Sayang.” Sagara berkata lirih.Keluarga Sagara dan Gistara menatap sedih keduanya dari luar ruang rawat Gistara. Novi pingsan saat mendengar putrinya kecelakaan.Kecelakaan satu hari yang lalu membuat semua orang terkejut. Willi dan Kristina yang sedang membeli keperluan untuk bayi Gistara menangis membuat pengunjung lain bingung. Keduanya berlari menuju rumah sakit dimana Gistara dibawa.Sagara yang tengah meeting, membatalkan meetingnya begitu saja. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai kalau saja Tama tidak datang menemuinya yang sedang mengangkat telpon.Sagar
Willi dan Kristina sedang berada di baby shop dekat dengan perusahaan. Keduanya sedang memilih kado untuk bayi Gistara. Keduanya sengaja memberikan kado lebih dulu agar kado mereka tidak tertumpuk dengan kado yang lain.Gistara menginginkan stoller seperti milik Nagita Slavina. Willi dan Kristina meringis mendengar permintaan Gistara.“Makanya jangan nanya gue. Gue pengen stoller itu. Tapi apapun yang kalian kasih, pasti gue terima.”Kristina menghembuskan nafasnya lega saat mendengar jawaban sahabatnya saat itu.“Ini lucu gak sih? Bayangin bayinya Gita pake kayak gini. Gue ngebayanginnya pasti lucu banget. Apa lagi dengan pipi gembul.”Kristina menunjuk baju bayi dengan motif hewan dan berbentuk romper. Ada berbagai jenis hewan tapi Kristina jatuh cinta dengan bentuk bird-bees berwarna pink.“Iyaa, ambil deh yang ini. Sama yang lain dong motifnya.” Willi memberikan berbagai motif kepada Kristina.B
Sagara menatap Gistara dengan bingung. Sejak dia pulang dari kantor. Istrinya itu lebih banyak diam. Gistara memintanya untuk pulang cepat, Sagara melakukannya tapi jalanan kota Bandung sangat macet karena adanya perbaikan jalan. Sehingga Sagara sampai rumah lebih lama.Sagara sudah meminta maaf. Dia juga sudah memberikan alasan, istrinya bilang kalau tidak apa-apa tapi Sagara merasa istrinya belum sepenuhnya memaafkannya.“Masih marah ya?” tanya Sagara. Membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya.Gistara tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. Wanita itu mematikan ponselnya. Meletakkan di nakas samping kasurnya.“Gak marah. Aku lagi kepikiran pesan bunda.”Sagara mengecup pelipis istrinya. “Pesan apa? Tell me, Baby.”“Jovanka dan om Beno, mereka ada hubungan.” Gistara melirik Sagara sekilas.“Something like Affair?” tanya Sagara ragu. Melihat gelagat istrinya yang terlihat
Beni memperhatikan ponselnya yang menyala. Memperlihatkan foto seorang gadis yang dia cintai. Gadis yang terobsesi dengan pria lain.Nesa, gadis itu tidak bersalah karena terobsesi dengan Sagara. Yang harusnya disalahkan dalam hal ini adalah, Dina.Dina -wanita yang melahirkan Nesa- sejak kecil mendoktrin Nesa kalau Sagara dan dia akan menikah. Sagara adalah milik Nesa, begitupun sebaliknya. Hingga sampai dewasa Nesa meyakini itu, kalau Sagara selamanya milik Nesa.Doni, pria paruh baya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya itu tidak memperdulikan perkataan Dina. Hingga dia mendengar istrinya berbicara pada Nesa kalau putrinya itu harus merebut Sagara dari Gistara tepat setelah Sagara menolak pertunangan mereka.Doni yang sedang mengikuti kampanye sebagai dewan perwakilan rakyat tidak terima dengan perkataan istrinya. Perkataan istrinya membahayakan jalannya menjadi salah satu dewan perwakilan rakyat. Dia tahu Nesa, putrinya sejak kecil selalu melakukan b
Suasana meja makan terlihat hangat tidak seperti semalam. Gian memperhatikan Sagara dan Gistara yang mulai memperlihatkan kemesraan mereka. Gian berpikir apakah secepat itu jika suami dan istri marahan? Dalam semalam mereka akan langsung berbaikan?“Gian, bareng Abang ya. Teteh gak ngajar hari ini.”Gian mengangguk. Dia tidak masalah bareng siapapun. Yang penting dia berangkat tanpa ongkos alias gratis.“By, ada duit cast gak?” tanya Gistara.“Ada, dua ratus kayaknya.” Sagara memberikan dompetnya kepada istrinya.“Aku pinjem ya. Nanti aku ganti, dompet aku di kamar, aku males ngambilnya.” Gistara nyengir memperlihatkan giginya yang rapi.“Ambil aja. Tapi cukup gak dua ratus?” tanyanya.“Cukup banget,” sahut Gian cepat, membuat Sagara dan Gistara terkekeh.“Bang, Gian tunggu depan ya. Mau bersihin sepatu dulu.”“Iya. Abang bentar lag
Warning!Mengandung Adegan Dewasa.***Beni memperhatikan Nesa yang berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Nesa mengirim pesan setengah jam yang lalu. Wanita itu mengajaknya untuk makan siang bersama.Nesa membuka pintu mobil dengan perlahan. “Lo kenal sama bokap gue?” tanya Nesa tiba-tiba.“Gue tahu bokap lo.” Beni menjalankan mobilnya meninggalkan perkarangan Bramantas’ School.“Bukan itu yang gue tanyain. Lo deket atau enggak sama bokap gue. Karena dia bilang ke gue kalau dia mau ngomong sesuatu sama lo.”Nesa memincingkan matanya menatap Beni. Dia tidak tahu kalau papanya kenal dengan Beni. Karena selama ini, dia tidak pernah membawa Beni ke hadapan kedua orangtuanya. Sedangkan Beni menghembuskan nafasnya, berusaha menghilangkan kegugupannya.“Gue pernah sekali ketemu bokap lo, saat nganter lo dari acara reuni. Bokap lo nanya-nanya biasa, kayak kerjaan gue apa. Terus gue bil