Alrix membuka pintu mobil di depan pintu utama, sebelum akhirnya sebelah kaki jenjang dibalut sepatu hitam mengkilat keluar dari sana. Para pelayan yang menyambutnya menunduk, begitupun dengan salah seorang pelayan baru yang sudah baru tiba tadi siang dan langsung di make-over oleh para pelayan senior, membuatnya menjadi lebih rapi, cantik dan elegan dengan perpaduan pakaian khas pelayan dengan rok span selutut. Rambutnya di ikat satu, dengan surai yang dibiarkan jatuh di sisi kanan wajahnya.
Deondra, nama Tuan Muda rumah utama itu. Tatapan angkuhnya menelisik para pelayan, menatap kelima orang wanita yang tengah berbaris rapi di depannya. Jadwal penyambutan yang bergantian, sehari sekali hanya lima orang pelayan yang menyambutnya pulang, empat belas lagi akan diurutkan besok. Kecuali, kepala pelayan. Dia perlu setiap hari menyambut kepulangan Deondra.
Melangkah pongah Deondra melewati para pelayan yang menyambutnya, semakin menundukkan kepala mereka dalam. Masing-masing menahan napas saat aroma maskulin dari parfum Tuan Mudanya yang tertinggal, merasa tak pantas bahkan hanya untuk menghirupnya.
Diikuti oleh Alrix, Deondra memasuki kamarnya dan langsung melepas dasi. Deondra membuka jas hitamnya, lalu menyampirkannya di lengan sofa, tempat dia mendudukkan tubuh letihnya di sana.
"Siapa pelayan baru itu, Alrix?" Deondra bertanya, hal yang selalu dia lakukan jika ada pelayan baru.
"Namanya Arinda Arsymita, Tuan. Dia seorang gadis dua puluh dua tahun dan masih kuliah semester lima di Universitas Negeri Kota." Alrix berkata, menyodorkan photo Arinda dan juga berkas tanda tangan perjanjian kerja.
Deondra menatap photo wanita muda yang di sebut sekretarisnya. Gadis dengan wajah ceria dan memakai pakaian santai itu membuatnya sedikit tertegun. Entah hatinya sedang mengartikan apa, hanya saja tatapannya seakan tertarik pada wajah dan juga senyuman lebar Arinda. Setelah sekian lama dirinya yang tak ingin menyukai wajah wanita manapun.
"Dia jauh dari kata cantik dan dia seorang pelayan. Berapa usianya tadi?"
Alrix tersenyum mendengar ucapan Tuan Mudanya yang terkenal angkuh namun kadang suka menjatuhkan kepercayaan diri orang lain itu.
Menunduk sopan, Alrix berkata.
"Dua puluh dua tahun, Tuan Muda. Mulai saat ini Arinda adalah pelayan wanita paling muda di rumah utama."
Deondra diam, masih menatap selebaran photo yang ada di tangan kanannya itu dengan wajah angkuh. Wajar, orang kaya pasti akan berwajah seperti itu.
"Dua puluh dua tahun? Kenapa harus sama dengan usia wanita gila itu?"
Deondra berdesis kesal sambil melemparkan photo Arinda ke lantai, teringat tentang seseorang. Di sandarkannya tubuh di sofa, memejamkan matanya demi mengusir bayangan masa lalu.
***
"Nikahin aku, Deon. Mau sampai kapan kita menjalin hubungan tanpa ikatan janji suci?"
Seorang wanita berseru kencang, membuat Deondra menatapnya sambil tersenyum.
"Tunggulah diwaktu yang tepat, Anne. Aku akan segera menikahimu," ujar Deondra lembut.
Anne menatapnya kesal, ucapan itu sudah cukup sering di dengarnya. "Kapan? Aku sudah muak mendengarnya, Deon! Kau tidak pernah menepati janjimu! Apa karena banyak wanita yang mengejar dan mendambakanmu makanya kamu selalu menunda-nunda rencana lamaranmu? Tidakkah kamu tahu, bagaimana perasaanku?"
Anne meraung, rasa cemburunya amat kuat. Dia tak suka melihat Deondra yang merupakan kekasih resminya di kejar-kejar oleh para wanita. Hatinya sakit, takut jika Deondra berkhianat dan itu bisa membuat hubungan mereka merenggang.
"Percayalah, Sayang. Aku hanya perlu selangkah lagi untuk menemui orang tuamu. Bukankah mereka menginginkan seorang menantu yang sempurna? Ayahku sudah menjanjikan untuk memberikan separuh sahamnya untukku jika aku berhasil membuat anak perusahaannya berkembang. Sabarlah, aku tengah berusaha untuk menjadi lebih baik agar kelak kamu bahagia denganku!"
Anne yang sudah kalap dengan perasaan cemburunya, tak mau menjawab. Dia meraih tas di atas kursi taman dan berlalu dari sana.
"Anne ...."
Deondra mencekal tangan kekasihnya lembut, membuat Anne berhenti melangkah tapi tak berniat membalikkan tubuhnya.
"Tunggulah sampai aku bisa membanggakan sesuatu pada kedua orang tuamu, Anne. Kamu jangan marah padaku, aku mencintaimu ...." Deondra berkata penuh harap.
Tapi Anne sudah kesal penuh padanya. Dua tahun pacaran, dia selalu di beri harapan tanpa kepastian. Dia tahu Deondra mencintainya, tapi itu tak cukup untuk membuat ayahnya percaya. Apalagi setiap hari Anne harus menahan cemburunya saat melihat tatapan penuh damba di mata para wanita yang ada di penjuru kota.
"Aku mau pulang, lepaskan tanganku!" Disentaknya cekalan Deondra hingga terlepas, lalu berjalan pergi.
"Anne, jangan seperti ini ...." Deondra tak mendapat respon, hanya punggung Anne yang semakin jauh meninggalkannya.
Setelah kejadian itu, Deondra mulai mendapatkan beberapa masalah. Orang tuanya yang berniat liburan dengan sang kekasih tiba-tiba di kabarkan kecelakaan, membuat seluruh dunianya bergetar. Deondra amat sangat menyayangi orang tuanya, bahkan tak orang lain tak bisa menafsirkan seberapa besar kasih sayang Deondra pada ayah dan ibunya. Hingga pada saat keduanya koma, itu adakan hal yang paling mengejutkan dan membuat Deondra kehilangan semangat.
Tak peduli pada apapun, Deondra fokus pada keadaan dua orang yang paling berjasa dalam hidupnya itu. Bahkan perusahaan kedua orang tuanya dibiarkan Deondra di pegang oleh Anne, yang entah mengapa baik-baik saja padahal berada dalam satu mobil yang kecelakaan. Deondra tak sempat memikirkan itu, dia lebih banyak menghabiskan waktu dan pikirannya pada kesembuhan kedua orang tuanya. Hingga Alrix yang berada di luar negeri saat itu langsung pulang, berusaha membantu untuk meng-handle perusahaan.
Di sanalah musibah kedua terbuka. Anne terbukti berkhianat, dia sengaja merencanakan kecelakaan dan berniat mengambil alih semua perusahaan. Anne tahu, Deondra tidak akan mempedulikan perusahaan jika kedua orang tuanya sedang tidak baik-baik saja. Mengambil kesempatan itu, Anne mulai mengubah surat kuasa. Tindakannya terhenti dan ketahuan saat kedatangan Alrix, asisten pribadi Deondra. Dia memergoki Anne yang langsung melarikan diri akibat ketahuan dan tahu sedang dalam pengejaran Alrix. Rasa kecewa dan sakit hatinya semakin membesar, membuatnya berniat untuk membuat Deondra menderita sebelum dia menjalani kehidupan yang menunggu dia selanjutnya.
Saat Deondra tertidur di samping ranjang kedua orang tuanya. Anne menjalankan tugas, dia melepas alat pernapasan dan memasukkan cairan penghenti detak jantung ke dalam botol infus. Niat jahatnya berhasil, tak lama setelah itu kedua orang tua kekasihnya langsung meregang nyawa. Dan saat itu juga dia di buru pihak kepolisian dan berhasil tertangkap. Namun, sebelum di jebloskan dalam penjara Anne berhasil lolos. Dengan sisa tenaga dan rasa ketakutannya, Anne berlari sejauh mungkin dan menghilang dari kehidupan Deondra. Saat itu, Deondra tak mempedulikannya karena masih berkabung. Dan dari sana juga, temperamen dan diri Deondra berubah menjadi seseorang yang tak di kenali, bahkan oleh orang terdekatnya.
"Aku bersumpah takkan pernah lagi jatuh cinta, dan mulai detik ini aku membenci semua wanita!"
Di saksikan Alrix para pelayar dan juga kedua temanya, Deondra berucap dingin di bawah langit mendung pemakaman orang tuanya. Wajahnya mulai berubah angkuh, bola matanya memercikkan sorot kebencian dan luka yang mendalam. Diremasnya gundukan tanah merah pemakaman, pupil matanya yang mulai memerah kini sudah mengeluarkan air mata.
"Aku benci wanita seumur hidupku. Dan kalian semua adalah saksi dari ucapanku!"
Langit seketika menggelegar, rintik hujan mulai turun ke tanah, seakan turut menjadi saksi atas sumpah dan kesedihan pria malang ini.
***
"Usianya membuatku kesal. Apakah kamu pernah memikirkan tentang ini sebelumnya, Alrix?" sentaknya kesal, emosinya mulai meluap hanya karena sebetik kesalahan.
Alrix menundukkan kepalanya. "Maafkan saya, Tuan Muda. Saya akan memecatnya!"
"Untuk apa lagi? Perbuatanmu itu tak bisa membuat rasa kesalku hilang!"
"Lalu apa yang anda ingin saya lakukan, Tuan?"
Akhirnya bertanya, hal yang bisa dia lakukan jika sudah tak bisa menenangkan pikiran dan emosi Deondra.
"Biarkan saja dia." Alrix tersentak, menatap kearah Tuannya yang tengah tersenyum sinis. "Dia akan menjadi mainan yang bagus untukku. Karena menurut pandanganku, wajahnya cukup menarik juga."
Mata Alrix membesar mendengar ucapan Deondra. Apakah dia tak salah mendengar? Tadi, Tuan Mudanya itu memuji seorang pelayan?
Pikiran Alrix tiba-tiba berlarian, mengingat bagaimana wanita itu melamar pekerjaan padanya, menatap Deondra yang tengah memandangi photo Arinda yang tergeletak mengenaskan di atas lantai.
Bersambung!
Malam hari, Arinda memasuki kamar khusus pelayan yang di berikan untuknya. Sesaat senyum cerahnya berganti menjadi rasa lelah dan juga perasaan sesak.Siang tadi masih mengingat bagaimana dia yang menjatuhkan tubuhnya ke lantai rumah sakit setelah mendengar kabar dari dokter yang mengatakan kondisi ayahnya. Dia memeluk lututnya, menenggelamkan kepalanya di sana, menangis terisak."Arin, kamu yang kuat, ya? Ayah kamu pasti akan baik-baik saja," ucap Reta, sahabat Arinda itu berjongkok dan memeluknya."Ayah koma, Reta. Usahanya juga bangkrut akibat kebakaran itu, bagaimana ... bagaimana aku bisa membayar biaya pengobatannya?" Terisak Arinda bertanya, air matanya bercucuran di pipinya yang putih."Sabar, Arin, Sabar. Ini cobaan, kamu adalah wanita kuat yang pernah aku temui. Semuanya akan baik-baik saja, ayahmu akan bangun. Sebaiknya kamu ikut aku, ayo!" Reta menarik tangannya, sambil beranjak bangkit
"Semua biaya pengobatan Ayah Nona satu bulan terakhir sudah lunas, bahkan biaya rumah sakitnya juga sudah dibayar dari uang yang Nona berikan untuk sebulan ke depan." Arinda menerima tanda pembayaran dari suster bagian administrasi, lalu segera menandatanganinya dan menyerahkannya kembali. "Terima kasih untuk keringanannya dua bulan ini, Suster. Bulan depan saya akan datang lagi untuk membayar biaya pengobatan selanjutnya." Suster itu tersenyum. "Baik, Nona. Akan saya tunggu kedatangan Nona. Untuk Ayah anda, kami akan menjaganya dengan baik. Semangat bekerjanya ya, Nona." Arinda tersenyum. Suster itu memang tahu apa yang dialami oleh Arinda dua bulan lalu. Saat seorang gadis kecil dengan wajah gugup dan pucatnya turun dari ambulans yang diisi oleh seorang wanita tak bernyawa. Sedangkan dari ambulan yang satu lagi, seorang lelaki yang merupakan ayahnya dibawa turun dengan kondi
Dengan menahan semua rasa sakit dan air mata. Arinda mengenakan pakaian dan jubahnya, lalu segera meninggalkan kamar itu. Sampai di kamarnya, dia menjatuhkan tubuhnya di lantai kamar, menangis tersedu."Ayah, Bunda .... Arin sudah mengecewakan kalian ... Arin sudah kotor," ujarnya dengan suara serak, suaranya habis saat dia berusaha berontak ketika sang majikan melampiaskan hasrat padanya.Sesenggukan dengan perasaan yang menyayat di dalam hatinya. Arinda bahkan tak mampu menggerakkan tangannya untuk mengusap bahu. Tangisnya amat menyedihkan, seakan putus asa dan juga lelah."Apakah ini yang kudapatkan setelah menerima gaji tiga kali lipat itu? Ini tidak ada dalam perjanjian kerja itu 'kan? Tapi kenapa dia lakukan?"Pertanyaan yang tak dia ketahui apa jawabannya keluar, tapi kamarnya membisu takkan mampu ataupun bisa menjawab.Perlahan Arinda bangkit dengan susah payah, lalu
"Kamu tidak bisa melakukan kesalahan sekecil apapun di rumah ini. Karenanya, kamu dipecat!"Bak tersambar petir, tubuh Arinda langsung melemas mendengar ucapan itu. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca, dia beringsut mendekati Alrix dengan langkah perlahan. Arinda merasa takut jika harus mendekati Deondra, hingga langkahnya memilih Alrix untuk memohon.Arinda menangkup kan kedua tangannya di depan wajah, memohon."Saya mohon, Tuan Alrix. Jangan pecat saya, saya mohon. Bagaimana saya bisa membiayai pengobatan ayah saya jika saya di pecat?" Sesenggukan Arinda berkata membuat Alrix merasa iba.Deondra yang melihat hal itu, ingin rasanya langsung menonjok wajah Alrix. Entah apa penyebabnya, yang pasti dengan melihat Arinda menangis sudah cukup membuat jiwanya tercabik. Dia mendekati mereka dan menatap Arinda dengan ekspresi angkuh dan sulit di artikan."Semuanya ada pada kekua
"Tidak salah, Tuan. Hanya aneh saja, sekarang pilihan Anda sangat jauh berbeda dari yang dulu, ya?"Deondra menatap wajah Alrix datar, lalu menyunggingkan senyum miring."Dia hanya seorang pelayan, kata siapa dia pilihanku? Yang cocok itu, jika dia menjadi pilihan para petani di perkebunan teh. Aku? Memilih dia? Kamu pasti sudah gila!" Deondra bangkit, tak jadi makan karena sudah kehilangan selera.Alrix tersenyum kecut, tapi kemudian tersenyum tipis. "Jika begitu, saya ada niat untuk mendekatinya. Saya merasa Arinda memiliki daya tarik dan sikap seperti seorang putri kerajaan."Deondra yang mendengarnya hampir berbalik dan mencengkram kerah Alrix yang berjalan di belakangnya. Tapi, itu tak dia lakukan demi menjunjung tinggi harga dirinya."Cih, lakukan saja. Kamu dan dia 'kan sama. Sama-sama pelayanku!" Deondra berkata acuh, padahal tangannya sudah terkepal erat.
Deondra sedang tersenyum sendiri di balkon kamarnya, menatap langit biru yang menampilkan cuaca cerah hari ini. Dia sedang menunggu, menunggu datangnya gadis itu dan menggodanya. Bukankah selama ini itu yang dia dapatkan? Walaupun tak pernah menyentuh para wanita, tapi dirinya selalu di kejar-kejar, membuatnya congkak.Empat tahun lalu dia adalah Deondra yang menyenangkan. Mudah tersenyum dan tertawa bersama dengan para teman dan rekan kerjanya. Dia juga baik hati, penuh perasaan dan juga rendah diri. Hal itulah yang membuat para wanita mengejarnya, memujanya dan mendambakannya. Tapi semua sikap baiknya itu di injak-injak oleh Anne, wanita yang pernah masuk kedalam relung hatinya dan bertahta di sana.Dua tahun dia menjalin hubungan kasih dengan wanita itu. Bahagia dan menghabiskan waktunya dengan ceria. Deondra mencintai Anne sepenuh hati, tak pernah menyangka bahwa gadis itu adalah musuh dalam selimut. Tak pernah Deondra sadari, bahwa
"Apa maksudmu? Kapan aku menyentuhnya?" sentaknya kasar membuat Alrix tak berani lagi untuk melanjutkan ucapannya.Dia menunduk. "Maaf Tuan Muda, saya sudah berkata lancang."Deondra menatapnya, lalu membuang wajahnya dengan tatapan datar. Tapi tak bisa di pungkiri Deondra tengah mendesah sedikit lega, dia amat yakin, pasti Alrix tidak akan tahu apa yang sudah dia perbuat."Aku akan keluar malam ini, siapkan mobil." Deondra berkata, langsung melangkah dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana.Alrix berbalik, mengikuti Deondra yang berjalan memasuki kamarnya. Deondra menuju kearah rak, mengambil satu botol alkohol melangkah menuju sofa."Anda mau kemana?" Alrix bertanya, wajahnya terlihat cerah.Selama ini Tuan Mudanya itu selalu mengurung dirinya di kantor ataupun kamarnya. Tak pernah Deondra pergi ke tempat hiburan malam ataupun ber
Seketika seluruh isi Bar yang dimasuki oleh Deondra hening. Padahal tadi musik berdentum memekakkan telinga. Bahkan para bartender dan juga wanita penghibur yang awalnya meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa juga ikut melihat kearah pintu. Tak percaya dengan tatapan mata mereka yang menampilkan sosok Deondra. Pria dewasa yang amat berpengaruh di seluruh kota. Perusahaannya yang besar dan bercabang-cabang, cukup membuat namanya tersohor dan sosoknya amat di kenali di seantero kota.Kabar tentang Deondra yang menjauhkan diri dari hiburan malam, para wanita dan dunia luar cukup besar hingga sampai ke telinga masyarakat yang mengenalinya. Bahkan ada yang menyebarkan berita bahwa Deondra bersumpah untuk tak lagi ingin jatuh cinta. Sikapnya yang berubah 180° itu berhasil membuat orang-orang yang mengaguminya menjadi kecewa. Pasalnya dulu Deondra adalah seumpama malaikat tak bersayap yang rajin menyebarkan kebaikan dan juga tatapan penuh kasih sayangnya pada
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi