Pagi ini seperti apa yang di katakan oleh Gistara. Gistara berusaha menjadi Gistara yang tidak peduli dengan orang-orang yang telah menyakiti hatinya. Seperti saat ini, gadis itu terus berjalan saat berpapasan oleh Sagara di koridor sekolah. Biasanya dia akan menyapa sebagai bentuk kesopanan. Tapi hari ini dia tidak peduli dengan itu semua.
Sagara menatap Gistara dengan tatapan yang sulit di artikan. Pria itu tidak mengenali Gistara yang seperti itu. Gistara yang dia tahu selalu peduli dengan sekitarya, dia akan memberikan senyuman dan menyapa kepada orang-orang yang dia kenal. Tapi tadi Gistara tidak melakukan keduanya.
Sedangkan Gistara, gadis itu menghembuskan nafasnya setelah melewati Sagara, jantung gadis itu berdegup dengan cepat. Dia merasa sangat berdosa karena tidak menyapa pria itu. Tapi kesadarannya kembali, mengingat pria itu yang sudah merendahkannya.
Gistara memasuki ruang guru. Menduduki pantatnya di kursi miliknya. Tangannya mengambil ponselnya di tasnya. Mengirim pesan kepada bundanya.
“Bu Gita,” panggil Leon, salah satu guru muda di sekolah Gistara.
“Iya Pak.” Gistara meletakkan kembali ponselnya kedalam tasnya.
“Ke kantin yuk Bu. Laper nih. Mau ngajak yang lain belum pada keluar, “ ajak Leon. Leon itu pria yang humoris dan easy going sehingga banyak guru yang nyaman dengannya. Gistara juga seperti itu, nyaman jika bersama Leon, nyaman sebagai teman.
“Boleh Pak. Saya juga laper.” Gistara mengambil dompet dan ponselnya kemudian beranjak dari duduknya.
Keduanya berjalan menuju kantin. Kantin masih sedikit sepi. Mereka tidak takut akan di tegur guru piket. Kedua guru itu sudah selesai mengajar jadi tidak masalah jika keduanya makan di kantin. Karena guru piket akan menegur guru yang makan di kantin sedangkan dia sedang mengajar.
Selama Gistara mengajar dia tidak pernah mendengar guru yang di tegur oleh guru piket karena melanggar peraturan. Di Bimantaras’ School semua guru sangat menghormati tata tertib. Jadi tidak ada yang pernah guru melanggar peraturan yang di tetapkan oleh sekolah.
“Pagi menjelang siang Bu,“ sapa seorang anak laki-laki dengan gigi kelincinya yang terlihat imut.
“Pagi Danu. Kamu ngapain di luar?” tanya Gistara memperhatikan anak didiknya diluar kelas, padahal waktu istirahat masih tiga puluh menit lagi.
“Bu Berta gak dateng. Kita di kasih tugas dan udah selesai jadi kita istirahat deh Bu. Gak papa ‘kan?” Gistara mengangguk.
“Tapi dimana temen kamu yang lain?” tanya Gistara melihat sekeliling kantin yang tidak ada teman-teman Danu yang lain.
“Bentar lagi juga rame Bu. Tunggu beberapa detik lagi.” Setelah berkata seperti itu. Benar saja kantin ramai dengan celotehan-celotehan anak kelas X IPA 2.
“Eh ada Ibu kita yang cantik. Pagi Buu!”
“Eh ada Bapak ganteng jugaa. Pagi Bapak!”
“Ciee Ibu sama Bapak berduaan.”
“Ngedate ya Ibu sama Bapak”
Leon yang sedang memesan makanan menggelengkan kepalanya melihat tingkah anak-anak Gistara. Gistara merupakan wali kelas X IPA 2 oleh karena itu anak-anak itu berani menggoda Gistara dan Leon. Kalau bukan dengan wali kelas mereka, mereka akan diam tidak berani menggoda.
“Husst ribut, bisa gak sih kalau ke kantin tu diem.” Leon terduduk di sebrang Gistara.
“Bapak mah gitu. Ya kalau diem gak seru atuh Pak,” jawab Sekar dengan cengiran nya memperlihatkan giginya yang rapi.
“Udah sana mesen jangan ribut.” Leon mengusir anak-anak kelas X IPA 2 yang mengerubungi mejanya dan Gistara.
“Bu, saya duduk di samping ibu ya nanti.” Setelah berkata seperti itu Sekar berlari memesan sandwich dan susu kemudian gadis itu segera kembali terduduk di samping kanan Gistara.
“Siapa yang ngizinin kamu duduk di situ?” tanya Leon membuat Sekar cemberut.
“Bapak gak boleh duduk berduaan aja. Nanti timbul fitnah Pak,” jawab Sekar terkekeh dengan perkataannya sendiri.
“Imel duduk samping ibu juga ya Bu.” Imel duduk dengan membawa lunch box di tangannya.
“Saya duduk samping Bapak deh.” Danu duduk di samping Leon dengan membawa burger di tangan kanan dan juz alpukat di tangan kirinya.
“Eh gue samping kirinya Pak Leon jangan ada yang nempatin,” teriak Tio berlari menuju meja Leon dan Gistara dengan nasi goreng di tangannya.
“Kamu baru dateng kok udah dapet nasi goreng seafood Yo?” Tanya Gistara bingung. Pasalnya dia dan Tio lebih dulu dia berada di kantin kenapa anak itu lebih dulu mendapatkan makanannya.
“Bu, gini nih kalau jadi cogan. Pasti Bu kantin udah siapin khusus buat aku,” ucap Tio melahap timun yang berada di atas nasi gorengnya.
“Enggak Bu. Biasa anak mami jadi ibu kantin itu punya saudara nah saudaranya ini tu temennya maminya Tio jadi maminya itu selalu minta Bu kantin buatin sarapan buat Tio kalau ni anak gak sarapan di rumah.” Leon menahan tawanya sedangkan Gistara mengangguk mengerti. Tio merupakan anak satu-satunya, ayahnya merupakan anggota DPR sedangkan ibunya merupakan seorang designer tidak heran jika anak itu sangat di manja oleh kedua orang tuanya.
“Mereka berdua sama Bu,” lanjutnya menunjuk Imel dan Tio bergantian.
“Ini ni kalau makan burger terus. Mulutnya gacor,” sahut Tio mendelik kearah Danu yang di angguki oleh Imel.
“Makasih Pak,” ucap Gistara dan Leon saat pesanannya sudah datang.
“Gak ada korelasinya ya antara burger dan kegacoran bambank,” kata Sekar yang sukses membuat Danu tertawa merasa menang karena ada yang membelanya.
“Gue pecat lo jadi sekretaris,” ucap Tio membuat Sekar mengangguk dengan cepat.
“Mauuu!!”
“Gak boleh,” sahut Gistara menatap keempat anak didiknya. Membuat keempatnya terdiam.
“Yaa maaf Bu,” ucap mereka serempak.
“Emang gini juga ya kalau di kelas. Ribut?” tanya Leon memperhatikan anak-anak Gistara bergantian. Leon tidak mengajar kelas sepuluh. Dia mengajar kelas sebelas dan dua belas oleh karena itu dia tidak tahu bagaimana anak-anak Gistara.
Keempatnya mengangguk. “Ya gini Pak. Tapi kalau udah kompak, kompak banget. Suruh buat kelompok belajar, mereka gak milih-milih yang penting teman sekelas mereka mau.”
“Keren kalian. Jangan ribut-ribut banget tapi ya. Kasian Bu Gita nanti tua sebelum waktunya kalau kalian bikin marah terus.” Keempatnya hormat kemudian tertawa karena tingkah konyol mereka.
Tawa mereka terhenti karena suara anak-anak yang mendadak ramai. Sepertinya waktu istirahat sudah di mulai. Kantin di penuhi oleh siswa dan siswi. Ada beberapa guru bersama siswa dan siswi seperti mereka berjalan memasuki kantin.
Di Baramantas’ School para guru dan siswa-siswi sering makan dalam satu meja. Mereka sengaja tidak membatasi guru dan siswa, agar guru bisa lebih dekat dengan siswa-siswinya tapi juga siswa tidak boleh melebihi batasan mereka.
***
Sagara menatap layar laptopnya dengan malas. Gistara terlihat sangat bahagia mengobrol dengan Leon dan anak didik gadis itu. Tangan Sagara terulur mengelus wajah Sagara dari layar laptopnya. Sagara tidak pernah melihat tawa itu secara langsung. Dia merasa iri dengan mereka yang bisa menikmati tawa Gistara secara langsung.
Pria itu sedang memperhatikan Gistara dari cctv yang berada di kantin sekolah. Di Baramantas’ School, Sagara sendiri yang menginginkan memantau semua cctv. Karena pria itu berfikir lebih memudahkannya dalam mengawasi guru-guru dan siswa-siswi. Padahal niatnya hanyalah ini, mengetahui aktifitas Gistara.
“Kamu gak pernah tertawa seperti ini sama saya.”
Sagara kembali mengingat pembicaraannya dengan sepupunya. Jika Gistara berubah karena masalah kemaren jangan salahkan dia kata sepupunya itu.
Pria itu menghembuskan nafasnya. Mencoba belajar meminta maaf terlebih dulu. Sebelum meminta maaf kepada gadis itu lagi. Entah sudah berapa kali dia belajar untuk meminta maaf tapi lidahnya seakan kelu jika dia akan meminta maaf langsung kepada Gistara.
Pagi tadi dia ingin meminta maaf lagi. Tapi suaranya seolah terhenti di tenggorokannya. Sehingga dia hanya bisa terdiam memperhatikan Gistara.
“Sa..saya minta maaf Bu Gistara,” ucapnya, matanya masih menatap layar laptopnya yang menyala menampilkan wajah Gistara.
“Mudah ‘kan kalau tidak ngomong secara langsung.”
Sagara menatap kakak laki-lakinya yang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu ruangannya. Pria itu berjalan menghampiri Sagara. Melihat apa yang sedang adik laki-lakinya itu kerjakan."Bener-bener kaya penguntit ya kamu. Abang merinding liat kamu kaya gini," ucap Kalan — kaka laki-laki Sagara, bergidik ngeri melihat adiknya.Sagara mendengus. "Kalau nguntit calon istri gak papa Bang," sahutnya membuat Kalan memutar matanya, malas mendengar perkataan adiknya."Masalahnya adalah, emang Gita mau sama kamu. Cowok dingin dan gengsi gede." Kalan berjalan menuju sofa di ruangan itu, mendudukkan bokongnya di sana.Sagara mendengus sebal mendengar perkataan Kalan. "Susah Bang. Aku mau minta maaf sama Gita, tapi berat banget," keluh Sagara menyugar rambutnya.Kalan terdiam mendengar perkataan adiknya. Dia tahu bagaimana Sagara. Adiknya itu akan sangat susah jika meminta maaf. Gengsinya terlalu tinggi, pria itu beranggapan orang yang meminta maa
Pergi ke mall di hari senin siang merupakan waktu yang pas menurut Gistara. Gadis itu tiba-tiba ingin pergi ke mall sendiri setelah mengawasi anak-anak ujian semester. Alih-alih membeli barang seperti baju, tas dan sepatu, Gistara lebih memilih membeli makanan.Kaki jenjangnya melangkah memasuki pusat perbelanjaan itu, tujuannya adalah tempat dimana dia bisa makan dengan harga yang tidak terlalu membuat dompetnya meronta-ronta, foodcourt.Tangannya mengetuk-ngetuk meja, menunggu pesanannya datang. Setelah sampai ditempat tujuan gadis itu langsung saja memesan makanan kesukaannya, untuk saat ini dia tidak mau makan makanan berat jadi dia hanya memesan seblak, cireng, dan pem-pek khas palembang. Untuk minumannya dia memesan jeruk hangat. Nasihat ibunya selalu dia ingat kalau setelah makan tidak boleh minum es, karena tidak baik untuk tubuh terutama jantung. Benar-benar gadis yang sehat.Gistara tersenyum cerah ketika pesanannya datang. Setelah berdo’a diapun
Sagara memasuki rumah dengan wajah yang tidak bersahabat. Langkah kakinya terhenti saat mendengar intrupsi dari mamanya.“Darimana saja kamu?” tanya Kirana menatap tajam putra keduanya.“Sagara dari makan.”Karina tersenyum miring. “Makan sama gadis miskin itu ‘kan?”Sagara mengepalkan tangannya mendengar penghinaan mamanya terhadap Gistara. Wanita paruh baya itu membenci Gistara. Sejak awal, saat papanya masih ada mamanya itu tidak setuju dengan rencana perjodohan yang di lakukan papanya dan orang tua Gistara, karena mamanya sudah memiliki seseorang yang juga akan dijodohkan kepada Sagara. Tapi dengan bujukan dan rayuan papanya akhirnya mamanya setuju.Sagara tidak tahu kalau ternyata persetujuan mamanya ternyata hanya di mulut. Nyatanya setelah papanya meninggal, mama kembali ingin menjodohkan Sagara dengan anak dari sahabatnya, Nesa.“Mama bisa gak, gak usah bawa-bawa materi. Gistara gak sem
Ruangan VIP di restauran itu tampak sunyi padahal terdapat empat orang di dalamnya. Salah satu wanita paruh baya itu tersenyum canggung kepada calon besannya. Hatinya bergemuruh marah, karena putranya tidak kunjung datang.“Mbak, ini Sagara jadi dateng kan?” tanya Dina — ibunya Nesa, memastikan kembali apakah anak sahabatnya itu jadi datang atau tidak. Sudah hampir satu jam mereka datang tapi pria itu belum juga datang.“Eumm.. ““Maaf telat Om, Tante.”Sagara berjalan ke arah meja yang berada di ruangan itu. Memberi salam kepada Dina dan suaminya. Setelah itu dia duduk di samping mamanya. Pria itu melirik sekilas Nesa yang terus menatapnya sejak dia datang.“Sekali lagi maaf Om dan Tante karena keterlambatan saya, anda berdua harus memundurkan jam makan malam anda,” ucap Sagara tersenyum tipis.Doni — papanya Nesa tersenyum hangat. “Tidak perlu meminta maaf, kami sangat tahu
‘Beb, lo sidang jam 1 'kan? Nanti gue langsung ke kampus aja ya. Sorry gue gak bisa bantuin bawa barang-barang lo’Gistara mengirim pesan kepada sahabatnya. Hari ini Kristina akhirnya sidang setelah di beri semangat oleh Gistara dan Willi. Sahabatnya itu sedikit malas, dia selalu banyak alasan jika Gistara dan Willi menyuruhnya untuk mengerjakan skripsinya. Hingga entah dorongan darimana gadis itu akhirnya mau menyelesaikan skripsinya.“Pagi Bu Gita.”Suara Leon membuat Gistara mengalihkan atensinya dari ponselnya. Senyum manis terbit di bibir gadis itu dengan eyes-smile khas miliknya.“Pagi Pak Leon.” Leon meletakkan tasnya di mejanya setelah mendapat jawaban dari Gistara.“Bu Gita doang ya Pak yang di sapa. Iya kita gak keliatan. Udah bener emang,” sahut Vallen melirik Leon sekilas.“Loh ada Bu Vallen? Selamat pagi Bu Valen,” sapa Leon dengan heboh.“Telat Bapak!&rdqu
Semester genap sudah selesai. Para guru dan wali kelas sibuk mengisi nilai dan rapot para siswa. Gistara dan beberapa guru yang lain tengah menginput nilai-nilai rapot ke aplikasi yang disediakan oleh sekolah seraya diselangi canda tawa. Gadis itu terkekeh ketika mendengar cerita dari guru pria yang terkenal dengan selera humornya yang baik itu.“Bu Gita ini beneran si Devano dapet nilai segini? Dia anaknya rajin loh,” tanya Berta, guru bahasa Indonesia yang kebetulan berada disamping meja Gistara.Gistara tersenyum maklum dengan pertanyaan yang dilontarkan wanita paruh baya itu. Entah sebuah pertanyaan atau kritik yang pasti wali kelas dari siswa yang bernama Devano itu tidak terima kalau siswanya mendapat nilai kecil.“Devano memang agak sedikit kurang kalau di pelajaran saya Bu dan dia juga jarang masuk,” jelasnya.Berta mencebikkan bibirnya. “Emang gak bisa ditambahin ya Bu?” tanya Berta mencoba menegosiasikan nilai
Gistara membereskan rumah yang akan dia tinggal untuk satu bulan ke depan. Mulai hari ini bebas dari urusan rapot dan nilai. Tugasnya sebagai guru selesai untuk sementara waktu.Besok Gistara berencana pulang ke kampung halamannya. Dia rindu dengan keluarganya. Sejak lima bulan yang lalu dia tidak pulang membuat rasa rindunya mengakar. Sebenarnya dia bisa saja pulang jika dia mau tapi banyaknya pekerjaan membuat dia menahan keinginannya untuk pulang.Gistara merebahkan tubuhnya di sofa setelah selesai membersihkan rumah. Gadis itu mengambil ponselnya yang berada di meja kaca depan sofa. Dia membuka aplikasi WhatsApp. Membaca pesan di grupnya bersama ketiga sahabatnya.Kristina dan Willi menanyakan kapan Gistara akan pulang dan dengan menggunakan apa. Gistara pun membalas pesan dari kedua sahabatnya itu.‘Kalau nih ya. Kalau ada yang nganterin lo ke rumah lo. Lo mau gak?’Gistara terkekeh membaca pesan dari Kristina. Jika ada yang mengan
Sagara menghembuskan nafasnya perlahan menatap kedua orangtua Gistara. Beberapa menit yang lalu Gistara izin untuk menemani Gian ke rumah temannya mengembalikan novel yang dia pinjam. Sejak saat itu Sagara masih berusaha untuk menyusun kata yang baik untuk memberitahu orangtua Gistara.Kedatangan Sagara ke rumah Gistara bukan tidak disengaja. Pria itu berencana ke rumah Gistara untuk membicarakan perihal perjodohan dia dan Gistara.“Jadi gimana Nak Gara?” tanya Singgih mencoba memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.“Papi waktu itu sudah bilang ‘kan ke Om dan Tante kalau saya akan melaksanakan pertunangan dengan Gistara setelah Gistara selesai kuliah,” kata Sagara dengan sedikit ragu menatap wajah Singgih dan Novi bergantian.“Iyaa. Kenapa Nak? Kamu sudah tidak mencintai putri Om lagi?” tanya Singgih melihat wajah Sagara yang sejak tadi tidak tenang.Sagara menggeleng dengan cepat. “Bukan
Nesa menahan tangisnya. Dia sudah menjadi istri Beni. Seorang pria yang selalu dia jadikan alat untuk melukai Gistara. Seorang pria yang diperintahkan papanya untuk menikah dengannya.Sejak kejadian di desa dua minggu yang lalu. Doni membawa Nesa pulang. Pria paruh baya itu memberikan tamparan kepada Nesa. Nesa gemetar melihat papanya yang terlihat murka. Pria itu menampar Nesa sampai pipi gadis itu biru.Beni menghentikan amarah Doni. Perkataan Beni membuat Nesa terkejut. Pria itu berkhianat.“Jangan sakiti Nesa, Om janji tidak menyakiti Nesa jika saya memberitahu keberadaan putri Om.”Doni menatap Beni dengan mata melotot. Nafas pria itu tidak teratur. Dia ingin membuat pelajaran kepada putrinya tapi janjinya kepada Beni membuat dia membatalkannya.Doni mendengus berjalan meninggalkan Nesa dan Beni. Sebelum menghilang di balik pintu perkataan Beni sukses membuat takdir Nesa berubah seperti sekarang.“Jangan lupa janji yan
Sagara terbangun saat merasakan istrinya tidur dengan gelisah. Sejak keluar dari rumah sakit istrinya selalu mengigau memanggil putrinya. Gistara bilang dia bisa mengikhlaskan putrinya tapi kenyataannya tidak. Istrinya masih sering memanggil putrinya dalam tidurnya.Gistara sudah keluar dari rumah sakit dan sehat total dua minggu yang lalu. Gistara melakukan sedikit terapi berjalan karena komanya. Kurang lebih dua minggu melakukan terapi, Gistara sudah mulai berjalan dengan nyaman.Dokter menyarankan Sagara untuk membawa istrinya ke psikolog. Gistara menolak dengan keras saat Sagara memberitahu saran dari dokter. Gistara merasa dia baik-baik saja. Dia merasa sudah ikhlas dengan kepergian putrinya. Tapi tanpa sadar istrinya itu sering memanggil putrinya di dalam tidurnya.Sagara membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Istrinya akan berhenti memanggil putrinya jika Sagara membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.“Huss
