Guncangan pada bahuku menyadarkan diriku kalau aku tertidur. Ya ampun. Aku menoleh ke sekelilingku. Hem ... rupanya Pak Andro menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi. Puas melihat sekeliling aku beralih menatap ke arah Pak Andro. Aku kaget karena Pak Andro yang sedang menatapku dengan intens. Aku deg-degan berharap Pak Andro khilaf sehingga hal yang iya-iya akan kami lakukan.
Pak Andro mencondongkan tubuhnya semakin mendekat ke arahku, otomatis aku memepetkan punggungku hingga mentok ke pintu. Tubuhnya semakin mendekat, membuatku gugup dan semakin berharap. Akhirnya, kututup mataku, menunggu dengan jantung berdebar-debar.
Semenit, dua menit, lima menit sesuatu yang kuharapkan terjadi sama sekali tak terjadi. Pelan-pelan kubuka mataku. Tampaklah wajah ganteng Pak Andro yang sedang menatapku dengan tatapan geli dan senyum mengejek.
"Kamu berharap saya cium? Sorry ya, mantanku aja yang kupacari selama dua tahun gak saya apa-apain, kamu yang bukan siapa-siapa malah berharap aku apa-apain. Tuh, ilap lagi ilernya. Makin banyak tahu."
Gubrak!!!
Rasanya aku benar-benar ingin menjatuhkan diri ke atas kasur. Malu sumpah! Entah kenapa sejak sejam yang lalu aku sudah dua kali mempermalukan diri di depan Pak Manajer yang terhormat. Sungguh, ini bukan momen romantis yang ingin kukenang karena sudah memperlihatkan muka ileran di depan pria tampan.
"Hehehe. Maaf, Pak. Sepertinya Ibu saya dulu pernah ngidam tapi gak keturutan sama Bapak. Makanya, sayanya suka ileran. Hehehe." Aku pun hanya bisa beralasan.
"Ck. Nomer rekening kamu berapa? Cepat sebutkan!" titahnya sambil mengambil ponselnya.
"Nomer rekening? Buat apa Pak?" tanyaku bingung.
"Buat transfer uang sepuluh juta. Sebagai bayaran karena kamu sudah menjadi pacar pura-pura saya seharian ini."
"Gak usah, Pak. Setelah dipikir-pikir, saya jangan dibayar. Takut gak berkah uangnya, dari pada Bapak kasih sepuluh juta tapi gak berkah, saya minta sumbangan dua ratus ribu aja. Buat biaya hidup empat hari sebelum tanggal satu," ucapku sambil tersenyum manis.
Pak Andro menatapku tajam. Tatapannya membuatku sedikit merinding.
"Hehehe. Kalau Bapak gak berkenan, bolehlah saya pinjem dulu. Nanti gajian saya lunasi utang saya, Pak."
Pak Andro tidak menjawab, dia hanya merogoh sakunya. Membuka dompet dan mengeluarkan lima lembar uang kertas berwarna merah muda.
"Ini." Dia mengulurkan uang itu ke arahku.
"Buat saya? Atau Bapak ngutangi saya?"
"Buat sedekah saya, sama orang miskin."
"Alhamdulillah." Aku langsung mengambil lima lembaran kertas dari Pak Andro. Tak lupa pula kuambil tangannya dan langsung kuciumi dengan takdim.
Cup cup cup.
"Makasih Pak. Bapak baik banget sumpah. Saya doakan rejeki Bapak lancar terus dan dapat jodoh wanita sholehah."
Cup cup cup.
Aku masih mencium tangan kanannya berulang-ulang. Pak Andro memekik keras sambil menarik tangannya hingga terlepas dari ciuman mautku.
Pak Andro menarik beberapa lembar kertas tissue dan melemparnya ke arahku. Dia sendiri mengambil lagi dan langsung menggunakannya untuk mengelap punggung tangan kanannya.
"Kamu, jorok. Hiii ... ilermu nempel semua nih!"
Aku menutup mulutku, mencoba menahan tawa. Ya ampun, lupa aku tadi habis bangun belum ngelap iler. Dengan memasang wajah sok manis, aku mengambil lembaran tissue yang tadi dilempar Pak Andro. Masih memasang wajah sok manis, aku membersihkan area mulut, dagu sampai pipi. Kemudian mengulas senyum manis sambil kedip-kedipin mata. Pak Andro hanya menatapku jijik bahkan tubuhnya begidik.
Masa bodolah, dia mau jijik kepadaku atau tidak. Penting aku udah dapat sedekah darinya. Mayan lima lembar uang kertas berwarna merah muda. Hahaha.
****
Aku berjalan dengan hati riang gembira. Sesekali mengusap perutku yang kekenyangan. Alhamdulillah, rejeki gadis baik hati, tidak sombong dan suka sedekah senyum benar-benar sedang kurasakan.
Rupanya dugaanku benar, rantang empat susun dari Bu Laras isinya adalah cumi saus tiram, gurameh bakar, kering kentang super pedas dan ayam goreng beserta sambalnya. Duh baiknya, tadi malam sudah kuhabiskan cumi saus tiramnya. Tadi pagi aku sarapan dengan gurameh bakar. Dan aku masih punya kering kentang dan ayam goreng buat bekal makan siang dan makan malam. Plus sedekah dari Pak Andro yang masih aman tersimpan di dompet. Bahagiaku ternyata semudah itu.
"Woi, Nia."
Aku menoleh dan tersenyum pada Gita.
"Loh gak barengan sama Heri, Ta?"
"Enggak. Heri nganter calon bininya dulu. Aku jadi gak bisa nebeng. Terpaksa ngojeg."
"Oooo."
Kami melangkah menuju kantor sambil sesekali bercerita. Sampai di bagian pantry utama di lantai satu, kami pada OG dan OB segera berkumpul kecuali Deswita dan Aryo yang baru nikah dan lagi honeymoon. Menurut sumber yang terpercaya yaitu si biang gosip alias Shelomita, Aryo dan Deswita sama sekali gak bulan madu. Yang ada mereka cuma pindah dari kontrakan Gita menuju ke kontrakan Aryo beberapa jam setelah resepsi selesai. Dan menurut sumber terpercaya juga, katanya Aryo dan Deswita sedang dilanda banyak hutang gara-gara ngadain resepsi besar-besaran di kampung Deswita kemarin.
Ya ampun! Semoga besok pas aku nikah, bapak ibuku gak perlu ngutang-ngutang sampai harus bingung bayarnya. Lagian si Aryo, cuma kepala pantry aja gayanya selangit. Pakai nyewa gedung mewah, katering mewah dan MUA mahal. Buat apa pakai jasa MUA mahal-mahal kalau pada kenyataannya cantikan dandananku daripada Deswita. Jiah, kibas rambut manjah pokoknya.
Srrtttt. Zak!
Nah, anggap aja bunyi kibasan rambutku kayak gitu. Dah ah, males ngomongin mantan mending fokus sama tugas harian sebagai OG dengan hati riang gembira dan senyum indah menawan hati para pria tampan.
Seperti biasa aku melaksanakan tugasku sebagai OG yang pekerjaannya seakan tak pernah berhenti. Membersihkan ruangan dari ujung atas sampai bawah belum lagi harus selalu siap siaga jika para karyawan membutuhkan bantuan kami. Beliin ini, beliin itu, ambilin ini, ambilin itu. Bolak-balik naik turun tangga atau lift sudah hal biasa. Namanya juga OG, emangnya bos tinggal main perintah doang.
Waktu makan siang adalah waktu terbaik bagi kami para OB dan OG untuk beristirahat. Meski pada prakteknya kami masih harus mengurusi pekerjaan dan tidak bisa istirahat.
Aku yang sejak tadi terus bergerak macam 'kitiran' segera mengempaskan pantatku di salah satu kursi yang ada di pantry. Suasana sangat sepi, sepertinya rekan-rekanku yang lain sedang istirahat juga. Aku segera membuka bekalku, menatanya di meja dan segera memakannya. Baru juga dua suapan sudah ada seseorang yang memanggilku.
"Ya?" Aku menoleh ke arah pintu dan tampaklah sosok yang tak asing lagi.
"Bikinin saya kopi."
"I-iya, Pak."
Aku segera mengelap mulutku dengan lengan baju dan segera memanaskan air untuk menyeduh kopi pesanan Pak Andro. Sambil menunggu air matang aku melanjutkan makan secepat kilat. Teko yang berisi air berbunyi bersamaan dengan suapan terakhirku.
"Alhamdulilah."
Segera aku minum air putih, merapikan bekas makanku dan bergegas menuju ke kompor untuk mematikan kompor gas. Selanjutnya, kutuangkan air panas pada racikan kopi yang sudah kubuat. Mengaduknya dengan putaran searah jarum jam sebanyak sebelas kali.
'Kopi hitam pekat nan wangi siap dihidangkan.'
Aku segera membawanya dengan nampan menuju ke ruangan Pak Andro.
"Permisi, Pak. Saya mau mengantarkan kopi."
"Masuk."
Aku pun segera masuk dan menaruh kopi di meja Pak Andro.
"Permisi, Pak."
"Tunggu!"
Aku yang niatnya akan berbalik jadi urung dan kembali menatap ke arah Pak Andro.
"Iya, Pak."
Pak Andro mengawasiku dengan tatapan tajamnya. Aku jadi sedikit kikuk.
"Kamu, cewek yang kemarin, 'kan?"
"Hehehe. Iya, Pak. Pacar sehari semalamnya Bapak."
Aku hanya bisa memasang wajah manis dan menampilkan senyuman semanis madu. Berharap dengan ini, bisa membawaku kembali menjadi pacar seharinya dan bisa bertemu dengan Bu Laras yang baik hati. Soalnya aku berniat mau ngembaliin rantang empat susun milik Bu Laras, syukur pas pulang malah tuh rantang balik lagi padaku dan diisi lagi sama makanan. Hahaha, cerdas kan akunya.
"Ya udah, balik sana!"
Apa? Cuma gitu doang. Ya elah, Pak. Kirain aku mau dikasih sumbangan lagi. Dengan sedikit memberengut aku berbalik dan segera berjalan menuju pintu, namun belum sempat aku menarik gagang pintu, Pak Andro kembali memanggilku.
"Iya, Pak."
Pak Andro menunjuk ke arah ujung bibir kirinya.
"Itu, ada butiran nasi di bibir kamu. Bersihin dulu!"
Mataku membulat, aku segera mengambilnya dan ulala, beneran dah! Ada tiga butir nasi yang masih nempel di ujung bibir. Dengan menahan rasa malu aku segera keluar dari ruangan Pak Andro.
Setelah berada di luar, segera kumasukkan tiga butir nasi ke dalam mulut dan mengunyahnya. Meski kesal, aku masih ingat kalau membuang-buang makanan itu dosa. Jadi weslah, dimakan saja.
"Haduh, Nia. Kamu ini suka bener mempermalukan diri di depan cowok ganteng. Beneran gak kece banget jadi kamu. Cewek lain nampilin wajah cantik-cantik tersipu malu. Kamu malah nampilin wajah kurang duit, muka ileran sama doyan makan. Duh!"
Cling.Begitulah bunyinya. Bunyi yang dihasilkan oleh mesin absen yang ada di kantor kami. Keren guys absennya, harus setor muka. Makanya gak bisa dikibulin tuh. Kecuali kalau kita operasi plastik mungkin baru tuh mesin bisa dikibulin.Selesai absen, aku segera menuju ke ruangan utama OB dan OG yang ada di lantai satu. Kantor tempatku bekerja terdiri dari enam lantai dengan jumlah OG dan OB masing-masing enam orang. Setiap lantai menjadi tugas satu OG dan satu OB. Dan aku ... mendapat tugas di lantai nomer enam. Gak papa, ikhlas lilla hitangala pokoknya. Penting halal, dan dapat duit.Selesai menaruh tas milikku di loker, aku segera membawa alat tempur berupa sapu, alat pel, sulak, kain serta alat pembersih kaca."Langsung ke atas ini?" tanya Ido, OB yang bertugas bersamaku di lantai enam."Iya. Biar cepet selesai.""Oke."Bersyukur aku bertugas bersama Ido. Ido orangnya gokil kayak aku, suka menolong dan yang jelas gak egois. Makanya, lantai enam adalah lantai yang jarang mendapat ko
Aku menghentikan aktivitas lari pagiku. Mengelap keringat lalu menoleh ke belakang ke arah empat soulmateku. Siapa lagi kalau bukan Heri, Shelomita, Anastasya dan Gita. Ulala, apa maksud mereka? Ngajakin lari pagi malah pada sibuk selfi. Ya wis, aku memilih lari lagi. Rambutku yang panjangnya sepunggung sengaja kukuncir dan memakai topi.Puas berkeliling sebanyak dua putaran, aku memilih berjalan santai sambil memandang ke sekeliling. Sejak tadi terlihat banyak cowok menatapku sambil kedip-kedip, menebar senyum bahkan menyapa. Tetapi tak kugubris sama sekali. Bukannya aku sok jual mahal tetapi karena di sampingku tadi ada cewek cantik banget yang berlari beriringan denganku. Mana tuh kulit mulus banget, licin guys, matanya sipit dengan wajah khas keturunan Tionghoa. Makanya, walau sejak tadi ada yang lirik-lirik, senyum-senyum bahkan kedip-kedip ke arahku, gak tak gubris. Takut salah tafsir. Takut GeEr mengira lagi tepe-tepe sama aku jebule malah maring wong wadon neng jejerku (ternya
Suara langkah kakiku terdengar membahana di lantai enam. Dengan semangat, aku membersihkan ruangan sebelum nanti pulang kembali ke kostan. Selesai dengan pekerjaannku, aku kembali menuju ke pantry utama.Di sana hanya ada Aryo yang sedang bermain ponsel. Sebenarnya agak malas kalau harus satu ruangan dengan mantan. Tapi aku ada perlu menaruh semua peralatan tempurku jadi mau tak mau harus kembali ke pantry. Kulewati Aryo tanpa mengatakan sepatah kata pun. Selesai menaruh alat tempur, aku segera keluar dari pantry sambil mencangklong tas. Namun langkahku terhenti karena panggilan dari Aryo. Aku menoleh ke arahnya. Terlihat Aryo duduk tegak, ponselnya sudah berada di atas meja."Hai, Kania. Kamu sehat?"Aku mengernyit mendengar pertanyaan Aryo."Lah kamu emangnya gak bisa lihat aku? Kalau aku sakit gak mungkin dong aku mondar mandir sejak pagi kek kitiran. Pasti kalau aku sakit aku tuh lagi rebahan di kost. Pertanyaan aneh."Aku segera berbalik dan hendak melanjutkan langkah."Kania!"
Pak Andro masih saja memarahiku. Bahkan kini dia sedang mengeluarkan dalil-dalil dalam Al Quran yang intinya bunuh diri itu dosa. Aku sama sekali tak begitu fokus dengan amarah Pak Andro apalagi kata-katanya. Fokusku kini tersedot pada wajahnya yang benar-benar ganteng.Alis lebat, bibir tebal, rahang tegas, hidung mancung dan mata yang tajam tetapi begitu memikat. Astaga! Setahun ini aku kemana aja sih? Kok bisa aku gak nyadar ada cowok seganteng ini di dekatku. Aku malah fokus dengerin gombalan Aryo yang ujung-ujungnya dicampakkan gara-gara aku menolak untuk dibelai. Saking fokusnya menatap wajah di depanku, tak sadar aku melongo."Pffff." Aku kaget sekaligus hampir tersedak. Mulutku baru saja disumpal dengan gulungan tissue."Pfft, bah. Ish Pak Andro jahara bener deh, Kania masih doyan makan sayuran sama daging, Pak. Belum pindah haluan jenis makanannya. Kania gak berniat jadi ebeg 'Kuda Lumping' yang suka maka beling dan sebangsanya," ketusku sambil membersihkan mulut dari gumpa
"Astaghfirullah. Aryo! Apa-apaan sih?!" Aku membentak Aryo sekaligus menarik paksa tanganku yang tiba-tiba dia cengkeram kemudian dia tarik dengan kuat hingga menuju ke depan toilet."Kamu yang apa-apaan?! Udah aku bilang kalau aku cinta sama kamu, kenapa kamu malah pergi sama Pak Andro dan ninggalin aku?"Wajah Aryo terlihat seperti murka. Aku bingung, bagaimana dia tahu kalau aku pergi sama Pak Andro?"Maksud kamu apa?""Kemarin aku udah minta kamu buat balikan. Tapi kamu nolak aku. Malah kamu pergi sama Pak Andro. Kalian kemana? Jangan bilang kamu jadi murahan. Cih! Kamu nolak aku belai tapi kamu biarin Pak Andro belai kamu. Munafik kamu."Plak. Aku melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Aryo. Kini aku paham maksudnya. Beneran dah ini cowok pancen muka kadal."Helow! Mau aku pergi sama Pak Andro atau cowok yang lain itu terserah aku. Toh aku single, Pak Andro juga single. Emangnya kamu sama Deswita? Pergi bareng-bareng pakai acara kayak maling. Sembunyi-sembunyi. Lagian emang ka
Aku tersentak kaget gara-gara mendapati posisi Aryo yang begitu dekat denganku. Hampir saja kita berdempetan. "Hai, Kania. Selamat pagi?" Aryo tersenyum manis sekali sayang terlalu manis dan membuatku mau muntah akibat kemanisan. Hoek."Ngapain kamu deket-deket sama aku? Bagian kamu bukan di lantai ini!" sinisku lalu bersedekap."Hehehe. Kamu lupa ya? Aku ini kepala bagian pantry. Terserah aku dong mau dimana?" Dia masih memasang senyum aspartamya. Dih! Punya senyum aspartam aja sok iyes. Untung aku udah sadar kadar manis dalam senyumnya ada rasa-rasa pahit."Justru itu, aku sangat ingat.""Nah, jadi gak salah dong aku keliling. Siapa tahu bawahanku ada yang gak semangat kerjanya.""Uwow, keren!""Iyalah, Aryo."Aryo langsung bergaya dengan sedikit menaikkan kerah seragam OB-nya. Jiah, sok iyes banget ini orang."Tapi ya, Yo. Selain statusmu sebagai kepala pantry aku jadi ingat statusmu yang lain?""Apa?""Mantan pacar dan suami orang. Jadi ya mantan yang udah jadi suami orang, ingat
"Udah pulang?""Udah, Mas Andro jahat ih! Gak jemput Ara.""Ya, maaf. Masuk yuk.""Oke deh."Pak Andro dan wanita yang dipanggil Ara masuk ke dalam ruangan Pak Andro sambil bergandengan tangan. Sementara Mbak Jelita mengekori di belakangnya.Bruk!"Aduh!"Refleks aku menutup mulutku, takut suara tawaku yang macam kuntilanak sampai keluar dari persembunyiannya. Gawat, gak enak aku sama Mbak Jelita. "Andro! Ara! Dasar kalian."Dengan umpatan-umpatan yang bertema para penghuni Ragunan, Mbak Jelita memasuki ruangan Pak Andro. Seperti waktu itu, aku hanya bisa shock mendengar umpatan yang keluar dari mulut Mbak Jelita, bahkan sampai melongo dalam waktu yang lama.Begitu sadar, aku memilih menuju pantry lantai enam yang ukurannya mini. Sampai di sana aku menjatuhkan bokongku secara kasar. Ada rasa sebal pada lelaki bernama Andromeda itu."Ish nyebelin banget sumpah. Katanya cowok susah jatuh cinta. Setia. Lah ini malah udah punya gandengan baru? Mana cantik glowing kayak Mbak Jelita lagi.
Menjalani rutinitas sebagai OG itu ya kadang senang ya kadang bosan. Namanya hidup gak selamanya semangat. Aku pun terkadang merasa bosan dan memilih mengkhayal menjadi istri sultan. Tinggal ongkang-ongkang kaki, main perintah sana sini, wara-wiri jalan-jalan ke luar negeri sambil memakai busana trendy. Jiah! Ngimpi.Daripada khayalanku kemana-mana mending segera menginjak bumi dan menyadari realita yang ada kalau Kania hanyalah pekerja biasa alias OG.Selesai dengan tugas membersihkan area lantai enam. Aku segera kembali ke pantry mini untuk membuat minuman bagi para bos salah satunya biasalah. Pak Manajer."Pagi Pak.""Hem."Aku segera meletakkan minuman di meja Pak Andro, meliriknya sekilas lalu segera pamit saja. Namun baru juga memutar badan, si bos bersuara."Tolong carikan saya beberapa file ini di rak." Dia menyodorkan catatan padaku. Aku pun membacanya dan segera mencarinya."Ini, Pak.""Makasih.""Saya permisi, Pak.""Hem."Aku segera keluar dari ruangan Pak Andro tepat ket
Aku berlari sekuat tenaga dari parkiran menuju ke halaman sekolah tempat lima bus pariwisata sedang bertengger. Astaga! Benar-benar dah. Untung aku ini emak-emak strong, kalau enggak. Duh!"Pak, Pak, Pak. Bentar jangan ditutup!" teriakku pada bapak-bapak yang akan menutup pintu bus."Mamake!"Seorang gadis berusia tujuh belas tahun akhirnya turun. Dia segera memelukku dengan sangat erat seakan kami baru saja tak berjumpa setelah berpisah sekian lama. Padahal baru juga beberapa jam gak ketemu."Kamu ini ya Mbak, kan mamake uwis ngomong dicek dulu barang-barangnya. Kalau lupa gak jadi plesir kamu!""Hehehe." Si gadis remaja cantik duplikatku hanya cengengesan saja. Dia pun mencium tanganku, bercipika-cipiki lalu segera masuk menuju ke dalam bus. Aku dadah-dadah dan dibalas hal yang sama oleh Lyra. Pada Pak Kernet bus dan guru-guru yang ada di dalam bus aku mengangguk sopan.Selesai dengan urusan Lyra yang mau berangkat studi wisata ke Bromo, aku segera menuju ke tempat putri bungsuku yan
*Kania*Menjalani kehidupan baruku sebagai istri dari seorang Andromeda Bagaskara itu benar-benar menyenangkan sekali. Setelah menjadi istrinya, otomatis aku dipecat dari MJS. Aslinya aku tetap ingin bekerja di sana, tetapi Mas Andro gak mau. Saat aku bertanya apa dia malu punya istri seorang OG? Jawaban yang kuterima sungguh luar biasa saudara-saudara."Mas gak peduli sama status kamu dan pekerjaan kamu. Penting kamu jangan zina sama berbuat buruk, gak baik. Kalau kamu mau kerja atau kuliah lagi, oke gak masalah penting kamu jangan jadi OG lagi di MJS, bekerja satu atap sama mas.""Kenapa aku gak boleh kerja satu atap sama Mas Andro?" cecarku."Kenapa? Apa Mas Andro takut aku ngerecokin pekerjaan Mas? Takut Mas gak bisa selingkuh gitu?" Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan."Astaghfirullah, kamu pikir mas sejahat itu. Insya Allah mas tipe setia.""Terus kenapa kita gak boleh kerja satu atap?" tanyaku dengan mimik muka memelas.Mas Andro mengembuskan napasnya dalam lalu menata
*Andromeda Bagaskara*Gadis cilik itu terus saja menangis dengan sesenggukan. Sesekali dia mengelap air mata dan ingusnya yang ikut keluar. Aku mengulurkan sapu tanganku padanya.“Bajumu udah kotor, udah gak bisa lagi nampung ingus. Nih, pakai punyanya Mas.”“Makasih, Mas Ando.”“Andro!”“Ando?”“Andro! Udah tujuh tahun masih belum bisa bilang ‘R’.”Gadis itu hanya bersungut-sungut lalu mengeluarkan ingusnya lagi dengan sapu tanganku.“Nih.” Dita kecil menyerahkan sapu tangan padaku.“Jorok, cuci dulu baru balikin sama mas.”“Oke.”“Mau pulang?”Dita menggeleng. “Mau nunggu Bapak sama Ibu saja.”“Oooo.”“Mas Ando gak balik ke pesta?”“Malas, udah aku usir semua orang sama Juwita juga.”“Kasihan Mbak Juwi, Mas Ando kok galak.”“Kamu jangan polos gitu dong, kalau dijahatin balas, kalau gak bisa marah-marah ya pakai aksi gila kek, gokil kek. Pokoknya lawan. Ngerti?!”Dita mengangguk lalu tersenyum. Melihat senyumnya, aku pun ikutan tersenyum. Aneh memang, tapi aku yang kini berusia dua b
Aku menselonjorkan kedua kakiku di atas kasur. Pegel. Ternyata nikah itu capek juga. Padahal cuma berdiri di atas pelaminan, memasang senyum dan menyalami tamu doang tapi ternyata bikin capek.Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan atensiku dari rasa capek. Aku tersenyum pada Mas Suami yang dibalas dengan senyum juga.“Capek ya Mas?”“Iya.”“Mandi dulu sana.”Mas Andro menurut dan langsung menuju ke kamar mandi dalam. Aku terkekeh geli saat kembali sadar kalau Mas Andro begitu perhitungan saat merehab rumah Bapak. Selain didesain sedemikian rupa, rupanya dia menambahkan kamar mandi dalam, khusus di kamarku dan kamar kedua orang tuaku. Ckckck. Pintar-pintar.Sebagai hadiah buat si pintar, aku harus menyiapakan diri. Segera saja aku mengganti daster rumahan dengan gaun tipis menerawang yang kubeli bersama Ara. Kemudian kuolesi wajahku dengan bedak tipis-tipis lalu menggunakan lipstick warna terang biar semakin menantang buat disosor. Rambut pun kusisir rapi. Dan terakhir menyemprotk
Hari pernikahanku pun tiba. Keluarga Tante Laras banyak yang datang. Sementara dari Om Andreas ada beberapa. Kakek Ahsan pun datang.Keharuan terjadi saat Kakek Ahsan bertemu dengan Bapak. Keduanya berpelukan dan tangis-tangisan membuat semua orang yang melihat sampai menitikan air mata. “Gak nyangka beneran nikah sama Pak Manajer, loh.” Aku kaget karena sempat melamunkan adegan pertemuan Bapak dan Kakek Ahsan. Senyum kuulas pada BIP yang baru datang.“Namanya juga jodoh. Mungkin habis ini kamu sama Dokter ACDC yang nyusul.” Aku mencoba bijak.BIP sama sekali tak berkomentar, tapi aku bisa melihat ada semburat warna merah di pipinya. Ckckck, pasti deh ada apa-apa antara BIP sama Pak Dokter. Aih jadi gak sabar drama apa yang bakalan terjadi sama si dua manusia yang hidup bertetangga itu. Moga-moga sih akhir kisah keduanya happy ending kayak aku.“Kania, ayok keluar. Ijab kabulnya mau dimulai.”Aku mengangguk pada Ibu. Ibu menuntunku menuju ke ruang depan yang sudah disetting untuk te
Hari ini, Pak Andro sekeluarga akan mengunjungi rumahku di Banyumas. Aku sudah bilang pada kedua orang tuaku. Dan ketika sampai di sana, kedua lelaki paruh baya hanya saling menatap sambil menitikan air mata. Lalu mereka saling berangkulan dan menangis penuh haru. Aku yang masih bingung bagaimana bisa ada scene menangis antara Bapak dan Om Andreas makin dibuat bingung ketika ibuku berteriak heboh dan langsung cipika-cipiki dengan Tante Laras. Semakin melongo dong akunya. “Apa kamu gak paham artinya?” Mas Andro menghampiriku lalu melingkarkan tangannya pada bahuku. “Enggak.”“Ck. Kadang kamu telmi.”“Terlalu minis!”“Dan absurd.”“Abis sun radius dekat mulut.”Mas Andro hanya bisa geleng-geleng kepala. Kasihan sekali dia, bisa ketemu cewek aneh kayak aku.“Stres tahu ngomong sama kamu.”“Terus ngapain dipacarin?”“Habis antik.”Kami pun tertawa. Begitulah kami. Kalau ngobrol kadang gak nyambung tapi gak nyangka udah pacaran hampir enam bulan. Meski masih banyak netijen nyinyir yang g
