Suara langkah kakiku terdengar membahana di lantai enam. Dengan semangat, aku membersihkan ruangan sebelum nanti pulang kembali ke kostan. Selesai dengan pekerjaannku, aku kembali menuju ke pantry utama.
Di sana hanya ada Aryo yang sedang bermain ponsel. Sebenarnya agak malas kalau harus satu ruangan dengan mantan. Tapi aku ada perlu menaruh semua peralatan tempurku jadi mau tak mau harus kembali ke pantry.
Kulewati Aryo tanpa mengatakan sepatah kata pun. Selesai menaruh alat tempur, aku segera keluar dari pantry sambil mencangklong tas. Namun langkahku terhenti karena panggilan dari Aryo. Aku menoleh ke arahnya. Terlihat Aryo duduk tegak, ponselnya sudah berada di atas meja.
"Hai, Kania. Kamu sehat?"
Aku mengernyit mendengar pertanyaan Aryo.
"Lah kamu emangnya gak bisa lihat aku? Kalau aku sakit gak mungkin dong aku mondar mandir sejak pagi kek kitiran. Pasti kalau aku sakit aku tuh lagi rebahan di kost. Pertanyaan aneh."
Aku segera berbalik dan hendak melanjutkan langkah.
"Kania!"
Refleks aku memutar tubuhku kembali dan menatap Aryo sambil bersedekap.
"Apalagi?!" ketusku.
Aryo terlihat menarik napas dalam lalu mengembuskannya kasar. Dia menatapku dengan tatapan sendu. Jiah! Drama bener. Aku tak bergeming dan tetap dengan posisi tangan bersedekap, dagu sedikit dinaikkan, tatapan mataku kubikin setajam mungkin lalu sengaja senyum sinis yang tercetak bukan senyum lain apalagi senyum menggoda. Hoek! No way. Senyum itu hanya akan kuperlihatkan pada suamiku kelak.
"Kenapa diem? Mau ngomong apa?"
"Maaf. Maafkan aku ya Kania, aku bener-bener menyesal banget udah ngecewain kamu, mengkhianati kamu. Aku udah jadi lelaki brengsek. Aku ... aku nyesel banget." Aryo menatapku dengan mata berkaca-kaca. Mungkin bagi orang lain, mereka akan merasa iba. Tapi bagiku, enggak. Justru aku muak.
"Aku bener-bener nyesel banget Kania. Deswita gak kayak kamu. Kamu mungkin rada gila tapi kamu baik. Kamu tulus. Deswita gak kayak kamu. Deswita ...."
Dan bla bla bla. Aryo terus menceritan keburukan Deswita padaku. Deswita beginilah, Deswita begitulah. Tukang nuntutlah, tukang belanja lah. Helow, bukannya dari dulu dia udah tahu yah kalau Deswita kan emang begitu. Lalu masalahnya apa?
Hampir lima belas menit Aryo menceritakan kehidupan rumah tangganya yang baru berjalan satu bulan. Aku merasa muak mendengarnya namun sengaja kutahan. Aku hanya penasaran, maksud Aryo itu apa dengan curhat kehidupan rumah tangganya padaku.
"Terus?"
"Ya begitu Kania, Deswita gak pernah menghargai aku, dia egois banget, dia gak pernah nyiapin apa pun keperluanku. Dia males-malesan. Aku udah gak tahan banget hidup sama Deswita."
Aryo menghentikan curhatannya. Dia meminum kopinya lalu berulang kali menarik napas dan mengembuskannya.
"Terus?"
"Ya begitu, Kania. Intinya aku udah gak tahan hidup sama dia."
"Terus kenapa kamu malah curhat ke aku? Bukannya lebih baik kamu ngomong dari hati ke hati sama istrimu?"
Aryo menatapku sendu kemudian dia tersenyum lebar.
"Aku udah mutusin mau menceraikan Deswita setelah dia melahirkan dan aku akan menikahi kamu." Ada senyum sangat lebar yang menghiasi bibir Aryo saat mengatakannya.
Aku sendiri hanya bisa melongo. Cukup lama aku bertahan dengan posisi melongo. Untung aku sedang tak berada di kebun bunga dengan para kumbang dan kupu-kupu. Atau di sekitar TPA dengan segala lalat dan kumpulan hewan pengisap darah. Soalnya, kalau aku sedang berada di taman bunga atau TPA, bisa dipastikan para serangga domestik kini sedang berlomba-lomba masuk ke dalam mulutku. Soalnya aku kan manis.
"Nia! Kania. Kania!" bentakkan Aryo mengagetkanku. Otomatis mulutku terkatup. Aku berusaha menenangkan diriku.
Setelah kembali ke dunia nyata bukan halu aku malah tertawa terpingkal-pingkal.
"Nia! Kamu kenapa? Kenapa kamu tertawa kek gitu?"
Aku masih tertawa sementara Aryo sudah berdiri. Terlihat sekali kini mukanya memucat seperti orang yang sedang ketakutan.
Sementara aku terus saja tertawa. "Hahaha, hihihi, hahaha, hihihi, hahaha."
Aku bahkan sampai memegang perutku yang tiba-tiba kram karena kebanyakan tertawa.
"Nia! Nia! Kamu kenapa, Sayang? Kamu gak papa, 'kan? Kamu gak ketempelan kuntilanak penghuni pantry, 'kan?" Aryo masih menatapku dengan raut wajah panik.
Aku menghentikan tawaku. Meski masih ingin tertawa namun aku berusaha sangat keras agar tak tertawa lagi. Begitu tawaku sudah reda segera kulempar tatapan maut pada Aryo. Aryo kaget dan terlihat mukanya semakin ketakutan.
"Ni-nia. Ka-mu ke-napa? Ka-mu gak kesu-rupan, 'kan?"
Wajah Aryo semakin memucat apalagi ketika aku mendekat ke arahnya dengan memasang wajah garang.
Plak. Langsung saja kutampar pipinya. Sungguh aku merasa geram sekali. Dulu ketika mendapati Aryo selingkuh, aku memilih diam dan mencoba menyelamatkan sendiri hatiku yang sudah berdarah-darah. Jangan tanyakan berapa Betadine, kain kasa sama plester yang kugunakan. Banyak pokoknya. Belum lagi air mataku yang terus menerus mengalir sampai membuat kolam di sekitar sarung bantal yang bergabung dengan kolam iler.
Dan kini? Si mantan malah ngajakin aku balikan? Ngajakin nikah? Setelah dia mencampakkanku begitu saja? No way. Mending aku nyari bujang muka tembok tapi hatinya bak malaikat dan penuh kasih sayang daripada harus kembali sama mantan.
"Nia! Kamu tampar aku, Sayang?"
"Sayang sayang kepala kamu kena godam. Heh, mantan! Apa kamu lupa apa yang udah kamu lakuin buat aku! Apa kamu ingat perlakuan kamu, di belakang aku. Selingkuhin aku, belum lagi sampai DP duluan sama mantan temen aku itu. Kamu pikir aku mau balikan sama kamu? No way! Mending aku nyari bujang muka tembok tapi baik hati dan sombong. Gak masalah. Asal dia setia sama aku. Ngaca kamu! Ngaca! Dulu kamu kemana, hah? Meski aku di luar ketawa-ketiwi aku tetap punya hati. Sakit kalau disakiti, nangis kalau kamu khianati."
"Nia ... maaf. Aku khilaf."
"Khilaf itu sekali, Aryo. Bukan berkali-kali. Itu namanya demen. Itu namanya brengsek. Hiks hiks hiks."
Akhirnya aku menangis di depan Aryo. Sesuatu yang sebulan lalu jangan sampai terlihat di depan orang lain kini kuperlihatkan di depannya. Aku tak peduli dengan malu, Maluku masih tetap di sebelah pulau Sulawesi gak mungkin pindah-pindah. Penting sakit hatiku harus diluapkan.
"Nia, maaf. Ayo kita perbaiki semua. Aku janji aku akan berubah. Aku akan melepaskan Deswita. Kamu sabar ya, tunggu aku." Aryo mendekat ke arahku, refleks aku menjauh. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kusapu dengan kasar air mataku.
"Enggak Aryo, pantang bagiku untuk merebut milik orang lain. Kalau kamu menyesal, harusnya kamu bertobat dan perbaiki diri kamu. Harusnya kamu berusaha menjadikan pernikahan kamu sebagai ladang untuk memperbaiki diri bukannya malah semakin menjerumuskan kamu."
"Nia ... aku mohon, maafkan aku. Beri aku kesempatan."
Aku menggeleng, kuseka air mataku serta ingusku yang masih keluar dengan lengan baju.
"Kesempatan buat kamu udah gak ada. Maaf Aryo, kisah kita udah usai. Jangan ganggu aku lagi, biarkan aku menata masa depanku. Lebih baik kamu perbaiki hubunganmu dengan Deswita. Ingat, ada anak kalian di rahim Deswita. Jadikan dia sebagai pengingat akan kesalahan kamu. Jangan kamu korbankan dia hanya untuk napsu kamu."
Aku langsung berbalik dan berjalan menuju ke luar pantry. Aku berlari menuju atap gedung. Aku butuh tempat untuk mengasingkan diri sejenak.
Sampai di atas gedung, aku berjongkok dan mulai menangis lagi.
"Ya ampun, dasar mantan sialan! Gak tahu apa aku lagi bokek, duitku udah abis buat bayar bukunya si Sania. Hiks hiks hiks. Yak, aku gak punya duit buat beli Betadine, kasa, sama plester. Hiks hiks hiks. Dasar mantan sialan. Enak aja ngajak balikan, hiks hiks hiks."
Aku benar-benar merasa frustasi karena air mataku tak juga berhenti. Mana tuh ingus juga ikut-ikutan meler lagi.
Sebuah uluran tissue mengarah di depan wajahku. Aku mendongak. Tampak seseorang berdiri dengan posisi wajahnya sengaja tak menatap ke arahku.
"Pakai ini, kasihan lengan bajumu udah gak bisa nampung air mata sama ingus."
Aku menerima uluran tissue dari Pak Andro. Menarik beberapa lembar, lalu segera kuhapus air mataku. Menarik tissue lagi untuk menghapus ingus. Sengaja aku membuat suara agar ingusku keluar semua.
"Ma-kasih. Pak An-dro," ucapku sambil sesenggukan.
Dia hanya tertawa mengejek. Mana tuh decakan sinisnya terdengar lagi.
"Gak nyangka ya, cewek kayak kamu bisa patah hati juga. Bisa nangis juga."
"Iyalah, Pak. Meski saya sedikit gila tetap saja saya punya hati, Pak. Bapak aja yang gak ada hati bisa sedih diselingkuhin pacar apalagi Nia yang cuma wanita biasa," ucapku sambil membuang ingusku lagi.
"Ck. Lebay," sinisnya.
Aku menoleh tak terima ke arah Pak Andro. Beneran ya ini orang gak ada empati sama sekali. Padahal kemarin waktu dia patah hati, aku loh yang dengan sukarela membuatkannya kopi. Karena sedang sedih, aku membiarkan saja tingkahnya. Terlalu lelah untuk membalas.
Aku justru fokus meratapi diri dengan posisi masih jongkok. Kurasakan embusan angin menerpa wajahku. Aku merasa tenang. Kelegaan kini menyergap diriku, aku pun berdiri lalu melangkahkan kaki menuju ke pembatas gedung. Kurentangkan kedua tanganku ke samping, mata sengaja kupejam agar lebih menikmati embusan angin yang datang.
Grep. Duk! Gedebuk. Brak!
Aku mengaduh karena merasakan sakit pada bokongku yang baru saja mencium lantai. Segera kupandangi seseorang yang berada di sampingku dengan posisi duduk juga dengan raut wajah keheranan.
"Kamu mau bunuh diri?!" teriaknya.
"Kalau mau bunuh diri jangan di sini apalagi di depan saya! Sana nyari tempat lain." Pak Andro terlihat kesal dan terus memarahiku.
Aku melongo tak percaya. Bunuh diri? Astaga! Jangan bilang Pak Manajer mengira aku mau bunuh diri.
Pak Andro masih saja memarahiku. Bahkan kini dia sedang mengeluarkan dalil-dalil dalam Al Quran yang intinya bunuh diri itu dosa. Aku sama sekali tak begitu fokus dengan amarah Pak Andro apalagi kata-katanya. Fokusku kini tersedot pada wajahnya yang benar-benar ganteng.Alis lebat, bibir tebal, rahang tegas, hidung mancung dan mata yang tajam tetapi begitu memikat. Astaga! Setahun ini aku kemana aja sih? Kok bisa aku gak nyadar ada cowok seganteng ini di dekatku. Aku malah fokus dengerin gombalan Aryo yang ujung-ujungnya dicampakkan gara-gara aku menolak untuk dibelai. Saking fokusnya menatap wajah di depanku, tak sadar aku melongo."Pffff." Aku kaget sekaligus hampir tersedak. Mulutku baru saja disumpal dengan gulungan tissue."Pfft, bah. Ish Pak Andro jahara bener deh, Kania masih doyan makan sayuran sama daging, Pak. Belum pindah haluan jenis makanannya. Kania gak berniat jadi ebeg 'Kuda Lumping' yang suka maka beling dan sebangsanya," ketusku sambil membersihkan mulut dari gumpa
"Astaghfirullah. Aryo! Apa-apaan sih?!" Aku membentak Aryo sekaligus menarik paksa tanganku yang tiba-tiba dia cengkeram kemudian dia tarik dengan kuat hingga menuju ke depan toilet."Kamu yang apa-apaan?! Udah aku bilang kalau aku cinta sama kamu, kenapa kamu malah pergi sama Pak Andro dan ninggalin aku?"Wajah Aryo terlihat seperti murka. Aku bingung, bagaimana dia tahu kalau aku pergi sama Pak Andro?"Maksud kamu apa?""Kemarin aku udah minta kamu buat balikan. Tapi kamu nolak aku. Malah kamu pergi sama Pak Andro. Kalian kemana? Jangan bilang kamu jadi murahan. Cih! Kamu nolak aku belai tapi kamu biarin Pak Andro belai kamu. Munafik kamu."Plak. Aku melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Aryo. Kini aku paham maksudnya. Beneran dah ini cowok pancen muka kadal."Helow! Mau aku pergi sama Pak Andro atau cowok yang lain itu terserah aku. Toh aku single, Pak Andro juga single. Emangnya kamu sama Deswita? Pergi bareng-bareng pakai acara kayak maling. Sembunyi-sembunyi. Lagian emang ka
Aku tersentak kaget gara-gara mendapati posisi Aryo yang begitu dekat denganku. Hampir saja kita berdempetan. "Hai, Kania. Selamat pagi?" Aryo tersenyum manis sekali sayang terlalu manis dan membuatku mau muntah akibat kemanisan. Hoek."Ngapain kamu deket-deket sama aku? Bagian kamu bukan di lantai ini!" sinisku lalu bersedekap."Hehehe. Kamu lupa ya? Aku ini kepala bagian pantry. Terserah aku dong mau dimana?" Dia masih memasang senyum aspartamya. Dih! Punya senyum aspartam aja sok iyes. Untung aku udah sadar kadar manis dalam senyumnya ada rasa-rasa pahit."Justru itu, aku sangat ingat.""Nah, jadi gak salah dong aku keliling. Siapa tahu bawahanku ada yang gak semangat kerjanya.""Uwow, keren!""Iyalah, Aryo."Aryo langsung bergaya dengan sedikit menaikkan kerah seragam OB-nya. Jiah, sok iyes banget ini orang."Tapi ya, Yo. Selain statusmu sebagai kepala pantry aku jadi ingat statusmu yang lain?""Apa?""Mantan pacar dan suami orang. Jadi ya mantan yang udah jadi suami orang, ingat
"Udah pulang?""Udah, Mas Andro jahat ih! Gak jemput Ara.""Ya, maaf. Masuk yuk.""Oke deh."Pak Andro dan wanita yang dipanggil Ara masuk ke dalam ruangan Pak Andro sambil bergandengan tangan. Sementara Mbak Jelita mengekori di belakangnya.Bruk!"Aduh!"Refleks aku menutup mulutku, takut suara tawaku yang macam kuntilanak sampai keluar dari persembunyiannya. Gawat, gak enak aku sama Mbak Jelita. "Andro! Ara! Dasar kalian."Dengan umpatan-umpatan yang bertema para penghuni Ragunan, Mbak Jelita memasuki ruangan Pak Andro. Seperti waktu itu, aku hanya bisa shock mendengar umpatan yang keluar dari mulut Mbak Jelita, bahkan sampai melongo dalam waktu yang lama.Begitu sadar, aku memilih menuju pantry lantai enam yang ukurannya mini. Sampai di sana aku menjatuhkan bokongku secara kasar. Ada rasa sebal pada lelaki bernama Andromeda itu."Ish nyebelin banget sumpah. Katanya cowok susah jatuh cinta. Setia. Lah ini malah udah punya gandengan baru? Mana cantik glowing kayak Mbak Jelita lagi.
Menjalani rutinitas sebagai OG itu ya kadang senang ya kadang bosan. Namanya hidup gak selamanya semangat. Aku pun terkadang merasa bosan dan memilih mengkhayal menjadi istri sultan. Tinggal ongkang-ongkang kaki, main perintah sana sini, wara-wiri jalan-jalan ke luar negeri sambil memakai busana trendy. Jiah! Ngimpi.Daripada khayalanku kemana-mana mending segera menginjak bumi dan menyadari realita yang ada kalau Kania hanyalah pekerja biasa alias OG.Selesai dengan tugas membersihkan area lantai enam. Aku segera kembali ke pantry mini untuk membuat minuman bagi para bos salah satunya biasalah. Pak Manajer."Pagi Pak.""Hem."Aku segera meletakkan minuman di meja Pak Andro, meliriknya sekilas lalu segera pamit saja. Namun baru juga memutar badan, si bos bersuara."Tolong carikan saya beberapa file ini di rak." Dia menyodorkan catatan padaku. Aku pun membacanya dan segera mencarinya."Ini, Pak.""Makasih.""Saya permisi, Pak.""Hem."Aku segera keluar dari ruangan Pak Andro tepat ket
Tok. Tok. Tok.Suara ketukan di pintu kamarku, benar-benar mengganggu acara kencanku sama guling. Berusaha abai, aku malah semakin mengetatkan pelukanku pada MasGul.Tok. Tok. Tok. Suara ketukan pintu menjadi semakin keras."Arggh." Aku menggeram frustasi. Mau tak mau aku jadi terbangun.Tok. Tok. Tok.Secara kasar, aku mengacak-ngacak rambutku, melempar MasGul dan menatap nyalang pada pintu.Tok. Tok. Tok. Lagi, pintu kamarku diketuk dengan sangat keras.Aku menghembuskan napasku kasar. Dalam hati mengumpati siapa pun yang mengetuk pintu."Dasar kurang garam. Gak tahu apa, aku capek banget habis kerja rodi kemarin. Beneran dah, siapa pun yang ketuk pintu aku kutuk dia. Kalau cewek kujadikan saudari kalau cowok kujadikan suami."Tok. Tok. Tok."Ya ya ya, aku bangun!" teriakku.Dengan malas aku turun dari ranjang lalu berjalan gontai menuju ke pintu.Ceklek. Aku memutar kunci pintu lalu segera membuka pintu kamar lebar-lebar."Bisa gak sih! Gak ganggu orang tidur? Capek tahu, habis kerj
Aku kaget saat pintu lift terbuka pun dengan sosok di dalam lift. Otomatis kami saling membuang muka. Pak Andro segera keluar dari lift, setelah itu baru aku memasuki lift. Saat pintu lift menutup aku mengusap-usap dadaku untuk menghilangkan debar-debar di dada. Aneh, semenjak kejadian itu kok aku seringnya berdebar ya kalau ketemu Pak Andro?Bukannya sok pede, tapi Pak Andro juga aneh. Beberapa kali aku melihat dia sering mencuri-curi pandang padaku. Dan you know arah tatapannya? Yak ke situ. Dan itu bikin aku gak pede. Soalnya ukurannya kan lebih kecil dibandingin Mbak Jelita. Yah walau Mbak Jelita kalau pakai baju seringnya tertutup tapi kan sebagai wanita aku bisa ngira-ngira ukurannya. Nah, kalau dibandingin dengan punyaku jelas punyaku gak ada apa-apa.Lah, ini aku kok kenapa malah mikirin urusan nomer kacamata? Haish, gara-gara Pak Andro ini. Au ah. Daripada pusing mikirin kacamata mending kembali ke realita.Sampai di lobby aku sedikit kaget melihat Mas Andi sedang bersenda gu
Aku segera mengambil karbol, membuka tutupnya lalu mengucurkan sedikit demi sedikit ke atas lantai maupun ke dalam kloset. Menunggu beberapa menit kemudian mulai menyikati kloset maupun kamar mandinya. Kuulangi beberapa kali sampai bau pesingnya benar-benar hilang. Setelah itu segera kukucurkan air dan bilas sampai bersih. Kegiatan selanjutnya adalah membuka plastik kapur barus lalu menaruhnya di berbagai sudut toilet.Aku menghirup aroma karbol bercampur kapur barus. "Sip. Bau pesingnya udah gak ada."Aku menaruh sikat panjang di pojokan belakang pintu. Baru saja berniat membuka pintu namun urung. Bahkan aku sampai 'jimprak' (kaget) gara-gara mendengar suara pintu terbuka dengan keras. Hampir saja pintu kamar mandi mengenaiku, beruntung aku menahannya dengan tangan.Dan belum sempat aku lepas dari kekagetanku, aku kaget lagi gara-gara pintu kamar mandi ditutup keras dan terdengar bunyi klik."Dasar mantan kurang ajar, sialan! Dia pikir bisa jebak aku apa? Ini Andro ya? Rasakan balas
Aku berlari sekuat tenaga dari parkiran menuju ke halaman sekolah tempat lima bus pariwisata sedang bertengger. Astaga! Benar-benar dah. Untung aku ini emak-emak strong, kalau enggak. Duh!"Pak, Pak, Pak. Bentar jangan ditutup!" teriakku pada bapak-bapak yang akan menutup pintu bus."Mamake!"Seorang gadis berusia tujuh belas tahun akhirnya turun. Dia segera memelukku dengan sangat erat seakan kami baru saja tak berjumpa setelah berpisah sekian lama. Padahal baru juga beberapa jam gak ketemu."Kamu ini ya Mbak, kan mamake uwis ngomong dicek dulu barang-barangnya. Kalau lupa gak jadi plesir kamu!""Hehehe." Si gadis remaja cantik duplikatku hanya cengengesan saja. Dia pun mencium tanganku, bercipika-cipiki lalu segera masuk menuju ke dalam bus. Aku dadah-dadah dan dibalas hal yang sama oleh Lyra. Pada Pak Kernet bus dan guru-guru yang ada di dalam bus aku mengangguk sopan.Selesai dengan urusan Lyra yang mau berangkat studi wisata ke Bromo, aku segera menuju ke tempat putri bungsuku yan
*Kania*Menjalani kehidupan baruku sebagai istri dari seorang Andromeda Bagaskara itu benar-benar menyenangkan sekali. Setelah menjadi istrinya, otomatis aku dipecat dari MJS. Aslinya aku tetap ingin bekerja di sana, tetapi Mas Andro gak mau. Saat aku bertanya apa dia malu punya istri seorang OG? Jawaban yang kuterima sungguh luar biasa saudara-saudara."Mas gak peduli sama status kamu dan pekerjaan kamu. Penting kamu jangan zina sama berbuat buruk, gak baik. Kalau kamu mau kerja atau kuliah lagi, oke gak masalah penting kamu jangan jadi OG lagi di MJS, bekerja satu atap sama mas.""Kenapa aku gak boleh kerja satu atap sama Mas Andro?" cecarku."Kenapa? Apa Mas Andro takut aku ngerecokin pekerjaan Mas? Takut Mas gak bisa selingkuh gitu?" Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan."Astaghfirullah, kamu pikir mas sejahat itu. Insya Allah mas tipe setia.""Terus kenapa kita gak boleh kerja satu atap?" tanyaku dengan mimik muka memelas.Mas Andro mengembuskan napasnya dalam lalu menata
*Andromeda Bagaskara*Gadis cilik itu terus saja menangis dengan sesenggukan. Sesekali dia mengelap air mata dan ingusnya yang ikut keluar. Aku mengulurkan sapu tanganku padanya.“Bajumu udah kotor, udah gak bisa lagi nampung ingus. Nih, pakai punyanya Mas.”“Makasih, Mas Ando.”“Andro!”“Ando?”“Andro! Udah tujuh tahun masih belum bisa bilang ‘R’.”Gadis itu hanya bersungut-sungut lalu mengeluarkan ingusnya lagi dengan sapu tanganku.“Nih.” Dita kecil menyerahkan sapu tangan padaku.“Jorok, cuci dulu baru balikin sama mas.”“Oke.”“Mau pulang?”Dita menggeleng. “Mau nunggu Bapak sama Ibu saja.”“Oooo.”“Mas Ando gak balik ke pesta?”“Malas, udah aku usir semua orang sama Juwita juga.”“Kasihan Mbak Juwi, Mas Ando kok galak.”“Kamu jangan polos gitu dong, kalau dijahatin balas, kalau gak bisa marah-marah ya pakai aksi gila kek, gokil kek. Pokoknya lawan. Ngerti?!”Dita mengangguk lalu tersenyum. Melihat senyumnya, aku pun ikutan tersenyum. Aneh memang, tapi aku yang kini berusia dua b
Aku menselonjorkan kedua kakiku di atas kasur. Pegel. Ternyata nikah itu capek juga. Padahal cuma berdiri di atas pelaminan, memasang senyum dan menyalami tamu doang tapi ternyata bikin capek.Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan atensiku dari rasa capek. Aku tersenyum pada Mas Suami yang dibalas dengan senyum juga.“Capek ya Mas?”“Iya.”“Mandi dulu sana.”Mas Andro menurut dan langsung menuju ke kamar mandi dalam. Aku terkekeh geli saat kembali sadar kalau Mas Andro begitu perhitungan saat merehab rumah Bapak. Selain didesain sedemikian rupa, rupanya dia menambahkan kamar mandi dalam, khusus di kamarku dan kamar kedua orang tuaku. Ckckck. Pintar-pintar.Sebagai hadiah buat si pintar, aku harus menyiapakan diri. Segera saja aku mengganti daster rumahan dengan gaun tipis menerawang yang kubeli bersama Ara. Kemudian kuolesi wajahku dengan bedak tipis-tipis lalu menggunakan lipstick warna terang biar semakin menantang buat disosor. Rambut pun kusisir rapi. Dan terakhir menyemprotk
Hari pernikahanku pun tiba. Keluarga Tante Laras banyak yang datang. Sementara dari Om Andreas ada beberapa. Kakek Ahsan pun datang.Keharuan terjadi saat Kakek Ahsan bertemu dengan Bapak. Keduanya berpelukan dan tangis-tangisan membuat semua orang yang melihat sampai menitikan air mata. “Gak nyangka beneran nikah sama Pak Manajer, loh.” Aku kaget karena sempat melamunkan adegan pertemuan Bapak dan Kakek Ahsan. Senyum kuulas pada BIP yang baru datang.“Namanya juga jodoh. Mungkin habis ini kamu sama Dokter ACDC yang nyusul.” Aku mencoba bijak.BIP sama sekali tak berkomentar, tapi aku bisa melihat ada semburat warna merah di pipinya. Ckckck, pasti deh ada apa-apa antara BIP sama Pak Dokter. Aih jadi gak sabar drama apa yang bakalan terjadi sama si dua manusia yang hidup bertetangga itu. Moga-moga sih akhir kisah keduanya happy ending kayak aku.“Kania, ayok keluar. Ijab kabulnya mau dimulai.”Aku mengangguk pada Ibu. Ibu menuntunku menuju ke ruang depan yang sudah disetting untuk te
Hari ini, Pak Andro sekeluarga akan mengunjungi rumahku di Banyumas. Aku sudah bilang pada kedua orang tuaku. Dan ketika sampai di sana, kedua lelaki paruh baya hanya saling menatap sambil menitikan air mata. Lalu mereka saling berangkulan dan menangis penuh haru. Aku yang masih bingung bagaimana bisa ada scene menangis antara Bapak dan Om Andreas makin dibuat bingung ketika ibuku berteriak heboh dan langsung cipika-cipiki dengan Tante Laras. Semakin melongo dong akunya. “Apa kamu gak paham artinya?” Mas Andro menghampiriku lalu melingkarkan tangannya pada bahuku. “Enggak.”“Ck. Kadang kamu telmi.”“Terlalu minis!”“Dan absurd.”“Abis sun radius dekat mulut.”Mas Andro hanya bisa geleng-geleng kepala. Kasihan sekali dia, bisa ketemu cewek aneh kayak aku.“Stres tahu ngomong sama kamu.”“Terus ngapain dipacarin?”“Habis antik.”Kami pun tertawa. Begitulah kami. Kalau ngobrol kadang gak nyambung tapi gak nyangka udah pacaran hampir enam bulan. Meski masih banyak netijen nyinyir yang g
Tok. Tok. Tok.“Masuk.”Dengan hati-hati aku membawa minuman menuju ruangan Mas Andro.“Permisi, Pak.”“Hem.”Mas Andro seperti biasa hanya berdehem dan fokus dengan laptopnya. Aku pun menaruh secangkir kopi dan botol air mineral di mejanya. Meski kami pacaran, tapi kalau di kantor kita tetap professional. Aku selalu memanggilnya ‘pak’ selama jam kerja. Kalau sudah selesai baru kupanggil ‘Mas Pacar’. Hehehe.“Permisi, Pak.” Segera kubalikkan tubuhku hendak keluar ruangan.“Kania.”“Ya.” Refleks kubalikkan tubuhku dan menatap ke arah Mas Andro.“Tolong rapikan rak buku saya.”“Oh, iya Pak.”Aku pun segera menuju ke rak buku milik Mas Andro. Mataku melotot, mulutku menganga melihat rak buku di ruangan Mas Andro terlihat luar biasa berantakan. Aneh, perasaan tadi pagi masih rapi. Kulirik Mas Andro yang masih asik dengan laptopnya. Ckckck, rupanya mas pacar lagi modus guys. Dia pengin berduaan tapi sama orang lain pengennya terlihat professional. Jiah, dasar!“Saya tahu saya itu tampan, t
Hampir dua bulan aku menjadi pacar Pak Manajer dan tetap menjadi OG di MJS. Tugas OG pun selalu kulakukan dengan baik. Bisik-bisik gunjingan maupun tatapan sinis padaku perlahan menghilang seiring berjalannya waktu. Mungkin para jomblowati akhirnya lelah. Mau nyinyirin, gosipin bahkan menjadi sosok Lampir yang suka perintah-perintah sambil ngegas kayak Mbak Wina gak bisa merubah realita kalau mereka tetap gak bisa bikin aku sama Mas Pacar putus. Yang ada mereka capek sendiri.Godain Papan Datar yang lempeng-peng gak ada guratan malah seringnya dapat bentakan sampai hukuman lama-lama bikin para calon penikung capek kayaknya. Ditambah lagi ngadepin aku si OG sedikit kurang waras yang dikira mudah ditindas malah bikin mereka jadi darah tinggi. Karena aku selalu menghadapi kejulitan netijen dengan senyum maut, tingkah absurd plus kibas rambut yang sekarang jarang kucel apalagi ketombean. Maklum kan udah punya Mas Pacar ganteng, jadi harus jaga diri sama penampilan dong ya.Ah, jangan lupa
Dua rengkuhan mampir di kanan kiriku membuatku sedikit kaget.“Lah, kok pada tumben meluknya barengan?”“Selamat ya Sayang.”“Selamat ya Mbak.”“Selamat buat apa ya? Buat ultahnya Kania apa karena Kania naik pangkat?”“Naik pangkatlah?”“Ciyus?”“Ciyus dong.”“Emang kalau OG naik pangkat jadi apa? Kepala pantry kan biasanya cowok?”“Calon istri.” Kompak Tante Laras dan Mbak Ara. Dan pernyataan mereka membuatku melongo.Hop. “Tutup Mbak ntar ngeces.” Mbak Ara sengaja menekan daguku.“Ish, dengar ya Mbak. Kania walau suka ngeces gini banyak yang demen loh.” Seperti biasa aku mengibaskan rambut panjangku.“Ya iyalah, buktinya mamasku yang so cool-nya macem papan datar bisa tertawan. Sampai kayak orang gila saking frustasinya gak bisa baikan sama OG idaman. Untung Ara itu adek yang perhatian. Hahaha.”“Hah? Maksudnya?”“Udah ah, yuk masuk.”Mbak Ara dan Tante Laras langsung menggamit lengan kanan-kiriku. Mereka membawaku berjalan bersama menuju lift. Aksi kami tentu saja diketahui oleh be