Deondra tersenyum mendengar pertanyaan Alrix, masih dengan gaya arogan, dia berkata. "Tentu saja, aku yakin ini akan menyenangkan."
Setelah Deondra mengatakannya, tidak ada lagi yang bersuara di antara mereka. Hanya suara lift yang terus turun, mengantarkan keduanya menuju restoran bawah. Namun, baru saja akan keluar, dari ujung sana Deondra sudah melihat seseorang yang amat familiar di matanya. Tanpa ekspresi apapun, Deondra terus melangkah hingga jarak mereka semakin dekat.
"Kenapa dia kemari?" Deondra bertanya malas, masih melangkah santai dengan Alrix yang mengekor di belakangnya.
"Tidak tahu Tuan, tidak ada janji." Alrix meraih ponselnya, memeriksa pesan terakhir antara dirinya dengan Sudash.
Ya, Sudash. Lelaki tegap tinggi itu tengah berjalan dengan snelli putihnya yang menambah pesona. Dengan penuh senyuman ramah dan wajah cerah, tentu saja. Bukankah mereka memang kumpulan pria baik hati dulu? Hanya saja Deondra berubah dan
Deondra menggerakkan lehernya yang terasa pegal, hingga bunyi tulang beradu dapat terdengar di telinganya. Sehabis mandi, tubuh yang tadinya lelah kini sudah menjadi segar. Bahkan kepalanya yang tadi terasa berat dan seakan ingin pecah sudah mulai jernih dengan pikirannya yang tenang.Meraih baju santai di lemari walk in closet, Deondra memakainya sambil menatap cermin lebar di hadapannya. Piyama tidur berwarna putih dengan kerah yang menampilkan urat-urat lehernya hingga ke dada. Setelah menyisir rambut, Deondra melangkah keluar dari walk in closet. Menutup kembali pintu kamar, Deondra melangkah santai berniat menuju ruang makan."Tuan Muda."Langkah Deondra terhenti, saat melihat Alrix justru menaiki tangga yang baru separuh di turuninya. Kelap-kelip lampu kristal yang tergantung di atas kepalanya, serta ruangan yang di dominasi berwarna cokelat muda terlihat semakin mewah. Apalagi dengan adanya tangga melingkar dengan susunan karpet merah di
"Arin!" Alrix berseru, dia langsung berlari saat mendengar teriakan Arinda yang kesekian kalinya.Dia memang tidak jauh, hanya di balik pintu. Rasa penasaran membuatnya harus menguping. Hal apa yang di bicarakan oleh kedua orang yang tertinggal di ruang makan itu. Dan, seperti tertampar keras, Alrix mendengar sendiri ungkapan Arinda dan Tuan Mudanya tentang kejadian malam kelam yang telah di lalui oleh Arinda akibat ulah dari Tuan Mudanya sendiri."Tuan Alrix ...." Lirih suara Arinda terdengar, pisau itu langsung terlepas dari tangannya ketika Alrix merampasnya dan membuangnya ke lantai.Hening, hanya isakan tangis Arinda yang terdengar mengisi ruang lenggang yang melingkupi mereka. Di belakang Alrix, Deondra sudah seperti orang yang tak bisa mengatakan apapun. Dia dapat melihat dengan jelas betapa hancurnya gadis di hadapannya ini dengan tangis dan juga tindakan bunuh diri. Sesakit itukah perasaannya?"Maafkan saya ...," ucapnya l
Setelah terdiam beberapa saat di atas tangga, Alrix memutuskan turun. Menuju kamarnya yang memang ada di rumah ini, dia memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri."Bagaimana bisa? Kenapa Anda berbuat sejauh ini Tuan Muda? Apakah ini benar-benar sebuah rasa cinta? Atau, hanya nafsu saja?"Entahlah, rasanya Alrix saja sudah seperti orang gila memikirkannya. Bagaimana keadaan Arinda? Itulah yang dia pikirkan saat ini.Berendam di jam malam yang semakin larut Alrix lakukan sambil merenung. Apa yang di dengarnya di ruang makan tadi masih terngiang-ngiang. Apakah setelah ini semua kehidupan baru Tuan Mudanya akan di mulai? Entahlah. Mendengar ucapan dan juga perkataan dari Deondra setelah di tinggalkan Arinda, rasa-rasanya Alrix kurang yakin jika Tuan Mudanya akan sadar secepat perkiraannya."Aku akan menemui gadis itu besok. Setelah kejadian ini, aku tidak akan membiarkan dia menjadi pelayan yang sebenarnya. Tuan Muda juga harus bert
Rutinitas pagi yang melelahkan kembali berjalan di rumah utama. Dua puluh orang pelayan yang terbagi antara lelaki dan perempuan sudah bergerak, mengerjakan tugas masing-masing. Tak terkecuali Arinda, walaupun malam di lewatkannya dengan sebuah kejadian yang tak mengenakkan, gadis itu tetap tahu tugasnya. Dia bertanggung jawab, takkan memperdaya siapapun untuk mendapatkan sebuah kemudahan hanya karena ulah Tuan Muda. Karena, Arinda sendiri tak pernah bisa menerima perbuatan Tuan Mudanya itu dengan lapang dada. Jadi, untuk apa dia berulah dan mencoba menjadi wanita yang hebat setelah ternoda? Bukankah Deondra sendiri pun tak ada niat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya?Alrix sudah bangun sejak jam lima pagi, mengurus beberapa hal terkait urusan pertemuan dengan pengusaha besar dari luar negeri yang akan di adakan siang ini. Bergerak cepat menghubungi beberapa bawahannya untuk melakukan penelusuran, tentang Ayah Arinda yang di rawat di sebuah rumah sakit ternama.&
"Kita mau kemana, Kepala?" Jenika bertanya saat kepala mengumpulkan tujuh orang pelayan.Arinda salah satunya, tapi gadis itu terlihat santai di barisan sudut. Tak ada niat untuk bertanya karena moodnya pun memang kurang baik saat ini."Ikut Tuan Muda. Sudah jangan banyak tanya, cepat siapkan keperluan kalian selama di sana. Kita berangkat dua jam lagi," ucapnya seraya melangkah pergi, meninggalkan ketujuh pelayan yang langsung mengangguk."Jalan-jalan Arin, wah sudah lama sekali," ujar Jenika, berjalan beriringan menuju kamar masing-masing.Arinda hanya tersenyum menanggapi, tak terlalu peduli mau dan akan di bawa kemana. Kejadian tadi malam masih amat membekas, siapa yang bisa merasa semangat setelah di perlakukan seperti wanita murahan?Meraih tas ransel putih yang dipakainya saat datang pertama kali ke rumah ini, Arinda memasukkan beberapa pasang pakaian ke dalamnya. Tak lupa dia juga memasukkan setelan baju pelaya
Alrix menghalau anjing kecil itu ke dalam kandang, khawatir jika dia akan terus mengikutinya sampai ke dalam kamar Tuan Mudanya. Anjing kecil itu menyalak manja, seakan tak ingin di tinggal olehnya dan ingin selalu mengikuti kemanapun Alrix pergi. Namun, Alrix hanya mengusap kepalanya dan menutup pintu kandang kecil berisi beberapa ekor anjing yang ada di teras villa.Selepas mengurus anjing yang terus menyalak, pria yang memiliki sifat sabar itu melangkah lebar. Menaiki tangga untuk menyusul Tuan Mudanya ke kamar. Saat baru berbalik ke lorong kanan, dia melihat Deondra tengah berdiri tegak di depan pintu."Kenapa Tuan Muda tidak langsung masuk?" batinnya bingung, menghentikan langkahnya tak jauh dari sana.Dia melihat tangan Deondra terangkat, seakan tengah menghalangi seseorang agar tak keluar dari sana."Sedang apa kau di kamarku?" Terdengar suara Deondra yang seakan bicara dengan seseorang. Alrix menajamkan lagi pendengarannya.
Alrix menggeleng tak percaya saat melihat apa yang sudah terjadi di hadapannya. Dia beralih pada kepala pelayan yang ada di sampingnya, yang langsung menunduk sopan."Kau tahu bahwa Tuan Muda sudah mulai memiliki perasaan pada gadis ini, bukan?" Alrix bertanya yang langsung di pahami maksudnya oleh Kepala pelayan. "Jadi, simpan dulu rahasia ini dari para pelayan lain. Buatlah alasan yang jelas tentang hubungan kedua orang ini agar mereka tidak curiga pada Arinda. Kau mengerti?""Mengerti, Tuan."Kepala pelayan itu mengangguk lagi, lalu undur diri saat mendapat perintah lewat gestur wajah. Kembali melihat kearah Tuan Muda dan Arinda. Dua sosok itu sedang diam satu sama lain, saling menatap dengan wajah datar, seperti sesama teman, bukan seperti pelayan pada majikan."Bagaimana ceritanya kau bisa di kejar anjing-anjing itu, Arin?" Alrix mendekat, membuat Arinda mencebikkan bibirnya karena kesal mengingat insiden yang baru saja di ala
Arinda duduk di antara batu-batu sungai berair hangat tak jauh dari villa. Memandangi arus sungai yang mengalir, terbelah saat menghantam bebatuan yang di lewatinya. Kakinya terjuntai menyibak air, tak ada niatan mau ikut mandi seperti teman-temannya yang lain."Bagaimana keadaan Ayah?" gumamnya menatap langit yang membiru.Lima hari ini hanya itu saja yang dia pikirkan. Seusai pertanyaan Alrix, dia seperti berencana untuk mengunjungi Ayahnya dalam waktu dekat. Dia ingin menatap wajah ayahnya, bicara dan mengadu tentang semua rasa sakit yang di alaminya. Walaupun tahu ayahnya takkan menjawab ataupun mendengar, setidaknya ada seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya."Kamu tidak ikut mandi?" Seseorang menegurnya, membuat Arinda mendongak."Eh, tidak, Kak. Aku tidak biasa mandi di tempat terbuka seperti ini," balasnya sambil tersenyum.Pelayan pria itu balas tersenyum kecil. Dia duduk di batu yang bersebelahan dengan