Tok. Tok. Tok.“Masuk.”Dengan hati-hati aku membawa minuman menuju ruangan Mas Andro.“Permisi, Pak.”“Hem.”Mas Andro seperti biasa hanya berdehem dan fokus dengan laptopnya. Aku pun menaruh secangkir kopi dan botol air mineral di mejanya. Meski kami pacaran, tapi kalau di kantor kita tetap professional. Aku selalu memanggilnya ‘pak’ selama jam kerja. Kalau sudah selesai baru kupanggil ‘Mas Pacar’. Hehehe.“Permisi, Pak.” Segera kubalikkan tubuhku hendak keluar ruangan.“Kania.”“Ya.” Refleks kubalikkan tubuhku dan menatap ke arah Mas Andro.“Tolong rapikan rak buku saya.”“Oh, iya Pak.”Aku pun segera menuju ke rak buku milik Mas Andro. Mataku melotot, mulutku menganga melihat rak buku di ruangan Mas Andro terlihat luar biasa berantakan. Aneh, perasaan tadi pagi masih rapi. Kulirik Mas Andro yang masih asik dengan laptopnya. Ckckck, rupanya mas pacar lagi modus guys. Dia pengin berduaan tapi sama orang lain pengennya terlihat professional. Jiah, dasar!“Saya tahu saya itu tampan, t
Hampir dua bulan aku menjadi pacar Pak Manajer dan tetap menjadi OG di MJS. Tugas OG pun selalu kulakukan dengan baik. Bisik-bisik gunjingan maupun tatapan sinis padaku perlahan menghilang seiring berjalannya waktu. Mungkin para jomblowati akhirnya lelah. Mau nyinyirin, gosipin bahkan menjadi sosok Lampir yang suka perintah-perintah sambil ngegas kayak Mbak Wina gak bisa merubah realita kalau mereka tetap gak bisa bikin aku sama Mas Pacar putus. Yang ada mereka capek sendiri.Godain Papan Datar yang lempeng-peng gak ada guratan malah seringnya dapat bentakan sampai hukuman lama-lama bikin para calon penikung capek kayaknya. Ditambah lagi ngadepin aku si OG sedikit kurang waras yang dikira mudah ditindas malah bikin mereka jadi darah tinggi. Karena aku selalu menghadapi kejulitan netijen dengan senyum maut, tingkah absurd plus kibas rambut yang sekarang jarang kucel apalagi ketombean. Maklum kan udah punya Mas Pacar ganteng, jadi harus jaga diri sama penampilan dong ya.Ah, jangan lupa
Dua rengkuhan mampir di kanan kiriku membuatku sedikit kaget.“Lah, kok pada tumben meluknya barengan?”“Selamat ya Sayang.”“Selamat ya Mbak.”“Selamat buat apa ya? Buat ultahnya Kania apa karena Kania naik pangkat?”“Naik pangkatlah?”“Ciyus?”“Ciyus dong.”“Emang kalau OG naik pangkat jadi apa? Kepala pantry kan biasanya cowok?”“Calon istri.” Kompak Tante Laras dan Mbak Ara. Dan pernyataan mereka membuatku melongo.Hop. “Tutup Mbak ntar ngeces.” Mbak Ara sengaja menekan daguku.“Ish, dengar ya Mbak. Kania walau suka ngeces gini banyak yang demen loh.” Seperti biasa aku mengibaskan rambut panjangku.“Ya iyalah, buktinya mamasku yang so cool-nya macem papan datar bisa tertawan. Sampai kayak orang gila saking frustasinya gak bisa baikan sama OG idaman. Untung Ara itu adek yang perhatian. Hahaha.”“Hah? Maksudnya?”“Udah ah, yuk masuk.”Mbak Ara dan Tante Laras langsung menggamit lengan kanan-kiriku. Mereka membawaku berjalan bersama menuju lift. Aksi kami tentu saja diketahui oleh be