Wanita dengan gaun pink itu berjalan menyusuri taman bunga yang sangat indah. Senyumnya terbit saat melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di taman itu.Bunga-bunga di taman itu terlihat sangat terawat. Dia belum pernah melihat taman secantik ini. Melihat bunga-bunga dengan berbagai warna membuat pikirannya damai. Semua bebannya seperti ditarik pergi.Anak-anak itu menggunakan dress berwarna putih. Semua terlihat cantik mengenakan dress itu. Wanita itu bisa melihat wajah anak-anak yang begitu bahagia. Mereka seperti tidak merasakan beban kehidupan.Senyumnya pudar saat melihat seorang anak duduk seorang diri di bawah pohon. Anak itu terlihat sedih menatap teman-temannya.Wanita itu berjalan menghampiri anak itu. Anak berusia lima tahun itu terlihat cantik. Wajahnya seperti tidak asing. Dia seperti melihat wajah anak itu.“Kamu kenapa?” tanyanya. Duduk di samping anak itu dengan perlahan.“Mama!” panggil anak itu
Hujan turun dengan derasnya seperti air mata Sagara yang berlomba-lomba untuk keluar. Dia tidak menyangka kalau makan siang kemarin adalah makan siang terakhirnya bersama calon putrinya.Sagara mengusap tangan Gistara dengan lembut. Istrinya masih kritis. Dokter bilang Gistara koma karena kecelakaan yang menimpanya. Alat-alat penunjang hidupnya terpasang di tubuhnya.“Bangun, Sayang.” Sagara berkata lirih.Keluarga Sagara dan Gistara menatap sedih keduanya dari luar ruang rawat Gistara. Novi pingsan saat mendengar putrinya kecelakaan.Kecelakaan satu hari yang lalu membuat semua orang terkejut. Willi dan Kristina yang sedang membeli keperluan untuk bayi Gistara menangis membuat pengunjung lain bingung. Keduanya berlari menuju rumah sakit dimana Gistara dibawa.Sagara yang tengah meeting, membatalkan meetingnya begitu saja. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai kalau saja Tama tidak datang menemuinya yang sedang mengangkat telpon.Sagar
Willi dan Kristina sedang berada di baby shop dekat dengan perusahaan. Keduanya sedang memilih kado untuk bayi Gistara. Keduanya sengaja memberikan kado lebih dulu agar kado mereka tidak tertumpuk dengan kado yang lain.Gistara menginginkan stoller seperti milik Nagita Slavina. Willi dan Kristina meringis mendengar permintaan Gistara.“Makanya jangan nanya gue. Gue pengen stoller itu. Tapi apapun yang kalian kasih, pasti gue terima.”Kristina menghembuskan nafasnya lega saat mendengar jawaban sahabatnya saat itu.“Ini lucu gak sih? Bayangin bayinya Gita pake kayak gini. Gue ngebayanginnya pasti lucu banget. Apa lagi dengan pipi gembul.”Kristina menunjuk baju bayi dengan motif hewan dan berbentuk romper. Ada berbagai jenis hewan tapi Kristina jatuh cinta dengan bentuk bird-bees berwarna pink.“Iyaa, ambil deh yang ini. Sama yang lain dong motifnya.” Willi memberikan berbagai motif kepada Kristina.B
Sagara menatap Gistara dengan bingung. Sejak dia pulang dari kantor. Istrinya itu lebih banyak diam. Gistara memintanya untuk pulang cepat, Sagara melakukannya tapi jalanan kota Bandung sangat macet karena adanya perbaikan jalan. Sehingga Sagara sampai rumah lebih lama.Sagara sudah meminta maaf. Dia juga sudah memberikan alasan, istrinya bilang kalau tidak apa-apa tapi Sagara merasa istrinya belum sepenuhnya memaafkannya.“Masih marah ya?” tanya Sagara. Membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya.Gistara tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. Wanita itu mematikan ponselnya. Meletakkan di nakas samping kasurnya.“Gak marah. Aku lagi kepikiran pesan bunda.”Sagara mengecup pelipis istrinya. “Pesan apa? Tell me, Baby.”“Jovanka dan om Beno, mereka ada hubungan.” Gistara melirik Sagara sekilas.“Something like Affair?” tanya Sagara ragu. Melihat gelagat istrinya yang terlihat
Beni memperhatikan ponselnya yang menyala. Memperlihatkan foto seorang gadis yang dia cintai. Gadis yang terobsesi dengan pria lain.Nesa, gadis itu tidak bersalah karena terobsesi dengan Sagara. Yang harusnya disalahkan dalam hal ini adalah, Dina.Dina -wanita yang melahirkan Nesa- sejak kecil mendoktrin Nesa kalau Sagara dan dia akan menikah. Sagara adalah milik Nesa, begitupun sebaliknya. Hingga sampai dewasa Nesa meyakini itu, kalau Sagara selamanya milik Nesa.Doni, pria paruh baya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya itu tidak memperdulikan perkataan Dina. Hingga dia mendengar istrinya berbicara pada Nesa kalau putrinya itu harus merebut Sagara dari Gistara tepat setelah Sagara menolak pertunangan mereka.Doni yang sedang mengikuti kampanye sebagai dewan perwakilan rakyat tidak terima dengan perkataan istrinya. Perkataan istrinya membahayakan jalannya menjadi salah satu dewan perwakilan rakyat. Dia tahu Nesa, putrinya sejak kecil selalu melakukan b
Suasana meja makan terlihat hangat tidak seperti semalam. Gian memperhatikan Sagara dan Gistara yang mulai memperlihatkan kemesraan mereka. Gian berpikir apakah secepat itu jika suami dan istri marahan? Dalam semalam mereka akan langsung berbaikan?“Gian, bareng Abang ya. Teteh gak ngajar hari ini.”Gian mengangguk. Dia tidak masalah bareng siapapun. Yang penting dia berangkat tanpa ongkos alias gratis.“By, ada duit cast gak?” tanya Gistara.“Ada, dua ratus kayaknya.” Sagara memberikan dompetnya kepada istrinya.“Aku pinjem ya. Nanti aku ganti, dompet aku di kamar, aku males ngambilnya.” Gistara nyengir memperlihatkan giginya yang rapi.“Ambil aja. Tapi cukup gak dua ratus?” tanyanya.“Cukup banget,” sahut Gian cepat, membuat Sagara dan Gistara terkekeh.“Bang, Gian tunggu depan ya. Mau bersihin sepatu dulu.”“Iya. Abang bentar lag
Warning!Mengandung Adegan Dewasa.***Beni memperhatikan Nesa yang berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Nesa mengirim pesan setengah jam yang lalu. Wanita itu mengajaknya untuk makan siang bersama.Nesa membuka pintu mobil dengan perlahan. “Lo kenal sama bokap gue?” tanya Nesa tiba-tiba.“Gue tahu bokap lo.” Beni menjalankan mobilnya meninggalkan perkarangan Bramantas’ School.“Bukan itu yang gue tanyain. Lo deket atau enggak sama bokap gue. Karena dia bilang ke gue kalau dia mau ngomong sesuatu sama lo.”Nesa memincingkan matanya menatap Beni. Dia tidak tahu kalau papanya kenal dengan Beni. Karena selama ini, dia tidak pernah membawa Beni ke hadapan kedua orangtuanya. Sedangkan Beni menghembuskan nafasnya, berusaha menghilangkan kegugupannya.“Gue pernah sekali ketemu bokap lo, saat nganter lo dari acara reuni. Bokap lo nanya-nanya biasa, kayak kerjaan gue apa. Terus gue bil