Gistara menggigit kukunya, perasaan gugup melingkupinya ketika sekarang waktu menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit, padahal ketika membaca pesan dari teman-temannya subuh tadi gadis itu tidak merasa gugup.
Gadis bermata monolid itu berjalan untuk membukakan pintu kontrakannya yang diketuk. Willi dan Kristina mungkin sudah sampai karena kedua sahabatnya itu mengatakan kalau mereka akan sampai pukul enam lewat tiga puluh.
“Lama banget kalian dat-” perkataannya terpotong ketika bukan kedua sahabatnya yang mengetuk pintu itu. Melainkan seorang pria paruh baya yang merupakan tukang kebersihan dikompleknya.
“Ini Neng, ada buket bunga dari akang ganteng.” Pria paruh baya itu memberikan sebuket bunga kepada Gistara.
Dengan bingung gadis itu menerima buket bunga itu, “siapa namanya Pak?” Tanya Gistara memperhatikan buket bunga yang sangat cantik itu.
“Gak tau Neng, Bapak teh cuma disuruh ngasihin aja ke Eneng.” Pria paruh baya itu meringis karena pasalnya pria tadi tidak memberitahu namanya, dia hanya meminta tolong untuk memberikan buket bunga kepada gadis di depannya itu kemudian dia diberi uang.
“Yasudah, makasih banyak ya Pak.”
Gistara tersenyum tipis memperhatikan pria paruh baya itu yang berjalan menjauhi kontrakannya.
Perhatiannya teralihkan ketika dia melihat note yang berada di selipan bunga-bunga itu.
Selamat sidang cantik~
We wiil meet asap
Gistara bergidik ngeri membuang buket bunga itu ketempat sampah, siapa gerangan yang mengirim buket bunga dengan pesan menjijikan itu. Pasalnya Gistara tidak pernah dekat dengan pria dan berpacaran jadi ini pasti ulah orang iseng.
***
Gistara menggenggam kedua tangan sahabatnya dengan erat keringat dingin membanjiri pelipis dan kedua tangannya. Sidangnya sudah selesai dia bersyukur dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dari para penguji, sekarang dia sedang menunggu keputusan mereka. Mengenai kejadian beberapa jam yang lalu, dia belum menceritakan kepada kedua sahabatnya itu. Pasalnya beberapa menit setelah dia membuang buket bunga itu, kadua sahabatnya itu dengan heboh menggedor pintu kontrakannya, membawa barang-barang yang dia perlu dan menyuruhnya untuk cepat masuk kedalam mobil.
“Kenapa gue yang ikutan deg-degan sih,” rutuk Kristina, menggenggam tangan sahabatnya itu. Dia jadi ngebayangin gimana jika dia yang sidang pasti lebih deg-degan, sahabatnya yang pintar aja deg-degannya sampe ngeluarin keringet dingin apa lagi dia yang punya otak biasa saja. Bukan keringet doang mungkin yang keluar, air mata, urine dan sebagainya mungkin ikut keluar.
“Nanti lo pasti ngerasain Kris, tunggu aja,” sahut Willi dengan mengusap-usap punggung Gistara.
“Gistara masuk!”
Suara dosennya itu membuat ketiganya menoleh dengan cepat. Kedua sahabatnya itu memberikan semangat dan menyuruhnya untuk cepat masuk, takutnya kalau kelamaan Gistara yang lulus jadi gak lulus karena dosennya yang menunggu gadis itu menenangkan diri terlalu lama. Idiiiih amit-amit.
Kristina mencoba mengintip sahabatnya itu tapi nihil gak bisa, kenapa lama banget, ini sudah sepuluh menit sejak Gistara masuk, kenapa sampe sekarang belum keluar.
Bibirnya melengkung indah ketika Gistara keluar dengan wajah cerahnya dan matanya yang berkaca-kaca, dengan cepat keduanya memeluk sahabatnya itu, memberikan selamat.
“Congratulation Beb!” Kristina menghapus air mata sahabatnya, dia paham betul bagaimana perasaan sahabatnya, mereka bertiga sudah tujuh tahun bersahabat sejak awal masuk sekolah menengah atas jadi dia tahu bagaimana perjuangan seorang Gistara berjuang hingga bisa dititik ini.
“Jangan nangis, udah dong nangisnya.” Willi ikutan menangis melihat sahabatnya menangis haru.
Setelah acara tangis-tangisan, teman-teman Gistara yang lainpun ikut mengucapkan selamat kepadanya dan memberikan buket bunga, buket cokelat, buket uang, buket ciki, dan sebagainya.
“Gi foto yuk!” ajak seorang pria berwajah sedikit barat, kemudian mengajak teman-teman sekelas Gistara untuk berfoto bersama.
“Gila banyak banget sih hadiah lo Gi, jadi pengen buka toko kalo liat barang banyak kek gini,” keluh Kristina seraya membantu sahabatnya itu membawa hadiah-hadiah dan meletakkannya di dalam bagasi mobilnya.
“Gini nih kalo mahasiswa aktif, adek-adek di organisasi dan kating di organisasinya pada ngasih,” seru Willi mentata hadiah-hadiah agar bisa masuk semua ke bagasi mobilnya.
“Gita!” panggil seorang pria tampan berjalan mendekat, membuat ketiganya menoleh serempak.
Kristina mencubit tangan Wendi, pasalnya pria tampan yang memanggil Allisya merupakan salah satu the hottest lecturer di universitas mereka, Kalan Ray Bimantara.
Bukan hanya seorang dosen. Kalan Ray Bimantara atau biasa dikenal dengan Pak Kalan merupakan dekan fakultas pendidikan. Beliau sudah menjabat sebagai dekan sejak empat tahun yang lalu.
“Ada apa ya Pak?” tanya Gistara bingung, dosen tampan itu tumben sekali menegur dia, padahal beliau bukan dosen di jurusannya dan bertemu dengannya saja sebulan bisa dihitung dengan jari.
“Ini untuk kamu, selamat atas sidangnya.” Kalan memberikan dua paper bag kepada Gistara.
“Itu bener dari bapak?” tanya Gistara bingung, enggan mengambil dua paper bag itu.
Kalan terkekeh, “iya, siapa lagi. Terima ini.” Menarik tangan Gistara, meletakkan dua paper bagnya ditangan gadis itu.
“Emmm.. itu Bapak gak perlu repot-repot,” cicit Gistara merasa tidak pantas mendapatkan hadiah dari dosen tampan itu. Dia tidak mau di bully oleh fans dosen itu karena menerima hadiah darinya.
“Kalau saya bilang dari istri saya kamu terima gak?” tanya Kalan menatap Gistara.
Gistara menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “mari kita anggap ini dari istri saya.”
Setelah mengatakan itu Kalan pergi meninggalkan Gistara dan kedua sahabatnya yang memandang cengo dengan tingkah dosen itu. Gistara mengerjap dan memperhatikan sekelilingnya, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berada di parkiran menatapnya dengan pandangan menyelidik.
“Pak Kalan ganteng banget sialan,” gumam Kristina masih memperhatikan kemana arah perginya Kalan.
“Lo jangan cuci tangan Beb, ya ampun tangan lo dipegang sama tu dosen.” Kristina mengelus tangan Gistara yang dipegang oleh dosen tampan itu.
“Bentar-bentar? Jadi Pak dosen udah nikah?!” tanya Kristina heboh karena otaknya baru mencerna omongan dosen tampan itu.
“Iya, jadi berhenti manjadi fans Pak Kalan, jangan jadi plakor gak baik,” sahut Gistara santai, meninggalkan Kristina diluar mobil dengan segala pertanyan-pertanyaan yang bersarang di otaknya.
"Sakit hati dedek A’."
***
Gistara berjalan melusuri koridor sekolah, setelah selesai dengan sidangnya, gadis itu meminta teman-temannya mengantarnya ke sekolahannya karena dia mendapat pesan dari guru piket kalau dia dipanggil oleh kepala sekolah. Mau tidak mau Gistara harus kesekolah menyuruh kedua sahabatnya untuk pergi ke kontrakannya tanpa dirinya.
Gistara mencoba menetralkan kerja jantungnya ketika dia sudah berada di depan ruangan kepala sekolah. Mengetuk pintu itu, beberapa detik kemudian terdengar sahutan dari dalam yang memerintahkan dia untuk masuk.
Aroma kopi bercampur parfume maskulin langsung menggelitik indra penciuman Gistara ketika dia masuk kedalam ruangan itu.
“Selamat siang Pak.” Gistara berjalan mendekati meja kepala sekolah yang bertuliskan Sagara Kin Bimantara.
Pria yang berada di kursi kebesarannya itu masih fokus dengan apa yang dia kerjakan, tidak berniat menjawab sapaan guru biologi itu ataupun menyuruhnya untuk duduk.
Sepuluh menit
Masih sama-sama bungkam, pria itu masih asik dengan pekerjaannya sedangkan Gistara berdiri dengan kaki yang kesemutan, pakai high heels tujuh centi meter dan tidak diberi izin untuk duduk ingin rasanya Gistara berteriak, tapi dia masih memikirkan masa depannya, entah apa yang terjadi jika gadis itu berteriak didepan kepala sekolah itu, dikeluarkan? Ya itu adalah kemungkinan terbesar yang akan terjadi.
“Ada apa Bapak mencari saya?” tanya Gistara mencoba untuk tetap sabar menghadapi sikap kurang ajar kepala sekolah itu.
“Duduk.”
Gistara menggeser kursi didepan meja kepala sekolah, “saya tidak menyuruh kamu duduk disitu.” Perkataan Sagara sukses membuat Gistara mengurungkan niatnya untuk duduk. Sialan.
“Duduk di sofa,” lanjut pria itu menatap Gistara tajam.
Dengan sedikit menghentakkan kakinya Gistara berjalan menuju sofa yang berada diruangan itu.
Sagara berjalan menuju single sofa mendudukan tubuhnya disana dengan angkuh, “kamu tahu kesalahan kamu?” tanya pria itu menatap Gistara tajam.
Gistara mengerutkan keningnya bingung. “Kesalahan saya apa Pak?” cicitnya menatap pria itu dengan takut ketika mata pria itu semakin tajam menatapnya.
“Kamu menganggap saya apa?” tanya Sagara memperhatikan penampilan Gistara dari atas kebawah, pria itu baru sadar kalau guru biologi itu masih mengenakan almamater khas universitas negeri favorite di Bandung.
“Kepala sekolah Pak,” sahut Gistara cepat.
“Kenapa kamu tidak izin kepada saya kalau hari ini kamu tidak mengajar?”
Gistara menahan nafasnya. “Biasanya kalau izin ke guru piket saja Pak, jadi saya tidak izin ke Bapak.” Gistara menggigit bibirnya masih mencoba menahan kegugupannya.
“Biasanya itu kapan? Dulu waktu papah saya? Kamu dulu mungkin bisa seenaknya izin ke guru piket tanpa kepala sekolah, tapi sekarang saya adalah kepala sekolah dan anak dari pemilik yayasan ini, jadi kamu harus izin juga dengan saya.”
Gistara menunduk takut dengan perkataan Sagara ditambah dengan tatapannya yang semakin tajam. Dia tidak tahu kalau tata tertib sudah berganti karena kemaren ketika dia izin dengan bu Lia yang tak lain adalah guru piket di Bimantaras’ School, beliau tidak menyuruh Allisya untuk izin kepada kepala sekolah.
Allisya medongak, menatap wajah tampan pria itu. “Maaf Pak, saya tidak tahu kalau harus izin ke Bapak, saya janji tidak akan mengulanginya lagi,” ucapnya.
Sagara tersenyum sinis. “Perempuan kaya kamu emang punya beribu alesan untuk mengelak,” sahutnya.
Allisya menoleh dengan cepat. “Mak.. maksud Bapak?” tanyanya terbata.
Pria itu menatap Gistara dengan remeh. “Pelakor, itu ‘kan yang mereka sematkan ke kamu,” ucapnya sinis.
Gistara menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. Perkataannya sukses membuat Gistara mengingat kejadian-kejadian buruk beberapa tahun yang lalu, kejadian yang sangat sulit dia lupakan. Kejadian yang membuat dia menjadi sosok pendiam, tapi kedua sahabatnya dengan sabarnya membantunya melewati masa itu.
Gistara tersenyum tipis, sangking tipisnya pria itu bahkan tidak dapat melihat.
“Kalau Bapak sudah selesai, saya izin pamit,” ucapnya mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Kalau kamu bisa bermain dengan orang yang sudah beristri, seharusnya kamu juga bisa dengan saya yang belum memiliki istri,” sahutnya dengan smirk andalannya.
Gistara bangkit dari duduknya. Hatinya sakit harga dirinya diinjak-injak membabi buta oleh pria itu. Kepala sekolah yang seharusnya netral tapi ternyata berpihak pada rumor palsu.
“Saya permisi Pak.”
Pertahanan Gistara runtuh, bertepatan dengan izinnya dia dari ruangan itu. Air matanya tumpah membasahi pipinya.
Gistara berjalan memasuki lift. Memori dua tahun lalu berputar dikepalanya seperti kaset, membuatnya meraung, memukul dadanya dengan keras, sesak.
Siapa pria itu, dia hanya seorang pria yang dia tahu sebagai anak pemilik Bimantaras’ School. Mereka tidak pernah bertemu secara resmi, mereka hanya bertemu sesekali tanpa sengaja, itupun diruangan pemilik yayasan. Kenapa dengan tega pria itu membuka luka lamanya.
Sagara mengusap wajahnya dengan kasar. Merutuki perkataan bodohnya. Kenapa dia berkata hal seperti itu kepada Gistara. Dia tidak bermaksud menyakiti gadis itu tapi entah kenapa perkataan kurang ajar itu keluar begitu saja. Sagara mengambil ponselnya di atas meja. Mengirim pesan kepada kaka laki-lakinya. ‘Bang, aku udah buat Gita nangis. Maafin aku ya. Aku salah. Harusnya aku ngucapin selamat untuk dia bukan justru bikin dia nangis.’ Pria itu meletakkan ponselnya ketempat semula. Beberapa menit kemudian balasan dari abangnya masuk ke ponselnya. Dengan cepat dia membaca pesan itu. ‘Minta maaf sama Gita, bukan sama Abang. Btw hadiah kamu udah Abang kasih ke Gita.’ Sagara melempar ponselnya ke atas mejanya. Bagaimana dia meminta maaf kepada gadis itu. Lagi pula meminta maaf bukan lah gayanya. Sagara jembali merutuki mulut pedasnya yang di warisi oleh mamanya. *** Gistara berjalan menelusuri koridor sekolah masih dengan air
Sagara terkejut dengan kedatangan sepupunya di ruang kerjanya. Gadis itu dengan tiba-tiba melemparnya dengan buku yang dia pegang. Membuat buku itu mendarat dengan mulus di kepalanya. “Apaan sih lo Wiliii!” Sagara menatap dengan kesal Willi yang bertolak pinggang di depan meja kerjanya. “Lo itu yang apa-apaan. Lo mikir gak sih kalau ngomong. Lo itu udah nyakitin hati Gita. Hari ini harusnya jadi hari bahagia dia. Tapi lo ngerusak nya dengan kata-kata lo itu. Lo ngebuka luka lama dia. Kalau lo gak mau minta maaf sama Gita. Gue gak akan bantuin lo lagi!” Setelah berkata panjang lebar Willi pergi begitu saja meninggalkan Sagara yang terdiam dengan tatapan kosong. Memikirkan semua perkataan gadis itu. Dia ingin meminta maaf. Tapi itu terlalu aneh. Mereka tidak pernah mengobrol sebelumnya. Bukankah terlihat aneh jika dia tiba-tiba meminta maaf kepada gadis itu. Dia memang bersalah, tapi bukannya itu terlalu konyol. Meminta maaf kepada orang yang baru beber
Pagi ini seperti apa yang di katakan oleh Gistara. Gistara berusaha menjadi Gistara yang tidak peduli dengan orang-orang yang telah menyakiti hatinya. Seperti saat ini, gadis itu terus berjalan saat berpapasan oleh Sagara di koridor sekolah. Biasanya dia akan menyapa sebagai bentuk kesopanan. Tapi hari ini dia tidak peduli dengan itu semua.Sagara menatap Gistara dengan tatapan yang sulit di artikan. Pria itu tidak mengenali Gistara yang seperti itu. Gistara yang dia tahu selalu peduli dengan sekitarya, dia akan memberikan senyuman dan menyapa kepada orang-orang yang dia kenal. Tapi tadi Gistara tidak melakukan keduanya.Sedangkan Gistara, gadis itu menghembuskan nafasnya setelah melewati Sagara, jantung gadis itu berdegup dengan cepat. Dia merasa sangat berdosa karena tidak menyapa pria itu. Tapi kesadarannya kembali, mengingat pria itu yang sudah merendahkannya.Gistara memasuki ruang guru. Menduduki pantatnya di kursi miliknya. Tangannya mengambil ponselnya d
Sagara menatap kakak laki-lakinya yang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu ruangannya. Pria itu berjalan menghampiri Sagara. Melihat apa yang sedang adik laki-lakinya itu kerjakan."Bener-bener kaya penguntit ya kamu. Abang merinding liat kamu kaya gini," ucap Kalan — kaka laki-laki Sagara, bergidik ngeri melihat adiknya.Sagara mendengus. "Kalau nguntit calon istri gak papa Bang," sahutnya membuat Kalan memutar matanya, malas mendengar perkataan adiknya."Masalahnya adalah, emang Gita mau sama kamu. Cowok dingin dan gengsi gede." Kalan berjalan menuju sofa di ruangan itu, mendudukkan bokongnya di sana.Sagara mendengus sebal mendengar perkataan Kalan. "Susah Bang. Aku mau minta maaf sama Gita, tapi berat banget," keluh Sagara menyugar rambutnya.Kalan terdiam mendengar perkataan adiknya. Dia tahu bagaimana Sagara. Adiknya itu akan sangat susah jika meminta maaf. Gengsinya terlalu tinggi, pria itu beranggapan orang yang meminta maa
Pergi ke mall di hari senin siang merupakan waktu yang pas menurut Gistara. Gadis itu tiba-tiba ingin pergi ke mall sendiri setelah mengawasi anak-anak ujian semester. Alih-alih membeli barang seperti baju, tas dan sepatu, Gistara lebih memilih membeli makanan.Kaki jenjangnya melangkah memasuki pusat perbelanjaan itu, tujuannya adalah tempat dimana dia bisa makan dengan harga yang tidak terlalu membuat dompetnya meronta-ronta, foodcourt.Tangannya mengetuk-ngetuk meja, menunggu pesanannya datang. Setelah sampai ditempat tujuan gadis itu langsung saja memesan makanan kesukaannya, untuk saat ini dia tidak mau makan makanan berat jadi dia hanya memesan seblak, cireng, dan pem-pek khas palembang. Untuk minumannya dia memesan jeruk hangat. Nasihat ibunya selalu dia ingat kalau setelah makan tidak boleh minum es, karena tidak baik untuk tubuh terutama jantung. Benar-benar gadis yang sehat.Gistara tersenyum cerah ketika pesanannya datang. Setelah berdo’a diapun
Sagara memasuki rumah dengan wajah yang tidak bersahabat. Langkah kakinya terhenti saat mendengar intrupsi dari mamanya.“Darimana saja kamu?” tanya Kirana menatap tajam putra keduanya.“Sagara dari makan.”Karina tersenyum miring. “Makan sama gadis miskin itu ‘kan?”Sagara mengepalkan tangannya mendengar penghinaan mamanya terhadap Gistara. Wanita paruh baya itu membenci Gistara. Sejak awal, saat papanya masih ada mamanya itu tidak setuju dengan rencana perjodohan yang di lakukan papanya dan orang tua Gistara, karena mamanya sudah memiliki seseorang yang juga akan dijodohkan kepada Sagara. Tapi dengan bujukan dan rayuan papanya akhirnya mamanya setuju.Sagara tidak tahu kalau ternyata persetujuan mamanya ternyata hanya di mulut. Nyatanya setelah papanya meninggal, mama kembali ingin menjodohkan Sagara dengan anak dari sahabatnya, Nesa.“Mama bisa gak, gak usah bawa-bawa materi. Gistara gak sem
Ruangan VIP di restauran itu tampak sunyi padahal terdapat empat orang di dalamnya. Salah satu wanita paruh baya itu tersenyum canggung kepada calon besannya. Hatinya bergemuruh marah, karena putranya tidak kunjung datang.“Mbak, ini Sagara jadi dateng kan?” tanya Dina — ibunya Nesa, memastikan kembali apakah anak sahabatnya itu jadi datang atau tidak. Sudah hampir satu jam mereka datang tapi pria itu belum juga datang.“Eumm.. ““Maaf telat Om, Tante.”Sagara berjalan ke arah meja yang berada di ruangan itu. Memberi salam kepada Dina dan suaminya. Setelah itu dia duduk di samping mamanya. Pria itu melirik sekilas Nesa yang terus menatapnya sejak dia datang.“Sekali lagi maaf Om dan Tante karena keterlambatan saya, anda berdua harus memundurkan jam makan malam anda,” ucap Sagara tersenyum tipis.Doni — papanya Nesa tersenyum hangat. “Tidak perlu meminta maaf, kami sangat tahu
‘Beb, lo sidang jam 1 'kan? Nanti gue langsung ke kampus aja ya. Sorry gue gak bisa bantuin bawa barang-barang lo’Gistara mengirim pesan kepada sahabatnya. Hari ini Kristina akhirnya sidang setelah di beri semangat oleh Gistara dan Willi. Sahabatnya itu sedikit malas, dia selalu banyak alasan jika Gistara dan Willi menyuruhnya untuk mengerjakan skripsinya. Hingga entah dorongan darimana gadis itu akhirnya mau menyelesaikan skripsinya.“Pagi Bu Gita.”Suara Leon membuat Gistara mengalihkan atensinya dari ponselnya. Senyum manis terbit di bibir gadis itu dengan eyes-smile khas miliknya.“Pagi Pak Leon.” Leon meletakkan tasnya di mejanya setelah mendapat jawaban dari Gistara.“Bu Gita doang ya Pak yang di sapa. Iya kita gak keliatan. Udah bener emang,” sahut Vallen melirik Leon sekilas.“Loh ada Bu Vallen? Selamat pagi Bu Valen,” sapa Leon dengan heboh.“Telat Bapak!&rdqu
Nesa menahan tangisnya. Dia sudah menjadi istri Beni. Seorang pria yang selalu dia jadikan alat untuk melukai Gistara. Seorang pria yang diperintahkan papanya untuk menikah dengannya.Sejak kejadian di desa dua minggu yang lalu. Doni membawa Nesa pulang. Pria paruh baya itu memberikan tamparan kepada Nesa. Nesa gemetar melihat papanya yang terlihat murka. Pria itu menampar Nesa sampai pipi gadis itu biru.Beni menghentikan amarah Doni. Perkataan Beni membuat Nesa terkejut. Pria itu berkhianat.“Jangan sakiti Nesa, Om janji tidak menyakiti Nesa jika saya memberitahu keberadaan putri Om.”Doni menatap Beni dengan mata melotot. Nafas pria itu tidak teratur. Dia ingin membuat pelajaran kepada putrinya tapi janjinya kepada Beni membuat dia membatalkannya.Doni mendengus berjalan meninggalkan Nesa dan Beni. Sebelum menghilang di balik pintu perkataan Beni sukses membuat takdir Nesa berubah seperti sekarang.“Jangan lupa janji yan
Sagara terbangun saat merasakan istrinya tidur dengan gelisah. Sejak keluar dari rumah sakit istrinya selalu mengigau memanggil putrinya. Gistara bilang dia bisa mengikhlaskan putrinya tapi kenyataannya tidak. Istrinya masih sering memanggil putrinya dalam tidurnya.Gistara sudah keluar dari rumah sakit dan sehat total dua minggu yang lalu. Gistara melakukan sedikit terapi berjalan karena komanya. Kurang lebih dua minggu melakukan terapi, Gistara sudah mulai berjalan dengan nyaman.Dokter menyarankan Sagara untuk membawa istrinya ke psikolog. Gistara menolak dengan keras saat Sagara memberitahu saran dari dokter. Gistara merasa dia baik-baik saja. Dia merasa sudah ikhlas dengan kepergian putrinya. Tapi tanpa sadar istrinya itu sering memanggil putrinya di dalam tidurnya.Sagara membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Istrinya akan berhenti memanggil putrinya jika Sagara membawa tubuhnya ke dalam pelukannya.“Huss
Wanita dengan gaun pink itu berjalan menyusuri taman bunga yang sangat indah. Senyumnya terbit saat melihat banyak anak-anak yang sedang bermain di taman itu.Bunga-bunga di taman itu terlihat sangat terawat. Dia belum pernah melihat taman secantik ini. Melihat bunga-bunga dengan berbagai warna membuat pikirannya damai. Semua bebannya seperti ditarik pergi.Anak-anak itu menggunakan dress berwarna putih. Semua terlihat cantik mengenakan dress itu. Wanita itu bisa melihat wajah anak-anak yang begitu bahagia. Mereka seperti tidak merasakan beban kehidupan.Senyumnya pudar saat melihat seorang anak duduk seorang diri di bawah pohon. Anak itu terlihat sedih menatap teman-temannya.Wanita itu berjalan menghampiri anak itu. Anak berusia lima tahun itu terlihat cantik. Wajahnya seperti tidak asing. Dia seperti melihat wajah anak itu.“Kamu kenapa?” tanyanya. Duduk di samping anak itu dengan perlahan.“Mama!” panggil anak itu
Hujan turun dengan derasnya seperti air mata Sagara yang berlomba-lomba untuk keluar. Dia tidak menyangka kalau makan siang kemarin adalah makan siang terakhirnya bersama calon putrinya.Sagara mengusap tangan Gistara dengan lembut. Istrinya masih kritis. Dokter bilang Gistara koma karena kecelakaan yang menimpanya. Alat-alat penunjang hidupnya terpasang di tubuhnya.“Bangun, Sayang.” Sagara berkata lirih.Keluarga Sagara dan Gistara menatap sedih keduanya dari luar ruang rawat Gistara. Novi pingsan saat mendengar putrinya kecelakaan.Kecelakaan satu hari yang lalu membuat semua orang terkejut. Willi dan Kristina yang sedang membeli keperluan untuk bayi Gistara menangis membuat pengunjung lain bingung. Keduanya berlari menuju rumah sakit dimana Gistara dibawa.Sagara yang tengah meeting, membatalkan meetingnya begitu saja. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai kalau saja Tama tidak datang menemuinya yang sedang mengangkat telpon.Sagar
Willi dan Kristina sedang berada di baby shop dekat dengan perusahaan. Keduanya sedang memilih kado untuk bayi Gistara. Keduanya sengaja memberikan kado lebih dulu agar kado mereka tidak tertumpuk dengan kado yang lain.Gistara menginginkan stoller seperti milik Nagita Slavina. Willi dan Kristina meringis mendengar permintaan Gistara.“Makanya jangan nanya gue. Gue pengen stoller itu. Tapi apapun yang kalian kasih, pasti gue terima.”Kristina menghembuskan nafasnya lega saat mendengar jawaban sahabatnya saat itu.“Ini lucu gak sih? Bayangin bayinya Gita pake kayak gini. Gue ngebayanginnya pasti lucu banget. Apa lagi dengan pipi gembul.”Kristina menunjuk baju bayi dengan motif hewan dan berbentuk romper. Ada berbagai jenis hewan tapi Kristina jatuh cinta dengan bentuk bird-bees berwarna pink.“Iyaa, ambil deh yang ini. Sama yang lain dong motifnya.” Willi memberikan berbagai motif kepada Kristina.B
Sagara menatap Gistara dengan bingung. Sejak dia pulang dari kantor. Istrinya itu lebih banyak diam. Gistara memintanya untuk pulang cepat, Sagara melakukannya tapi jalanan kota Bandung sangat macet karena adanya perbaikan jalan. Sehingga Sagara sampai rumah lebih lama.Sagara sudah meminta maaf. Dia juga sudah memberikan alasan, istrinya bilang kalau tidak apa-apa tapi Sagara merasa istrinya belum sepenuhnya memaafkannya.“Masih marah ya?” tanya Sagara. Membawa tubuh istrinya ke dalam pelukannya.Gistara tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. Wanita itu mematikan ponselnya. Meletakkan di nakas samping kasurnya.“Gak marah. Aku lagi kepikiran pesan bunda.”Sagara mengecup pelipis istrinya. “Pesan apa? Tell me, Baby.”“Jovanka dan om Beno, mereka ada hubungan.” Gistara melirik Sagara sekilas.“Something like Affair?” tanya Sagara ragu. Melihat gelagat istrinya yang terlihat
Beni memperhatikan ponselnya yang menyala. Memperlihatkan foto seorang gadis yang dia cintai. Gadis yang terobsesi dengan pria lain.Nesa, gadis itu tidak bersalah karena terobsesi dengan Sagara. Yang harusnya disalahkan dalam hal ini adalah, Dina.Dina -wanita yang melahirkan Nesa- sejak kecil mendoktrin Nesa kalau Sagara dan dia akan menikah. Sagara adalah milik Nesa, begitupun sebaliknya. Hingga sampai dewasa Nesa meyakini itu, kalau Sagara selamanya milik Nesa.Doni, pria paruh baya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya itu tidak memperdulikan perkataan Dina. Hingga dia mendengar istrinya berbicara pada Nesa kalau putrinya itu harus merebut Sagara dari Gistara tepat setelah Sagara menolak pertunangan mereka.Doni yang sedang mengikuti kampanye sebagai dewan perwakilan rakyat tidak terima dengan perkataan istrinya. Perkataan istrinya membahayakan jalannya menjadi salah satu dewan perwakilan rakyat. Dia tahu Nesa, putrinya sejak kecil selalu melakukan b
Suasana meja makan terlihat hangat tidak seperti semalam. Gian memperhatikan Sagara dan Gistara yang mulai memperlihatkan kemesraan mereka. Gian berpikir apakah secepat itu jika suami dan istri marahan? Dalam semalam mereka akan langsung berbaikan?“Gian, bareng Abang ya. Teteh gak ngajar hari ini.”Gian mengangguk. Dia tidak masalah bareng siapapun. Yang penting dia berangkat tanpa ongkos alias gratis.“By, ada duit cast gak?” tanya Gistara.“Ada, dua ratus kayaknya.” Sagara memberikan dompetnya kepada istrinya.“Aku pinjem ya. Nanti aku ganti, dompet aku di kamar, aku males ngambilnya.” Gistara nyengir memperlihatkan giginya yang rapi.“Ambil aja. Tapi cukup gak dua ratus?” tanyanya.“Cukup banget,” sahut Gian cepat, membuat Sagara dan Gistara terkekeh.“Bang, Gian tunggu depan ya. Mau bersihin sepatu dulu.”“Iya. Abang bentar lag
Warning!Mengandung Adegan Dewasa.***Beni memperhatikan Nesa yang berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Nesa mengirim pesan setengah jam yang lalu. Wanita itu mengajaknya untuk makan siang bersama.Nesa membuka pintu mobil dengan perlahan. “Lo kenal sama bokap gue?” tanya Nesa tiba-tiba.“Gue tahu bokap lo.” Beni menjalankan mobilnya meninggalkan perkarangan Bramantas’ School.“Bukan itu yang gue tanyain. Lo deket atau enggak sama bokap gue. Karena dia bilang ke gue kalau dia mau ngomong sesuatu sama lo.”Nesa memincingkan matanya menatap Beni. Dia tidak tahu kalau papanya kenal dengan Beni. Karena selama ini, dia tidak pernah membawa Beni ke hadapan kedua orangtuanya. Sedangkan Beni menghembuskan nafasnya, berusaha menghilangkan kegugupannya.“Gue pernah sekali ketemu bokap lo, saat nganter lo dari acara reuni. Bokap lo nanya-nanya biasa, kayak kerjaan gue apa. Terus gue bil