Malam hari, Arinda memasuki kamar khusus pelayan yang di berikan untuknya. Sesaat senyum cerahnya berganti menjadi rasa lelah dan juga perasaan sesak.
Siang tadi masih mengingat bagaimana dia yang menjatuhkan tubuhnya ke lantai rumah sakit setelah mendengar kabar dari dokter yang mengatakan kondisi ayahnya. Dia memeluk lututnya, menenggelamkan kepalanya di sana, menangis terisak.
"Arin, kamu yang kuat, ya? Ayah kamu pasti akan baik-baik saja," ucap Reta, sahabat Arinda itu berjongkok dan memeluknya.
"Ayah koma, Reta. Usahanya juga bangkrut akibat kebakaran itu, bagaimana ... bagaimana aku bisa membayar biaya pengobatannya?" Terisak Arinda bertanya, air matanya bercucuran di pipinya yang putih.
"Sabar, Arin, Sabar. Ini cobaan, kamu adalah wanita kuat yang pernah aku temui. Semuanya akan baik-baik saja, ayahmu akan bangun. Sebaiknya kamu ikut aku, ayo!" Reta menarik tangannya, sambil beranjak bangkit.
"Kemana?" Suara paraunya terdengar, dia menatap sahabatnya sendu.
"Kita cari pekerjaan, pasti ada. Asalkan kamu niat," ujar Reta, Arinda terdiam.
"Sekarang? Ayahku bagaimana?"
Reta tersenyum, lalu menepuk pundak sahabatnya itu tulus.
"Saatnya kamu bangkit, Arin. Ayah kamu biar perawat yang menjaga. Ingat, uang pengobatan itu cuma bertahan satu minggu. Kamu harus mencari uang, agar perawatan Ayahmu tetap berjalan. Kamu mau Ayahmu sembuh, bukan?" Arinda mengangguk, menyeka air matanya.
"Mau," jawabnya lirih.
Reta tersenyum lagi.
"Kita cari Siskander, dia akan memberimu beberapa poster lowongan pekerjaan." Reta berkata, menarik tangan Arinda dari depan pintu ruangan inap. Arinda sempat menoleh sebentar, matanya kembali berembun, mengingat kejadian miris yang baru menimpanya dan juga orang tuanya.
"Aku akan bekerja, Ayah. Agar Ayah cepat bangun. Arin akan mengorbankan kuliah Arin, menghentikannya sebentar. Setelah Ayah bangun dan memiliki pekerjaan, barulah Arin akan kuliah lagi," batinnya menahan sakit.
Tapi tak ada pilihan lagi, Arinda harus kuat.
Bukankah selama ini ayahnya adalah pahlawan baginya?
Sebuah usapan dia lakukan untuk menyeka air mata. Dia menguatkan hatinya, sambil bergumam. "Aku pasti bisa, demi Ayah!"
Satu senyuman terbit di wajahnya. "Terima kasih, Tuhan. Kau sudah mengirimkan seorang sahabat yang baik seperti Reta. Demi membuatnya senang, aku akan bekerja dengan baik di sini."
***
Deondra tengah duduk dengan angkuhnya di kursi mewah meja makan. Namun, walaupun menampilkan wajah angkuh, tak bisa di pungkiri bahwa Deondra memperhatikan sosok pelayan yang tengah menata sarapan pagi yang masih mengepul asap diatasnya.
Selama sebulan ini, Arinda seakan berhasil mencuri perhatiannya setelah Deondra melihat photo dirinya. Deondra yang tak ingin jatuh cinta lagi, berusaha untuk menepis rasa itu dari dalam hatinya. Deondra tak pernah menyukai wanita, karena biasanya wanita yang tergila-gila padanya.
Tapi selama empat tahun ini dia menutup diri dari para wanita, karena tak ingin mengulang kembali kejadian yang menimpanya di masa lalu. Saat sang kekasih yang amat di cintainya mulai menampakan wujud aslinya. Berusaha mengambil alih semua kekayaan milik keluarganya dan berakibat fatal dengan wafatnya kedua orang tua Deondra yang terjebak kecelakaan yang di sengaja oleh wanita yang amat di sayanginya itu. Dari kejadian itulah, terkadang wajah angkuh Deondra terlihat. Dia membenci semua wanita hanya karena satu orang.
"Maaf Tuan, makanannya mulai dingin." Arinda berkata pelan, menyadarkan Deondra dari lamunan.
Deondra sempat tersentak kecil, dia menatap Arinda yang sudah stay di dekatnya, bersiap mengambilkan menu makan pagi yang ia minta.
Wajah cantik berbentuk lonjong Arinda yang tampak segar membuatnya terkesima. Pelayan wanita paling muda yang ada di rumahnya itu telah berhasil membuat jantungnya seakan berdebar. Bahkan sikap profesional yang di tunjukkan Arinda sebulan ini cukup membuatnya dapat di nilai sebagai gadis yang baik. Padahal usianya masih muda.
Dia memang bukan wanita sembarangan!
"Ambilkan aku steak dengan kentang grill." Deondra mengalihkan pandangan, menepis semua hal yang dirasakannya.
Dia harus tetap mempertahankan sikap angkuh dan sombongnya.
"Baik, Tuan."
Arinda sudah meraih penjepit saat Alrix sampai ke dapur. Bibirnya tersenyum tipis, saat melihat Tuannya yang seakan benar-benar ingin melupakan kesalahan wanita yang pernah menghancurkan hidupnya itu. Terbukti dari perintahnya satu bulan yang lalu, untuk menerima wanita-wanita muda yang melamar pekerjaan padanya. Tapi kesalnya, Alrix masih selalu melihat keangkuhan dari Tuan Mudanya itu. Entah apa yang bisa mengubahnya, yang pasti Alrix berdoa itu akan segera terjadi.
"Silakan di nikmati, Tuan." Arinda berkata sopan, menundukkan kepalanya sambil mundur ke sudut dapur.
Deondra diam tak selera menjawab, padahal sebenarnya ada sesuatu yang mulai salah di hatinya. Sudut matanya yang melihat Alrix masih berdiri di dekatnya, membuat satu alis tebalnya terangkat.
"Alrix!" Panggilan Deondra membuatnya terkesiap, langsung menunduk sopan.
"Iya, Tuan Muda?"
"Kemarilah, lebih dekat padaku." Perintah Tuan Muda dengan nada angkuhnya.
Mendengar itu, Alrik langsung bergerak tiga langkah tanpa bicara.
"Kamu menyukainya?" tanya Deondra datar, membuat Alrix tersentak.
"Maaf Tuan Muda. Siapa maksud Anda?" tanya Alrix sopan tapi Deondra justru mendengus pendek.
"Pelayan muda itu, kau menyukainya, bukan? Kenapa kau menatapnya selama itu?" Alrix diam, membiarkan Deondra berceloteh sambil mengunyah steak miliknya.
"Jawab aku, Alrix! Kau menyukainya?" sentak Deondra membuat Alrix tersenyum tipis.
Posisi Arinda yang sedikit jauh dari meja makan membuatnya mendengar samar pertanyaan Tuan Mudanya itu. Tapi Arinda tak mengerti maksudnya, entah apa dan menyukai siapa, yang pasti ikut campur urusan majikannya adalah hal utama yang dilarang di rumah ini. Membuatnya memilih diam dan menundukkan kepalanya dalam.
"Tidak, Tuan Muda. Mana mungkin saya berani menyukai gadis yang bahkan tidak saya ketahui asal usulnya. Saya menatapnya tadi karena teringat bahwa hari ini adalah hari pertama gajinya keluar semenjak dia bekerja," ujarnya lugas membuat Deondra terdiam.
"Kalau kamu menyukainya, nikahi saja dia. Agar aku punya alasan untuk tak melabuhkan hatiku padanya. Kau bisa menikahinya, Alrix. Aku tidak yakin akan perasaanku padanya, karena dia adalah gadis pertama yang kutemui setelah menjauh dari wanita-wanita lain di luar sana." Ucapan Deondra yang sedikit ketus dan angkuh itu membuat senyum tipis tertarik di wajah Alrix.
"Jika saya menikahinya, mungkin Anda akan menghancurkan hidup saya, Tuan Muda. Saya dapat melihat, bahwa Anda mengagumi Arinda di balik wajah angkuh anda itu. Tapi anehnya, kenapa selera Anda sekarang jauh sekali?" batin Alrix berbicara, menatap Deondra yang sudah bangkit dari duduknya.
"Bayarlah gajinya, Alrix. Sekalian berikan bonus untuknya sebagai pelayan baru yang berhasil melewati semua peraturan. Hari ini weekend, aku hanya akan menghabiskan waktu di kamarku. Kamu bisa menyusulku setelah mengurusnya."
Alrix mengangguk, membiarkan Deondra yang melangkah pergi. Sesaat sebelum menaiki tangga, Deondra sempat berbalik, melihat Arinda yang sudah mendekat dan meraih piring yang baru dipakainya.
"Apa yang membuatnya berhasil membuatku tertarik? Apakah mungkin gayanya yang elegan dan juga senyuman miliknya yang lebar itu?" Deondra bergumam malas, mempertahankan pribadinya yang tak tersentuh.
Hingga matanya menatap Arinda yang sudah menggenggam tangan Alrix. Matanya menyipit, saat Alrix justru menyentuh balik tangan Arinda dan tersenyum padanya.
Entah apa yang merasuki hati dan rongga dadanya, Deondra merasakan gemuruh hebat saat menyaksikan pemandangan yang tak jauh dari hadapannya itu. Tangannya tanpa sadar mengepal, disertai giginya yang gemeretak. Dengan langkah marah Deondra berbalik, lalu menaiki tangga dengan melangkahi tiga anak tangganya sekaligus.
"Tidak suka katanya? Lalu kenapa dia balas memegang tangan Arinda dan tersenyum semanis itu padanya? Cih, sepertinya sekretaris pribadiku sendiri adalah orang selanjutnya yang akan menghancurkan hidupku!" geramnya lalu membuka pintu kamarnya keras dan menutupnya dengan hempasan.
"Ini hal gila! Tidak, aku tidak bisa membiarkannya membuat hatiku bercampur aduk. Dia cuma pelayan, tidak pantas untukku yang merupakan seorang hartawan, lelaki sejuta pesona yang di dambakan oleh para wanita." Deondra berdecih kesal, duduk di ranjangnya.
"Arindaa! Kenapa sosokmu selalu membuatku merasa di hantui? Apa yang kau lakukan padaku hingga aku merasakan jatuh cinta bahkan sejak pertama kali melihat photomu? Sadarlah Deondra, dia hanya pelayan rumahmu!"
Deondra berteriak lantang hingga kamarnya berdengung, untung saja kamarnya dilengkapi peredam suara. Hingga kejadian apapun dan sekuat apapun suara dari dalam, tak akan terdengar sampai keluar kamarnya.
Deondra menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, bayangan Arinda yang berpegangan tangan dengan sekretatisnya itu terbayang di langit-langit kamar, membuatnya gusar sendiri.
Dengan sekali sentak, tubuhnya yang berbaring kini sudah duduk. Deondra menarik napasnya dalam, berpikir cepat.
Cara apa yang harus dia lakukan untuk memiliki Arinda tanpa ada seorangpun yang tahu? Itulah yang sedang dia pikirkan, wajah Arinda yang cantik dengan tubuh tinggi semampainya adalah salah satu kriteria wanita yang di sukai oleh Deondra.
"Sial, dia tidak cantik bodoh! Dirimu terlalu sempurna untuk gadis sepertinya!" maki Deondra pada dirinya sendiri.
Deondra merasakan bahwa ini bukan dirinya, kemana hilangnya semua sikap cuek dan angkuhnya selama ini?
***
"Terima kasih Tuan Alrix, akhirnya saya bisa menerima gaji saya." Arinda berkata dengan wajah berbinar, dia meraih amplop cokelat yang di sodorkan Alrix.
"Itu adalah hakmu, Arinda. Tidak perlu berterima kasih untuk sesuatu yang memang seharusnya kamu terima."
Arinda tersenyum, lalu tanpa sadar tangannya menggenggam tangan Alrix yang sudah banyak membantunya.
Alrix tersentak, menatap tangan Arinda yang memegang tangannya, lalu kembali menatap Arinda yang tampak ingin mengatakan sesuatu.
Dia tersenyum, menatap Arinda lembut.
"Ada yang kamu butuhkan lagi?"
Alrix meraih tangan Arinda dengan tangan kanannya, sekilas mereka seperti tengah berpegangan tangan. Padahal Alrix hanya berusaha mengurangi kuatnya genggaman tangan Arinda yang meremas tangan kirinya.
Untunglah suasana dapur tengah sepi saat ini, hanya ada seseorang pelayan yang tengah membereskan dapur.
"Saya ingin pergi keluar hari ini, Tuan. Saya ingin membayar utang dan biaya rumah sakit Ayah saya yang sudah tertunggak sebulan ini. Boleh saya pergi?" tanya Arinda penuh harap.
Alrix tersenyum lagi, lalu mengangguk.
"Pergilah, jangan pulang sebelum larut malam, atau kamu akan mendapatkan sangsi." Arinda tersenyum, mengangguk paham sambil melepas genggamannya.
"Baik Tuan, terima kasih sudah mengizinkan saya."
Alrix hanya mengangguk pelan.
"Oh iya, kalau boleh saya tahu. Ayahmu sakit apa, Arinda?" tanya Alrix lagi membuat wajah Arinda langsung berubah sendu.
"Ayah saya kecelakaan hampir dua bulan lalu. Ibu saya dinyatakan meninggal di tempat, sementara ayah saya di nyatakan koma. Sampai saat ini belum ada perubahan apapun padanya. Hal itulah yang membuat saya harus menghentikan kuliah saya sementara dan menjadi pelayan di rumah ini," jelasnya dengan mata berkaca-kaca.
Kejadian itu seakan tak akan pernah menjadi biasa dalam sejarah hidupnya.
Alrix tersentak, sedikit prihatin. "Jadi Ayahmu koma selama ini? Dan itulah yang kamu tahan di dalam hatimu satu bulan ini?" Arinda mengangguk lemah.
Alrix tersenyum simpatik, kasihan pada gadis malang di hadapannya. "Pulanglah, kunjungi ayahmu. Satu bulan ini ayahmu pasti merindukan suaramu. Aku akan mengatakannya pada penjaga gerbang, tapi jangan lupa pulang sebelum larut. Ini adalah waktu terlama yang kuberikan padamu karena bertepatan dengan weekend."
"Terima kasih, Tuan. Saya berjanji akan pulang tepat waktu, terima kasih." Alrix tersenyum.
"Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu terlambat, Arinda. Jadi pergunakanlah waktumu sebaik mungkin dan segera kembali." Alrix berkata, lalu beranjak pergi dari sana.
Arinda mengangguk, meremas amplop tebal hasil keringatnya.
"Ayah, tunggu Arin. Arin akan datang dan membayar semua biaya rumah sakit Ayah ...."
Bersambung!
"Semua biaya pengobatan Ayah Nona satu bulan terakhir sudah lunas, bahkan biaya rumah sakitnya juga sudah dibayar dari uang yang Nona berikan untuk sebulan ke depan." Arinda menerima tanda pembayaran dari suster bagian administrasi, lalu segera menandatanganinya dan menyerahkannya kembali. "Terima kasih untuk keringanannya dua bulan ini, Suster. Bulan depan saya akan datang lagi untuk membayar biaya pengobatan selanjutnya." Suster itu tersenyum. "Baik, Nona. Akan saya tunggu kedatangan Nona. Untuk Ayah anda, kami akan menjaganya dengan baik. Semangat bekerjanya ya, Nona." Arinda tersenyum. Suster itu memang tahu apa yang dialami oleh Arinda dua bulan lalu. Saat seorang gadis kecil dengan wajah gugup dan pucatnya turun dari ambulans yang diisi oleh seorang wanita tak bernyawa. Sedangkan dari ambulan yang satu lagi, seorang lelaki yang merupakan ayahnya dibawa turun dengan kondi
Dengan menahan semua rasa sakit dan air mata. Arinda mengenakan pakaian dan jubahnya, lalu segera meninggalkan kamar itu. Sampai di kamarnya, dia menjatuhkan tubuhnya di lantai kamar, menangis tersedu."Ayah, Bunda .... Arin sudah mengecewakan kalian ... Arin sudah kotor," ujarnya dengan suara serak, suaranya habis saat dia berusaha berontak ketika sang majikan melampiaskan hasrat padanya.Sesenggukan dengan perasaan yang menyayat di dalam hatinya. Arinda bahkan tak mampu menggerakkan tangannya untuk mengusap bahu. Tangisnya amat menyedihkan, seakan putus asa dan juga lelah."Apakah ini yang kudapatkan setelah menerima gaji tiga kali lipat itu? Ini tidak ada dalam perjanjian kerja itu 'kan? Tapi kenapa dia lakukan?"Pertanyaan yang tak dia ketahui apa jawabannya keluar, tapi kamarnya membisu takkan mampu ataupun bisa menjawab.Perlahan Arinda bangkit dengan susah payah, lalu
"Kamu tidak bisa melakukan kesalahan sekecil apapun di rumah ini. Karenanya, kamu dipecat!"Bak tersambar petir, tubuh Arinda langsung melemas mendengar ucapan itu. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca, dia beringsut mendekati Alrix dengan langkah perlahan. Arinda merasa takut jika harus mendekati Deondra, hingga langkahnya memilih Alrix untuk memohon.Arinda menangkup kan kedua tangannya di depan wajah, memohon."Saya mohon, Tuan Alrix. Jangan pecat saya, saya mohon. Bagaimana saya bisa membiayai pengobatan ayah saya jika saya di pecat?" Sesenggukan Arinda berkata membuat Alrix merasa iba.Deondra yang melihat hal itu, ingin rasanya langsung menonjok wajah Alrix. Entah apa penyebabnya, yang pasti dengan melihat Arinda menangis sudah cukup membuat jiwanya tercabik. Dia mendekati mereka dan menatap Arinda dengan ekspresi angkuh dan sulit di artikan."Semuanya ada pada kekua
"Tidak salah, Tuan. Hanya aneh saja, sekarang pilihan Anda sangat jauh berbeda dari yang dulu, ya?"Deondra menatap wajah Alrix datar, lalu menyunggingkan senyum miring."Dia hanya seorang pelayan, kata siapa dia pilihanku? Yang cocok itu, jika dia menjadi pilihan para petani di perkebunan teh. Aku? Memilih dia? Kamu pasti sudah gila!" Deondra bangkit, tak jadi makan karena sudah kehilangan selera.Alrix tersenyum kecut, tapi kemudian tersenyum tipis. "Jika begitu, saya ada niat untuk mendekatinya. Saya merasa Arinda memiliki daya tarik dan sikap seperti seorang putri kerajaan."Deondra yang mendengarnya hampir berbalik dan mencengkram kerah Alrix yang berjalan di belakangnya. Tapi, itu tak dia lakukan demi menjunjung tinggi harga dirinya."Cih, lakukan saja. Kamu dan dia 'kan sama. Sama-sama pelayanku!" Deondra berkata acuh, padahal tangannya sudah terkepal erat.
Deondra sedang tersenyum sendiri di balkon kamarnya, menatap langit biru yang menampilkan cuaca cerah hari ini. Dia sedang menunggu, menunggu datangnya gadis itu dan menggodanya. Bukankah selama ini itu yang dia dapatkan? Walaupun tak pernah menyentuh para wanita, tapi dirinya selalu di kejar-kejar, membuatnya congkak.Empat tahun lalu dia adalah Deondra yang menyenangkan. Mudah tersenyum dan tertawa bersama dengan para teman dan rekan kerjanya. Dia juga baik hati, penuh perasaan dan juga rendah diri. Hal itulah yang membuat para wanita mengejarnya, memujanya dan mendambakannya. Tapi semua sikap baiknya itu di injak-injak oleh Anne, wanita yang pernah masuk kedalam relung hatinya dan bertahta di sana.Dua tahun dia menjalin hubungan kasih dengan wanita itu. Bahagia dan menghabiskan waktunya dengan ceria. Deondra mencintai Anne sepenuh hati, tak pernah menyangka bahwa gadis itu adalah musuh dalam selimut. Tak pernah Deondra sadari, bahwa
"Apa maksudmu? Kapan aku menyentuhnya?" sentaknya kasar membuat Alrix tak berani lagi untuk melanjutkan ucapannya.Dia menunduk. "Maaf Tuan Muda, saya sudah berkata lancang."Deondra menatapnya, lalu membuang wajahnya dengan tatapan datar. Tapi tak bisa di pungkiri Deondra tengah mendesah sedikit lega, dia amat yakin, pasti Alrix tidak akan tahu apa yang sudah dia perbuat."Aku akan keluar malam ini, siapkan mobil." Deondra berkata, langsung melangkah dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana.Alrix berbalik, mengikuti Deondra yang berjalan memasuki kamarnya. Deondra menuju kearah rak, mengambil satu botol alkohol melangkah menuju sofa."Anda mau kemana?" Alrix bertanya, wajahnya terlihat cerah.Selama ini Tuan Mudanya itu selalu mengurung dirinya di kantor ataupun kamarnya. Tak pernah Deondra pergi ke tempat hiburan malam ataupun ber
Seketika seluruh isi Bar yang dimasuki oleh Deondra hening. Padahal tadi musik berdentum memekakkan telinga. Bahkan para bartender dan juga wanita penghibur yang awalnya meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa juga ikut melihat kearah pintu. Tak percaya dengan tatapan mata mereka yang menampilkan sosok Deondra. Pria dewasa yang amat berpengaruh di seluruh kota. Perusahaannya yang besar dan bercabang-cabang, cukup membuat namanya tersohor dan sosoknya amat di kenali di seantero kota.Kabar tentang Deondra yang menjauhkan diri dari hiburan malam, para wanita dan dunia luar cukup besar hingga sampai ke telinga masyarakat yang mengenalinya. Bahkan ada yang menyebarkan berita bahwa Deondra bersumpah untuk tak lagi ingin jatuh cinta. Sikapnya yang berubah 180° itu berhasil membuat orang-orang yang mengaguminya menjadi kecewa. Pasalnya dulu Deondra adalah seumpama malaikat tak bersayap yang rajin menyebarkan kebaikan dan juga tatapan penuh kasih sayangnya pada
Arinda menjatuhkan tubuhnya ke ranjang miliknya setelah menyelesaikan tugas akhir. Diraihnya ponsel yang dia charger di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, memeriksanya sebentar. Karena tak ada yang penting, diletakkannya ponsel itu sembarangan lalu menatap langit-langit kamar."Kapan Ayah bangun? Sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali," ungkapnya sedih, dia menghela napasnya pelan.Termenung sendirian sampai tak sadar air matanya sudah mengalir melewati pelupuk. Seharian ini dia berusaha kuat, berusaha terlihat kuat saat ada pelayan senior yang menyapa dan berbincang dengannya. Arinda masih berusaha memancarkan senyum, menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Padahal, seluruh hatinya hancur dan pikirannya sedang bertengkar dengan semua bayangan malam itu yang selalu bergentayangan di kepalanya.Arinda hanya seorang gadis rapuh, manja dan juga mudah merasa hancur. Kasih sayan
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi