Dengan menahan semua rasa sakit dan air mata. Arinda mengenakan pakaian dan jubahnya, lalu segera meninggalkan kamar itu. Sampai di kamarnya, dia menjatuhkan tubuhnya di lantai kamar, menangis tersedu.
"Ayah, Bunda .... Arin sudah mengecewakan kalian ... Arin sudah kotor," ujarnya dengan suara serak, suaranya habis saat dia berusaha berontak ketika sang majikan melampiaskan hasrat padanya.
Sesenggukan dengan perasaan yang menyayat di dalam hatinya. Arinda bahkan tak mampu menggerakkan tangannya untuk mengusap bahu. Tangisnya amat menyedihkan, seakan putus asa dan juga lelah.
"Apakah ini yang kudapatkan setelah menerima gaji tiga kali lipat itu? Ini tidak ada dalam perjanjian kerja itu 'kan? Tapi kenapa dia lakukan?"
Pertanyaan yang tak dia ketahui apa jawabannya keluar, tapi kamarnya membisu takkan mampu ataupun bisa menjawab.
Perlahan Arinda bangkit dengan susah payah, lalu melangkah ke kamar mandi.
"Belum saatnya kamu menyerah Arin, tidak saatnya kamu rapuh hanya karena kejadian ini. Kamu harus bangkit agar Ayahmu tetap mendapat perawatan. Ini memang tidak baik, ini hal buruk yang pernah kamu alami. Tapi yakinlah bahwa ada Tuhan yang melihatnya, dia akan membantumu untuk kuat. Demi Ayahmu," ucapnya pada dirinya sendiri, seakan memberi semangat.
Air matanya keluar lagi saat melihat banyak tanda merah di area lehernya. Sakit, itu yang dia rasakan. Kenapa harus dia yang menjadi pelampiasan Deondra? Apa penyebabnya pun, Arinda tidak tahu. Sekarang, hatinya semakin remuk, tapi tujuannya masih harus tetap berlanjut.
Arinda tak bisa menyerah sekarang.
"Jika Ayahku bangun, dia pasti akan mengobati semua rasa sakit yang kualami saat ini ...."
***
Arinda bangun saat matahari belum menampakkan sinarnya. Tubuhnya seakan kaku, seluruhnya terasa sakit dan pegal. Mungkin karena kejadian yang menimpanya tadi malam.
Air mata mengalir lagi dari mata cantiknya. Dia merasa hancur kembali. Ingin mengadu pun tak tahu kemana. Tidak ada sandarannya lagi, hanya tinggal Ayahnya itupun tengah koma.
Perlahan dia bangkit, lalu menyibak selimut. Sakit, rasanya tulangnya remuk. Bergegas di ambilnya sebuah kotak obat yang tersedia di setiap kamar dan mengeluarkan obat pereda nyeri dari sana.
"Aku harus kuat, demi melihat Ayah bangun lagi," ucapnya menahan tangis, dia meremas obat yang di genggamnya.
Meraih gelas di atas lemari pendek, lalu meminumnya.
"Semua rasa sakit ini akan hilang, Arinda. Semua akan hilang, semua akan baik-baik saja," ujarnya terisak, menatap dirinya dengan kepala tertunduk.
Cobaan demi cobaan menimpanya. Seakan dia adalah seorang yang jahat, hingga Tuhan memberikan semua rasa sakit yang tiada henti. Kenapa dia? Kenapa diusia semuda ini dia harus menanggung semuanya? Apakah dia pernah berbuat salah? Apakah pernah dia menjadi orang yang jahat? Hingga Tuhan seakan membencinya.
"Dia melakukannya tanpa sadar, dia tak mungkin bertanggung jawab. Jika kelak aku hamil akibat perbuatannya, aku akan menjadi orang yang paling hina di dunia ini." Sesenggukan Arinda berkata, dia merasakan sesak yang amat luar biasa.
"Arinda." Sebuah suara di sertai ketukan pintu terdengar.
Arinda buru-buru menyeka air matanya sambil melangkah ke pintu. Walaupun tubuhnya sakit, tapi dia berusaha untuk menggapai handle pintu dan membukanya.
"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan suara serak.
