"Hei, serius nggak apa-apa meninggalkan mereka berduaan aja, Ar?" tentu Sisca protes, mereka meninggalkan orang tua mereka hanya berduaan selarut ini.
"Tentu, mereka perlu ruang bicara empat mata, bicara tanpa takut mengeluarkan apapun yang menganjal di hati mereka masing-masing."
Bagi Arnold ini penting. Mengingat sejarah mereka yang sedikit menyakitkan di masa lalu, agaknya mereka perlu banyak bicara dari hati ke hati tentang apa saja yang sudah mereka lalui selama ini. Terlebih perihal masalah Arnold dan Sisca. Jadilah Arnold memutuskan untuk membawa Sisca kabur dan membiarkan mereka ngobrol berdua saja.
"Aku takut kalau me-."
"Takut mereka balikan? CLBK gitu?" potong Arnold yang langsung dapat pelototan tajam dari Sisca. "Takut terus kita nggak jadi nikah?"
"Ar ... aku serius!" Sisca benar-benar gemas pada sosok itu, ini orang kenapa begitu santai sih? Padahal jantung Sisca sejak tadi tidak karu-karuan dan begitu cemas, kenapa dia bisa begitu s
Arnold mematikan mesin mobil, ia langsung melepas seat belt dan melangkah turun ketika ingat dua orang itu sudah berdiri di depan pagar rumah sambil melipat tangan di dada. Arnold sontak nyengir lebar, hendak mendekati mereka ketika kemudian Linda lebih dulu buka suara."Bagus! Bapaknya di sini kamu masih berani juga ya main bawa kabur anak orang?" Linda melotot gemas ke arah sang anak, membuat Arnold kembali nyengir memamerkan giginya yang putih bersih."Niat Arnold sih biar Mami sama Papa bisa ngobrol berdua gitu." gumam Arnold membela diri. "Sudah selesai, kan, ngobrolnya?"Linda menghela nafas panjang, menatap Arnold dan Sisca yang kompak nyengir lebar. Begitu pula dengan Burhan, dia hanya menggeleng perlahan sambil mengulum senyum."Sis, pulang! Tidur di rumah!" titah Burhan yang langsung diikuti anggukan kepala oleh Sisca.Sisca melangkah mendekati Linda dan mencium tangan Linda dengan hormat, berdiri di samping sang p
"Rajin amat pagi-pagi udah bangun, Sis?" komentar Burhan ketika sepagi ini menemukan anak gadisnya sudah sibuk di dapur.Sisca sontak membulatkan matanya, "Pa, tiap hari Sisca begini ih!" ia lantas mencebik, dia sudah terbiasa seperti ini semenjak keluar dari rumah dan kuliah di luar kota.Tawa Burhan pecah, ia duduk di salah satu kursi dan menatap Sisca yang sibuk mengaduk sesuatu di penggorengan. Dari baunya seperti nasi goreng, ah ... bahkan sejak SD pun, Sisca sudah pandai memasak masakan itu seorang diri."Tak kau ajak calon suami dan calon mama mertuamu sarapan?"Tangan Sisca tampak berhenti mengaduk nasi dalam wajan, ia mengecilkan api dan menoleh menatap sang papa yang mengamatinya dari kursi tempat dia duduk."Papa nggak masalah kalau tante Linda ikut bergabung sama kita buat sarapan?" tentu Sisca perlu mempertanyakan hal ini, bagaimana pun dulu pernah terjadi sebuah ikatan di antara mereka berdua, dan sebuah hal yang tidak cukup baik menj
"Aku pamit, Han."Burhan mengangguk pelan, ia tersenyum menatap Linda yang pagi ini sudah hendak kembali ke Jakarta. Mobil Sedan mewah itu sudah berhenti di depan rumah Arnold, tampak seorang laki-laki muda berpakaian serba hitam berdiri tegap di samping mobil."Save flight, Lin. Aku tunggu kabar kelanjutan obrolan kita semalam." tentu itu yang Burhan nantikan, ia ingin anak gadisnya segera mendapat kepastian, terlebih dia sudah begitu jauh berbuat, bukan?"Akan langsung aku kabari, Han. Jangan khawatir." kini Linda menatap Sisca yang berdiri di samping Burhan, tersenyum, meraih tangan Sisca dan meremasnya lembut. "Mami balik ya, Sayang. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Mami, ya?"Sisca tersenyum, mengangguk pelan tanda dia mengerti dan paham mengenai apa yang tadi diperintahkan Linda kepadanya."Kabari Sisca kalau Mami sudah sampai, ya?" sebuah hal sepele yang sangat dinantikan oleh orang-orang ketika orang yang dia saya
"Sejauh apa hubungan kamu sama Dirly?"Jelita memucat, dia menatap sang bos dengan tatapan serius. Kenapa bosnya menanyakan hal itu? Apakah ada sesuatu rahasia yang laki-laki itu simpan darinya, yang tidak pernah Jelita ketahui? Dia belum beristri, bukan?"Me-memangnya kenapa, Pak?" tanya Jelita dengan mata yang tidak lepas dari wajah Arnold.Arnold menghela nafas panjang, menundukkan pandangannya sejenak lantas kembali menatap Jelita dengan seksama."Tidak apa-apa, aku hanya sedang berusaha melindungimu."***"Si Dirut Dajjal kemana sih?"Jelita terkejut setengah mati dengan kehadiran tiba-tiba sosok itu di depan mejanya. Ia fokus menatap wajah itu lantas menggeleng perlahan."Saya nggak tahu, Pak. Tadi saya lihat masih di ruangan beliau." jawab Jelita yang meninggalkan sejenak pekerjaannya.Nampak sosok itu lantas duduk di kursi yang ada di depan Jelita, mengusap wajahnya sambil mendengus ke
Jelita mematut dirinya di depan cermin, agaknya ini bukan pilihan yang buruk. Atasan model Sabrina dengan dada berkerut warna merah dan celana highweist warna putih terlihat begitu pas dan cantik dia kenakan. Rambutnya dia curly dan dia beri jepit tepat di atas telinga sebelah kanan. Sepatu dengan hak lima centi itu menjadi pilihannya malam ini. Tak lupa tas selempang warna krem yang senada dengan warna sepatu, turut menyempurnakan penampilannya malam ini.Jelita bergegas turun, sejak lima menit yang lalu, Dirly sudah mengabari dirinya bahwa dia sudah menunggu di depan gerbang kost.Dengan langkah tergesa, Jelita keluar dan mendapati mobil berwarna hitam itu sudah stand by di sana. Jantung Jelita berdegup dua kali lebih cepat, ia melangkah menghampiri mobil itu, membuka pintunya dan masuk ke dalam."Nunggu lama, Pak?" tanya Jelita pada sosok yang tengah menatapnya dengan seksama itu, sebuah tatapan yang entah mengapa tidak membuat Jelita
Nomaden memang terkenal sebagai tempatnya steak lembut dan luar biasa nikmat. Steak olahan resto ini seolah memiliki sihir yang membuat para penikmatnya selalu ingin mencicipinya lagi dan lagi. Namun, di salah satu meja yang ada di depan stand Nomaden, agaknya bukan hanya hidangan mereka yang memiliki sihir, tetapi sosok yang begitu tampan dengan wajah cool bukan main itu seperti memiliki kekuatan yang membuat siapa saja betah menatapnya. Ya ... siapa saja, tidak terkecuali Jelita.Makan steak Nomaden dengan memandangi wajah tampan yang duduk di hadapannya ini? Astaga, nikmat mana lagi yang hendak Jelita dustakan?Jelita begitu asyik dengan steak dan 'pemandangan' di depannya, mereka sesekali mengobrol bahkan tertawa di sela-sela acara makan, hingga kemudian tangan itu terulur ke arah Jelita dan dengan begitu lembut menyeka sesuatu di bawah bibir Jelita dengan selembar tisu."Sausnya berantakan, Jel." desis Dirly dengan suara yang begitu lembut
Jelita tercekat luar biasa, dia tidak tengah bermimpi, bukan? Semua ini nyata, kan? Dirly, lelaki yang diam-diam mencuri perhatiannya, menerbangkan jutaan kupu-kupu di rongga perutnya itu, menyatakan cinta kepadanya? "ko ... ka-kamu ...," "YA!" potong Dirly tegas, "Aku serius!" Jelita tergagap, ia masih belum percaya dengan semua ini hingga Jelita tersentak ketika benda kenyal itu menyentuh bibirnya dengan begitu lembut. Wajahnya dengan Dirly kini begitu dekat, bahkan ujung hidung mereka saling bersentuhan. Bibir itu melumat lembut bibir Jelita, membuat Jelita rasanya ingin pingsan karena serangan mendadak ini. Dirly langsung main menyosor bibir? Bukan main! Jika awalnya Jelita terkejut setengah mati, dibeberapa detik kemudian, ia nampak hanyut dan terbawa permainan itu. Menikmati bahkan membalas pagutan itu dengan sama lembutnya. Bahkan satu tangan Jelita menempel dengan lembut di pipi DIrly. Bibir mereka bertaut cukup lama, hingga Di
Dirly benar-benar menuruti permintaan Jelita, berbulan-bulan mereka jalan tidak ada satupun yang mengendus hubungan mereka, Dirly sekalipun. Mereka tidak nampak dekat, jarang terlihat bersama. Ya ... ketika di kantor mereka seperti itu, tapi itu tidak berlaku ketika mereka di luar kantor. Jelita memarkirkan motornya di halaman parkir gedung apartemen Dirly, melepas helm dan membawa plastik besar yang sejak tadi bertengger di lantai motor matic-nya. Seperti biasa, hari minggu selalu Jelita habiskan dengan kekasihnya itu. Sekedar jalan-jalan, makan di luar, pergi ke luar kota atau yang terbaru, Dirly mengundang Jelita datang ke apartmen miliknya. Jelita sudah sering berkunjung ke tempat tinggal sang kekasih. Sekedar membersihkan unit itu, memasak beberapa makanan untuk Dirly dan sekedar beristirahat di sana. Meskipun begitu, untuk kunjungannya yang kali ini, Jelita sedikit merasa dag-dig-dug. Pasalnya baru kali ini mereka akan berduaan di unit yang hanya pu
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat