Share

Bab 5 : Aufan

Penulis: Akarihikarii
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hanna menatap cemas pada ikon baterai di layar ponselnya yang menunjukkan angka 5%. Sebelum ponselnya benar-benar mati, ia harus mengirimkan pesan singkat pada Solar supaya tidak menjemputnya di kampus. Bisa gawat jika Solar menunggunya selama berjam-jam.

[Solar, maaf aku lagi enggak di kampus sekarang. Kamu enggak perlu repot-repot menjemputku. Lalu, bateraiku tinggal 5% jadi aku enggak bisa menghubungi kamu nanti. Maaf, ya.]

Setelah mengirimkan pesan tersebut, ponselnya benar-benar mati. Hanna pun merutuki dirinya yang ceroboh karena tidak membawa charger di saat genting seperti ini. Andaikan saja ia punya powerbank, pasti ia tak perlu risau dengan keadaan baterainya.

Hanna menghela nafas panjang, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali menyusuri pada lorong rumah sakit. Dilihatnya beberapa pasien yang tengah berlalu lalang ditemani perawat. Biasanya, jam sore adalah waktu yang paling ramai untuk membesuk. Namun, sekarang rasanya lebih sedikit sepi dibanding biasanya.

Tak lama, langkah Hanna terhenti di depan sebuah pintu kamar pasien yang bernomor 456. Diintipnya ruangan tersebut dari ujung jendela kecil yang bertengger di tengah pintu, memastikan bahwa si pasien masih ada dan hanya seorang diri.

Oke, timingnya tepat, batin Hanna.

Hanna pun mengetuk pintu tiga kali dan membuka pintu perlahan. Kepalanya menyembul dari balik pintu, berharap si pasien langsung sadar akan kehadirannya.

“Masuklah, Na. Enggak ada siapa-siapa di sini,” sahut suara dari dalam.

Hanna pun tersenyum lega dan membuka pintu lebih lebar sambil menyapa sahabatnya itu dengan riang. “Assalamualaikum, Aufan! Udah sehat?”

Aufan, lelaki yang terbaring di ranjang pasien itu pun tersenyum melihat kehadiran Hanna. Ia beranjak duduk dan menyenderkan tubuhnya ke bantal besar.Wajahnya yang terlihat cerah, tetapi bibirnya masih sedikit pucat. Selang infus pun masih menempeli punggung tangan kirinya.

“Wa’alaikumsalam, alhamdulillah sehat. Senang melihatmu ke sini, Hanna.”

Hanna tersenyum cerah. Ditaruhnya sebuah bingkisan kecil di atas meja sambil menarik kursi yang berada di samping ranjang tidur. Sudah menjadi kebiasaannya untuk membawa kue brownies coklat setiap kali berkunjung ke sini.

Aufan adalah sahabat sekaligus satu-satunya cowok yang dekat dengannya sejak SMA. Sejak dulu, Aufan sudah memilki anemia parah sehingga kondisi fisiknya lemah dan membuatnya seringkali keluar-masuk rumah sakit. Akibat kondisi itulah, ia sering bertemu Hanna di UKS dan lama-lama menjadi teman curhatnya.  

“Sepertinya kamu senang banget, ya? Gimana perjodohanmu? Lancar?” goda Aufan sambil membuka bingkisan dari Hanna. Detik kemudian, wajahnya langsung sumringah. “Wah, brownies coklat! Makasih banget ya!”

“Aku senang karena bisa melihatmu sehat lagi, Fan. Bukan karena perjodohan.” Hanna mendengkus pelan. Ia bertopang dagu pada meja di sebelahnya, ekspresinya kembali muram ketika Aufan mengingatkannya tentang perjodohan itu.

“Kenapa, sih? Jangan sedih gitulah. Cerita sini,” sahut Aufan dengan mulut yang sudah dipenuhi brownies coklat.

Hanna menghela nafas berat. Kedatangannya ke sini sebenarnya bukan hanya menjenguk Aufan, tapi juga mengeluh tentang masalah pertunangannya dengan yang begitu dadakan. Hanna pun mulai menceritakan bagaimana ibunya yang sudah mendiskusikannya tanpa persetujuan, bagaimana ibunya yang merencanakan pertemuannya dengan Solar sematang mungkin, dan bagaimana malam itu terjadi. Sementara Aufan hanya memanggut-manggut sok paham.