Wanita paruh baya, teman sesama pelayannya itu menatapnya lurus. Untung saat ini Arinda memakai jaket hoodie, jadi tanda kissmark di sekitar lehernya itu tak bisa di lihat oleh temannya.
"Wajah kamu pucat, mata kamu sembab dan merah. Ada apa, Nak?" tanyanya lembut, membuka pintu kamar Arinda lebih lebar.
Wanita itu masuk dua langkah membuat Arinda mengusap matanya yang hampir meneteskan air lagi. Wanita di hadapannya mengingatkan Arinda pada sosok ibunya.
"Arinda sakit, Bu. Sepulang dari Makam kemarin sore," ucapnya sambil menggigit bibir, menahan agar tak menangis lagi.
"Ya ampun, perlu ke dokter? Ibu akan minta izin pada Tuan Alrix, bagaimana?" Arinda menggeleng.
"Tidak perlu, Bu." Arinda terisak, dia merasa malu jika harus menampakkan diri pada orang lain.
"Arinda hanya perlu mandi, nanti juga baik sendiri dan bisa kembali bekerja. Ibu jangan khawatir, Arinda kuat kok."
Wanita di hadapannya itu menatapnya sendu, seakan paham akan hal yang dirasakan Arinda, tapi tak tahu apa penyebabnya.
"Yasudah, kalau kedinginan kamu boleh pakai jaket. Hari ini jadwal kita cuma menyiapkan makan pagi untuk Tuan Muda. Setelahnya kamu bisa beristirahat," ucapnya membuat Arinda mengangguk.
"Arinda mandi dulu, Bu."
"Iya, ibu tunggu di dapur, ya?"
Wanita itu berlalu, Arinda langsung menutup pintu kamarnya dan menyandarkan diri di sana. Di tatapnya langit-langit kamar dengan mata di penuhi air mata.
"Tuhan, kuatkanlah aku, demi Ayah ...."
***
Deondra bangkit dengan wajah kusut, dia masih terbayang-bayang tentang kejadian yang dia lakukan tadi malam.
"Seharusnya aku tak melakukannya pada orang yang memang ku cintai," desisnya kesal, masih duduk menyandar.
"Tapi 'kan, aku belum tentu mencintainya. Bukannya dia pelayan, ya? Dia sudah semestinya melayani semua permintaanku."
Tangannya menyibak selimutnya yang terdapat bercak merah di sana.
Hatinya seakan diremas dengan kuat saat melihatnya, tanpa sadar dia merutuki kesalahannya yang sudah keterlaluan. Selama ini tak pernah dia menyentuh wanita hingga sejauh itu. Dia selalu bisa menahan dirinya pada siapapun, tapi kenapa dengan Arinda tidak?
"Aku harus apa jika melihatnya? Pura-pura tidak tahu?" Dia menggeleng sendiri.
"Apa aku harus minta maaf padanya? Tidak! Aku harus bertanggung jawab? Ah, tidak! Mengusirnya? Itu bisa di pertimbangkan. Atau membiarkannya tetap disini?"
Wajahnya acuh, walaupun merasa bersalah, dia bangkit mengambil sprei di lemari dan menimpa spreinya yang lama, menutupi bercak darah di sana.
"Atau aku harus menikahinya? Tidak mungkin! Dia hanya pelayan biasa. Lagipula perasaanku masih terlalu dangkal, aku juga tidak mau kecewa lagi dengan yang namanya cinta dan perempuan. Itu benar-benar ide gila!" Deondra memasang wajah datar, walaupun merasa bersalah jiwa angkuhnya tetap melambung tinggi.
Sama seperti Arinda, Deondra sebenarnya merasa amat sangat gusar. Sedih juga dia rasakan saat seorang wanita polos yang tak tahu apa-apa, menjadi korban kekurangajarannya. Tapi dia tak boleh luluh, anggap saja itu adalah balasan atas pengkhianatan mantan kekasihnya dulu.
Deondra langsung menatap kearah pintu, saat seseorang mengetuknya.
"Masuk!"
Dia sudah tahu itu Alrix, tanpa bicara Deondra mengambil kausnya yang tergeletak dan berjalan kearah sekretarisnya itu.
"Kamu lihat itu?" tanyanya angkuh sambil menunjukkan pecahan kaca dengan dagu.
Alrix mengikuti arah tunjukkan Deondra, lalu menatap lagi wajah Tuan Mudanya itu.
"Apa yang terjadi, Tuan?" tanyanya bingung.
"Arinda tak becus melakukan pekerjaannya. Aku memintanya membereskan kaca itu kemarin malam, tapi dia malah meninggalkannya di sana," ucapnya kesal, sengaja membohongi Alrix.
Mata Alrix melebar, lalu menggeram kesal. "Maafkan saya Tuan Muda. Akan saya tegur dia sekarang juga."
Sudut hati Deondra tertampar keras, saat dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Alrix yang langsung marah dan berbalik. Apakah mereka memang tak punya hubungan apa-apa? Shit!
"Alrix," panggilnya membuat langkah Alrix terhenti, dia berbalik dan menunduk sopan.
"Ada yang Tuan butuhkan lagi?" tanyanya membuat Deondra mendekat.
"Pecat dia, aku juga tak ingin semakin terikat perasaan dengan gadis ceroboh sepertinya."
Alrix langsung mengangguk membuat jiwa Deondra meradang. "Akan saya lakukan Tuan. Maaf, mungkin dia ceroboh begini karena semalam baru mengunjungi Ayahnya yang tengah koma."
Telapak tangan Deondra mengepal kuat penuh rasa bersalah. Tapi dia sama sekali tak mempedulikannya, walaupun matanya mulai memerah saat mendengar ucapan Alrix.
"Tunggulah disini, setelah aku selesai mandi kita akan bertemu dengannya di meja makan." Alrix kembali mengangguk.
"Baik Tuan. Saya akan keluar untuk meminta pelayan membersihkan ini." Deondra mengangguk acuh, langsung berjalan menuju kamar mandi.
"Aku harus bersikap datar padanya, nanti juga dia akan mulai menerima dan memuja diriku yang sempurna ini." Deondra bergumam, masuk ke dalam kamar mandi.
***
Tubuh Arinda sudah bergetar saat melihat Deondra yang datang bersama dengan Alrix. Tanpa sadar, tangannya terangkat dan menaikkan kerah jaket hoodie yang di pakainya. Bahkan hal itu tak luput dari perhatian Deondra yang sudah di dekatnya.
"Apakah di sana ada kissmark yang ku tinggalkan?" batinnya mengingat-ingat, dia bahkan menatap wajah Arinda yang sembab dan memucat.
"Pergilah bantu yang lain, Bu. Ada hal penting yang harus kami bicarakan dengan Arinda." Alrix berkata sopan, meminta pelayan wanita paruh baya itu menjauh.
Mendengar itu Arinda langsung bergerak memegang tangan wanita itu, matanya sudah mulai mengeluarkan air.
"Jangan tinggalkan saya, Bu."
Deondra yang mendengar suara parau dan serak dari Arinda tanpa sadar meninju meja makan di hadapannya. Melampiaskan kekesalan atas dirinya, tapi hal itu malah di salah artikan oleh wanita paruh baya dan Arinda yang seketika memucat.
"Maaf, Arinda. Saya harus membantu yang lain. Setelah ini kamu bisa beristirahat agar cepat sembuh, ya?" Wanita itu mengusap air mata gadis sebelum berlalu, meninggalkan Arinda dengan tubuh yang gemetar hebat bersama dengan kedua pemuda di hadapannya.
"Kamu sudah melakukan kesalahan dengan meninggalkan pekerjaan di kamar Tuan Muda, Arinda." Suara Alrix yang datar membuat Arinda meremas ujung pakaiannya.
"Kesalahan yang mana ya, Tuan?" Pelan suaranya terdengar, kepalanya tertunduk dalam.
"Pecahan kaca di kamar Tuan Muda. Kenapa kamu tidak membuangnya?" Arinda menahan tubuhnya yang hampir terhuyung kaget, dia mendongak menatap Alrix yang kembali bicara.
"Kamu tidak bisa melakukan kesalahan sekecil apapun di rumah ini. Karenanya, kamu dipecat!"
Bersambung!
"Kamu tidak bisa melakukan kesalahan sekecil apapun di rumah ini. Karenanya, kamu dipecat!"Bak tersambar petir, tubuh Arinda langsung melemas mendengar ucapan itu. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca, dia beringsut mendekati Alrix dengan langkah perlahan. Arinda merasa takut jika harus mendekati Deondra, hingga langkahnya memilih Alrix untuk memohon.Arinda menangkup kan kedua tangannya di depan wajah, memohon."Saya mohon, Tuan Alrix. Jangan pecat saya, saya mohon. Bagaimana saya bisa membiayai pengobatan ayah saya jika saya di pecat?" Sesenggukan Arinda berkata membuat Alrix merasa iba.Deondra yang melihat hal itu, ingin rasanya langsung menonjok wajah Alrix. Entah apa penyebabnya, yang pasti dengan melihat Arinda menangis sudah cukup membuat jiwanya tercabik. Dia mendekati mereka dan menatap Arinda dengan ekspresi angkuh dan sulit di artikan."Semuanya ada pada kekua
"Tidak salah, Tuan. Hanya aneh saja, sekarang pilihan Anda sangat jauh berbeda dari yang dulu, ya?"Deondra menatap wajah Alrix datar, lalu menyunggingkan senyum miring."Dia hanya seorang pelayan, kata siapa dia pilihanku? Yang cocok itu, jika dia menjadi pilihan para petani di perkebunan teh. Aku? Memilih dia? Kamu pasti sudah gila!" Deondra bangkit, tak jadi makan karena sudah kehilangan selera.Alrix tersenyum kecut, tapi kemudian tersenyum tipis. "Jika begitu, saya ada niat untuk mendekatinya. Saya merasa Arinda memiliki daya tarik dan sikap seperti seorang putri kerajaan."Deondra yang mendengarnya hampir berbalik dan mencengkram kerah Alrix yang berjalan di belakangnya. Tapi, itu tak dia lakukan demi menjunjung tinggi harga dirinya."Cih, lakukan saja. Kamu dan dia 'kan sama. Sama-sama pelayanku!" Deondra berkata acuh, padahal tangannya sudah terkepal erat.
Deondra sedang tersenyum sendiri di balkon kamarnya, menatap langit biru yang menampilkan cuaca cerah hari ini. Dia sedang menunggu, menunggu datangnya gadis itu dan menggodanya. Bukankah selama ini itu yang dia dapatkan? Walaupun tak pernah menyentuh para wanita, tapi dirinya selalu di kejar-kejar, membuatnya congkak.Empat tahun lalu dia adalah Deondra yang menyenangkan. Mudah tersenyum dan tertawa bersama dengan para teman dan rekan kerjanya. Dia juga baik hati, penuh perasaan dan juga rendah diri. Hal itulah yang membuat para wanita mengejarnya, memujanya dan mendambakannya. Tapi semua sikap baiknya itu di injak-injak oleh Anne, wanita yang pernah masuk kedalam relung hatinya dan bertahta di sana.Dua tahun dia menjalin hubungan kasih dengan wanita itu. Bahagia dan menghabiskan waktunya dengan ceria. Deondra mencintai Anne sepenuh hati, tak pernah menyangka bahwa gadis itu adalah musuh dalam selimut. Tak pernah Deondra sadari, bahwa
"Apa maksudmu? Kapan aku menyentuhnya?" sentaknya kasar membuat Alrix tak berani lagi untuk melanjutkan ucapannya.Dia menunduk. "Maaf Tuan Muda, saya sudah berkata lancang."Deondra menatapnya, lalu membuang wajahnya dengan tatapan datar. Tapi tak bisa di pungkiri Deondra tengah mendesah sedikit lega, dia amat yakin, pasti Alrix tidak akan tahu apa yang sudah dia perbuat."Aku akan keluar malam ini, siapkan mobil." Deondra berkata, langsung melangkah dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana.Alrix berbalik, mengikuti Deondra yang berjalan memasuki kamarnya. Deondra menuju kearah rak, mengambil satu botol alkohol melangkah menuju sofa."Anda mau kemana?" Alrix bertanya, wajahnya terlihat cerah.Selama ini Tuan Mudanya itu selalu mengurung dirinya di kantor ataupun kamarnya. Tak pernah Deondra pergi ke tempat hiburan malam ataupun ber
Seketika seluruh isi Bar yang dimasuki oleh Deondra hening. Padahal tadi musik berdentum memekakkan telinga. Bahkan para bartender dan juga wanita penghibur yang awalnya meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa juga ikut melihat kearah pintu. Tak percaya dengan tatapan mata mereka yang menampilkan sosok Deondra. Pria dewasa yang amat berpengaruh di seluruh kota. Perusahaannya yang besar dan bercabang-cabang, cukup membuat namanya tersohor dan sosoknya amat di kenali di seantero kota.Kabar tentang Deondra yang menjauhkan diri dari hiburan malam, para wanita dan dunia luar cukup besar hingga sampai ke telinga masyarakat yang mengenalinya. Bahkan ada yang menyebarkan berita bahwa Deondra bersumpah untuk tak lagi ingin jatuh cinta. Sikapnya yang berubah 180° itu berhasil membuat orang-orang yang mengaguminya menjadi kecewa. Pasalnya dulu Deondra adalah seumpama malaikat tak bersayap yang rajin menyebarkan kebaikan dan juga tatapan penuh kasih sayangnya pada
Arinda menjatuhkan tubuhnya ke ranjang miliknya setelah menyelesaikan tugas akhir. Diraihnya ponsel yang dia charger di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, memeriksanya sebentar. Karena tak ada yang penting, diletakkannya ponsel itu sembarangan lalu menatap langit-langit kamar."Kapan Ayah bangun? Sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali," ungkapnya sedih, dia menghela napasnya pelan.Termenung sendirian sampai tak sadar air matanya sudah mengalir melewati pelupuk. Seharian ini dia berusaha kuat, berusaha terlihat kuat saat ada pelayan senior yang menyapa dan berbincang dengannya. Arinda masih berusaha memancarkan senyum, menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Padahal, seluruh hatinya hancur dan pikirannya sedang bertengkar dengan semua bayangan malam itu yang selalu bergentayangan di kepalanya.Arinda hanya seorang gadis rapuh, manja dan juga mudah merasa hancur. Kasih sayan
"Siapa?" batin Alrix.Tapi Alrix tak berani menanyakannya langsung. Dia tak ingin membuat hati Tuan Mudanya berubah lagi. Saat ini, dia sudah dapat melihat bahwa Deondra mulai tenang, mungkin sebentar lagi akan tertidur."Keluarlah Alrix, aku ingin sendiri." Deondra berkata membuat Alrix akhirnya mengangguk."Baik Tuan, jika anda butuh sesuatu saya ada dibawah," ucapnya."Hmm," sahut Deondra malas.Saat Alrix sudah terdengar menutup pintu, matanya terbuka lagi. Dia menatap pintu itu dengan tatapan mata yang menyiratkan sesuatu. Kesedihan, itulah yang dapat di lihat dari sorot mata itu. Sorot mata yang selama ini selalu dia rahasiakan."Biarlah, aku tetap ingin menjadi seperti ini. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tidak selemah dulu."Deondra bangkit dari duduknya, berjalan kearah balkon. Dia berdiri mematung, menatap pijar
Alrix membopong Deondra keluar dari mobil, dia mabuk dan tak sanggup membuka matanya. Namun dia masih sadar, seluruh tubuhnya dia berikan pada Alrix karena rasa malas yang menggerogoti dirinya. Di tambah rasa pening di kepalanya, membuatnya sedikit sempoyongan saat berjalan."Hati-hati, Tuan Muda."Alrix menaiki tangga penghubung antara halaman dan juga teras, sekalian memastikan kaki Deondra benar menaikinya. Setelahnya mereka masuk kedalam rumah.Pagi hari, para pelayan sudah hilir mudik mengerjakan isi rumah. Wajah mereka terlihat ingin tahu kenapa dengan Tuan mudanya? Tapi tak ada yang berani bertanya. Karena hal itu adalah sesuatu yang amat di larang di dalam peraturan rumah utama.Menaiki tangga, Alrix masih bersusah payah untuk membantu Deondra. Hingga tak lama kemudian seorang pelayan pria lewat membawa sapu panjang untuk membersihkan sarang laba-laba. Di belakangnya Arinda mengikuti sambil
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi