Dita mematikan mesin motornya, dia sudah sampai di depan rumah dengan arsitektur Jawa kuno peninggalan neneknya itu. Rumah yang sampai sekarang masih dia tempati dan tinggali selepas sangat ahli waris bahkan sudah menyusul sang nenek kembali ke pangkuan sang Pencipta. Siapa lagi kalau bukan ayah dari Dita itu sendiri?
Joko Sarjono, meninggal baru empat puluh hari yang lalu karena kecelakaan di tempat kerja. Truk yang dia kemudikan jatuh ke sungai yang dalamnya tujuh meter setelah memuat pasir hasil tambang. Baru saja malam kemarin acara empat puluh harian dilakukan dan Dita baru saja kembali dari membayar tagihan snack untuk acara semalam.
Dita hendak melangkah masuk, ketika mendapati sepasang sendal asing itu berada di depan pintu. Milik siapa? Sendal laki-laki?
Dita yang awalnya hendak mengucap salam, kini mengurungkan niat. Ia berjalan perlahan-lahan mendekati pintu masuk yang terbuka sedikit. Rumah itu sangat besar dan luas. Jadi Dita harus berha
Sosok itu tengah menyapu halaman depan rumah ketika Dita kembali dari makam sang ayah. Dengan daster bermotif bunga warna merah, ia menyapu halaman dengan sapu lidi. Tampak mengangkat wajah dan menatap Dita yang menghentikan motornya di teras. "Dari mana sih, Mbak?" Mbak adalah panggilan Dita di rumah, Dita punya satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Jadilah dia yang tertua dan mendapat predikat 'Mbak'. "Makam ayah, Bu. Mbak kangen sama ayah." jawab Dita sambil tersenyum simpul. Dita segera masuk ke dalam rumah, tidak lagi memperhatikan sang ibu yang nampak menghela nafas panjang. Untuk apa memangnya Dita harus menanggapi sang ibu? Hatinya masih cukup sakit! Terlebih di area pemakaman tadi Dita mendengar semuanya dengan begitu jelas. Gosip perihal perselingkuhan sang ibu dengan lelaki bernama Agus. Apakah lelaki yang tadi bercinta dengan ibunya? Atau lelaki lain? Dita menatap nanar kamar orang tuanya. Pin
DIta sudah duduk di depan tivi bersama dua adiknya. Mereka semua sudah mandi dan berganti pakaian, menantikan hal apa yang hendak di sampaikan Lastri, ibu mereka. Dita menghela nafas panjang. Ia menatap Yoga yang tengah asyik dengan jangkrik yang ada di dalam toples plastik miliknya. Sementara Dipta, gadis kecil itu terlihat tengah mengukir batang sabun dengan cutter. Kenapa hanya Dita yang merasa risau menantikan ibunya buka suara? Kenapa kedua adiknya itu nampak begitu tenang dan santai seperti itu? Apa karena Dita yang melihat semua itu tadi? Mendengar apa yang tadi diperbincangkan oleh orang-orang di pemakaman? Entah lah, yang jelas semenjak kejadian pagi tadi, rasanya hidup Dita menjadi penuh bayang-bayang menjijikan dan perasaan bersalah. 'Bapak, apa bapak di sana lihat ibu melakukan itu bersama laki-laki tadi? Apa bapak lihat semuanya tadi?' Dita merasakan matanya memanas, tapi dia tidak mungkin menangis di depan adik-adiknya seperti ini, bukan? "Bapak
Penolakan yang Dita dan dua adiknya layangkan rupanya sama sekali tidak membuat Lastri terketuk pintu hati dan membatalkan keinginannya itu. Ia tetap menikah dengan Agus, lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah lelaki yang dilihat Dita bersetubuh dengan ibunya tempo lalu.Per hari ini, lelaki itu resmi menjadi bagian keluarganya. Mirisnya, Lastri seperti menulikan telinga dengan segala macam gunjingan sekitar perihal pernikahan yang dia lakukan bahkan di saat kematian sang suami belum ada seribu hari!Lelaki itu memiliki seorang anak laki-laki dari pernikahannya terdahulu. Anak lelaki berusia tujuh belas tahun yang kini ikut tinggal di rumah peninggalan almarhum ayah Dita."Mbak!"Dita tersentak, menoleh dan mendapati Dipta sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Dita menyeka air mata yang keluar, tersenyum dan mengangguk perlahan, memberi kode Dipta agar masuk ke dalam kamarnya.Dipta menutup pintu kamar sang kakak,
“Mau berangkat sekolah, Mbak Ta?”Dita yang hendak bangkit dari kursi teras sontak menoleh, lelaki dengan kaos berwarna cokelat itu tersenyum ke arahnya. Nampak di tangannya ada jaket jeans lusuh yang entah sudah berapa tahun tidak dicuci.“Ah i-iya, Pak.” Dita kini benar-benar bangkit, hendak meraih kunci motornya ketika lelaki itu lebih dulu meraih kunci motor milik Dita, motor kesayangan yang dulu almarhum ayahnya berikan untuk Dita.“Biar Bapak yang antar!”Dita sontak membulatkan matanya, apa lelaki itu bilang? Dia mau mengantar Dita sekolah? Ah ... untuk apa? Lebih baik Dita berangkat seorang diri, bukan? Lagipula sekolah Dita tidak terlalu jauh dan sudah jadi kebiasaan Dita selalu berangkat sendiri dengan membawa motor.“Nggak usah repot-repot, Pak. Biasanya juga berangkat sendiri, kok!” tolak Dita halus, bagaimana pun dia harus bersikap sopan meskipun di dalam hati Dita sama sekali tidak menyu
"Ini rumahnya? Serius?" Dirly bergidik ngeri ketika mobil yang Arnold bawa sampai di depan sebuah rumah dengan arsitektur Jawa kuno. Rumah itu begitu terkesan muram, menyeramkan dan terlihat menyedihkan. "Serius lah! Alamatnya ini, Ly. Kenapa? Lu takut?" Arnold sudah tidak memikirkan apapun lagi, yang dia pikirkan sekarang adalah Sisca-nya! Arnold segera turun selepas memarkirkan mobilnya, melangkah turun dari mobil. Pintunya tertutup rapat, jendelanya juga. Tapi itu tidak lantas membuat Arnold mundur. Dia harus temukan Sisca. Atau jika Sisca tidak berada di sini, dia bisa dapatkan petunjuk yang akan membawa Arnold menemukan Sisca. "Ko! Tunggu!" Arnold hampir meraih knop pintu ketika Dirly menarik bahunya dengan sedikit kasar. "Apaan sih, Ly? Lu mau bantuin gue nggak?" Arnold melirihkan suaranya, menatap Dirly dengan seksama. "Bukan begitu! Dengan kondisi kayak gini lu mau masuk begitu aja? Kalo tiba-tiba di dal--
"Hentikan!" Arnold berteriak keras-keras ketika melihat tangan itu mencoba melukai Sisca. Dirly dengan gesit menarik dua tangan itu dan menguncinya di belakang. Sementara Arnold segera menghampiri Sisca yang nampak lemas. "Sayang, kamu nggak apa-apa? Heh, kamu baik-baik saja, kan?" Arnold panik, sangat panik. Ia menepuk-nepuk pipi Sisca berharap agar Sisca tidak kehilangan kesadaran. "LEPAS!" Dita berteriak, mencoba berontak melepaskan diri. Namun, Dirly bukan tandingan Dita, dia tetap dengan kuat mengunci tangan itu tidak peduli Dita memberontak. "Di-dia ...." Sisca berusaha bersuara, namun Arnold malah menenggelamkan wajahnya di dada, membuat suara Sisca kembali tercekat di tenggorokan. "Sudah ... jangan khawatir, kamu baik-baik saja, Sayang!" berkali-kali Arnold menjatuhkan kecupan di puncak kepala Sisca, matanya memanas. Ia benar-benar lega dan bersyukur dia datang di waktu yang tepat. "Ehem ... bisa kah age
"Sebenarnya ada apa sih? Please, Sis ... Aku nggak paham!" Semua urusan sudah selesai, mereka beranjak pulang dari kantor polisi setelah banyak memberi keterangan dan kesaksian.Sisca masih begitu syok, wajahnya masih pucat. Pemandangan mengerikan itu masih terekam jelas didalam ingatan. Dia tidak bisa membayangkan kalau tadi Arnold dan Dirly tidak datang, mungkin dia juga akan menjadi salah satu korban yang dibawa dengan kantong kuning itu ke kamar mayat.Dita ... Kenapa Sisca sendiri tidak sadar bahwa sahabatnya itu punya cerita hidup sekelam itu? Penderita yang lantas membuat akal sehatnya lenyap entah kemana."Ya intinya bukan mau dia jadi kayak gitu, Ko. Jiwanya tertekan." Jelas Sisca yang tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskan."Apapun itu tindakan yang dia lakukan itu cukup membahayakan. Dia hampir membunuhku!" Desis Arnold perlahan.Sisca lantas menoleh, mengerutkan dahi mendengar kalimat yang meluncur da
Arnold mengangguk pelan sambil menyimak cerita Sisca, jadi seperti itu? Dia bisa jadi segila itu karena perlakuan ayah tiri dan saudara tirinya? Brengsek memang! Dan hendak mencelakakan Sisca hanya karena Arnold yang akan menikahi Sisca? Astaga, kenapa ada-ada saja kelakuan manusia zaman sekarang? Ah ... Arnold lupa, kemungkinan selain depresi, Dita juga menderita gangguan mental yang lain. Mengingat perlakuan yang dia terima cukup mengerikan dan sudah berlangsung cukup lama."Jadi begitu, aku belum selesai baca buku itu, Ar. Keburu dia datang masuk lagi ke dalam gudang." Sisca menyeka air matanya, nampak ia masih sesegukan."Tapi aku nggak habis pikir, Sis." Arnold meneguk soda pesananya. "Kamu bisa melepaskan diri dari ikatan itu, bukannya lari keluar atau kabur, kamu malah santai baca buku harian Si Dita itu?"Tentu itu hal paling bodoh menurut Arnold. Kenapa dia malah melakukan itu padahal Sisca tahu sendiri nyawanya terancam! Benar-benar tidak m
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat