"Papa!" teriak Sisca begitu ia turun dari mobil, nampak laki-laki paruh baya itu menatapnya dengan tatapan heran.
"Sejak kapan kamu bisa nyetir mobil, Sis?"
Mata Sisca membulat, ah iya! Dia bahkan belum cerita ke sang papa kalau dia sudah mahir dan lancar menyetir mobil! Sisca baru sadar bahwa semenjak kenal dan dekat dengan Arnold, banyak sekali hal yang Sisca sembunyikan dari sang papa.
"Baru-baru aja sih, Pa. Arnold yang ngajarin." Sisca buru-buru mendekat, mencium tangan sang papa dengan penuh hormat.
Burhan tersenyum, menerima hormat dari anak gadisnya itu dan mengelus lembut kepala Sisca yang siang ini nampak begitu cantik dengan hem warna peach dan rok span hitam.
"Nggak sama Arnold?"
Sisca hampir melonjak kaget, ah ... bukan suatu hal yang aneh bukan kalau ayahnya menanyakan Arnold? Dulu dia mengaku teman satu kantor Sisca.
"Oh, dia ada tugas ikut meeting sama bos, Pa." Sisca melepas sepatunya, sepatu yang ta
"Kamu tahu, yang akan aku lakukan adalah keluar dari rumah dan tetap menikahimu apapun yang terjadi, Sis."Sisca tertegun, ia membeku mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Arnold itu. Kembali obrolan terhenti. Suasana menjadi sunyi dan tidak terdengar lagi perbincangan apapun meskipun sambungan telepon masih terhubung.Sisca diam di tempatnya duduk, tidak mencoba bersuara atau apapun. Otak dan hatinya tengah berdebat hebat. Yang mana otaknya menolak percaya dengan segala macam kalimat yang baru saja keluar dari mulut Arnold, sementara hatinya tersipu malu dan sangat bahagia mendengar apa yang keluar dari mulutnya tadi.Tunggu?Bahagia? Benarkah Sisca bahagia jika hubungannya harus berlanjut tanpa adanya restu dari orang tua Arnold? Bahwa Arnold harus membangkang dari perintah orang tuanya dan menjelma menjadi anak durhaka hanya demi menikahi dirinya?Tapi bukankah itu tandanya Arnold sangat teramat serius dengan niatnya menikahi Sisca? Tap
"Papa temukan ini di bawah kasurmu, ini milikmu?"Wajah Sisca sontak memucat, rasanya jantung Sisca seperti hendak melompat dari tempatnya. Tidak hanya Sisca, Arnold pun sama pucatnya. Membuat Burhan tersenyum getir lalu meletakkan benda itu di atas meja."Papa hendak mengganti spreimu tadi, Sis. Dan benda itu jatuh ketika Papa menarik spreinya. Benar itu punya kamu? Atau kamu bisa jelaskan ke Papamu ini?"Mata Sisca memerah, air matanya siap meledak. Dia tidak menyangka bahwa papanya akan menemukan itu, bahwa Burhan akan tahu rahasia besar yang Sisca simpan darinya. Benar bukan firasat Sisca tadi?"Sis, mendadak bisu?" Burhan mendesak, membuat air mata Sisca menitik dengan ketakutan yang mencengkram hatinya.Sisca terisak, menundukkan kepala dalam-dalam dan sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya guna menatap sang papa. Belum pernah dalam sejarah Sisca mengecewakan sang papa dan agaknya, kali ini Sisca berhasil melakukannya.
"APA?"Terlihat sekali bahwa Burhan terkejut setengah mati. Mulutnya setengah terbuka dengan mata melotot. Sisca dan Arnold saling pandang, bukan suatu hal yang aneh kalau sampai Burhan terkejut mendengar fakta yang baru saja Arnold ungkapkan mengenai siapa dirinya sebenarnya.Siapa yang tidak kenal dengan Gunawan Argadana? Namanya sering bertengger dalam daftar sepuluh pengusaha kaya Indonesia. Tentu itu bukan nama yang asing terlebih Gunawan sering turun tangan memberi sponsorship di berbagai kegiatan sosial."Ka-kamu anak Gunawan Argadana?"Arnold tersenyum kikuk dan menganggukkan kepalanya, bukan suatu kesalahan, kan, kalau dia membuka jati diri yang sebenarnya pada calon mertuanya ini?"Iya, Pa. Itu papa Arnold. Papa kenal?"Burhan meraih gelasnya, meneguk teh hangat itu hingga tinggal separuh lantas kembali meletakkan gelas itu. Ia lalu menoleh pada Sisca yang masih diam di tempatnya duduk."Sis, pulang sekarang aja gimana
Burhan melangkah turun dari taxi yang dia sewa untuk membawanya pulang dari restoran tadi. Setelah beres membayar ongkos, Burhan merogoh saku celana, mengambil kunci cadangan rumah yang dulu dia hadiahkan untuk sang anak gadis. Burhan tidak menyangka, rumah ini yang lantas mempertemukan Sisca dengan laki-laki itu. Rumah ini yang lantas membuat anak gadisnya tergoda melakukan perbuatan dosa itu sebelum mereka berjanji sehidup semati di depan altar. Ah ... Burhan sudah kecolongan rupanya, dia terlalu abai pada anak gadis semata wayangnya! "Astaga Tuhan, kenapa bisa seperti ini?" desis Burhan seraya memutar kunci pintu. Pintu terbuka lebar, nampak rumah sepi. Burhan melepas sepatunya, melangkah masuk dan bergegas menuju kamar tamu yang selalu dia gunakan tidur ketika mengunjungi Sisca. Burhan duduk di tepi ranjang, menghela nafas panjang dan tampak berpikir keras. Hatinya berkecamuk luar biasa. Hendak meminta Sisca mengakhiri hubu
Sisca tersenyum, melambaikan tangan ke arah Arnold yang bersiap masuk ke dalam rumahnya sendiri. Setelah Arnold masuk, Sisca melangkah menuju pintu rumahnya. Ia tertegun ketika mendapati sepatu itu berada di rak sepatu miliknya. Sepatu itu ....Sisca segera menerjang pintu yang ternyata tidak terkunci, melangkah dengan tergesa-gesa hingga sampai di depan pintu kamar itu. Jantung Sisca berdegup kencang, dia tidak berniat mengetuk pintu, melainkan menekan knop dan segera membuka pintu kamar guna memastikan sang papa memang sudah sampai di rumah.Sisca tertegun ketika mendapati laki-laki paruh baya itu tengah duduk di pinggir kasur dan menatapnya dengan mata memerah. Segera Sisca menghambur memeluk Burhan, tangisnya pecah, membuat Burhan menghela nafas panjang."Pa ... Papa kenapa sih? Kenapa Papa tiba-tiba pergi tadi? Sisca ada salah apa sama Papa?" rintih Sisca di dalam pelukan sang papa.Burhan tersenyum getir, menggeleng perlahan dengan tangan yang
"Sebenarnya aku hendak dijodohkan orang tuaku dengan anak rekan bisnisnya, Han."Senyap.Semua mendadak senyap begitu kalimat itu meluncur keluar dari mulut Linda. Gemericik suara hujan yang tadi sempat kembali menetes deras kini mendadak sunyi dan tidak terdengar rintiknya di telinga Burhan.Ia membeku, bukan karena hawa dingin dan basah baju yang membuat dia membeku, tetapi oleh kenyataan yang sore ini begitu luar biasa memukul jiwanya hingga hancur seketika.Linda, gadis yang begitu dia cintai, yang mencintai dirinya hendak dijodohkan dengan laki-laki lain oleh kedua orang tuanya? Mimpi buruk macam apa ini?"Ka-kamu bercanda, kan, Lin?" Burhan mencoba meraih sisa-sisa harapannya, berharap ini semua hanya candaan yang sengaja Linda buat untuk mengerjai dirinya.Air mata Linda menitik, ia menundukkan kepalanya seraya menggeleng perlahan. Sebuah jawaban atas pertanyaan penuh harapan yang keluar dari mulut Burhan tadi. Kini Burhan makin beku
Sisca menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air matanya banjir. Sementara Burhan sibuk menyeka air mata dengan sapu tangan lusuh yang ternyata milik Linda. Benda yang sampai sekarang masih dia simpan dan bawa kemana-mana.Sisca sendiri tidak pernah menyangka bahwa ternyata sang papa di masa lalu pernah memiliki hubungan asmara dengan mama Arnold. Bahwa papanya pernah memiliki perasaan sedalam itu pada calon besan perempuannya."Kau tahu, Sayang? Papa hanya tidak ingin kamu merasakan apa yang dulu pala rasakan. Ditolak karena tidak sederajat dan sama kayanya dengan orang yang kamu cintai itu sangat menyakitkan sekali, Sis." Burhan mengelus kepala anak perempuannya itu.Sisca mengangkat wajahnya, menatap sang papa yang masih berlinang air mata."Papa masih mencintai tante Linda?" sebuah pertanyaan yang pertama kali muncul ketika tahu papanya pernah punya kisah cinta sedramatis itu.Burhan menghela nafas panjang, menatap
"Papa balik ya, Sis." Burhan tersenyum, menatap Sisca yang tengah menyeruput kopi di cangkirnya.Sisca meletakkan cangkir di meja, menatap sang papa dengan tatapan sedu. Obrolan mereka kemarin malam masih terngiang. Tentang hubungan Sisca dengan Arnold, tentang hubungan masa lalu orang tua mereka yang begitu mengejutkan."Papa yakin nanti mau langsung pulang? Nggak nginep sehari lagi gitu? Papa belum ke coffee shop Sisca?" Sisca rasanya berat melepas sang papa pulang ke Semarang."Kapan-kapan saja." Burhan kembali tersenyum, "Nggak sia-sia kamu kuliah, ilmu mu bisa kamu terapkan juga dan membawamu di posisi sekarang." Burhan tidak menyangka bahwa putrinya bisa memimpin dan mengelola coffee shop sampai sepesat itu.Sisca tersenyum, meraih tangan sang papa dan meremasnya dengan begitu lembut. "Maaf Sisca sudah mengecewakan Papa perihal hubungan Sisca dengan Arnold, Pa. Maafkan Sisca yang tidak bis-.""Sudah. Jangan suka menyesali ap
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat