Deondra sedang tersenyum sendiri di balkon kamarnya, menatap langit biru yang menampilkan cuaca cerah hari ini. Dia sedang menunggu, menunggu datangnya gadis itu dan menggodanya. Bukankah selama ini itu yang dia dapatkan? Walaupun tak pernah menyentuh para wanita, tapi dirinya selalu di kejar-kejar, membuatnya congkak.
Empat tahun lalu dia adalah Deondra yang menyenangkan. Mudah tersenyum dan tertawa bersama dengan para teman dan rekan kerjanya. Dia juga baik hati, penuh perasaan dan juga rendah diri. Hal itulah yang membuat para wanita mengejarnya, memujanya dan mendambakannya. Tapi semua sikap baiknya itu di injak-injak oleh Anne, wanita yang pernah masuk kedalam relung hatinya dan bertahta di sana.
Dua tahun dia menjalin hubungan kasih dengan wanita itu. Bahagia dan menghabiskan waktunya dengan ceria. Deondra mencintai Anne sepenuh hati, tak pernah menyangka bahwa gadis itu adalah musuh dalam selimut. Tak pernah Deondra sadari, bahwa Anne selalu membawa pisau tajam yang siap menusuknya dari belakang. Cintanya terlalu tulus, hingga akhirnya tersakiti.
Anne hampir mengambil alih kekuasaan dan perusahaan besar ayahnya. Wanita rakus dan gila harta itu hampir mendapatkan semuanya saat membawa kedua orang tuanya berlibur. Dia sengaja, sengaja menabrakkan mobil yang dikemudikannya kesebuah mobil minibus dan tak menyangka akan berakibat fatal. Mobil dirinya dan orang tua Deondra nyaris tewas di sana, kalau tidak datang para pengemudi yang membantu mereka keluar dari mobil. Ayah ibu Deondra sempat di rawat di rumah sakit ternama, dan Deondra masih mempercayai Anne untuk menjaga perusahaan sementara dia sendiri merawat dan menjaga kedua orang tuanya.
Kejadian miris itu terjadi secara berurutan. Sebelumnya Anne pernah meminta Deondra untuk segera menikahinya dan menyerahkan separuh saham milik Deondra padanya. Merasa hal itu tak masuk akal, Deondra menolak. Bagaimanapun harta dan saham-saham itu masih milik ayahnya, dia tak punya hak untuk memberikannya. Anne yang tak terima sempat menghilang beberapa hari, sebelum akhirnya datang lagi sebagai pahlawan sekaligus pengkhianat dan juga pembunuh kedua orang tua Deondra.
Masa berkabung Deondra membuatnya mempunyai kesempatan untuk mengambil alih sebagai pimpinan perusahaan. Bahkan sempat dia mengambil alih beberapa anak perusahaan sebelum akhirnya Alrix memergoki ulahnya dan melaporkan hal itu pada pihak berwajib.
"Empat tahun Anne ...." Deondra berkata datar, teringat perbuatan sang mantan kekasih yang entah ada di belahan bumi sebelah mana.
Dia menghela napasnya. "Empat tahun kau menimbulkan luka ini di dalam hatiku. Dan sekarang sudah mulai mengering."
Sesak, itu yang Deondra rasakan sejak kepergian orang tuanya dan juga pengkhianatan Anne. Hal itu yang membuatnya berubah drastis, dari Deondra yang berwajah penuh senyum menjadi Deondra yang angkuh dan menyebalkan bagi semua orang, termasuk Alrix.
Terkadang, sifat Deondra yang penuh kuasa, sering kali membuat beberapa pengusaha kecil kehilangan usahanya. Seperti saat dia mengambil alih kekuasaan orang-orang yang mengusiknya dan tanpa menunggu lama Deondra menghancurkan perusahaan-perusahaan menjadi debu. Hal itu membuatnya menjadi sosok yang di takuti, semua orang di kota menaruh rasa segan padanya. Namun walaupun begitu, tak sedikit juga orang-orang menjadikannya sebagai seorang pria yang penuh inspirasi. Terlepas dari kehebatan dan juga kebaikannya dulu yang telah berhasil memberikan dampak positif bagi anak-anak muda dan orang tua.
"Disaat luka ini mulai mengering, aku menimbulkan luka pada orang lain." Deondra berkata lagi, lebih pelan, wajahnya menimbulkan raut bersalah sesaat.
Tapi langsung hilang karena senyum miring yang terbit. Wajah angkuhnya mulai terlihat, disertai kilatan mata penuh kebencian.
"Aku membencimu, Anne. Bahkan jika Tuhan mengutukmu menjadi batu, aku tetap membencimu! Kau yang sudah membunuh kedua orang tuaku," ujar Deondra jijik, matanya menatap nanar kearah samping rumahnya.
Bayangan percintaan yang di lakukannya dengan Arinda kembali hadir. Membuat tangannya terkepal entah sedang memikirkan apa. Jiwanya yang tinggi, tak akan pernah mengakui bahwa itu kesalahannya. Semua wanita pasti akan menyukainya, termasuk Arinda, begitulah pemikirannya.
Dia memang menjadi seseorang yang tak peduli apapun sejak empat tahun lalu. Kebenciannya yang mendarah daging pada Anne, membuatnya membenci semua wanita. Tapi, tidak dengan Arinda. Dia seakan tak bisa membenci pelayan itu. Walaupun Deondra tak menyadarinya, karena sifatnya yang tak pernah mau mengakui kelemahan atau sesuatu yang mulai salah dalam hatinya.
"Tuan Muda." Suara Alrix yang memanggilnya tak dia pedulikan, tubuhnya tetap berdiri tegak membelakangi sekretaris yang sudah membuatnya menodai Arinda.
Tapi itu tak dia sadari juga, Deondra tak pernah tahu bahwa dia sedang cemburu dan tak pernah mempedulikan keadaan hatinya yang mulai berubah saat ini.
"Ada yang Anda butuhkan?" Alrix bertanya, tapi Deondra tak segera menjawab.
Pikirannya teringat sesuatu. "Sudahkah kau menemukannya?"
Alrix yang paham arah pembicaraan Deondra tersentak. Sejak kapan Tuan Muda nya itu mau membahasnya lagi? Selama ini dia ingat betul, jangankan membahasnya langsung, teman-temannya yang lain menceritakannya pun Deondra sudah murka.
"Kenapa Tuan Muda bertanya hal ini?" tanya Alrix pelan, takut jika Tuan mudanya kembali terluka.
Deondra terdiam, tersadar sesuatu yang salah dari ucapannya. Alrix yang menyadari hal itu juga diam, berpikir bahwa mungkin Tuan Mudanya salah bicara atau ada arti lain.
"Lupakanlah," ucapnya datar, lalu berbalik sambil bersedekap.
"Kau sudah menemuinya?" Wajah angkuh dan penuh ejekan timbul, mengusir kesedihan yang sempat menghampirinya.
Alrix menatap Deondra dengan wajah jengah, tapi kemudian dia menunduk sopan.
"Saya tidak bisa bertanya padanya, Tuan Muda. Wajahnya seperti kelelahan, dia masih menangis saat saya menemuinya tadi." Alrix berkata membuat Deondra tertegun sejenak, tapi tetap tak ingin mengakui bahwa itu kesalahannya.
"Biarkan saja, aku tak jadi memecatnya saja sudah bagus." Deondra melangkah, mendekati Alrix.
"Tubuhnya juga panas Tuan Muda. Maaf, saya ingin bertanya. Apakah saat Anda memintanya membersihkan pecahan kaca di kamar, sudah kelihatan bahwa dia sedang sakit?" tanya Alrix membuat langkah Deondra terhenti.
Dia menatap Alrix yang tampak cemas, hal itu membuat sedikit rasa kesal menghampiri dadanya.
"Tidak," tukasnya datar.
Mata Deondra menyipit, menatap Alrix dengan wajah penuh selidik.
"Kau bilang tadi tubuhnya panas?" tanyanya yang langsung di angguki oleh Alrix.
"Apakah kau menyentuhnya, Alrix? Kau menyentuh seorang pelayan?" tanya Deondra angkuh, tak sadar diri bahwa dia sendiri bahkan sudah lebih dari kata menyentuh.
Mata Alrix terbelalak, tak paham akan ucapan Tuan Mudanya yang entah mengartikan apa. Tapi kemudian dia punya cara untuk membalaskan ucapan sok angkuh dan penuh ejekan dari seorang Deondra itu.
"Iya, saya menyentuh dahinya dan juga lehernya untuk mengecek suhu tubuhnya, Tuan. Karena saya 'kan bukan Anda, yang membenci para wanita." Alrix berkata membuat Deondra menatapnya kesal.
"Dia merasa sok hebat begitu hanya karena sudah menyentuh dahi dan lehernya? Haha, aku bahkan sudah menyentuh hampir seluruh dari tubuhnya," batin Deondra, tak tahu malu.
"Kau merasa itu adalah hal yang hebat?" tanyanya dengan wajah dan suara mengejek.
"Apa hebatnya menyentuh tubuh dan kulit seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan? Apakah kamu tidak malu pada dirimu, Alrix?" tambahnya membuat Alrix seakan terpojok.
Tapi, meladeni Tuan Mudanya yang congkak dan angkuh, adalah kesehariannya. Dia sudah sering mendapatkan hinaan dan juga ejekan dari Deondra empat tahun terakhir.
"Tuan Muda, dengarkan saya." Alrix berkata, ingin menyadarkan Deondra agar masalah ini tak berlarut-larut.
"Apa? Kau ingin mengakui bahwa dirimu hebat?" Deondra berkata datar, walaupun sudut hatinya seakan tak terima jika Arinda di sentuh orang lain. Cih!
"Saya memang sudah menyentuhnya, saya bahkan biasa bersentuhan secara tak sengaja dengan beberapa wanita rekan bisnis kita. Tapi, bagaimana dengan Anda? Bukankah Anda sudah bersumpah tak akan menyentuh wanita lagi? Tapi, kenapa Anda malah menyentuh Arinda?"
Bola mata Deondra melebar saat mendengar ungkapan Alrix. Wajah angkuhnya tiba-tiba menghilang tanpa sadar. Deondra menatap bola mata Alrix yang tampak tenang itu dalam, mencari tahu sesuatu dari sana.
"Apakah Alrix tahu apa yang sudah kulakukan padanya tadi malam?"
Bersambung!
"Apa maksudmu? Kapan aku menyentuhnya?" sentaknya kasar membuat Alrix tak berani lagi untuk melanjutkan ucapannya.Dia menunduk. "Maaf Tuan Muda, saya sudah berkata lancang."Deondra menatapnya, lalu membuang wajahnya dengan tatapan datar. Tapi tak bisa di pungkiri Deondra tengah mendesah sedikit lega, dia amat yakin, pasti Alrix tidak akan tahu apa yang sudah dia perbuat."Aku akan keluar malam ini, siapkan mobil." Deondra berkata, langsung melangkah dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana.Alrix berbalik, mengikuti Deondra yang berjalan memasuki kamarnya. Deondra menuju kearah rak, mengambil satu botol alkohol melangkah menuju sofa."Anda mau kemana?" Alrix bertanya, wajahnya terlihat cerah.Selama ini Tuan Mudanya itu selalu mengurung dirinya di kantor ataupun kamarnya. Tak pernah Deondra pergi ke tempat hiburan malam ataupun ber
Seketika seluruh isi Bar yang dimasuki oleh Deondra hening. Padahal tadi musik berdentum memekakkan telinga. Bahkan para bartender dan juga wanita penghibur yang awalnya meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa juga ikut melihat kearah pintu. Tak percaya dengan tatapan mata mereka yang menampilkan sosok Deondra. Pria dewasa yang amat berpengaruh di seluruh kota. Perusahaannya yang besar dan bercabang-cabang, cukup membuat namanya tersohor dan sosoknya amat di kenali di seantero kota.Kabar tentang Deondra yang menjauhkan diri dari hiburan malam, para wanita dan dunia luar cukup besar hingga sampai ke telinga masyarakat yang mengenalinya. Bahkan ada yang menyebarkan berita bahwa Deondra bersumpah untuk tak lagi ingin jatuh cinta. Sikapnya yang berubah 180° itu berhasil membuat orang-orang yang mengaguminya menjadi kecewa. Pasalnya dulu Deondra adalah seumpama malaikat tak bersayap yang rajin menyebarkan kebaikan dan juga tatapan penuh kasih sayangnya pada
Arinda menjatuhkan tubuhnya ke ranjang miliknya setelah menyelesaikan tugas akhir. Diraihnya ponsel yang dia charger di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, memeriksanya sebentar. Karena tak ada yang penting, diletakkannya ponsel itu sembarangan lalu menatap langit-langit kamar."Kapan Ayah bangun? Sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali," ungkapnya sedih, dia menghela napasnya pelan.Termenung sendirian sampai tak sadar air matanya sudah mengalir melewati pelupuk. Seharian ini dia berusaha kuat, berusaha terlihat kuat saat ada pelayan senior yang menyapa dan berbincang dengannya. Arinda masih berusaha memancarkan senyum, menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Padahal, seluruh hatinya hancur dan pikirannya sedang bertengkar dengan semua bayangan malam itu yang selalu bergentayangan di kepalanya.Arinda hanya seorang gadis rapuh, manja dan juga mudah merasa hancur. Kasih sayan
"Siapa?" batin Alrix.Tapi Alrix tak berani menanyakannya langsung. Dia tak ingin membuat hati Tuan Mudanya berubah lagi. Saat ini, dia sudah dapat melihat bahwa Deondra mulai tenang, mungkin sebentar lagi akan tertidur."Keluarlah Alrix, aku ingin sendiri." Deondra berkata membuat Alrix akhirnya mengangguk."Baik Tuan, jika anda butuh sesuatu saya ada dibawah," ucapnya."Hmm," sahut Deondra malas.Saat Alrix sudah terdengar menutup pintu, matanya terbuka lagi. Dia menatap pintu itu dengan tatapan mata yang menyiratkan sesuatu. Kesedihan, itulah yang dapat di lihat dari sorot mata itu. Sorot mata yang selama ini selalu dia rahasiakan."Biarlah, aku tetap ingin menjadi seperti ini. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tidak selemah dulu."Deondra bangkit dari duduknya, berjalan kearah balkon. Dia berdiri mematung, menatap pijar
Alrix membopong Deondra keluar dari mobil, dia mabuk dan tak sanggup membuka matanya. Namun dia masih sadar, seluruh tubuhnya dia berikan pada Alrix karena rasa malas yang menggerogoti dirinya. Di tambah rasa pening di kepalanya, membuatnya sedikit sempoyongan saat berjalan."Hati-hati, Tuan Muda."Alrix menaiki tangga penghubung antara halaman dan juga teras, sekalian memastikan kaki Deondra benar menaikinya. Setelahnya mereka masuk kedalam rumah.Pagi hari, para pelayan sudah hilir mudik mengerjakan isi rumah. Wajah mereka terlihat ingin tahu kenapa dengan Tuan mudanya? Tapi tak ada yang berani bertanya. Karena hal itu adalah sesuatu yang amat di larang di dalam peraturan rumah utama.Menaiki tangga, Alrix masih bersusah payah untuk membantu Deondra. Hingga tak lama kemudian seorang pelayan pria lewat membawa sapu panjang untuk membersihkan sarang laba-laba. Di belakangnya Arinda mengikuti sambil
Deondra keluar dari kamar mandi dengan memakai jubah handuk berwarna putih. Tubuhnya tampak segar, tetesan air di rambutnya, mengalir turun ke leher dan juga tengkuknya, menambah pesonanya yang semakin terlihat. Dia memang tampan, tubuhnya gagah dan juga memiliki pesona yang mengagumkan. Tidak hanya orang lain, Deondra sendiri mengakui hal itu.Ditariknya sebuah laci nakas, mengeluarkan map dari sana. Dia mengusap rambut basahnya sekilas, sebelum menjatuhkan tubuhnya ke ranjang lebar miliknya yang sudah tertata rapi. Spreinya sudah berganti warna, membuat pupil matanya membesar saat menyadari hal itu.Tanpa aba-aba, Deondra bangkit, meletakkan map yang di pegangnya di atas nakas lalu mulai menyingkap selimut untuk mencari sesuatu. Hilang! Bercak merah itu sudah tidak ada lagi di sana. Siapa yang sudah mengganti spreinya?Tanpa berpikir dua kali, Deondra langsung memencet remote pemanggil kepala pelayan, pasalnya Al
Arinda celingak-celinguk ke sana sini demi mencari keberadaan Riza. Dia sudah di sana selama lima belas menit, tapi sosok Riza yang meninggalkannya demi mengantar sang Tuan Muda sampai saat ini belum muncul."Mana sih Kak Riza? Kok tidak muncul juga?" Arinda bergumam, tangannya terangkat memijat pelipis yang terasa pusing."Arin!"Saat tengah memejamkan mata karena menahan pusing, seseorang memanggil nama dan sempat menyentuh pundaknya karena melihat tubuh Arinda yang sedikit terhuyung. Arinda membuka matanya, lalu tersenyum melihat siapa yang ada di hadapannya."Kok lama? Kakak darimana saja?" tanya Arinda, menatap wajah Riza yang berubah tak secerah tadi."Aku tadi...."Riza menghela napasnya, ragu dan juga takut untuk mengatakannya. Pasalnya baru kali ini dia di tantang oleh sang Tuan Muda. Entah apa kesalahannya Riza pun tak tahu.
"Tidak ada," jawab Deondra dingin, dia masih menatap Arinda sejenak sebelum tatapannya beralih ke arah Alrix.Deondra menatapnya sedikit kesal, kenapa sih Alrix suka sekali mengurusi urusannya? Menyebalkan sekali!"Aku hanya teringat sesuatu." Deondra berkata, sedikit bingung untuk melanjutkan."Ada yang tertinggal, Tuan?"Sementara Alrix bertanya, kedua pelayan itu memberanikan diri untuk permisi. Sepeninggal mereka, tatapan Deondra semakin terlihat datar."Kenapa dia biasa-biasa saja saat bertemu denganku?" tanya Deondra, dapat dilihat dengan jelas bahwa dia tengah kesal.Alrix mengernyit. "Arinda, maksud Anda?""Siapa lagi? Tidak mungkin wanita tua yangbersamanya tadi, 'kan!"Alrix meringis kecil, dia menoleh kearah yang di lalui oleh dua pelayan itu. "Dia belum tua, Tuan Muda. Usianya saja ma
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi