"Yakin pulang hari ini?" Gunawan menatap anak sulungnya yang sudah begitu rapi pagi ini. Kopernya sudah siap, supir dan mobil yang hendak mengantarnya kembali ke Solo pun sejak tadi pagi sudah ready.
"Tentu, kerjaan Arnold banyak, Pi." jawab Arnold tanpa melihat ke arah sang papa.
Terdengar helaan nafas panjang keluar dari mulut Gunawan, ia kemudian meletakkan sendok, menatap Arnold yang tampak asik dengan pancake berlumur saus rasphbery itu.
"Apa yang kalian berdua bicarakan semalam, Ar? Papi ingin tahu."
Arnold yang hendak menyuapkan potongan pancake itu sontak meletakkan kembali sendoknya, menghela nafas panjang lantas mengangkat wajah dan menatap sang papa lekat-lekat.
"Kami hanya saling meminta maaf dan mendoakan." jawab Arnold seperlunya. Lagipula memang benar itu yang mereka bicarakan kemarin malam, bukan?
Gunawan tidak bersuara, hanya mengangguk dan kembali melanjutkan sarapannya. Arnold pun demikian, kembali meraih garpu dan pisau,
"Ar!" Arnold yang hendak masuk ke dalam mobil sontak menoleh, mendapati sang papi melangkah mendekati dirinya yang sudah bersiap berangkat ke Solo. "Ya? Kenapa lagi, Pi?" Arnold mengerutkan kening, ada hal apa hendak sosok itu bicarakan kepadanya. "Masalah calon isteri ...," Gunawan tidak melanjutkan kalimatnya, menatap Arnold dengan seksama, "Siapa dia? Papi yakin, kamu sudah punya calon, bukan?" Arnold menghela nafas panjang, dia harus jawab apa? Kalau dia jawab jujur, dia takut papinya curiga semua ini ulah Arnold, tapi kalau tidak jujur ... Arnold takut dia hendak dicarikan calon lain dan Arnold tidak mau jika dia harus memakai cara kotor lagi untuk menyingkirkan calon pilihan orang tuanya itu. "Sebenarnya, sudah bidik lah, Pi, cuma ya tunggu saja lah." jawab Arnold akhirnya. "Anak siapa?" tanya Gunawan serius, tentu dia harus tahu betul siapa calon menantunya ini. "Bukan anak siapa-siapa
Arnol melangkah keluar dari kamar mandi yang ada di ruangan pribadi Sisca, rambutnya setengah basah. Ia kemudian kembali duduk di kursi yang ada di depan Sisca."Bagaimana keadaannya, Ar?" tanya Sisca yang langsung menutup laptopnya begitu Arnold menjatuhkan diri di depannya."Siapa? Keadaan siapa yang kamu maksud?" ujar Arnold balik bertanya.Sisca melotot, kalau saja laptop di depannya itu tidak memiliki nilai sejarah yang tinggi dalam kehidupan Sisca, rasanya Sisca sudah mengambil benda itu dan melemparkannya ke muka Arnold saat ini juga."Scarletta lah, siapa lagi?" Sisca mengeram, benarkah jodohnya kelak laki-laki menyebalkan ini? Kuat Sisca berkomitmen seumur hidup bersama laki-laki macam Arnold begini?"Oh ...," Arnold meraih cangkir kopi, menyesap cairan hitam itu dan kembali meletakkan cangkir itu pada tatakan, ia lantas menatap Sisca yang tampak sangat terlihat tengah menantikan jawaban atas pertanyaan apa yang baru saja dia ajukan pada A
"Jadi bagaimana?" tanya Arnold yang tampak berharap-harap cemas pada jawaban yang hendak keluar dari mulut Sisca.Sejak mereka tiba di restoran ini, fokus mereka hanya pada obrolan. Mereka bahkan baru memesan minuman dan french fries guna menemani obrolan penting mereka. Sejak tadi pula, Arnold sudah menceritakan panjang lebar mengenai pembicaraan Arnold dengan kedua orang tuanya. Dan kini dia menunggu jawaban keluar dari mulut Sisca."Kamu yakin?" kini Sisca balik bertanya, melupakan pertanyaan apa yang tadi Arnold tujukan kepadanya, matanya menatap lurus ke dalam mata Arnold, ia tahu laki-laki itu tidak sedang bercanda, tidak ada pula sorot kebohongan yang terpancar di sana."Tentulah, Sis. Sejak awal kan aku sudah bilang bahwa aku serius dan sudah teramat sangat yakin. Kalau tidak untuk apa aku sampai melakukan hal-.""Stop, jangan bahas dan bawa-bawa hal gila itu lagi, Ar! Sumpah kau membuatku merinding!" potong Sisca yang enggan membahas dan me
Sisca mengerjapkan matanya ketika ponsel miliknya berdering. Ia dengan susah payah menyingkirkan lengan kokoh yang memeluk pinggangnya. Meraih ponsel yang tergeletak bersisihan dengan ponsel milik Arnold di nakas samping ranjang. Sisca dengan susah payah membuka matanya, terbelalak kaget melihat nama siapa yang muncul di layar ponselnya. "Papa?" hampir Sisca memekik, ia lantas bangun, duduk di tepi ranjang dan bersiap mengangkat panggilan itu. "Hallo, iya gimana, Pa?" Sisca berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup kencang, ada apa sampai-sampai sang papa meneleponnya sepagi ini? "Papa di rumah kamu, kok sepi? Kamu kemana?" tanya suara itu yang sukses membuat Sisca melotot tajam. Jadi papanya ada di sini? "Papa udah di dalam nih, motor kamu di rumah, terus ini ada mobil punya siapa, Sis?" Sisca makin panik, ia tidak tahu harus menjawab apa dulu. Ia segera bangkit mengintip dari gorden kamar yang dia buka sed
"Jadi gimana?" Sisca yang sudah memakai baju itu menatap Arnold yang tadi bilang dia punya ide untuk mengeluarkan Sisca dari sini, sebuah ide yang agaknya tidak terlalu gila. Arnold sendiri sudah rapi dengan setelan jasnya. Dia harus berangkat kerja walaupun sebenarnya ini sudah cukup terlambat. "Pakai masker, masuk ke mobil kalau aku udah kasih kode. Aku juga bakalan pakai masker. Moga aja beliau di dalam, nggak keluar dulu." Arnold menyodorkan masker medis itu pada Sisca, membuat Sisca langsung meraih dan memakai masker itu. "Terus?" Sisca kembali menantikan instruksi, apa lagi ide dari laki-laki ini? "Antar aku ke kantor, kamu bawa mobil buat belanja baju, pergi ke salon atau apalah, beres kan?" Sisca mengangguk, untuk kali ini dia akui ide Arnold memang top dan sedikit waras. Tanpa banyak berkata lagi, Arnold melangkah keluar, memperhatikan sekeliling lantas membuka pintu mobil. Ia memberi kode Sisca yang menanti di
"Catok curly aja deh, Mbak." akhirnya setelah berbelanja di salah satu mall dengan memakai piyama, Sisca berakhir di salon dan spa ini.Sengaja ambil paket body scrub dan massage hanya untuk sekalian menumpang mandi. Sungguh ini ironis sekali. Kini dia duduk, bersiap perawatan selanjutnya yaitu mengeringkan rambut yang sekalian saja dia creambath.Kapster salon itu mengangguk pelan, segera meraih hairdryer dan mulai mengeringkan rambut Sisca yang basah. Sisca fokus pada layar ponsel, membalas beberapa pesan di grup pegawai coffee miliknya. Agaknya dia tidak akan kesana hari ini. Ada sang papa.Bukan apa-apa, hanya saja selama hampir setahun berbisnis dari modal yang Arnold gelontorkan, dia sama sekali belum memberitahu keluarganya perihal pekerjaan yang kini Sisca lakoni. Entah mengapa rasanya Sisca belum siap keluarganya tahu bahwa kini dia bukan lagi pegawai staff dari pabrik tekstil terkenal itu. Terlebih kalau sampai kedua orang tuanya tahu
"Papa!" teriak Sisca begitu ia turun dari mobil, nampak laki-laki paruh baya itu menatapnya dengan tatapan heran."Sejak kapan kamu bisa nyetir mobil, Sis?"Mata Sisca membulat, ah iya! Dia bahkan belum cerita ke sang papa kalau dia sudah mahir dan lancar menyetir mobil! Sisca baru sadar bahwa semenjak kenal dan dekat dengan Arnold, banyak sekali hal yang Sisca sembunyikan dari sang papa."Baru-baru aja sih, Pa. Arnold yang ngajarin." Sisca buru-buru mendekat, mencium tangan sang papa dengan penuh hormat.Burhan tersenyum, menerima hormat dari anak gadisnya itu dan mengelus lembut kepala Sisca yang siang ini nampak begitu cantik dengan hem warna peach dan rok span hitam."Nggak sama Arnold?"Sisca hampir melonjak kaget, ah ... bukan suatu hal yang aneh bukan kalau ayahnya menanyakan Arnold? Dulu dia mengaku teman satu kantor Sisca."Oh, dia ada tugas ikut meeting sama bos, Pa." Sisca melepas sepatunya, sepatu yang ta
"Kamu tahu, yang akan aku lakukan adalah keluar dari rumah dan tetap menikahimu apapun yang terjadi, Sis."Sisca tertegun, ia membeku mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Arnold itu. Kembali obrolan terhenti. Suasana menjadi sunyi dan tidak terdengar lagi perbincangan apapun meskipun sambungan telepon masih terhubung.Sisca diam di tempatnya duduk, tidak mencoba bersuara atau apapun. Otak dan hatinya tengah berdebat hebat. Yang mana otaknya menolak percaya dengan segala macam kalimat yang baru saja keluar dari mulut Arnold, sementara hatinya tersipu malu dan sangat bahagia mendengar apa yang keluar dari mulutnya tadi.Tunggu?Bahagia? Benarkah Sisca bahagia jika hubungannya harus berlanjut tanpa adanya restu dari orang tua Arnold? Bahwa Arnold harus membangkang dari perintah orang tuanya dan menjelma menjadi anak durhaka hanya demi menikahi dirinya?Tapi bukankah itu tandanya Arnold sangat teramat serius dengan niatnya menikahi Sisca? Tap