“Jadi, sebenarnya kamu ini kesal apa gimana?” Aufan mengernyitkan dahi, heran. Sedari tadi ia mendengarkan Hanna bercerita, ekspresi gadis itu berubah-ubah, entah kesal, malu, atau justru gemas pada nasibnya itu.    

“Awalnya sih kesal. Ya siapa yang enggak kesal sih tiba-tiba dikasih tahu wasiat ayah tentang pertunangan, hah? Terus tiba-tiba orang yang dibicarain datang begitu aja! Kan aku enggak ada persiapan sama sekali! Seengaknya, kalau ibu udah ngasih tahu aku gitu kan aku bisa menyiapkan topik atau penampilan gitu. Lah, ini … setiap pembicaraan kita pasti berakhir awkward. Aduuuh, mana canggung banget! Aku kesal tapi juga gemas gitu loh sama ibu!”

Aufan tertawa kecil melihat ekspresi Hanna yang merenggut kesal-kesal gemas dengan ceritanya sendiri. Jarang sekali Hanna ekspresif seperti ini saat curhat dengannya. Biasanya, gadis itu akan manyun atau memasang wajah betenya dari awal hingga akhir cerita. Ia jadi tertarik mengetahui siapa lelaki beruntung yang telah dijodohkan dengan Hanna.

“Tapi sebenarnya, kamu ini mau enggak sih ditunangin kayak gitu?” tanya Aufan gamblang. Ia menyeringai jahil, menyadari Hanna yang tiba-tiba terdiam.

“Entahlah. Mungkin, kalau cewek-cewek di luar sana bakal langsung senang kalau dijodohin sama calon pewaris perusahaan. Tapi aku … tidak terlalu senang, sih. Ya meskipun aku sudah mulai mencoba untuk menerima kenyataan ini, tetapi di sisi lain … seperti masih ada rasa keterpaksaan.”

Hanna menunduk dan kembali menarik napas panjang. Sudut bibirnya terangkat sendu, membayangkan bagaimana sosok ibu yang memberitahunya kemarin dan bagaimana Solar yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya. Semua terjadi begitu mendadakan mampu memutar balikkan hidupnya seperti ini.

Aufan menepuk bahu Hanna pelan dan tersenyum tipis. “Tenang saja. Perjodohan itu tidak selamanya buruk, kok. Percayalah, kamu hanya perlu mencoba untuk membuka hati kepadanya. Jangan takut, oke? Aku bakal ada di pihak kamu apapun yang terjadi.”

“Terima kasih, Aufan. Aku jadi lebih tenang sekarang.” Hanna membalas senyuman itu. 

“Tapi kalau ternyata kalian memang enggak cocok, aku masih mau kok nerima kamu. Ahahaha, parah banget sih kalau dia menyia-nyiakan cewek secantik kamu,” sahut Aufan sambil mengedipkan sebelah matanya, bercanda.

Hanna tergelak dan meninju bahu Aufan pelan. Diam-diam ia bersyukur punya sahabat seperti Aufan yang masih mau menghiburnya, meski dengan candaan menggelikan seperti ini. Namun, Hanna sama sekali tidak keberatan.

“Memangnya siapa sih calon tunanganmu itu? Aku daritadi kepo, deh!” Aufan kembali tersenyum jahil, mengingatkan Hanna belum menyebutkan nama pasangannya sedari tadi bercerita.

Dengan sudut bibir yang sedikit terangkat, pandangan Hanna terjatuh pada kedua tangan di pangkuannya. “Namanya Solar, Solar Alexandre Hamid. Aneh ya namanya?”

Alih-alih tertawa, Aufan justru bergeming sesaat. Ekspresi jahilnya lenyap ketika mendengar jawaban Hanna. Senyumnya pun memudar, berganti dengan rintihan kesakitan yang langsung membuat Hanna panik.

“Aufan? Kamu kenapa?” Hanna bertanya khawatir.

“A-ah, e-enggak apa-apa,” jawab Aufan sambil meringis pelan. Tiba-tiba ia merunduk sambil memegangi kepala. “Sepertinya … tiba-tiba kepalaku agak sakit. Maaf, Hanna ….”

“Ma-maaf! Aduh, aku berkunjung terlalu lama, ya?” sesal Hanna, buru-buru membereskan tasnya yang tergeletak di atas meja. Beralih pada Aufan kembali, Hanna memegang pundaknya pelan. “Perlu aku panggilkan perawat?”

“E-enggak. Aku cuma ingin istirahat aja. Lagian sebentar lagi waktunya aku check-up.” Aufan tersenyum lemah dan kembali berbaring dengan nyaman di ranjang pasien. Ia menepuk-nepuk lengan Hanna, menenangkan ekspresi takut gadis itu.

“Maaf, Aufan ….”

“Aku enggak apa-apa, kok. Udah, jangan sedih lagi. Calon tunanganmu nanti ilfil kalo kamu nangis, soalnya kamu makin jelek.” Aufan menjulurkan lidahnya dan mengedipkan matanya nakal.

“Hei, Aufan!” Hanna menggeram, sedikit kesal karena Aufan masih sempat-sempatnya meledek di kondisinya yang kembali menurun. “Udah, jangan kebanyakan bercanda!”

Aufan tertawa pelan. “Iya-iya. Kamu pulang, gih. Aku enggak mau tanggung ya kalau tiba-tiba kamu dimarahin sama calon tunangan kamu.”

Hanna mendengkus sebal, tidak habis pikir bagaimana Aufan yang masih mempercandainya di saat seperti ini. Dimarahi apanya? Solar saja tidak tahu kalau ia sedang menjenguk Aufan sekarang. Rasanya juga tidak mungkin kalau Solar akan langsung memarahinya. Dia saja dingin begitu.

“Kalau begitu, aku pulang dulu, ya.”

Hanna mengambil tasnya dan melambaikan tangan pada Aufan sambil menutup pintu kamar. Tanpa sepengetahuannya, senyuman Aufan pun memudar, berganti dengan ekspresi yang menggelap.

*******

“Aduh, ponselku mati lagi. Gimana ngehubungin ibu, nih?”

Hanna menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil merutuki dirinya yang pelupa. Ditatapnya ponsel yang telah mati, tak bisa dinyalakan meski hanya dua detik. Seharusnya saat menjenguk Aufan, ia juga meminjam charge untuk ponselnya. Buruknya lagi, ia lupa memberitahu ibunya kalau akan pulang telat.

“Habislah aku malam ini ….” desah Hanna pasrah.

 Karena ponselnya mati, Hanna juga tidak bisa memesan ojek online. Akibatnya, ia pun harus mengeluarkan ongkos lebih demi satu ojek biasa. Tidak bisa berhemat, gagal sudah rencananya untuk mengirit hari ini.

Hanna mendesah pasrah dan melangkah ke tukang pangkalan ojek di seberang gerbang. Beruntung masih ada satu dua ojek yang sedang menunggu penumpang, ia tidak perlu repot-repot menunggu.

“Ojek, Bang. Ke Perumahan Sri Asri, ya.”

“Siap, Neng!”

Motor melaju begitu cepat. Hanna sengaja menyuruh abang ojek supaya menambah laju kecepatan, bahkan kalau bisa ngebut. Pasalnya, ia tidak tahu sudah jam berapa ini, tetapi langit yang sudah gelap menandakan kalau sudah mendekati waktu isya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ibunya akan menceramahinya sesampai di rumah nanti.

Tadinya, setelah membayar tukang ojek, Hanna mau buru-buru masuk dan menemui ibunya sebelum diceramahi panjang kali lebar. Namun, langkahnya justru tertahan begitu sampai di depan gerbang rumah. Ada sebuah mobil avanza hitam yang parkir di seberang rumahnya, bersamaan dengan dua pasang sepatu yang tersusun rapi di teras.

“Hanna, kamu akhirnya udah pulang!” Sang ibu menyambutnya hangat dari depan pintu rumah. Buru-buru wanita tua itu menghampiri Hanna dan kembali berbisik, “Buruan masuk. Solar dan bapaknya sudah menunggu dari tadi.”

“Eh …? Ngapain, Bu?”

Hanna mulai gelisah. Ada yang tidak beres di sini, terlebih saat sang ibu tersenyum penuh makna.

“Bicarain tanggal pertunangan kalian, lah!”

“APA? TANGGAL!?” Hanna terbelalak sempurna.

Rasanya belum sampai seminggu ibunya memberitahunya masalah pertunangan, tiba-tiba sekarang sudah membicarakan tanggal. Ya Tuhan, kejutan apa lagi ini? Hanna benci dadakan seperti ini!

Bab terkait

  • My Chilly Fiance   Bab 6 : Kunjungan Dadakan

    Matilah aku. Mereka benar-benar sudah menungguku lama dari tadi! batin Hanna panik.Hanna tersenyum paksa di tengah dua keluarga yang berbincang hangat. Di sebelah kirinya, ada sang ibunda tercinta yang selalu memasang senyuman manis, terlihat sangat senang akan kedatangan kedua tamunya ini. Bolak-balik ia selalu mempersilahkan tamunya untuk mencicipi camilan dan meminum teh selagi hangat.Sementara di sofa seberang, ada calon tunangan beserta bapaknya yang tengah menyesap teh panas hangat. Keduanya mengenakan balutan kemeja hitam yang tampak mahal dan sangat rapi. Aroma parfum khas pria kaya tercium sampai di tempatnya. Hanna semakin minder jika menyandingkan dirinya dengan mereka. Bahkan cara minumnya pun benar-benar penuh tata krama.Duh, Hanna jadi tidak bisa membayangkan kalau ia benar-benar menjadi istri dari seorang calon pewaris perusahaan ternama. Ia sangat-sangat minder. Soalnya, bau rakyat jelata dan konglomerat itu beda jauh!“K

  • My Chilly Fiance   Bab 7 : Pagi yang Berbeda

    Hanna tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Setelah Solar membalas pesan singkatnya dan mengajaknya untuk bertemu setelah makan siang, sosok pria tampan itu langsung memenuhi isi kepalanya. Memikirkan apa yang sepatutnya mereka bahas, atau bagaimana mereka berbincang nantinya, Hanna terus mencari cara agar percakapan mereka tidak lagi canggung dan awkward sampai ia gemas sendiri dengan pikirannya itu.Dan sekarang, ia bahkan berpenampilan rapi dan memoleskan make up tipis. Surai hitam sepunggungnya itu ia biarkan tergerai rapi. Karena jam kuliahnya hari ini berakhir tepat sebelum jam makan siang, ia sampai membawa pouch make up yang jarang sekali ia sentuh jika tidak ada urgensi untuk bertamu.Menatap pantulan wajahnya di cermin, Hanna sudah lupa kapan ia terakhir kali mendandani dirinya serapi ini sebelum kuliah. Biasanya, ia tidak terlalu memedulikan penampilannya. Namun, kali ini tentu saja berbeda. Hanna harus memantaskan penampilannya setara

  • My Chilly Fiance   Bab 8 : Malu-maluin

    “Halo, Mas Solar! Perkenalkan, kami teman-temannya Hanna! Aku Via dan di sebelahku Elora! Salam kenal, ya!” “Salam kenal, calon tunangan temen saya yang paling ganteng!” Hanna mengusap wajah gusar saat dua teman gilanya ini memaksakan diri untuk berkenalan dengan Solar. Lihatlah sekarang wajah Solar yang tampak bingung, bahkan sampai menatap Hanna, seolah meminta penjelasan atas kekacauan semua ini. Seharusnya, Hanna tinggalkan saja dua orang itu setelah ia selesai salat dzuhur tadi. Kalau tahu bakal malu-maluin begini, ia enggak akan sudi menunggu mereka dari tadi. Sekarang Hanna benar-benar menyesal. Sungguh, Hanna malu punya teman enggak tahu diri kayak mereka! “I-iya, ini teman-teman aku. Teman kuliah,” ucap Hanna dengan ogah-ogahan. “Oh, kalau begitu salam kenal.” Sudut bibir Solar terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman formalitas. “Salam kenal juga, Mas! Mas tau, enggak? Hanna pas menceritaka

  • My Chilly Fiance   Bab 9 : Kompor!

    “Hee? Solar enggak menjemputmu hari ini? Kalian enggak berantem, kan?” Via dengan suara cemprengnya kembali mengheboh-hebohkan keadaan. Sengaja ia besar-besarkan suara, memanas-manasi Hanna yang tengah menyantap mie ayam spesial.“Kenapa, nih? Kenapa? Ada sesuatu, kah?” Elora yang tak mau kalah itu langsung ikut-ikutan mengompori situasi.Hanna menghela napas panjang dan memutar bola mata jemu. Ekspresinya kembali jengkel melihat bagaimana respon dari dua teman gilanya ini. Makan siang yang tadinya damai, berakhir ribut hanya karena Hanna mengatakan Solar tidak ke sini. Seketika ia menyesal sudah mengungkit nama Solar di tengah makan siang mereka. “Bukan begitu. Aku ini mau bimbingan dulu, woi! Udah tiga hari skripsiku terlantar, belum ada progressan. Aku ini enggak mau nambah semester lagi!” Hanna mengacung-acungkan garpunya pada dua gadis di depannya itu dengan geram.Iya, sudah tiga hari berturut-turut Solar s

  • My Chilly Fiance   Bab 10 : Sisi Manis

    “Hm, kayaknya kita masih perlu membandingkan gaun tadi sama yang lain.”“Se-serius?”“Iya. Kata Papa, ada rekomen pakaian bagus di sana.”Hanna mengusap wajah gusar ketika Solar kembali menunjuk sebuah toko pakaian. Ini hari minggu, hari dimana seharusnya ia mrehatkan otak dan tubuhnya. Tetapi hari ini berbeda karena Solar mengajaknya untuk mencari gaun dan jas yang cocok untuk pertunangan mereka yang tinggal dua hari lagi. Sudah lima jam lamanya mereka mengitari mall ini, tapi entah kenapa sulit sekali mencari pilihan yang sesuai dengan selera Solar.Padahal saat kemarin mencari cincin dan beberapa keperluan lain, mereka tidak perlu berlama-lama seperti ini. Tapi entah kenapa, untuk yang satu ini begitu berbeda. Lelaki itu mudah sekali mengajaknya ke toko lain untuk sekedar mencoba, lalu mereview baju tersebut dan meskipun sesekali ia memuji Hanna cantik, tetap saja Solar merasa belum puas.Seketika Hanna merasa

  • My Chilly Fiance   Bab 11 : Curiga

    “Berhenti menjelek-jelekkan aku dan calon tunanganku, dasar sampah!”Hanna membentak keras, tak bisa lagi menahan emosinya. Tak lagi peduli pada dirinya yang seketika menjadi pusat perhatian. Mau bercanda atau tidak, ia paling tidak bisa mentolerir siapapun yang menginjak-injak harga diri seseorang. Baginya, ini sudah sangat keterlaluan. Wanita di sebelah Vincent sudah bersiap menampar Hanna balik. “Berani-beraninya—”“Cukup, Sayang. Aku enggak apa-apa,” ucap Vincent tiba-tiba. Digenggamnya pergelangan tangan wanitanya itu dan tersenyum tipis. Kemudian ia beralih menatap Hanna takjub dan kembali tertawa, seperti telah menenemukan sesuatu yang menarik.“Apa lihat-lihat?” Hanna berseru garang.“Di luar perkiraan, ternyata calonmu ini pemberani banget, ya.” Vincent kembali tertawa, hendak menyentuh Hanna dengan seujung jarinya. Namun, Solar langsung menghentikan pergerakan lelaki

  • My Chilly Fiance   Bab 12 : Awal Pertengkaran

    “Jadi, kamu ke sini diam-diam?”Hanna yang tengah berada di dalam kamar Aufan itu menggeleng pelan. Seperti biasa, ia menyempatkan berkunjung saat senja tiba. Sebenarnya, ini kesempatan terakhirnya untuk bertemu Aufan. Besok adalah hari pertunangannya. Setelah itu, Hanna tak yakin kalau Solar mengijinkannya begitu saja untuk bertemu Aufan.“Apa nanti tunanganmu itu enggak salah paham?” tanya Aufan lagi.Hanna menarik napas panjang, enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sejujurnya, ia memang belum berani mengungkit Aufan sama sekali di hadapan Solar karena ia takut kalau lelaki itu akan salah paham. Ia butuh waktu untuk menjelaskan siapa Aufan ini pada Solar dan itu bukan sekarang.Ditatapnya layar ponsel berisikan percakapannya hari ini dengan Solar. Lelaki itu hanya bilang oke saat Hanna mengingatkannya tidak perlu menjemputnya.Seharusnya ia tidak perlu khawatir akan terjadi sesuatu yang mengejutkan, bukan?&ld

  • My Chilly Fiance   Bab 13 : Egois

    Helaan napas panjang kembali keluar dari bibir gadis itu, meratapi beban di punggung yang terasa begitu berat. Ditatapnya pantulan cermin yang menampilkan sosok gadis yang kacau. Hidungnya memerah, kelopak matanya sedikit membengkak, dan sisa-sisa bulir air mata masih membekas di pipi.Aneh rasanya. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, bukan pula dua orang yang saling jatuh cinta dengan sendirinya. Mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu karena sebuah wasiat pertunangan. Namun, kenapa rasanya begitu sakit setelah menatap punggung Solar yang pergi begitu saja?Hanna menggelengkan kepala pasrah dan mulai membasahi wajahnya yang kusam. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan hanya karena memikirkan Solar dan pertunangan mereka besok. Rasanya, ia tidak bisa menguasai perasaannya sendiri yang penuh kecamuk. Perasaan yang penuh akan kemarahan, bersalah, dan kesedihan itu menjadi satu begitu saja, sehingga Hanna pun tak tahu alasan ia menangis sebenarnya

Bab terbaru

  • My Chilly Fiance   Bab 18 : I Am His Fiance, So Why?

    Tiga hari setelah pertunangan, Hanna mulai merasakan perubahan dalam kehidupan kampusnya. Setiap kali ia melangkah, punggungnya serasa dihujani tatapan tajam bersamaan dengan bisikan-bisikan yang tak bisa ia dengar dengan jelas. Bahkan di perpustakaan atau di kantin pun, orang-orang di seberang mejanya akan kembali berbisik-bisik.Hanna tahu kalau hampir semua mahasiswa manajemen bisnis mengenali Hamid Coorperation, perusahaan terkaya se-Asia Tenggara. Perusahaan itu seringkali diungkit oleh dosen mereka sebagai contoh nyata. Tetapi ia tidak tahu kalau ternyata berita-berita tentang perusahaan itu seringkali diungkit sebagai bahan gibahan mahasiswa.Dan sekarang, namanya seolah menjadi trending topik di jurusan, sebagai tunangan resmi dari calon penerus perusahaan Hamid Coorperation. Bukannya berita itu tidak benar, tetapi Hanna begitu risih. Kalau mereka membicarakan diam-diam atau di belakang Hanna, sih, tidak apa. Tetapi ini ia gibahin orang tak jauh d

  • My Chilly Fiance   Bab 17 : Please, Don't Talk About Him

    Hanna tak bisa tidak terpukau setiap kali Solar mengajaknya ke suatu tempat berkelas. Kali ini, ia mengajaknya ke suatu restaurant bintang lima yang berada di suatu hotel berkelas. Sesuatu yang belum pernah ia masuki sepanjang hidupnya.Baru masuk satu langkah ke sini pun, rasanya Hanna kembali minder dengan penampilannya. Lihatlah orang-orang yang berpakaian mahal nan bermerk dan terlihat begitu elegan. Mereka semua adalah orang-orang berkelas yang setiap hari menghabiskan puluhan juta untuk makan dan minum. Sangat berbeda dari Hanna yang selalu hidup dengan kesederhanaan.“Apa … aku enggak apa-apa ke sini?” bisik Hanna sebelum melangkah lebih jauh.“Kenapa enggak? Ini cabang perusahaanku juga, kok,” jawab Solar begitu santai. Sorot mata yang biasanya begitu dingin, kini terlihat begitu teduh. Diulurkannya tangan kanannya pada Hanna. “Ayo.”Hanna meneguk ludah dan meraih tangan Solar yang terasa begitu hangat. T

  • My Chilly Fiance   Bab 16 : Overthinking

    Berhubungan dengan seseorang yang baru seharusnya tidak selamanya sulit, tetapi Hanna tidak pernah merasakan bagaimana terpaksanya seorang anak yang memiliki saudara non-biologis seatap dengannya. Sekalipun hidup Hanna selalu diwarnai dengan keterpaksaan, tetapi ia tak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Solar yang harus menerima keberadaan Aufan sebagai saudara tirinya.Teringat bagaimana mereka saling sindir-menyindir dingin saat acara pertunangan pun, membuat Hanna berpikir masalah mereka tidak sesederhana itu. Apalagi sampai Papa turun tangan, mengingatkan bagaimana Solar yang harus bertindak dewasa. Entah sudah berapa lama pertengkaran itu berlangsung, Hanna hanya bisa berharap kalau keduanya bisa cepat akur.Berada di tengah-tengah orang yang berselisih bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika menghadapinya satu per satu, Hanna masih bisa bersikap biasa saja. Tetapi jika ia bertemu di tengah dua orang itu di saat yang bersamaan, momen itulah yang membuat

  • My Chilly Fiance   Bab 15 : Saudara Tiri

    “Selamat atas pertunangannya, ‘Kakakku Tersayang’. Ah, aku jadi iri melihatmu bisa bersanding dengan cewek secantik ini,” Aufan berucap dengan penuh penekanan. Sebuah senyuman miring terbentuk di bibirnya dengan ekspresi yang begitu terpaksa. Diliriknya Hanna yang seketika membuat gadis itu tak nyaman.“Makasih. Kalau iri, cari jodoh sana,” balas Solar, terdengar sedikit ketus. Ia balas menjabat tangan itu kemudian melepasnya kembali hanya dalam beberapa detik.“Aw, sakitnya hatiku, Kak. Seperti biasa, kakak begitu dingin, ya. Padahal aku ini udah repot-repot ke sini, loh.” Aufan menyeringai tipis begitu menyadari kedutan di kening Solar.“Ck, menjengkelkan,” gumam Solar pelan, tetapi Hanna masih bisa mendengarnya.“Ish, ish, jangan dingin begitu. Padahal aku ke sini bukan hanya karena kakak, tetapi karena sahabatku telah berhasil ‘diikat’ oleh seseorang.” Aufan bera

  • My Chilly Fiance   Bab 14 : Engagement Day

    Balutan jas dan gaun warna-warni menghiasi keramaian pesta malam ini. Seharusnya, suatu pesta yang terlihat mewah dan megah tak lagi mengherankan bagi orang-orang kaya di luar sana. Namun, beda halnya dengan Hanna yang notabenenya adalah kaum biasa. Ia cukup terperangah, sampai tak bisa berkedip ketika menyaksikan sesuatu yang sangat jarang dilihatnya. Padahal ini hanya acara pertunangan yang biasanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat, tetapi rasanya ini sudah sangat-sangat berlebihan. Rasanya seperti perkumpulan orang-orang konglomerat, sementara ia hanyalah upik abu terpilih yang bisa bersanding dengan orang semacam Solar. Hanna tidak habis pikir, jika dia benar-benar menikah dengan Solar, seberapa megah lagi acara pernikahannya nanti? Buru-buru Hanna menghapus pikiran tersebut dan mengendalikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin ketika acara dimulai. Karena kecamuk dalam kepalanya begitu riuh, ia hampir melupakan fakta kalau mereka sedang

  • My Chilly Fiance   Bab 13 : Egois

    Helaan napas panjang kembali keluar dari bibir gadis itu, meratapi beban di punggung yang terasa begitu berat. Ditatapnya pantulan cermin yang menampilkan sosok gadis yang kacau. Hidungnya memerah, kelopak matanya sedikit membengkak, dan sisa-sisa bulir air mata masih membekas di pipi.Aneh rasanya. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, bukan pula dua orang yang saling jatuh cinta dengan sendirinya. Mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu karena sebuah wasiat pertunangan. Namun, kenapa rasanya begitu sakit setelah menatap punggung Solar yang pergi begitu saja?Hanna menggelengkan kepala pasrah dan mulai membasahi wajahnya yang kusam. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan hanya karena memikirkan Solar dan pertunangan mereka besok. Rasanya, ia tidak bisa menguasai perasaannya sendiri yang penuh kecamuk. Perasaan yang penuh akan kemarahan, bersalah, dan kesedihan itu menjadi satu begitu saja, sehingga Hanna pun tak tahu alasan ia menangis sebenarnya

  • My Chilly Fiance   Bab 12 : Awal Pertengkaran

    “Jadi, kamu ke sini diam-diam?”Hanna yang tengah berada di dalam kamar Aufan itu menggeleng pelan. Seperti biasa, ia menyempatkan berkunjung saat senja tiba. Sebenarnya, ini kesempatan terakhirnya untuk bertemu Aufan. Besok adalah hari pertunangannya. Setelah itu, Hanna tak yakin kalau Solar mengijinkannya begitu saja untuk bertemu Aufan.“Apa nanti tunanganmu itu enggak salah paham?” tanya Aufan lagi.Hanna menarik napas panjang, enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sejujurnya, ia memang belum berani mengungkit Aufan sama sekali di hadapan Solar karena ia takut kalau lelaki itu akan salah paham. Ia butuh waktu untuk menjelaskan siapa Aufan ini pada Solar dan itu bukan sekarang.Ditatapnya layar ponsel berisikan percakapannya hari ini dengan Solar. Lelaki itu hanya bilang oke saat Hanna mengingatkannya tidak perlu menjemputnya.Seharusnya ia tidak perlu khawatir akan terjadi sesuatu yang mengejutkan, bukan?&ld

  • My Chilly Fiance   Bab 11 : Curiga

    “Berhenti menjelek-jelekkan aku dan calon tunanganku, dasar sampah!”Hanna membentak keras, tak bisa lagi menahan emosinya. Tak lagi peduli pada dirinya yang seketika menjadi pusat perhatian. Mau bercanda atau tidak, ia paling tidak bisa mentolerir siapapun yang menginjak-injak harga diri seseorang. Baginya, ini sudah sangat keterlaluan. Wanita di sebelah Vincent sudah bersiap menampar Hanna balik. “Berani-beraninya—”“Cukup, Sayang. Aku enggak apa-apa,” ucap Vincent tiba-tiba. Digenggamnya pergelangan tangan wanitanya itu dan tersenyum tipis. Kemudian ia beralih menatap Hanna takjub dan kembali tertawa, seperti telah menenemukan sesuatu yang menarik.“Apa lihat-lihat?” Hanna berseru garang.“Di luar perkiraan, ternyata calonmu ini pemberani banget, ya.” Vincent kembali tertawa, hendak menyentuh Hanna dengan seujung jarinya. Namun, Solar langsung menghentikan pergerakan lelaki

  • My Chilly Fiance   Bab 10 : Sisi Manis

    “Hm, kayaknya kita masih perlu membandingkan gaun tadi sama yang lain.”“Se-serius?”“Iya. Kata Papa, ada rekomen pakaian bagus di sana.”Hanna mengusap wajah gusar ketika Solar kembali menunjuk sebuah toko pakaian. Ini hari minggu, hari dimana seharusnya ia mrehatkan otak dan tubuhnya. Tetapi hari ini berbeda karena Solar mengajaknya untuk mencari gaun dan jas yang cocok untuk pertunangan mereka yang tinggal dua hari lagi. Sudah lima jam lamanya mereka mengitari mall ini, tapi entah kenapa sulit sekali mencari pilihan yang sesuai dengan selera Solar.Padahal saat kemarin mencari cincin dan beberapa keperluan lain, mereka tidak perlu berlama-lama seperti ini. Tapi entah kenapa, untuk yang satu ini begitu berbeda. Lelaki itu mudah sekali mengajaknya ke toko lain untuk sekedar mencoba, lalu mereview baju tersebut dan meskipun sesekali ia memuji Hanna cantik, tetap saja Solar merasa belum puas.Seketika Hanna merasa

DMCA.com Protection Status