“Hee? Solar enggak menjemputmu hari ini? Kalian enggak berantem, kan?” Via dengan suara cemprengnya kembali mengheboh-hebohkan keadaan. Sengaja ia besar-besarkan suara, memanas-manasi Hanna yang tengah menyantap mie ayam spesial.
“Kenapa, nih? Kenapa? Ada sesuatu, kah?” Elora yang tak mau kalah itu langsung ikut-ikutan mengompori situasi.
Hanna menghela napas panjang dan memutar bola mata jemu. Ekspresinya kembali jengkel melihat bagaimana respon dari dua teman gilanya ini. Makan siang yang tadinya damai, berakhir ribut hanya karena Hanna mengatakan Solar tidak ke sini. Seketika ia menyesal sudah mengungkit nama Solar di tengah makan siang mereka.
“Bukan begitu. Aku ini mau bimbingan dulu, woi! Udah tiga hari skripsiku terlantar, belum ada progressan. Aku ini enggak mau nambah semester lagi!” Hanna mengacung-acungkan garpunya pada dua gadis di depannya itu dengan geram.
Iya, sudah tiga hari berturut-turut Solar s
“Hm, kayaknya kita masih perlu membandingkan gaun tadi sama yang lain.”“Se-serius?”“Iya. Kata Papa, ada rekomen pakaian bagus di sana.”Hanna mengusap wajah gusar ketika Solar kembali menunjuk sebuah toko pakaian. Ini hari minggu, hari dimana seharusnya ia mrehatkan otak dan tubuhnya. Tetapi hari ini berbeda karena Solar mengajaknya untuk mencari gaun dan jas yang cocok untuk pertunangan mereka yang tinggal dua hari lagi. Sudah lima jam lamanya mereka mengitari mall ini, tapi entah kenapa sulit sekali mencari pilihan yang sesuai dengan selera Solar.Padahal saat kemarin mencari cincin dan beberapa keperluan lain, mereka tidak perlu berlama-lama seperti ini. Tapi entah kenapa, untuk yang satu ini begitu berbeda. Lelaki itu mudah sekali mengajaknya ke toko lain untuk sekedar mencoba, lalu mereview baju tersebut dan meskipun sesekali ia memuji Hanna cantik, tetap saja Solar merasa belum puas.Seketika Hanna merasa
“Berhenti menjelek-jelekkan aku dan calon tunanganku, dasar sampah!”Hanna membentak keras, tak bisa lagi menahan emosinya. Tak lagi peduli pada dirinya yang seketika menjadi pusat perhatian. Mau bercanda atau tidak, ia paling tidak bisa mentolerir siapapun yang menginjak-injak harga diri seseorang. Baginya, ini sudah sangat keterlaluan. Wanita di sebelah Vincent sudah bersiap menampar Hanna balik. “Berani-beraninya—”“Cukup, Sayang. Aku enggak apa-apa,” ucap Vincent tiba-tiba. Digenggamnya pergelangan tangan wanitanya itu dan tersenyum tipis. Kemudian ia beralih menatap Hanna takjub dan kembali tertawa, seperti telah menenemukan sesuatu yang menarik.“Apa lihat-lihat?” Hanna berseru garang.“Di luar perkiraan, ternyata calonmu ini pemberani banget, ya.” Vincent kembali tertawa, hendak menyentuh Hanna dengan seujung jarinya. Namun, Solar langsung menghentikan pergerakan lelaki
“Jadi, kamu ke sini diam-diam?”Hanna yang tengah berada di dalam kamar Aufan itu menggeleng pelan. Seperti biasa, ia menyempatkan berkunjung saat senja tiba. Sebenarnya, ini kesempatan terakhirnya untuk bertemu Aufan. Besok adalah hari pertunangannya. Setelah itu, Hanna tak yakin kalau Solar mengijinkannya begitu saja untuk bertemu Aufan.“Apa nanti tunanganmu itu enggak salah paham?” tanya Aufan lagi.Hanna menarik napas panjang, enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sejujurnya, ia memang belum berani mengungkit Aufan sama sekali di hadapan Solar karena ia takut kalau lelaki itu akan salah paham. Ia butuh waktu untuk menjelaskan siapa Aufan ini pada Solar dan itu bukan sekarang.Ditatapnya layar ponsel berisikan percakapannya hari ini dengan Solar. Lelaki itu hanya bilang oke saat Hanna mengingatkannya tidak perlu menjemputnya.Seharusnya ia tidak perlu khawatir akan terjadi sesuatu yang mengejutkan, bukan?&ld
Helaan napas panjang kembali keluar dari bibir gadis itu, meratapi beban di punggung yang terasa begitu berat. Ditatapnya pantulan cermin yang menampilkan sosok gadis yang kacau. Hidungnya memerah, kelopak matanya sedikit membengkak, dan sisa-sisa bulir air mata masih membekas di pipi.Aneh rasanya. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, bukan pula dua orang yang saling jatuh cinta dengan sendirinya. Mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu karena sebuah wasiat pertunangan. Namun, kenapa rasanya begitu sakit setelah menatap punggung Solar yang pergi begitu saja?Hanna menggelengkan kepala pasrah dan mulai membasahi wajahnya yang kusam. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan hanya karena memikirkan Solar dan pertunangan mereka besok. Rasanya, ia tidak bisa menguasai perasaannya sendiri yang penuh kecamuk. Perasaan yang penuh akan kemarahan, bersalah, dan kesedihan itu menjadi satu begitu saja, sehingga Hanna pun tak tahu alasan ia menangis sebenarnya
Balutan jas dan gaun warna-warni menghiasi keramaian pesta malam ini. Seharusnya, suatu pesta yang terlihat mewah dan megah tak lagi mengherankan bagi orang-orang kaya di luar sana. Namun, beda halnya dengan Hanna yang notabenenya adalah kaum biasa. Ia cukup terperangah, sampai tak bisa berkedip ketika menyaksikan sesuatu yang sangat jarang dilihatnya. Padahal ini hanya acara pertunangan yang biasanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat, tetapi rasanya ini sudah sangat-sangat berlebihan. Rasanya seperti perkumpulan orang-orang konglomerat, sementara ia hanyalah upik abu terpilih yang bisa bersanding dengan orang semacam Solar. Hanna tidak habis pikir, jika dia benar-benar menikah dengan Solar, seberapa megah lagi acara pernikahannya nanti? Buru-buru Hanna menghapus pikiran tersebut dan mengendalikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin ketika acara dimulai. Karena kecamuk dalam kepalanya begitu riuh, ia hampir melupakan fakta kalau mereka sedang
“Selamat atas pertunangannya, ‘Kakakku Tersayang’. Ah, aku jadi iri melihatmu bisa bersanding dengan cewek secantik ini,” Aufan berucap dengan penuh penekanan. Sebuah senyuman miring terbentuk di bibirnya dengan ekspresi yang begitu terpaksa. Diliriknya Hanna yang seketika membuat gadis itu tak nyaman.“Makasih. Kalau iri, cari jodoh sana,” balas Solar, terdengar sedikit ketus. Ia balas menjabat tangan itu kemudian melepasnya kembali hanya dalam beberapa detik.“Aw, sakitnya hatiku, Kak. Seperti biasa, kakak begitu dingin, ya. Padahal aku ini udah repot-repot ke sini, loh.” Aufan menyeringai tipis begitu menyadari kedutan di kening Solar.“Ck, menjengkelkan,” gumam Solar pelan, tetapi Hanna masih bisa mendengarnya.“Ish, ish, jangan dingin begitu. Padahal aku ke sini bukan hanya karena kakak, tetapi karena sahabatku telah berhasil ‘diikat’ oleh seseorang.” Aufan bera
Berhubungan dengan seseorang yang baru seharusnya tidak selamanya sulit, tetapi Hanna tidak pernah merasakan bagaimana terpaksanya seorang anak yang memiliki saudara non-biologis seatap dengannya. Sekalipun hidup Hanna selalu diwarnai dengan keterpaksaan, tetapi ia tak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Solar yang harus menerima keberadaan Aufan sebagai saudara tirinya.Teringat bagaimana mereka saling sindir-menyindir dingin saat acara pertunangan pun, membuat Hanna berpikir masalah mereka tidak sesederhana itu. Apalagi sampai Papa turun tangan, mengingatkan bagaimana Solar yang harus bertindak dewasa. Entah sudah berapa lama pertengkaran itu berlangsung, Hanna hanya bisa berharap kalau keduanya bisa cepat akur.Berada di tengah-tengah orang yang berselisih bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika menghadapinya satu per satu, Hanna masih bisa bersikap biasa saja. Tetapi jika ia bertemu di tengah dua orang itu di saat yang bersamaan, momen itulah yang membuat
Hanna tak bisa tidak terpukau setiap kali Solar mengajaknya ke suatu tempat berkelas. Kali ini, ia mengajaknya ke suatu restaurant bintang lima yang berada di suatu hotel berkelas. Sesuatu yang belum pernah ia masuki sepanjang hidupnya.Baru masuk satu langkah ke sini pun, rasanya Hanna kembali minder dengan penampilannya. Lihatlah orang-orang yang berpakaian mahal nan bermerk dan terlihat begitu elegan. Mereka semua adalah orang-orang berkelas yang setiap hari menghabiskan puluhan juta untuk makan dan minum. Sangat berbeda dari Hanna yang selalu hidup dengan kesederhanaan.“Apa … aku enggak apa-apa ke sini?” bisik Hanna sebelum melangkah lebih jauh.“Kenapa enggak? Ini cabang perusahaanku juga, kok,” jawab Solar begitu santai. Sorot mata yang biasanya begitu dingin, kini terlihat begitu teduh. Diulurkannya tangan kanannya pada Hanna. “Ayo.”Hanna meneguk ludah dan meraih tangan Solar yang terasa begitu hangat. T
Tiga hari setelah pertunangan, Hanna mulai merasakan perubahan dalam kehidupan kampusnya. Setiap kali ia melangkah, punggungnya serasa dihujani tatapan tajam bersamaan dengan bisikan-bisikan yang tak bisa ia dengar dengan jelas. Bahkan di perpustakaan atau di kantin pun, orang-orang di seberang mejanya akan kembali berbisik-bisik.Hanna tahu kalau hampir semua mahasiswa manajemen bisnis mengenali Hamid Coorperation, perusahaan terkaya se-Asia Tenggara. Perusahaan itu seringkali diungkit oleh dosen mereka sebagai contoh nyata. Tetapi ia tidak tahu kalau ternyata berita-berita tentang perusahaan itu seringkali diungkit sebagai bahan gibahan mahasiswa.Dan sekarang, namanya seolah menjadi trending topik di jurusan, sebagai tunangan resmi dari calon penerus perusahaan Hamid Coorperation. Bukannya berita itu tidak benar, tetapi Hanna begitu risih. Kalau mereka membicarakan diam-diam atau di belakang Hanna, sih, tidak apa. Tetapi ini ia gibahin orang tak jauh d
Hanna tak bisa tidak terpukau setiap kali Solar mengajaknya ke suatu tempat berkelas. Kali ini, ia mengajaknya ke suatu restaurant bintang lima yang berada di suatu hotel berkelas. Sesuatu yang belum pernah ia masuki sepanjang hidupnya.Baru masuk satu langkah ke sini pun, rasanya Hanna kembali minder dengan penampilannya. Lihatlah orang-orang yang berpakaian mahal nan bermerk dan terlihat begitu elegan. Mereka semua adalah orang-orang berkelas yang setiap hari menghabiskan puluhan juta untuk makan dan minum. Sangat berbeda dari Hanna yang selalu hidup dengan kesederhanaan.“Apa … aku enggak apa-apa ke sini?” bisik Hanna sebelum melangkah lebih jauh.“Kenapa enggak? Ini cabang perusahaanku juga, kok,” jawab Solar begitu santai. Sorot mata yang biasanya begitu dingin, kini terlihat begitu teduh. Diulurkannya tangan kanannya pada Hanna. “Ayo.”Hanna meneguk ludah dan meraih tangan Solar yang terasa begitu hangat. T
Berhubungan dengan seseorang yang baru seharusnya tidak selamanya sulit, tetapi Hanna tidak pernah merasakan bagaimana terpaksanya seorang anak yang memiliki saudara non-biologis seatap dengannya. Sekalipun hidup Hanna selalu diwarnai dengan keterpaksaan, tetapi ia tak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Solar yang harus menerima keberadaan Aufan sebagai saudara tirinya.Teringat bagaimana mereka saling sindir-menyindir dingin saat acara pertunangan pun, membuat Hanna berpikir masalah mereka tidak sesederhana itu. Apalagi sampai Papa turun tangan, mengingatkan bagaimana Solar yang harus bertindak dewasa. Entah sudah berapa lama pertengkaran itu berlangsung, Hanna hanya bisa berharap kalau keduanya bisa cepat akur.Berada di tengah-tengah orang yang berselisih bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika menghadapinya satu per satu, Hanna masih bisa bersikap biasa saja. Tetapi jika ia bertemu di tengah dua orang itu di saat yang bersamaan, momen itulah yang membuat
“Selamat atas pertunangannya, ‘Kakakku Tersayang’. Ah, aku jadi iri melihatmu bisa bersanding dengan cewek secantik ini,” Aufan berucap dengan penuh penekanan. Sebuah senyuman miring terbentuk di bibirnya dengan ekspresi yang begitu terpaksa. Diliriknya Hanna yang seketika membuat gadis itu tak nyaman.“Makasih. Kalau iri, cari jodoh sana,” balas Solar, terdengar sedikit ketus. Ia balas menjabat tangan itu kemudian melepasnya kembali hanya dalam beberapa detik.“Aw, sakitnya hatiku, Kak. Seperti biasa, kakak begitu dingin, ya. Padahal aku ini udah repot-repot ke sini, loh.” Aufan menyeringai tipis begitu menyadari kedutan di kening Solar.“Ck, menjengkelkan,” gumam Solar pelan, tetapi Hanna masih bisa mendengarnya.“Ish, ish, jangan dingin begitu. Padahal aku ke sini bukan hanya karena kakak, tetapi karena sahabatku telah berhasil ‘diikat’ oleh seseorang.” Aufan bera
Balutan jas dan gaun warna-warni menghiasi keramaian pesta malam ini. Seharusnya, suatu pesta yang terlihat mewah dan megah tak lagi mengherankan bagi orang-orang kaya di luar sana. Namun, beda halnya dengan Hanna yang notabenenya adalah kaum biasa. Ia cukup terperangah, sampai tak bisa berkedip ketika menyaksikan sesuatu yang sangat jarang dilihatnya. Padahal ini hanya acara pertunangan yang biasanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat, tetapi rasanya ini sudah sangat-sangat berlebihan. Rasanya seperti perkumpulan orang-orang konglomerat, sementara ia hanyalah upik abu terpilih yang bisa bersanding dengan orang semacam Solar. Hanna tidak habis pikir, jika dia benar-benar menikah dengan Solar, seberapa megah lagi acara pernikahannya nanti? Buru-buru Hanna menghapus pikiran tersebut dan mengendalikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin ketika acara dimulai. Karena kecamuk dalam kepalanya begitu riuh, ia hampir melupakan fakta kalau mereka sedang
Helaan napas panjang kembali keluar dari bibir gadis itu, meratapi beban di punggung yang terasa begitu berat. Ditatapnya pantulan cermin yang menampilkan sosok gadis yang kacau. Hidungnya memerah, kelopak matanya sedikit membengkak, dan sisa-sisa bulir air mata masih membekas di pipi.Aneh rasanya. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, bukan pula dua orang yang saling jatuh cinta dengan sendirinya. Mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu karena sebuah wasiat pertunangan. Namun, kenapa rasanya begitu sakit setelah menatap punggung Solar yang pergi begitu saja?Hanna menggelengkan kepala pasrah dan mulai membasahi wajahnya yang kusam. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan hanya karena memikirkan Solar dan pertunangan mereka besok. Rasanya, ia tidak bisa menguasai perasaannya sendiri yang penuh kecamuk. Perasaan yang penuh akan kemarahan, bersalah, dan kesedihan itu menjadi satu begitu saja, sehingga Hanna pun tak tahu alasan ia menangis sebenarnya
“Jadi, kamu ke sini diam-diam?”Hanna yang tengah berada di dalam kamar Aufan itu menggeleng pelan. Seperti biasa, ia menyempatkan berkunjung saat senja tiba. Sebenarnya, ini kesempatan terakhirnya untuk bertemu Aufan. Besok adalah hari pertunangannya. Setelah itu, Hanna tak yakin kalau Solar mengijinkannya begitu saja untuk bertemu Aufan.“Apa nanti tunanganmu itu enggak salah paham?” tanya Aufan lagi.Hanna menarik napas panjang, enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sejujurnya, ia memang belum berani mengungkit Aufan sama sekali di hadapan Solar karena ia takut kalau lelaki itu akan salah paham. Ia butuh waktu untuk menjelaskan siapa Aufan ini pada Solar dan itu bukan sekarang.Ditatapnya layar ponsel berisikan percakapannya hari ini dengan Solar. Lelaki itu hanya bilang oke saat Hanna mengingatkannya tidak perlu menjemputnya.Seharusnya ia tidak perlu khawatir akan terjadi sesuatu yang mengejutkan, bukan?&ld
“Berhenti menjelek-jelekkan aku dan calon tunanganku, dasar sampah!”Hanna membentak keras, tak bisa lagi menahan emosinya. Tak lagi peduli pada dirinya yang seketika menjadi pusat perhatian. Mau bercanda atau tidak, ia paling tidak bisa mentolerir siapapun yang menginjak-injak harga diri seseorang. Baginya, ini sudah sangat keterlaluan. Wanita di sebelah Vincent sudah bersiap menampar Hanna balik. “Berani-beraninya—”“Cukup, Sayang. Aku enggak apa-apa,” ucap Vincent tiba-tiba. Digenggamnya pergelangan tangan wanitanya itu dan tersenyum tipis. Kemudian ia beralih menatap Hanna takjub dan kembali tertawa, seperti telah menenemukan sesuatu yang menarik.“Apa lihat-lihat?” Hanna berseru garang.“Di luar perkiraan, ternyata calonmu ini pemberani banget, ya.” Vincent kembali tertawa, hendak menyentuh Hanna dengan seujung jarinya. Namun, Solar langsung menghentikan pergerakan lelaki
“Hm, kayaknya kita masih perlu membandingkan gaun tadi sama yang lain.”“Se-serius?”“Iya. Kata Papa, ada rekomen pakaian bagus di sana.”Hanna mengusap wajah gusar ketika Solar kembali menunjuk sebuah toko pakaian. Ini hari minggu, hari dimana seharusnya ia mrehatkan otak dan tubuhnya. Tetapi hari ini berbeda karena Solar mengajaknya untuk mencari gaun dan jas yang cocok untuk pertunangan mereka yang tinggal dua hari lagi. Sudah lima jam lamanya mereka mengitari mall ini, tapi entah kenapa sulit sekali mencari pilihan yang sesuai dengan selera Solar.Padahal saat kemarin mencari cincin dan beberapa keperluan lain, mereka tidak perlu berlama-lama seperti ini. Tapi entah kenapa, untuk yang satu ini begitu berbeda. Lelaki itu mudah sekali mengajaknya ke toko lain untuk sekedar mencoba, lalu mereview baju tersebut dan meskipun sesekali ia memuji Hanna cantik, tetap saja Solar merasa belum puas.Seketika Hanna merasa