Aku menatap nanar pasangan di atas pelaminan. Bagaimana bisa? Dua orang yang begitu kupercayai mengkhianatiku? Ya Tuhan. Sepertinya kegiatan menikung pacar orang memang sudah menjadi peristiwa nge-hits abad ini. Tak peduli siapa pun korbannya, entah itu pacar sahabat, pacar kakaknya, pacar adiknya atau pacar anaknya.
Yah, semarah apa pun aku pada dua insan yang kini menebar senyum ceria di panggung pelaminan tidak akan merubah apa yang sudah terjadi. Ibaratnya nasi sudah basi, sudah bau, jadi buat apa dimakan mending beli beras lagi terus dimasak. Habis itu tambahin opor ayam, sambal sama kerupuk. Wuih sedep. Ah, nanti habis dari sini aku mampir ke Warung Bu Manto. Opor ayamnya terkenal enak.
"Loh, Nia kamu datang?" Salah satu rekan kerjaku kaget melihatku.
"Iyalah, San. Kan mau ngasih ucapan buat mantan. Mantan pacar sama mantan sahabat," ucapku dengan tersenyum manis.
Sandra mengamatiku dengan penuh selidik. Jelaslah, orang dia teman karibnya Deswita pasti dia takut aku mengacaukan acara pernikahan sahabatnya.
"Kania!" teriak Gita dan kawan kawan yang lain.
"Hai semua," sapaku ramah.
"Keren, kamu datang juga?"
"Iyalah Gi, masak gak datang. Tenang, stok cowok masih banyak. Cuma mantan tukang gombal sama sahabat tukang tikung kok bikin kita terpuruk? Rugi."
"Betul. Hidup itu menatap ke depan bukan ke belakang," imbuh Heri.
"Iyalah. Kalau nengok terus nabrak di depan kan kasihan jidatnya. Tambah nonong. Gak nonong aja diselingkuhin apalagi tambah nonong."
Terdengarlah tawa kami semua. Sandra terlihat memilih duduk menjauh, enggan duduk bareng dengan kami. Peduli amatlah dengan tingkahnya.
Aku dan keempat rekan kerjaku akhirnya duduk dalam satu meja. Sesekali kami tertawa dan mengambil makanan yang tersedia. Hati boleh patah, tapi perut jangan sampai kena maag. Air mata boleh tumpah tapi pikiran harus tetap terarah.
Selama mengobrol, aku sesekali melirik ke arah pelaminan. Tampak Aryo sesekali melirik ke arahku sedangkan Deswita sejak tadi memasang raut cemburu. Ya jelaslah karena hari ini aku tampil maksimal. Kebaya yang kupakai sangat simpel namun elegan. Riasan yang kupakai terlihat natural namun sangat pas di wajahku. Ya iyalah, orang aku sengaja memakai jasa perias mahal. Jelas terlihat mencolok dengan riasan Deswita yang kesannya terlalu tebal dan menor. Jadi bukannya terlihat cantik tapi dia malah terkesan seperti tante-tante. Selain itu sepertinya Deswita salah memilih kostum. Bukannya membuat tubuhnya terlihat langsing malah justru menonjolkan tonjolan perutnya.
Ya, Aryo dan Deswita menikah gara-gara Deswita sudah tek dung tralala, alias pada nanem saham duluan. Bersyukur selama pacaran aku dan Aryo gak pernah ngapa-ngapain. Boro-boro nana nini, Aryo pegang tanganku aja aku sudah memarahinya tanpa ampun. Hahaha. Meski aku orangnya slengekan dan terkadang gila tetapi soal sopan santun sama yang tua, aku lebih jago dari pada Deswita. Makanya, dari tadi bapaknya Aryo menunduk sedih saat melihatku. Sedangkan ibunya Aryo menangis terus sambil mengucap maaf berulang kali.
"Pssst, lihat itu kan Pak Manajer kita?" bisik Gita.
Otomatis tatapan kami berlima terarah pada Bapak Manajer yang terhormat bernama Andromeda Bagaskara. Wuih nama yang keren sekeren orangnya.
Gita, Anastasya dan Shelomita sejak tadi sudah memelototkan mata, mulutnya terbuka. Untung tuh mata gak keluar sama iler gak keluar kalau keluar duh, malu pokoknya. Sementara Heri sudah menahan tawa sejak tadi melihat aksi ketiga sahabat kami.
"Untung kamu cowok, Her!" ucapku.
"Hooh, emang Pak Andro terlalu mempesona. Ugh ... kalau aku terlahir cewek udah aku kejar-kejar dia."
Aku terkekeh tapi tak urung juga aku menatap sosok Pak Andro dengan penuh minat. Yah, andai posisiku bukanlah Office girl, mau aku nyoba menggaet Pak Andro untuk kujadikan pacar, kalau gak bisa ya minimal aku jadi selingkuhan. Astaghfirullah!
Aku menggumamkan istighfar berulang kali atas pikiran kotorku. Abong-abong (mentang-mentang) habis diselingkuhi malah aku berniat menyelingkuhi pacar orang juga. Astaga! Beneran perlu dirukyah ini akunya.
Pak Andro sedang menyalami Aryo di pelaminan. Seperti biasa Pak Andro selalu memasang mimik muka datar dan irit bicara. Benar-benar paduan yang pas ditunjang dengan fisik dan ketebalan dompet. Sudahlah, orang tampan dan kaya mah bebas. Orang miskin dan cuma menyandang office girl mah jangan terlalu menghalu parah. Jatuhnya sakit kalau sampai nyungsep di tanah.
Pak Andro turun dari pelaminan. Tatapannya tertuju pada rombongan kami. Dia menghentikan langkah dan menatap ke arah kami cukup lama. Kami semua kikuk dan hanya melemparkan senyum Pepsodent. Pak Andro segera berlalu setelah mengangguk ke arah kami berlima, para office girl dan satu office boy.
"Fiuh, setdah tatapan Pak Manager yang terhormat emang bikin jantung gak kuat." Seloroh Gita akhirnya setelah Pak Andro tak ada.
"Hooh, untung ganteng dan kaya lagi. Apalah daku yang cuma remahan rengginang." Anastasya mulai mendrama lebay.
"Betul. Coba aku secantik kamu, Nia. Bakalan aku gaet tuh Pak Andro."
"Helow, cuma menggaet Kepala bagian kebersihan kantor aja aku kalah sama pelakor, kalian yakin aku bisa menangin hati Pak Manager yang gantengnya kayak pangeran Arab? Sementara di sekelilingnya banyak putri dari kerajaan minyak, kerajaan tekstil, kerajaan perhotelan dan kawan-kawan. Kalian yakin aku bisa jadi cinderella? Kalau jatuhnya cinderamata menyedihkan gimana?"
Otomatis keempat sahabatku tertawa. Kami akhirnya terus bercerita sambil sesekali tertawa. Tawa di meja kami sesekali menarik perhatian tamu yang lain. Dan ah, terutama perhatian para mantan di pelaminan. Hohoho. Emang enak, aku kerjain. Huh, sorry ya tidak ada kata mantan terbuang dalam kamusku. Adanya mantan yang sengaja kupermalukan secara elegan.
Setelah merasa kenyang, kami berlima berjalan dengan mantap menuju ke pelaminan. Aku menyalami kedua orang tua Aryo. Ibu Aryo sejak tadi memelukku dengan erat. Kata maaf berulang kali ia ucapkan sementara ayah Aryo hanya bisa mengusap air mata sambil sesekali menepuk pundakku.
"Selamat ya Aryo, Deswita. Semoga samawa." Aku menyalami keduanya.
"Makasih ya, Kania. Maaf dan kamu cantik. Selalu cantik." Aryo menutup mulutnya. Dia terlihat ketakutan apalagi saat melihat Deswita sedang memelototkan mata sambil berkacak pinggang. Aku tersenyum dan memilih menyalami kedua orang tua Deswita yang terlihat kikuk. Dengan langkah anggun, aku menuruni pelaminan bersama keempat sahabatku.
Masih dapat kudengar obrolan dan bisik-bisik tetangga yang terlihat begitu menyayangkan tindakan Aryo. Dan bagaimana mereka membanding-bandingkan kecantikanku dengan Deswita. Ah ... pokoknya senang sekali hatiku. Dengan langkah bak model internasional dan senyum merekah seperti bunga mekar aku terus berjalan hingga keluar dari gedung tempat Aryo-Deswita menyelenggarakan resepsi pernikahan.
"Kamu naik apa?"
"Taksi."
"Yakin?"
"Iya."
"Ya sudah kami duluan ya?"
Keempat sahabatku naik motor saling berboncengan. Aku dadah-dadah pada keempatnya hingga dua motor tak terlihat. Setelah mereka menghilang aku mendesah.
Ternyata balas dendam itu sungguh tak baik. Demi penampilan cetar membahana aku sampai merogoh kocek banyak-banyak demi membeli baju dan jasa riasan. Kini aku tak punya uang sama sekali. Boro-boro buat naik taksi, buat ngangkot saja aku tak ada. Hahaha. Miris.
Akhirnya aku memilih berjalan dengan menenteng sandal dengan tumit setinggi sepuluh centimeter.
Cukup lama aku berjalan hingga sampai di halte bus. Aku duduk sambil kipas-kipas. Kurogoh dompetku. Mencari kepingan-kepingan dollar Indonesia dan alhamdulillah ada sepuluh ribu dua ratus rupiah. Cukup untuk naik bis. Aku bahagia. Duh, ternyata bahagiaku semudah itu pemirsah.
Dengan sabar aku menunggu kedatangan bus sambil terus kipas-kipas.
Sebuah mobil mewah berwarna silver berhenti tepat di depanku. Aku menajamkan mata mencoba mencari tahu siapa pengemudinya.
Aku terpana, jujur mungkin aku juga sudah melakukan hal gila. Yaitu memelototkan mata sambil membuka mulut.
"Ekhem." Suara deheman Pak Andro membuat nyawaku yang tadi sempat terbang ke angkasa dipaksa jatuh menyentuh tanah.
Aku tersenyum kikuk.
"Siang, Pak." Aku mencoba bersikap ramah.
"Kamu! Kamu mau uang?"
"Hah?! Maksudnya Pak?"
"Saya akan bayar kamu dengan uang yang banyak asal kamu mau bantu saya."
"Bantuan apa, Pak?"
"Jadi pacar pura-pura saya."
Aku membelalakkan mata. Jadi pacar? Pura-pura?
"Sepuluh juta. Untuk sehari menjadi pacar saya."
"Setuju Pak. Setuju," jawabku tanpa pikir panjang.
Peduli amat dengan norma dan etika. Pokoknya demi sepuluh juta, toh cuma jadi pacar sehari doang gak masalah.
"Baik. Sekarang ikut saya."
"Ashiap."
Aku mengikuti langkah Bapak Manager yang terhormat ke arah mobilnya. Meski cuma pura-pura gak masalah. Gak dapat sepuluh juta pun gak masalah. Toh, aku sadar diri kalau aku bukan seorang putri. Jadi, menjadi cinderella sehari sudah menjadi kebahagiaan tersendiri buatku. Penting jangan jadi pelakor dan jual diri, itu gak baik.
Dengan memasang senyum lima jari aku menemani Bapak manajer terhormat seharian ini. Lumayan, kapan lagi bisa jalan sama orang ganteng, naik mobil kece, bergaya bak model cantik walau cuma sehari karena besok aku akan kembali menjadi si Kania yang kerjanya cuma jadi office girl.
Aku mencoba menutup mulutku rapat-rapat dari godaan makanan yang menggiurkan. Jangan tanyakan sudah berapa kali aku meneguk ludah, berkali-kali pokoknya. Makanya jangan sampai ... jangan sampai aku membuka mulut, pasti aku bakalan ngeces. Tuh iler bakalan keluar semua. Duh, gak kece tahu, gadis cantik terlihat norak di depan calon mertua sehari doang. Uhuk!Ya, Bapak Manager yang terhormat membawaku ke rumahnya di kawasan perumahan elit di Jakarta. "Ayo, Nak Nia dimakan, jangan cuma dilihatin aja." "Nggih, Tante.""Ayo-ayo jangan malu-malu. Ambil apa pun yang kamu mau.""Nggih, Om."Akhirnya dengan semangat dua ribu dua dua, aku mulai mengambil piring. Menaruh nasi dan beberapa lauk lalu aku serahkan piring itu pada Pak Andro. Tak lupa kuulas senyum termanis yang aku punya. Pak Andro menatapku tajam tapi kubalas dengan senyum terkembang.Entah karena dia pun sama laparnya denganku atau karena ingin terlihat natural sebagai pacar dadakan, dia menerimanya juga. Bahkan bonus lengkungan
Guncangan pada bahuku menyadarkan diriku kalau aku tertidur. Ya ampun. Aku menoleh ke sekelilingku. Hem ... rupanya Pak Andro menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi. Puas melihat sekeliling aku beralih menatap ke arah Pak Andro. Aku kaget karena Pak Andro yang sedang menatapku dengan intens. Aku deg-degan berharap Pak Andro khilaf sehingga hal yang iya-iya akan kami lakukan.Pak Andro mencondongkan tubuhnya semakin mendekat ke arahku, otomatis aku memepetkan punggungku hingga mentok ke pintu. Tubuhnya semakin mendekat, membuatku gugup dan semakin berharap. Akhirnya, kututup mataku, menunggu dengan jantung berdebar-debar.Semenit, dua menit, lima menit sesuatu yang kuharapkan terjadi sama sekali tak terjadi. Pelan-pelan kubuka mataku. Tampaklah wajah ganteng Pak Andro yang sedang menatapku dengan tatapan geli dan senyum mengejek."Kamu berharap saya cium? Sorry ya, mantanku aja yang kupacari selama dua tahun gak saya apa-apain, kamu yang bukan siapa-siapa malah berharap aku apa
Cling.Begitulah bunyinya. Bunyi yang dihasilkan oleh mesin absen yang ada di kantor kami. Keren guys absennya, harus setor muka. Makanya gak bisa dikibulin tuh. Kecuali kalau kita operasi plastik mungkin baru tuh mesin bisa dikibulin.Selesai absen, aku segera menuju ke ruangan utama OB dan OG yang ada di lantai satu. Kantor tempatku bekerja terdiri dari enam lantai dengan jumlah OG dan OB masing-masing enam orang. Setiap lantai menjadi tugas satu OG dan satu OB. Dan aku ... mendapat tugas di lantai nomer enam. Gak papa, ikhlas lilla hitangala pokoknya. Penting halal, dan dapat duit.Selesai menaruh tas milikku di loker, aku segera membawa alat tempur berupa sapu, alat pel, sulak, kain serta alat pembersih kaca."Langsung ke atas ini?" tanya Ido, OB yang bertugas bersamaku di lantai enam."Iya. Biar cepet selesai.""Oke."Bersyukur aku bertugas bersama Ido. Ido orangnya gokil kayak aku, suka menolong dan yang jelas gak egois. Makanya, lantai enam adalah lantai yang jarang mendapat ko
Aku menghentikan aktivitas lari pagiku. Mengelap keringat lalu menoleh ke belakang ke arah empat soulmateku. Siapa lagi kalau bukan Heri, Shelomita, Anastasya dan Gita. Ulala, apa maksud mereka? Ngajakin lari pagi malah pada sibuk selfi. Ya wis, aku memilih lari lagi. Rambutku yang panjangnya sepunggung sengaja kukuncir dan memakai topi.Puas berkeliling sebanyak dua putaran, aku memilih berjalan santai sambil memandang ke sekeliling. Sejak tadi terlihat banyak cowok menatapku sambil kedip-kedip, menebar senyum bahkan menyapa. Tetapi tak kugubris sama sekali. Bukannya aku sok jual mahal tetapi karena di sampingku tadi ada cewek cantik banget yang berlari beriringan denganku. Mana tuh kulit mulus banget, licin guys, matanya sipit dengan wajah khas keturunan Tionghoa. Makanya, walau sejak tadi ada yang lirik-lirik, senyum-senyum bahkan kedip-kedip ke arahku, gak tak gubris. Takut salah tafsir. Takut GeEr mengira lagi tepe-tepe sama aku jebule malah maring wong wadon neng jejerku (ternya
Suara langkah kakiku terdengar membahana di lantai enam. Dengan semangat, aku membersihkan ruangan sebelum nanti pulang kembali ke kostan. Selesai dengan pekerjaannku, aku kembali menuju ke pantry utama.Di sana hanya ada Aryo yang sedang bermain ponsel. Sebenarnya agak malas kalau harus satu ruangan dengan mantan. Tapi aku ada perlu menaruh semua peralatan tempurku jadi mau tak mau harus kembali ke pantry. Kulewati Aryo tanpa mengatakan sepatah kata pun. Selesai menaruh alat tempur, aku segera keluar dari pantry sambil mencangklong tas. Namun langkahku terhenti karena panggilan dari Aryo. Aku menoleh ke arahnya. Terlihat Aryo duduk tegak, ponselnya sudah berada di atas meja."Hai, Kania. Kamu sehat?"Aku mengernyit mendengar pertanyaan Aryo."Lah kamu emangnya gak bisa lihat aku? Kalau aku sakit gak mungkin dong aku mondar mandir sejak pagi kek kitiran. Pasti kalau aku sakit aku tuh lagi rebahan di kost. Pertanyaan aneh."Aku segera berbalik dan hendak melanjutkan langkah."Kania!"
Pak Andro masih saja memarahiku. Bahkan kini dia sedang mengeluarkan dalil-dalil dalam Al Quran yang intinya bunuh diri itu dosa. Aku sama sekali tak begitu fokus dengan amarah Pak Andro apalagi kata-katanya. Fokusku kini tersedot pada wajahnya yang benar-benar ganteng.Alis lebat, bibir tebal, rahang tegas, hidung mancung dan mata yang tajam tetapi begitu memikat. Astaga! Setahun ini aku kemana aja sih? Kok bisa aku gak nyadar ada cowok seganteng ini di dekatku. Aku malah fokus dengerin gombalan Aryo yang ujung-ujungnya dicampakkan gara-gara aku menolak untuk dibelai. Saking fokusnya menatap wajah di depanku, tak sadar aku melongo."Pffff." Aku kaget sekaligus hampir tersedak. Mulutku baru saja disumpal dengan gulungan tissue."Pfft, bah. Ish Pak Andro jahara bener deh, Kania masih doyan makan sayuran sama daging, Pak. Belum pindah haluan jenis makanannya. Kania gak berniat jadi ebeg 'Kuda Lumping' yang suka maka beling dan sebangsanya," ketusku sambil membersihkan mulut dari gumpa
"Astaghfirullah. Aryo! Apa-apaan sih?!" Aku membentak Aryo sekaligus menarik paksa tanganku yang tiba-tiba dia cengkeram kemudian dia tarik dengan kuat hingga menuju ke depan toilet."Kamu yang apa-apaan?! Udah aku bilang kalau aku cinta sama kamu, kenapa kamu malah pergi sama Pak Andro dan ninggalin aku?"Wajah Aryo terlihat seperti murka. Aku bingung, bagaimana dia tahu kalau aku pergi sama Pak Andro?"Maksud kamu apa?""Kemarin aku udah minta kamu buat balikan. Tapi kamu nolak aku. Malah kamu pergi sama Pak Andro. Kalian kemana? Jangan bilang kamu jadi murahan. Cih! Kamu nolak aku belai tapi kamu biarin Pak Andro belai kamu. Munafik kamu."Plak. Aku melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Aryo. Kini aku paham maksudnya. Beneran dah ini cowok pancen muka kadal."Helow! Mau aku pergi sama Pak Andro atau cowok yang lain itu terserah aku. Toh aku single, Pak Andro juga single. Emangnya kamu sama Deswita? Pergi bareng-bareng pakai acara kayak maling. Sembunyi-sembunyi. Lagian emang ka
Aku tersentak kaget gara-gara mendapati posisi Aryo yang begitu dekat denganku. Hampir saja kita berdempetan. "Hai, Kania. Selamat pagi?" Aryo tersenyum manis sekali sayang terlalu manis dan membuatku mau muntah akibat kemanisan. Hoek."Ngapain kamu deket-deket sama aku? Bagian kamu bukan di lantai ini!" sinisku lalu bersedekap."Hehehe. Kamu lupa ya? Aku ini kepala bagian pantry. Terserah aku dong mau dimana?" Dia masih memasang senyum aspartamya. Dih! Punya senyum aspartam aja sok iyes. Untung aku udah sadar kadar manis dalam senyumnya ada rasa-rasa pahit."Justru itu, aku sangat ingat.""Nah, jadi gak salah dong aku keliling. Siapa tahu bawahanku ada yang gak semangat kerjanya.""Uwow, keren!""Iyalah, Aryo."Aryo langsung bergaya dengan sedikit menaikkan kerah seragam OB-nya. Jiah, sok iyes banget ini orang."Tapi ya, Yo. Selain statusmu sebagai kepala pantry aku jadi ingat statusmu yang lain?""Apa?""Mantan pacar dan suami orang. Jadi ya mantan yang udah jadi suami orang, ingat
Aku berlari sekuat tenaga dari parkiran menuju ke halaman sekolah tempat lima bus pariwisata sedang bertengger. Astaga! Benar-benar dah. Untung aku ini emak-emak strong, kalau enggak. Duh!"Pak, Pak, Pak. Bentar jangan ditutup!" teriakku pada bapak-bapak yang akan menutup pintu bus."Mamake!"Seorang gadis berusia tujuh belas tahun akhirnya turun. Dia segera memelukku dengan sangat erat seakan kami baru saja tak berjumpa setelah berpisah sekian lama. Padahal baru juga beberapa jam gak ketemu."Kamu ini ya Mbak, kan mamake uwis ngomong dicek dulu barang-barangnya. Kalau lupa gak jadi plesir kamu!""Hehehe." Si gadis remaja cantik duplikatku hanya cengengesan saja. Dia pun mencium tanganku, bercipika-cipiki lalu segera masuk menuju ke dalam bus. Aku dadah-dadah dan dibalas hal yang sama oleh Lyra. Pada Pak Kernet bus dan guru-guru yang ada di dalam bus aku mengangguk sopan.Selesai dengan urusan Lyra yang mau berangkat studi wisata ke Bromo, aku segera menuju ke tempat putri bungsuku yan
*Kania*Menjalani kehidupan baruku sebagai istri dari seorang Andromeda Bagaskara itu benar-benar menyenangkan sekali. Setelah menjadi istrinya, otomatis aku dipecat dari MJS. Aslinya aku tetap ingin bekerja di sana, tetapi Mas Andro gak mau. Saat aku bertanya apa dia malu punya istri seorang OG? Jawaban yang kuterima sungguh luar biasa saudara-saudara."Mas gak peduli sama status kamu dan pekerjaan kamu. Penting kamu jangan zina sama berbuat buruk, gak baik. Kalau kamu mau kerja atau kuliah lagi, oke gak masalah penting kamu jangan jadi OG lagi di MJS, bekerja satu atap sama mas.""Kenapa aku gak boleh kerja satu atap sama Mas Andro?" cecarku."Kenapa? Apa Mas Andro takut aku ngerecokin pekerjaan Mas? Takut Mas gak bisa selingkuh gitu?" Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan."Astaghfirullah, kamu pikir mas sejahat itu. Insya Allah mas tipe setia.""Terus kenapa kita gak boleh kerja satu atap?" tanyaku dengan mimik muka memelas.Mas Andro mengembuskan napasnya dalam lalu menata
*Andromeda Bagaskara*Gadis cilik itu terus saja menangis dengan sesenggukan. Sesekali dia mengelap air mata dan ingusnya yang ikut keluar. Aku mengulurkan sapu tanganku padanya.“Bajumu udah kotor, udah gak bisa lagi nampung ingus. Nih, pakai punyanya Mas.”“Makasih, Mas Ando.”“Andro!”“Ando?”“Andro! Udah tujuh tahun masih belum bisa bilang ‘R’.”Gadis itu hanya bersungut-sungut lalu mengeluarkan ingusnya lagi dengan sapu tanganku.“Nih.” Dita kecil menyerahkan sapu tangan padaku.“Jorok, cuci dulu baru balikin sama mas.”“Oke.”“Mau pulang?”Dita menggeleng. “Mau nunggu Bapak sama Ibu saja.”“Oooo.”“Mas Ando gak balik ke pesta?”“Malas, udah aku usir semua orang sama Juwita juga.”“Kasihan Mbak Juwi, Mas Ando kok galak.”“Kamu jangan polos gitu dong, kalau dijahatin balas, kalau gak bisa marah-marah ya pakai aksi gila kek, gokil kek. Pokoknya lawan. Ngerti?!”Dita mengangguk lalu tersenyum. Melihat senyumnya, aku pun ikutan tersenyum. Aneh memang, tapi aku yang kini berusia dua b
Aku menselonjorkan kedua kakiku di atas kasur. Pegel. Ternyata nikah itu capek juga. Padahal cuma berdiri di atas pelaminan, memasang senyum dan menyalami tamu doang tapi ternyata bikin capek.Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan atensiku dari rasa capek. Aku tersenyum pada Mas Suami yang dibalas dengan senyum juga.“Capek ya Mas?”“Iya.”“Mandi dulu sana.”Mas Andro menurut dan langsung menuju ke kamar mandi dalam. Aku terkekeh geli saat kembali sadar kalau Mas Andro begitu perhitungan saat merehab rumah Bapak. Selain didesain sedemikian rupa, rupanya dia menambahkan kamar mandi dalam, khusus di kamarku dan kamar kedua orang tuaku. Ckckck. Pintar-pintar.Sebagai hadiah buat si pintar, aku harus menyiapakan diri. Segera saja aku mengganti daster rumahan dengan gaun tipis menerawang yang kubeli bersama Ara. Kemudian kuolesi wajahku dengan bedak tipis-tipis lalu menggunakan lipstick warna terang biar semakin menantang buat disosor. Rambut pun kusisir rapi. Dan terakhir menyemprotk
Hari pernikahanku pun tiba. Keluarga Tante Laras banyak yang datang. Sementara dari Om Andreas ada beberapa. Kakek Ahsan pun datang.Keharuan terjadi saat Kakek Ahsan bertemu dengan Bapak. Keduanya berpelukan dan tangis-tangisan membuat semua orang yang melihat sampai menitikan air mata. “Gak nyangka beneran nikah sama Pak Manajer, loh.” Aku kaget karena sempat melamunkan adegan pertemuan Bapak dan Kakek Ahsan. Senyum kuulas pada BIP yang baru datang.“Namanya juga jodoh. Mungkin habis ini kamu sama Dokter ACDC yang nyusul.” Aku mencoba bijak.BIP sama sekali tak berkomentar, tapi aku bisa melihat ada semburat warna merah di pipinya. Ckckck, pasti deh ada apa-apa antara BIP sama Pak Dokter. Aih jadi gak sabar drama apa yang bakalan terjadi sama si dua manusia yang hidup bertetangga itu. Moga-moga sih akhir kisah keduanya happy ending kayak aku.“Kania, ayok keluar. Ijab kabulnya mau dimulai.”Aku mengangguk pada Ibu. Ibu menuntunku menuju ke ruang depan yang sudah disetting untuk te
Hari ini, Pak Andro sekeluarga akan mengunjungi rumahku di Banyumas. Aku sudah bilang pada kedua orang tuaku. Dan ketika sampai di sana, kedua lelaki paruh baya hanya saling menatap sambil menitikan air mata. Lalu mereka saling berangkulan dan menangis penuh haru. Aku yang masih bingung bagaimana bisa ada scene menangis antara Bapak dan Om Andreas makin dibuat bingung ketika ibuku berteriak heboh dan langsung cipika-cipiki dengan Tante Laras. Semakin melongo dong akunya. “Apa kamu gak paham artinya?” Mas Andro menghampiriku lalu melingkarkan tangannya pada bahuku. “Enggak.”“Ck. Kadang kamu telmi.”“Terlalu minis!”“Dan absurd.”“Abis sun radius dekat mulut.”Mas Andro hanya bisa geleng-geleng kepala. Kasihan sekali dia, bisa ketemu cewek aneh kayak aku.“Stres tahu ngomong sama kamu.”“Terus ngapain dipacarin?”“Habis antik.”Kami pun tertawa. Begitulah kami. Kalau ngobrol kadang gak nyambung tapi gak nyangka udah pacaran hampir enam bulan. Meski masih banyak netijen nyinyir yang g
Tok. Tok. Tok.“Masuk.”Dengan hati-hati aku membawa minuman menuju ruangan Mas Andro.“Permisi, Pak.”“Hem.”Mas Andro seperti biasa hanya berdehem dan fokus dengan laptopnya. Aku pun menaruh secangkir kopi dan botol air mineral di mejanya. Meski kami pacaran, tapi kalau di kantor kita tetap professional. Aku selalu memanggilnya ‘pak’ selama jam kerja. Kalau sudah selesai baru kupanggil ‘Mas Pacar’. Hehehe.“Permisi, Pak.” Segera kubalikkan tubuhku hendak keluar ruangan.“Kania.”“Ya.” Refleks kubalikkan tubuhku dan menatap ke arah Mas Andro.“Tolong rapikan rak buku saya.”“Oh, iya Pak.”Aku pun segera menuju ke rak buku milik Mas Andro. Mataku melotot, mulutku menganga melihat rak buku di ruangan Mas Andro terlihat luar biasa berantakan. Aneh, perasaan tadi pagi masih rapi. Kulirik Mas Andro yang masih asik dengan laptopnya. Ckckck, rupanya mas pacar lagi modus guys. Dia pengin berduaan tapi sama orang lain pengennya terlihat professional. Jiah, dasar!“Saya tahu saya itu tampan, t
Hampir dua bulan aku menjadi pacar Pak Manajer dan tetap menjadi OG di MJS. Tugas OG pun selalu kulakukan dengan baik. Bisik-bisik gunjingan maupun tatapan sinis padaku perlahan menghilang seiring berjalannya waktu. Mungkin para jomblowati akhirnya lelah. Mau nyinyirin, gosipin bahkan menjadi sosok Lampir yang suka perintah-perintah sambil ngegas kayak Mbak Wina gak bisa merubah realita kalau mereka tetap gak bisa bikin aku sama Mas Pacar putus. Yang ada mereka capek sendiri.Godain Papan Datar yang lempeng-peng gak ada guratan malah seringnya dapat bentakan sampai hukuman lama-lama bikin para calon penikung capek kayaknya. Ditambah lagi ngadepin aku si OG sedikit kurang waras yang dikira mudah ditindas malah bikin mereka jadi darah tinggi. Karena aku selalu menghadapi kejulitan netijen dengan senyum maut, tingkah absurd plus kibas rambut yang sekarang jarang kucel apalagi ketombean. Maklum kan udah punya Mas Pacar ganteng, jadi harus jaga diri sama penampilan dong ya.Ah, jangan lupa
Dua rengkuhan mampir di kanan kiriku membuatku sedikit kaget.“Lah, kok pada tumben meluknya barengan?”“Selamat ya Sayang.”“Selamat ya Mbak.”“Selamat buat apa ya? Buat ultahnya Kania apa karena Kania naik pangkat?”“Naik pangkatlah?”“Ciyus?”“Ciyus dong.”“Emang kalau OG naik pangkat jadi apa? Kepala pantry kan biasanya cowok?”“Calon istri.” Kompak Tante Laras dan Mbak Ara. Dan pernyataan mereka membuatku melongo.Hop. “Tutup Mbak ntar ngeces.” Mbak Ara sengaja menekan daguku.“Ish, dengar ya Mbak. Kania walau suka ngeces gini banyak yang demen loh.” Seperti biasa aku mengibaskan rambut panjangku.“Ya iyalah, buktinya mamasku yang so cool-nya macem papan datar bisa tertawan. Sampai kayak orang gila saking frustasinya gak bisa baikan sama OG idaman. Untung Ara itu adek yang perhatian. Hahaha.”“Hah? Maksudnya?”“Udah ah, yuk masuk.”Mbak Ara dan Tante Laras langsung menggamit lengan kanan-kiriku. Mereka membawaku berjalan bersama menuju lift. Aksi kami tentu saja diketahui oleh be