"Kau pikir aku sejahat itu?"
Dirly tersenyum, mengelus lembut rambut Jelita yang masih terisak di dalam pelukannya. Bahu Jelita masih naik turun teratur, membuat Dirly menghela nafas panjang.
"Aku nggak pernah main-main, ya mungkin dulu aku tukang main-main, tapi sekarang semua beda, Jel! Aku serius sama kamu." kembali Dirly bersuara, melepaskan dekapan lantas memaksa Jelita mendongak.
Tampak wajah itu berurai air mata. Matanya memerah, membuat Dirly tersenyum getir melihat betapa hebat gadisnya itu menangis.
"Udah ah, aku nggak suka lihat kamu nangis gini! Senyum dong!" desis Dirly setengah memaksa, jemarinya terulur menyeka air mata yang masih belum berhenti mengalir.
Jelita menyeka air mata dengan jemarinya sendiri. Matanya menatap Dirly yang masih tersenyum setengah menggoda ke arahnya.
"Jujur sebenarnya ini itu mau aku buat surprise, eh malah di buka duluan sama si Kampret." gerutu Dirly kesal. Gegara
"Sudah mesumnya?" sindir Arnold sambil terbahak ketika Dirly masuk ke dalam ruangan kerja Arnold.Dirly mencebik, tertawa kecil lalu kembali duduk di hadapan Arnold. Wajahnya sumringah, tentu Arnold tahu apa alasannya, bukan?"Mesum kata lu? Gue nggak segila itu, Ko!" kisah Dirly sambil menggeleng perlahan."Halah, muka-muka macam lu, mana bisa gue percaya!" Arnold menyodorkan map-map tadi ke hadapan sepupunya itu. "Tadi mau gue anter tapi elunya berdua lagi ena-ena, takut ganggu!"Dirly tergelak, tertawa terbahak-bahak melihat bagaimana masam wajah Arnold yang mencebik. Jadi bos besar ini tadinya mau mengantar dokumen ke ruangan kekasihnya dan tidak jadi karena takut menganggu momen Dirly dan Jelita? Hmmm ... Arnold memang sepupu paling best yang pernah Dirly temui!"Kampret! Gue nggak sampe ena-ena, Ko. Ketahuan Om Gunawan habis gue ntar, nganu di kantor dia." Dirly tahu diri kok, ini bukan miliknya. Kecuali kalau kantor d
“Kemana, sih?” Arnold mengumpat, ia menatap layar ponselnya dan kembali menekan tombol itu guna menghubungi Sisca.Sejak tadi teleponnya sama sekali tidak diangkat oleh Sisca, padahal siang tadi mereka masih saling berkabar lewat chat. Lantas sekarang, kemana Sisca? Sibuk apa dia sampai telepon darinya diabaikan seperti saat ini?Arnold mendengus kesal. Tidak biasanya Sisca seperti ini. Mendadak, sebuah perasaan tidak enak menyergap Arnold, membuat Arnod lantas membuka daftar kontaknya dan mencari nomor yang lain. Siapa lagi kalau bukan nomor Astrid? Orang kepercayaan Sisca yang selama ini membantu Sisca menggelola caffe mereka.“Halo Pak Arnold? Pak mau tanya, ibu sama Bapak, nggak?”Sontak Arnold membelalakkan matanya. Bahkan Astrid saja menanyakan keberadaan Sisca kepadanya? Jadi dia tidak tahu di mana Sisca berada? Astaga! Ada apa ini?“Saya nelpon kamu juga mau tanya itu, As! Ibu kemana? Ini saya hubungi sama seka
"Sudah lama kenal dengan keluarga dia? Berapa lama mereka menjalin hubungan?"Kaki Linda sontak menjadi dingin. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan ini? Kalau Linda bilang mereka baru saja jadian, itu sama saja menjebak Linda sendiri. Mereka baru saja jadian, bagaimana Linda lantas kenal dengan keluarga Sisca?Kalau Linda jawab mereka sudah jadian lama, kenapa kemarin Linda setuju Arnold di jodohkan dengan Scarletta?"Hey, melamun?"Linda tersentak, ia mengangkat wajahnya, menatap sang suami dengan seksama. Gunawan nampak menantikan jawaban darinya. Harus Linda jawab apa?"Kemarin aku ke Solo, pas kamu ada tugas ke luar negeri. Kebetulan orang tuanya juga sedang di Solo. Kita mengobrol banyak hal."Nampak raut wajah Gunawan berubah. Alisnya berkerut, menatap sang isteri dengan seksama."Baru sejak bertemu kamu bahkan sudah berani menyimpulkan bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik, Lin?"Ska
"APA?" Dirly memekik mendengar apa yang Arnold katakan. "Lu jangan bercanda, Ko!"Jelita yang tadi tengah fokus mengetik sontak menoleh, menatap Dirly yang wajahnya tampak menegang itu. Ada apa? Perlahan Jelita bangkit, mendekati Dirly yang berdiri di dekat pintu ruangannya. Karena tadi Dirly memang hendak keluar dari ruangan sangat kekasih, hingga kemudian ponsel Dirly berdering dan dia mengangkat panggilannya.Wajah Dirly masih begitu tegang, dari yang Jelita dengar dia memanggil dengan sebutan 'Ko', itu artinya dia tengah mengobrol dengan sepupunya yang tak lain dan tak bukan adalah bos dari Jelita."Terus?" suara Dirly nampak panik. "Posisi lu di mana? Lu mau balik ke kantor atau perlu gue susul?"Kening Jelita berkerut, apakah ada suatu hal buruk yang terjadi? Apa yang terjadi pada si bos itu?"Oke kalau gitu, gue tunggu."Tampak Dirly menurunkan ponsel dari telinga, menatap Jelita yang berdiri tidak jauh dari tempat D
Sisca berusaha melepaskan ikatan tangannya, namun agaknya tidak berhasil kerena tali itu mengikatnya dengan begitu kuat. Sampai-sampai rasanya tangan Sisca hampir putus. Mau berteriak pun tidak mungkin, lakban hitam membungkam mulutnya.Sisca benar-benar tidak mengerti, kenapa dia melakukan semua ini pada Sisca? Punya salah apa Sisca kepadanya? Sungguh sulit dipercaya! Jika orang lain yang melakukan semua ini, Sisca tidak akan se terkejut ini, tetapi lihat siapa yang melakukannya!Pintu kusam itu terbuka, Sisca bisa melihat dengan jelas sosok yang menyeretnya sampai ke sini berdiri di muka pintu. Tersenyum begitu sinis menatap kondisi Sisca yang tidak berdaya.Sorot mata itu ...Kenapa sorot mata itu begitu menakutkan sekali? Kenapa sosok yang selama ini dia kenal dengan baik bisa berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini? Apa yang membuat dia begitu gila? Apa alasannya?'Lepaskan aku!' rasanya Sisca ingin bert
"Dapet alamatnya?" tanya Dirly sekembalinya Jelita dari ruangan Retno."Dapet!" jawab Jelita sambil tersenyum, "Ini Pak, berkasnya."Secepat kilat Arnold meraih map berwarna biru yang Jelita sodorkan. Buru-buru dia buka, teliti satu persatu data mantan staff kantornya itu. Benar saja! Pas photo yang ada di sana mirip dengan wanita yang terekam membawa Sisca pergi dari caffe! Tidak salah lagi, benar dia orangnya!"Dia ada masalah apaan sih? Sumpah heran gue!" Arnold memfoto lembar berisi alamat gadis bernama lengkap Pradita Yolanda itu."Mau ke sana sekarang lu, Ko?" Dirly melihat Arnold sudah tidak sabar lagi."Tentulah, sebelum Sisca diapa-apain sama dia." Arnold bangkit, menatap Dirly yang masih duduk di kursinya, "Lu ikut gue, Ly. Jelita handle dulu di sini, ya?"Jelita kontan mengangguk, sementara Dirly langsung spontan berdiri. Mengekor di belakang Arnold yang nampak terburu-buru."Semoga kamu nggak apa-apa, Sis
Dita mematikan mesin motornya, dia sudah sampai di depan rumah dengan arsitektur Jawa kuno peninggalan neneknya itu. Rumah yang sampai sekarang masih dia tempati dan tinggali selepas sangat ahli waris bahkan sudah menyusul sang nenek kembali ke pangkuan sang Pencipta. Siapa lagi kalau bukan ayah dari Dita itu sendiri?Joko Sarjono, meninggal baru empat puluh hari yang lalu karena kecelakaan di tempat kerja. Truk yang dia kemudikan jatuh ke sungai yang dalamnya tujuh meter setelah memuat pasir hasil tambang. Baru saja malam kemarin acara empat puluh harian dilakukan dan Dita baru saja kembali dari membayar tagihan snack untuk acara semalam.Dita hendak melangkah masuk, ketika mendapati sepasang sendal asing itu berada di depan pintu. Milik siapa? Sendal laki-laki?Dita yang awalnya hendak mengucap salam, kini mengurungkan niat. Ia berjalan perlahan-lahan mendekati pintu masuk yang terbuka sedikit. Rumah itu sangat besar dan luas. Jadi Dita harus berha
Sosok itu tengah menyapu halaman depan rumah ketika Dita kembali dari makam sang ayah. Dengan daster bermotif bunga warna merah, ia menyapu halaman dengan sapu lidi. Tampak mengangkat wajah dan menatap Dita yang menghentikan motornya di teras. "Dari mana sih, Mbak?" Mbak adalah panggilan Dita di rumah, Dita punya satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Jadilah dia yang tertua dan mendapat predikat 'Mbak'. "Makam ayah, Bu. Mbak kangen sama ayah." jawab Dita sambil tersenyum simpul. Dita segera masuk ke dalam rumah, tidak lagi memperhatikan sang ibu yang nampak menghela nafas panjang. Untuk apa memangnya Dita harus menanggapi sang ibu? Hatinya masih cukup sakit! Terlebih di area pemakaman tadi Dita mendengar semuanya dengan begitu jelas. Gosip perihal perselingkuhan sang ibu dengan lelaki bernama Agus. Apakah lelaki yang tadi bercinta dengan ibunya? Atau lelaki lain? Dita menatap nanar kamar orang tuanya. Pin
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat