Dirly benar-benar menuruti permintaan Jelita, berbulan-bulan mereka jalan tidak ada satupun yang mengendus hubungan mereka, Dirly sekalipun. Mereka tidak nampak dekat, jarang terlihat bersama. Ya ... ketika di kantor mereka seperti itu, tapi itu tidak berlaku ketika mereka di luar kantor.
Jelita memarkirkan motornya di halaman parkir gedung apartemen Dirly, melepas helm dan membawa plastik besar yang sejak tadi bertengger di lantai motor matic-nya. Seperti biasa, hari minggu selalu Jelita habiskan dengan kekasihnya itu. Sekedar jalan-jalan, makan di luar, pergi ke luar kota atau yang terbaru, Dirly mengundang Jelita datang ke apartmen miliknya.
Jelita sudah sering berkunjung ke tempat tinggal sang kekasih. Sekedar membersihkan unit itu, memasak beberapa makanan untuk Dirly dan sekedar beristirahat di sana. Meskipun begitu, untuk kunjungannya yang kali ini, Jelita sedikit merasa dag-dig-dug. Pasalnya baru kali ini mereka akan berduaan di unit yang hanya pu
"Nah, apa susahnya sih ke dokter?" Jelita tersenyum ketika mereka melangkah keluar dari ruang praktek dokter di salah satu klinik yang kebetulan buka di hari minggu. "Susah lah, aku nggak mau!" Dirly tampak mencebik. Dokternya seksi tadi kata Jelita, buktinya? Om-om, perutnya gendut lagi! Sungguh zonk sekali! Tawa Jelita pecah, membuat Dirly makin cemberut. Mereka melangkah ke tempat pengambilan obat, menyerahkan resep itu dan duduk di kursi yang tersedia. "Macam anak TK, nggak diapa-apain, kan, tadi sama dokternya? Cuma diperiksa aja, Sayang!" Jelita mencubit gemas pipi Dirly, membuat lelaki itu kembali memanyunkan bibirnya. "Katamu tadi dokternya seksi, mana?" Jelita sontak menoleh, menatap kekasihnya yang berwajah masam itu kemudian menggebuk gemas punggung Dirly, membuat lelaki itu sontak terkejut dan melonjak karena kaget. "Mau gantian ngecengin dokternya gitu? Iya?" Jelita menatap tajam Dirly yang makin pucat, wajah itu son
Jelita menjerit keras-keras ketika merasakan benda itu mulai merangsak masuk ke dalam inti tubuhnya. Rasanya begitu pedih, perih dan menyakitkan! Keringat membanjiri wajah dan tubuh Jelita. Kedua tangannya mencengkeram kuat lengan Dirly yang sama berkeringatnya. Definisi berkeringat bareng, bukan? "Sshhhh ... sempit banget, Sayang!" Dirly mendesah tertahan, wajahnya memerah dengan mata terpejam dan mulut setengah terbuka. Terlihat jelas dia begitu menikmati momen penyatuan mereka, berbeda dengan Jelita yang terisak di bawah kungkungan tubuh kekar itu. Ia makin memperkuat cengkeraman tangannya ketika benda itu makin dalam di dorong masuk. Memenuhi inti tubuh Jelita untuk yang pertama kalinya. Jelita merasakan betul benda itu merobek sesuatu di dalam inti tubuhnya, membuat dia sontak membelalakkan mata efek sensasi sakit yang teramat sangat di dalam sana. "Sssaakkitt! Please, Ko ... ini sakit banget!" Jelita merintih dengan air mata meni
Arnold menipuk jidatnya dengan gemas. Gila emang kucing garong satu itu! Jadi sekretarisnya ini sudah berhasil dia embat? Kalau biasanya sekretaris selalu ada affair sama pimpinan perusahaan, sekarang malah affair-nya sama anak magang? Bukan main!Jelita tampak terisak, menunduk di kursi yang ada di depan Arnold. Sementara Arnold kini memijat pelipisnya perlahan-lahan sambil menghirup udara banyak-banyak.Kenapa harus sekretarisnya? Bukan apa-apa, Arnold juga tidak berminat pada Jelita, tapi selama mempimpin perusahaan ini, Arnold suka kinerja Jelita. Dia cukup cekatan dan membantu banyak pekerjaan Arnold. Kalau sampai cecungguk itu cuma mau main-main saja, tentu Arnold yang tidak enak pada Jelita, bukan? Mereka saudara sepupu!"Dia tidak memberitahu mu masalah rencananya balik ke luar negeri?" tanya Arnold yang sejak awal sudah curiga, kenapa Jelita tampak begitu syok dan terkejut dengan kabar rencana Dirly yang hendak pulang melanjutkan pendi
Dirly masih tidak mengerti sebenarnya, tapi karena Jelita sudah mati-matian tidak mau dia ganggu, akhirnya dia mengalah dan keluar sendiri dari ruangan sang kekasih. Kepalanya mendadak pusing. Ada apa lagi ini? Ada masalah apa sampai Jelita bersikap seperti itu? Sampai dia menangis macam itu?Dirly segera menuju ruangan Arnold. Bukankah tadi sepupunya itu sudah menunggu kedatangannya? Dirly segera menekan knop pintu, melangkah masuk tanpa menunggu dipersilahkan."Kebiasaan!" desis Arnold sambil mencebik, Dirly memang selalu seperti itu, jadi protes bos itu hanya dibalas senyum lebar oleh Dirly."Kenapa lagi, Ko? Gue balik kamis ya?" gumam Dirly lantas duduk di kursi yang ada di depan meja Arnold."Lu yakin mau langsung pergi? Nggak merasa perlu nyelesein masalah lu dulu?"Senyum Dirly sontak lenyap, ia menatap Arnold dengan seksama. Wajah bos itu nampak santai, tapi dari sorot matanya ... Arnold tahu betul bahwa ada se
"Kau pikir aku sejahat itu?" Dirly tersenyum, mengelus lembut rambut Jelita yang masih terisak di dalam pelukannya. Bahu Jelita masih naik turun teratur, membuat Dirly menghela nafas panjang. "Aku nggak pernah main-main, ya mungkin dulu aku tukang main-main, tapi sekarang semua beda, Jel! Aku serius sama kamu." kembali Dirly bersuara, melepaskan dekapan lantas memaksa Jelita mendongak. Tampak wajah itu berurai air mata. Matanya memerah, membuat Dirly tersenyum getir melihat betapa hebat gadisnya itu menangis. "Udah ah, aku nggak suka lihat kamu nangis gini! Senyum dong!" desis Dirly setengah memaksa, jemarinya terulur menyeka air mata yang masih belum berhenti mengalir. Jelita menyeka air mata dengan jemarinya sendiri. Matanya menatap Dirly yang masih tersenyum setengah menggoda ke arahnya. "Jujur sebenarnya ini itu mau aku buat surprise, eh malah di buka duluan sama si Kampret." gerutu Dirly kesal. Gegara
"Sudah mesumnya?" sindir Arnold sambil terbahak ketika Dirly masuk ke dalam ruangan kerja Arnold.Dirly mencebik, tertawa kecil lalu kembali duduk di hadapan Arnold. Wajahnya sumringah, tentu Arnold tahu apa alasannya, bukan?"Mesum kata lu? Gue nggak segila itu, Ko!" kisah Dirly sambil menggeleng perlahan."Halah, muka-muka macam lu, mana bisa gue percaya!" Arnold menyodorkan map-map tadi ke hadapan sepupunya itu. "Tadi mau gue anter tapi elunya berdua lagi ena-ena, takut ganggu!"Dirly tergelak, tertawa terbahak-bahak melihat bagaimana masam wajah Arnold yang mencebik. Jadi bos besar ini tadinya mau mengantar dokumen ke ruangan kekasihnya dan tidak jadi karena takut menganggu momen Dirly dan Jelita? Hmmm ... Arnold memang sepupu paling best yang pernah Dirly temui!"Kampret! Gue nggak sampe ena-ena, Ko. Ketahuan Om Gunawan habis gue ntar, nganu di kantor dia." Dirly tahu diri kok, ini bukan miliknya. Kecuali kalau kantor d
“Kemana, sih?” Arnold mengumpat, ia menatap layar ponselnya dan kembali menekan tombol itu guna menghubungi Sisca.Sejak tadi teleponnya sama sekali tidak diangkat oleh Sisca, padahal siang tadi mereka masih saling berkabar lewat chat. Lantas sekarang, kemana Sisca? Sibuk apa dia sampai telepon darinya diabaikan seperti saat ini?Arnold mendengus kesal. Tidak biasanya Sisca seperti ini. Mendadak, sebuah perasaan tidak enak menyergap Arnold, membuat Arnod lantas membuka daftar kontaknya dan mencari nomor yang lain. Siapa lagi kalau bukan nomor Astrid? Orang kepercayaan Sisca yang selama ini membantu Sisca menggelola caffe mereka.“Halo Pak Arnold? Pak mau tanya, ibu sama Bapak, nggak?”Sontak Arnold membelalakkan matanya. Bahkan Astrid saja menanyakan keberadaan Sisca kepadanya? Jadi dia tidak tahu di mana Sisca berada? Astaga! Ada apa ini?“Saya nelpon kamu juga mau tanya itu, As! Ibu kemana? Ini saya hubungi sama seka
"Sudah lama kenal dengan keluarga dia? Berapa lama mereka menjalin hubungan?"Kaki Linda sontak menjadi dingin. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan ini? Kalau Linda bilang mereka baru saja jadian, itu sama saja menjebak Linda sendiri. Mereka baru saja jadian, bagaimana Linda lantas kenal dengan keluarga Sisca?Kalau Linda jawab mereka sudah jadian lama, kenapa kemarin Linda setuju Arnold di jodohkan dengan Scarletta?"Hey, melamun?"Linda tersentak, ia mengangkat wajahnya, menatap sang suami dengan seksama. Gunawan nampak menantikan jawaban darinya. Harus Linda jawab apa?"Kemarin aku ke Solo, pas kamu ada tugas ke luar negeri. Kebetulan orang tuanya juga sedang di Solo. Kita mengobrol banyak hal."Nampak raut wajah Gunawan berubah. Alisnya berkerut, menatap sang isteri dengan seksama."Baru sejak bertemu kamu bahkan sudah berani menyimpulkan bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik, Lin?"Ska
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat