Hanna tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Setelah Solar membalas pesan singkatnya dan mengajaknya untuk bertemu setelah makan siang, sosok pria tampan itu langsung memenuhi isi kepalanya. Memikirkan apa yang sepatutnya mereka bahas, atau bagaimana mereka berbincang nantinya, Hanna terus mencari cara agar percakapan mereka tidak lagi canggung dan awkward sampai ia gemas sendiri dengan pikirannya itu.
Dan sekarang, ia bahkan berpenampilan rapi dan memoleskan make up tipis. Surai hitam sepunggungnya itu ia biarkan tergerai rapi. Karena jam kuliahnya hari ini berakhir tepat sebelum jam makan siang, ia sampai membawa pouch make up yang jarang sekali ia sentuh jika tidak ada urgensi untuk bertamu.
Menatap pantulan wajahnya di cermin, Hanna sudah lupa kapan ia terakhir kali mendandani dirinya serapi ini sebelum kuliah. Biasanya, ia tidak terlalu memedulikan penampilannya. Namun, kali ini tentu saja berbeda. Hanna harus memantaskan penampilannya setara dengan Solar yang selalu terlihat berkharisma. Ia tidak mau terlihat seperti upik abu yang sedang jalan bersama majikannya.
“Hanna, kamu enggak berangkat kuliah? Solar sudah menunggumu, loh!”
“Iya, Bu!”
Hanna buru-buru mengambil tas kuliahnya dan menuruni tangga secepat mungkin setelah mendengar panggilan ibunya. Diliriknya arloji yang melingkari pergelangan tangan, masih tersisa empat puluh menit sebelum jam kuliahnya dimulai. Sesampainya di meja makan, Hanna segera menyambar roti panggang yang tinggal tersisa satu dan mencium punggung tangan sang ibu.
Begitu Hanna keluar rumah, ia langsung mendapati sosok Solar yang tengah bersandar pada pagar rumahnya. Lelaki itu mengenakan setelan kemeja biru lengkap dengan dasi yang tertata begitu rapi. Kacamata yang biasanya bertengger di batang hidungnya, kini tersimpan dalam saku kemeja. Seketika Hanna menyadari penampilan Solar yang begitu tampan tanpa menggunakan kacamata.
“Oh, kamu udah datang?”
Hanna mengangguk dan tersenyum secerah mungkin. Setelah semalam berpikir baik-baik, ia tidak mau membuat impression yang jelek di depan Solar. Ia harus berusaha memposisikan diri sebaik mungkin di depan Solar. Bagaimana pun juga, ini adalah wasiat ayahnya yang harus ia coba jalani.
“Yuk, berangkat,” ajak Hanna.
Solar mengangguk dan membukakan pintu kursi penumpang layaknya seorang gentleman. Hanna jadi merasa sedikit tersentuh mendapat perlakuan seperti ini. Seumur hidup, baru kali ini ia bertemu dengan seseorang seperti Solar.
Setelah itu, mobil pun melaju, melintasi jalan yang masih lenggang. Diam-diam, Hanna melirik Solar, mengagumi wajah tanpa ekspresi yang begitu rupawan. Seperti biasa, Solar yang irit bicara itu hanya terfokus pada mengemudi, terlihat tidak tertarik untuk memulai pembicaraan.
“Kamu biasanya berangkat jam segini juga?” tanya Hanna, mengajaknya sekedar berbasa-basi.
“Bebas, sih,” jawab Solar singkat, masih berfokus pada jalan di depannya.
“Eh, bebas? Kalau begitu, enggak masuk juga boleh?”
“Boleh. Aku bebas mengerjakan urusan kantor di mana saja.”
Hanna tercengang, kembali mengingatkan dirinya bahwa pria di sampingnya ini adalah calon pewaris perusahaan ternama. Seharusnya tidak mengherankan kalau Solar diberi kebebasan oleh papanya saat bekerja.
“Kalau ada meeting gimana?”
“Itu udah beda cerita.”
Hanna hanya tertawa kikuk, lebih tepatnya menertawakan pertanyaan bodohnya. Lagi dan lagi, orang konglomerat memang berbeda kasta.
“Kamu … kalau kuliah memang seperti itu, ya?” Kali ini giliran Solar yang bertanya, ia melirik Hanna sekilas sebelum kembali fokus dengan jalan di depannya.
“E-eh? Um … biasanya e-enggak, sih. Cuma … hari ini lagi mood aja jadi begini, deh. Ehehehe,” jawab Hanna dengan sedikit tergagap. Pandangannya buru-buru teralihkan ke luar, sementara tangannya menggaruk pipinya yang tidak gatal. Ia tidak menyangka kalau Solar akan menanyakan penampilannya.
“Kalau begitu, biasa saja.”
Hanna kembali menatapnya bingung. “Maksudmu?”
“Yang biasa aja.”
Hanna kembali tercengang lebar, masih mencerna apa yang Solar katakan. Padahal ia sudah berdandan satu jam lamnya, tetapi masih saja disuruh seperti biasa aja? Apa penampilan seperti ini memang tidak cocok untuknya? Duh, Hanna kembali merasa minder.
“Ah, aku … memangnya … tidak cocok, ya?” tanya Hanna pelan.
“Aku enggak bilang begitu.” Solar berdeham sejenak. Wajahnya yang biasa tak ada ekspresi, kini terlihat sedikit gelisah. “Ehm, kamu cocok, kok.”
Hanna menarik sebelah alis, bingung. Tadi disuruh biasa, sekarang dibilang cocok. Sebenarnya, Solar ini kenapa, sih? Tidak mungkin kan dia sedang malu-malu kucing? Hanna sama sekali tidak mengerti dengan pola pikir lelaki di sebelahnya ini.
“Jadi aku harus seperti apa, dong?”
“Natural, seperti dirimu saja.”
Hanna kembali mengerjap. Solar yang dari kemarin hanya menjawabnya sepatah dua kata, pagi ini jadi lebih banyak berbicara. Apalagi sampai mengomentari penampilan dan menyuruhnya menjadi diri sendiri. Aneh sekali.
Mungkinkah sikapnya telah sedikit melunak? Atau jangan-jangan Solar memang masih menyembunyikan sisi lain di balik wajah dinginnya ini?
“Baiklah kalau begitu,” sahut Hanna pada akhirnya. Hanna tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, Hanna merasa lega karena percakapan mereka pagi ini tidak berakhir awkward.
*****
“Cie, cie~! Yang udah punya tunangan, sekarang maunya berduaan mulu nih, ye!”
“Aduuh, nanti undang-undang ya kalau udah menyebarkan undangan!”
Hanna memutar bola mata dan menutup kedua telinganya saat Elora dan Via meledeknya habis-habisan. Selama jam kuliah, Hanna sama sekali tidak bisa konsentrasi karena dua orang yang duduk di kanan dan kirinya itu tidak capek-capeknya mengganggunya, meski hanya bertukar pesan lewat coretan kertas. Mereka hampir kena tegur karena Elora dan Via yang terus cekikikan geli. Untung saja dosen pagi ini bukan dosen killer.
“Argh! Mau sampai kapan kalian meledekku, sih!?” sahut Hanna sebal. Ia mendengkus dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Lagian juga, aku belum official tunangan sama dia, ya. Jadi plis, enggak usah norak begitu, wahai dua kawan tercinta.”
Elora dan Via langsung tergelak, menertawakan tingkah Hanna yang begitu lucu. Menurut mereka, sikap Hanna yang seperti ini seperti cewek-cewek jepang yang tsundere. Malu-malu tapi nyatanya mau juga.
“Habisnya kamu juga penampilan hari ini cantik banget. Iya ga, Vi?” Elora merangkul Hanna dan melirik Via dengan tampang jahilnya.
“Iya! Aku yakin orang-orang yang melihatmu di kelas tadi sampai enggak bisa kedip. Kamu sadar enggak, Han?” Via tertawa renyah dan menepuk-nepuk bahu Hanna, sangat menikmati ekspresi Hanna yang semakin bete.
“Enggak, woi! Mana ada yang begitu?” Hanna melepas rangkulan Elora dan kembali mendengkus sebal. “Udahlah, sana-sana!”
“Tapi aku serius, Han. Tadi ada tuh adik kelas yang dari jam awal sampai selesai ngeliatin kamu terus!” sahut Via, masih tersenyum jahil.
Hanna kembali memutar bola mata, masih menganggap semua ucapan Via dan Elora itu hanyalah ledekan semata. Hanna tahu ia bukan mahasiswi populer ataupun yang panjat sosial. Ia hanya mahasiswi biasa, nerd, dan anti sosial. Belum ada laki-laki yang tiba-tiba naksir hanya karena ia berdandan di sepanjang sejarah hidupnya.
“Eh, itu! Itu! Yang aku bilang! Dia masih melihat ke arah sini!” Via langsung menarik tangan Hanna, menunjuk seorang pria bertubuh gempal dengan isyarat matanya. Pria yang ditunjuk itu buru-buru memalingkan wajahnya yang memerah.
Hanna mengernyitkan dahinya dalam-dalam. Rasanya masih tidak mungkin kalau ada pria yang naksir sama dia. Ia pun melepas tangan Via dan menggelengkan kepalanya tegas.
“Enggak mungkin. Dia pasti salah orang,” sahut Hanna dengan penuh penekanan. Dilihatnya dua temannya itu secara bergantian. “Kalaupun emang ngeliat kita, itu enggak mungkin aku. Bisa aja kan salah satu dari kalian.”
“Mana ada!”
Hanna hanya mengendikkan bahu sebagai balasan. Kemudian ia kembali melihat arloji jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tepat di saat itu pula, sebuah notifikasi pesan dari Solar memenuhi layar ponselnya.
[Kamu udah selesai? Kalau udah, habis ini aku ke kampusmu.]
Tanpa sadar, seulas senyuman terukir di bibir Hanna sebelum membalas pesan tersebut.
[Udah, tapi santai aja. Aku mau sholat di kampus dulu.]
Saat Hanna mematikan layar ponselnya, barulah ia sadar kalau kedua temannya ini sedari tadi memperhatikan pesan yang Solar kirimkan. Seketika Hanna kembali menyesal melihat wajah Elora dan Via sudah mesem-mesem penuh kemenangan.
“Cieee! Ya ampun, katanya kemarin enggak mau dijodohin, tapi sekarang udah mau dijemput ajaa! Hanna bikin gemes, deh!”
“Jadi iri, deh! Aduhai, kakandaku! Kapan kamu datang supaya aku bisa kayak Hanna yang udah ada calon hidup? Huhuhuhu.”
Hanna panik, menyadari orang-orang yang mulai melihat mereka. Buru-buru telapak tangannya membekap dua mulut itu dengan cepat, tapi mereka tetap saja meledek Hanna secara terang-terangan, seolah sengaja mempermalukannya di depan umum.
Sungguh, Hanna benar-benar malu punya teman seperti mereka!
“Halo, Mas Solar! Perkenalkan, kami teman-temannya Hanna! Aku Via dan di sebelahku Elora! Salam kenal, ya!” “Salam kenal, calon tunangan temen saya yang paling ganteng!” Hanna mengusap wajah gusar saat dua teman gilanya ini memaksakan diri untuk berkenalan dengan Solar. Lihatlah sekarang wajah Solar yang tampak bingung, bahkan sampai menatap Hanna, seolah meminta penjelasan atas kekacauan semua ini. Seharusnya, Hanna tinggalkan saja dua orang itu setelah ia selesai salat dzuhur tadi. Kalau tahu bakal malu-maluin begini, ia enggak akan sudi menunggu mereka dari tadi. Sekarang Hanna benar-benar menyesal. Sungguh, Hanna malu punya teman enggak tahu diri kayak mereka! “I-iya, ini teman-teman aku. Teman kuliah,” ucap Hanna dengan ogah-ogahan. “Oh, kalau begitu salam kenal.” Sudut bibir Solar terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman formalitas. “Salam kenal juga, Mas! Mas tau, enggak? Hanna pas menceritaka
“Hee? Solar enggak menjemputmu hari ini? Kalian enggak berantem, kan?” Via dengan suara cemprengnya kembali mengheboh-hebohkan keadaan. Sengaja ia besar-besarkan suara, memanas-manasi Hanna yang tengah menyantap mie ayam spesial.“Kenapa, nih? Kenapa? Ada sesuatu, kah?” Elora yang tak mau kalah itu langsung ikut-ikutan mengompori situasi.Hanna menghela napas panjang dan memutar bola mata jemu. Ekspresinya kembali jengkel melihat bagaimana respon dari dua teman gilanya ini. Makan siang yang tadinya damai, berakhir ribut hanya karena Hanna mengatakan Solar tidak ke sini. Seketika ia menyesal sudah mengungkit nama Solar di tengah makan siang mereka. “Bukan begitu. Aku ini mau bimbingan dulu, woi! Udah tiga hari skripsiku terlantar, belum ada progressan. Aku ini enggak mau nambah semester lagi!” Hanna mengacung-acungkan garpunya pada dua gadis di depannya itu dengan geram.Iya, sudah tiga hari berturut-turut Solar s
“Hm, kayaknya kita masih perlu membandingkan gaun tadi sama yang lain.”“Se-serius?”“Iya. Kata Papa, ada rekomen pakaian bagus di sana.”Hanna mengusap wajah gusar ketika Solar kembali menunjuk sebuah toko pakaian. Ini hari minggu, hari dimana seharusnya ia mrehatkan otak dan tubuhnya. Tetapi hari ini berbeda karena Solar mengajaknya untuk mencari gaun dan jas yang cocok untuk pertunangan mereka yang tinggal dua hari lagi. Sudah lima jam lamanya mereka mengitari mall ini, tapi entah kenapa sulit sekali mencari pilihan yang sesuai dengan selera Solar.Padahal saat kemarin mencari cincin dan beberapa keperluan lain, mereka tidak perlu berlama-lama seperti ini. Tapi entah kenapa, untuk yang satu ini begitu berbeda. Lelaki itu mudah sekali mengajaknya ke toko lain untuk sekedar mencoba, lalu mereview baju tersebut dan meskipun sesekali ia memuji Hanna cantik, tetap saja Solar merasa belum puas.Seketika Hanna merasa
“Berhenti menjelek-jelekkan aku dan calon tunanganku, dasar sampah!”Hanna membentak keras, tak bisa lagi menahan emosinya. Tak lagi peduli pada dirinya yang seketika menjadi pusat perhatian. Mau bercanda atau tidak, ia paling tidak bisa mentolerir siapapun yang menginjak-injak harga diri seseorang. Baginya, ini sudah sangat keterlaluan. Wanita di sebelah Vincent sudah bersiap menampar Hanna balik. “Berani-beraninya—”“Cukup, Sayang. Aku enggak apa-apa,” ucap Vincent tiba-tiba. Digenggamnya pergelangan tangan wanitanya itu dan tersenyum tipis. Kemudian ia beralih menatap Hanna takjub dan kembali tertawa, seperti telah menenemukan sesuatu yang menarik.“Apa lihat-lihat?” Hanna berseru garang.“Di luar perkiraan, ternyata calonmu ini pemberani banget, ya.” Vincent kembali tertawa, hendak menyentuh Hanna dengan seujung jarinya. Namun, Solar langsung menghentikan pergerakan lelaki
“Jadi, kamu ke sini diam-diam?”Hanna yang tengah berada di dalam kamar Aufan itu menggeleng pelan. Seperti biasa, ia menyempatkan berkunjung saat senja tiba. Sebenarnya, ini kesempatan terakhirnya untuk bertemu Aufan. Besok adalah hari pertunangannya. Setelah itu, Hanna tak yakin kalau Solar mengijinkannya begitu saja untuk bertemu Aufan.“Apa nanti tunanganmu itu enggak salah paham?” tanya Aufan lagi.Hanna menarik napas panjang, enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sejujurnya, ia memang belum berani mengungkit Aufan sama sekali di hadapan Solar karena ia takut kalau lelaki itu akan salah paham. Ia butuh waktu untuk menjelaskan siapa Aufan ini pada Solar dan itu bukan sekarang.Ditatapnya layar ponsel berisikan percakapannya hari ini dengan Solar. Lelaki itu hanya bilang oke saat Hanna mengingatkannya tidak perlu menjemputnya.Seharusnya ia tidak perlu khawatir akan terjadi sesuatu yang mengejutkan, bukan?&ld
Helaan napas panjang kembali keluar dari bibir gadis itu, meratapi beban di punggung yang terasa begitu berat. Ditatapnya pantulan cermin yang menampilkan sosok gadis yang kacau. Hidungnya memerah, kelopak matanya sedikit membengkak, dan sisa-sisa bulir air mata masih membekas di pipi.Aneh rasanya. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, bukan pula dua orang yang saling jatuh cinta dengan sendirinya. Mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu karena sebuah wasiat pertunangan. Namun, kenapa rasanya begitu sakit setelah menatap punggung Solar yang pergi begitu saja?Hanna menggelengkan kepala pasrah dan mulai membasahi wajahnya yang kusam. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan hanya karena memikirkan Solar dan pertunangan mereka besok. Rasanya, ia tidak bisa menguasai perasaannya sendiri yang penuh kecamuk. Perasaan yang penuh akan kemarahan, bersalah, dan kesedihan itu menjadi satu begitu saja, sehingga Hanna pun tak tahu alasan ia menangis sebenarnya
Balutan jas dan gaun warna-warni menghiasi keramaian pesta malam ini. Seharusnya, suatu pesta yang terlihat mewah dan megah tak lagi mengherankan bagi orang-orang kaya di luar sana. Namun, beda halnya dengan Hanna yang notabenenya adalah kaum biasa. Ia cukup terperangah, sampai tak bisa berkedip ketika menyaksikan sesuatu yang sangat jarang dilihatnya. Padahal ini hanya acara pertunangan yang biasanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat, tetapi rasanya ini sudah sangat-sangat berlebihan. Rasanya seperti perkumpulan orang-orang konglomerat, sementara ia hanyalah upik abu terpilih yang bisa bersanding dengan orang semacam Solar. Hanna tidak habis pikir, jika dia benar-benar menikah dengan Solar, seberapa megah lagi acara pernikahannya nanti? Buru-buru Hanna menghapus pikiran tersebut dan mengendalikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin ketika acara dimulai. Karena kecamuk dalam kepalanya begitu riuh, ia hampir melupakan fakta kalau mereka sedang
“Selamat atas pertunangannya, ‘Kakakku Tersayang’. Ah, aku jadi iri melihatmu bisa bersanding dengan cewek secantik ini,” Aufan berucap dengan penuh penekanan. Sebuah senyuman miring terbentuk di bibirnya dengan ekspresi yang begitu terpaksa. Diliriknya Hanna yang seketika membuat gadis itu tak nyaman.“Makasih. Kalau iri, cari jodoh sana,” balas Solar, terdengar sedikit ketus. Ia balas menjabat tangan itu kemudian melepasnya kembali hanya dalam beberapa detik.“Aw, sakitnya hatiku, Kak. Seperti biasa, kakak begitu dingin, ya. Padahal aku ini udah repot-repot ke sini, loh.” Aufan menyeringai tipis begitu menyadari kedutan di kening Solar.“Ck, menjengkelkan,” gumam Solar pelan, tetapi Hanna masih bisa mendengarnya.“Ish, ish, jangan dingin begitu. Padahal aku ke sini bukan hanya karena kakak, tetapi karena sahabatku telah berhasil ‘diikat’ oleh seseorang.” Aufan bera
Tiga hari setelah pertunangan, Hanna mulai merasakan perubahan dalam kehidupan kampusnya. Setiap kali ia melangkah, punggungnya serasa dihujani tatapan tajam bersamaan dengan bisikan-bisikan yang tak bisa ia dengar dengan jelas. Bahkan di perpustakaan atau di kantin pun, orang-orang di seberang mejanya akan kembali berbisik-bisik.Hanna tahu kalau hampir semua mahasiswa manajemen bisnis mengenali Hamid Coorperation, perusahaan terkaya se-Asia Tenggara. Perusahaan itu seringkali diungkit oleh dosen mereka sebagai contoh nyata. Tetapi ia tidak tahu kalau ternyata berita-berita tentang perusahaan itu seringkali diungkit sebagai bahan gibahan mahasiswa.Dan sekarang, namanya seolah menjadi trending topik di jurusan, sebagai tunangan resmi dari calon penerus perusahaan Hamid Coorperation. Bukannya berita itu tidak benar, tetapi Hanna begitu risih. Kalau mereka membicarakan diam-diam atau di belakang Hanna, sih, tidak apa. Tetapi ini ia gibahin orang tak jauh d
Hanna tak bisa tidak terpukau setiap kali Solar mengajaknya ke suatu tempat berkelas. Kali ini, ia mengajaknya ke suatu restaurant bintang lima yang berada di suatu hotel berkelas. Sesuatu yang belum pernah ia masuki sepanjang hidupnya.Baru masuk satu langkah ke sini pun, rasanya Hanna kembali minder dengan penampilannya. Lihatlah orang-orang yang berpakaian mahal nan bermerk dan terlihat begitu elegan. Mereka semua adalah orang-orang berkelas yang setiap hari menghabiskan puluhan juta untuk makan dan minum. Sangat berbeda dari Hanna yang selalu hidup dengan kesederhanaan.“Apa … aku enggak apa-apa ke sini?” bisik Hanna sebelum melangkah lebih jauh.“Kenapa enggak? Ini cabang perusahaanku juga, kok,” jawab Solar begitu santai. Sorot mata yang biasanya begitu dingin, kini terlihat begitu teduh. Diulurkannya tangan kanannya pada Hanna. “Ayo.”Hanna meneguk ludah dan meraih tangan Solar yang terasa begitu hangat. T
Berhubungan dengan seseorang yang baru seharusnya tidak selamanya sulit, tetapi Hanna tidak pernah merasakan bagaimana terpaksanya seorang anak yang memiliki saudara non-biologis seatap dengannya. Sekalipun hidup Hanna selalu diwarnai dengan keterpaksaan, tetapi ia tak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Solar yang harus menerima keberadaan Aufan sebagai saudara tirinya.Teringat bagaimana mereka saling sindir-menyindir dingin saat acara pertunangan pun, membuat Hanna berpikir masalah mereka tidak sesederhana itu. Apalagi sampai Papa turun tangan, mengingatkan bagaimana Solar yang harus bertindak dewasa. Entah sudah berapa lama pertengkaran itu berlangsung, Hanna hanya bisa berharap kalau keduanya bisa cepat akur.Berada di tengah-tengah orang yang berselisih bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika menghadapinya satu per satu, Hanna masih bisa bersikap biasa saja. Tetapi jika ia bertemu di tengah dua orang itu di saat yang bersamaan, momen itulah yang membuat
“Selamat atas pertunangannya, ‘Kakakku Tersayang’. Ah, aku jadi iri melihatmu bisa bersanding dengan cewek secantik ini,” Aufan berucap dengan penuh penekanan. Sebuah senyuman miring terbentuk di bibirnya dengan ekspresi yang begitu terpaksa. Diliriknya Hanna yang seketika membuat gadis itu tak nyaman.“Makasih. Kalau iri, cari jodoh sana,” balas Solar, terdengar sedikit ketus. Ia balas menjabat tangan itu kemudian melepasnya kembali hanya dalam beberapa detik.“Aw, sakitnya hatiku, Kak. Seperti biasa, kakak begitu dingin, ya. Padahal aku ini udah repot-repot ke sini, loh.” Aufan menyeringai tipis begitu menyadari kedutan di kening Solar.“Ck, menjengkelkan,” gumam Solar pelan, tetapi Hanna masih bisa mendengarnya.“Ish, ish, jangan dingin begitu. Padahal aku ke sini bukan hanya karena kakak, tetapi karena sahabatku telah berhasil ‘diikat’ oleh seseorang.” Aufan bera
Balutan jas dan gaun warna-warni menghiasi keramaian pesta malam ini. Seharusnya, suatu pesta yang terlihat mewah dan megah tak lagi mengherankan bagi orang-orang kaya di luar sana. Namun, beda halnya dengan Hanna yang notabenenya adalah kaum biasa. Ia cukup terperangah, sampai tak bisa berkedip ketika menyaksikan sesuatu yang sangat jarang dilihatnya. Padahal ini hanya acara pertunangan yang biasanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat, tetapi rasanya ini sudah sangat-sangat berlebihan. Rasanya seperti perkumpulan orang-orang konglomerat, sementara ia hanyalah upik abu terpilih yang bisa bersanding dengan orang semacam Solar. Hanna tidak habis pikir, jika dia benar-benar menikah dengan Solar, seberapa megah lagi acara pernikahannya nanti? Buru-buru Hanna menghapus pikiran tersebut dan mengendalikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin ketika acara dimulai. Karena kecamuk dalam kepalanya begitu riuh, ia hampir melupakan fakta kalau mereka sedang
Helaan napas panjang kembali keluar dari bibir gadis itu, meratapi beban di punggung yang terasa begitu berat. Ditatapnya pantulan cermin yang menampilkan sosok gadis yang kacau. Hidungnya memerah, kelopak matanya sedikit membengkak, dan sisa-sisa bulir air mata masih membekas di pipi.Aneh rasanya. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, bukan pula dua orang yang saling jatuh cinta dengan sendirinya. Mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu karena sebuah wasiat pertunangan. Namun, kenapa rasanya begitu sakit setelah menatap punggung Solar yang pergi begitu saja?Hanna menggelengkan kepala pasrah dan mulai membasahi wajahnya yang kusam. Entah sudah berapa liter air mata yang ia keluarkan hanya karena memikirkan Solar dan pertunangan mereka besok. Rasanya, ia tidak bisa menguasai perasaannya sendiri yang penuh kecamuk. Perasaan yang penuh akan kemarahan, bersalah, dan kesedihan itu menjadi satu begitu saja, sehingga Hanna pun tak tahu alasan ia menangis sebenarnya
“Jadi, kamu ke sini diam-diam?”Hanna yang tengah berada di dalam kamar Aufan itu menggeleng pelan. Seperti biasa, ia menyempatkan berkunjung saat senja tiba. Sebenarnya, ini kesempatan terakhirnya untuk bertemu Aufan. Besok adalah hari pertunangannya. Setelah itu, Hanna tak yakin kalau Solar mengijinkannya begitu saja untuk bertemu Aufan.“Apa nanti tunanganmu itu enggak salah paham?” tanya Aufan lagi.Hanna menarik napas panjang, enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sejujurnya, ia memang belum berani mengungkit Aufan sama sekali di hadapan Solar karena ia takut kalau lelaki itu akan salah paham. Ia butuh waktu untuk menjelaskan siapa Aufan ini pada Solar dan itu bukan sekarang.Ditatapnya layar ponsel berisikan percakapannya hari ini dengan Solar. Lelaki itu hanya bilang oke saat Hanna mengingatkannya tidak perlu menjemputnya.Seharusnya ia tidak perlu khawatir akan terjadi sesuatu yang mengejutkan, bukan?&ld
“Berhenti menjelek-jelekkan aku dan calon tunanganku, dasar sampah!”Hanna membentak keras, tak bisa lagi menahan emosinya. Tak lagi peduli pada dirinya yang seketika menjadi pusat perhatian. Mau bercanda atau tidak, ia paling tidak bisa mentolerir siapapun yang menginjak-injak harga diri seseorang. Baginya, ini sudah sangat keterlaluan. Wanita di sebelah Vincent sudah bersiap menampar Hanna balik. “Berani-beraninya—”“Cukup, Sayang. Aku enggak apa-apa,” ucap Vincent tiba-tiba. Digenggamnya pergelangan tangan wanitanya itu dan tersenyum tipis. Kemudian ia beralih menatap Hanna takjub dan kembali tertawa, seperti telah menenemukan sesuatu yang menarik.“Apa lihat-lihat?” Hanna berseru garang.“Di luar perkiraan, ternyata calonmu ini pemberani banget, ya.” Vincent kembali tertawa, hendak menyentuh Hanna dengan seujung jarinya. Namun, Solar langsung menghentikan pergerakan lelaki
“Hm, kayaknya kita masih perlu membandingkan gaun tadi sama yang lain.”“Se-serius?”“Iya. Kata Papa, ada rekomen pakaian bagus di sana.”Hanna mengusap wajah gusar ketika Solar kembali menunjuk sebuah toko pakaian. Ini hari minggu, hari dimana seharusnya ia mrehatkan otak dan tubuhnya. Tetapi hari ini berbeda karena Solar mengajaknya untuk mencari gaun dan jas yang cocok untuk pertunangan mereka yang tinggal dua hari lagi. Sudah lima jam lamanya mereka mengitari mall ini, tapi entah kenapa sulit sekali mencari pilihan yang sesuai dengan selera Solar.Padahal saat kemarin mencari cincin dan beberapa keperluan lain, mereka tidak perlu berlama-lama seperti ini. Tapi entah kenapa, untuk yang satu ini begitu berbeda. Lelaki itu mudah sekali mengajaknya ke toko lain untuk sekedar mencoba, lalu mereview baju tersebut dan meskipun sesekali ia memuji Hanna cantik, tetap saja Solar merasa belum puas.Seketika Hanna merasa