Lavina berhenti berlari, napasnya ngos-ngosan, matanya yang bulat melihat ke sekeliling sembari berkacak pinggang. Ada banyak orang di terminal tiga keberangkatan internasional itu, tapi Lavina tidak menemukan pria yang sedang ia cari.
Yasa Gunawan, ialah nama pria tersebut. Kakak tirinya yang sedang menjadi buronan Lavina. Tadi pagi, sebelum Lavina bangun, Yasa membawa kabur perhiasan 30 gram milik Mawar–ibu tiri Lavina dan ibu kandung Yasa. Mawar menitipkan perhiasan itu kepada Lavina selama pergi ke luar kota.
Lavina bisa membayangkan akan semurka apa Mawar kepadanya jika tahu perhiasan itu hilang. Meski dicuri anak kandungnya sendiri, tapi yang akan menjadi pelampiasan kemarahan Mawar adalah Lavina. Seperti yang lalu-lalu. Lavina selalu disalahkan meski yang membuat ulah adalah anak kandungnya sendiri.
Di bandara itu, Lavina kembali berlari sambil melihat ke sekeliling. Ia menelepon Yasa, tapi nomornya tidak aktif.
Yasa akan pergi ke Hongkong untuk bekerja menjadi buruh di sana. Jadi Lavina tahu kapan pesawat yang ditumpangi Yasa akan take off.
Punya dosa apa di masa lalu sampai punya kakak kayak dia, batin Lavina sembari terduduk lemas di salah satu kursi.
Punggung tangannya mengelap keringat yang bercucuran di dahi.
Lavina mengesah panjang. Ia sudah pasrah akan dimarahi Mawar habis-habisan gara-gara kalung itu. Perhiasan tersebutamat berharga bagi Mawar karena hanya kalung itu perhiasan yang dia miliki.
“Daddy, ayo kita pergi ke cafe. Di sini berisik dan ramai, aku nggak suka,” rengek seorang anak perempuan, yang membuat Lavina menoleh ke barisan kursi di sebelahnya. Ada sedikit ruang di antara kedua barisan kursi yang saling berdampingan itu.
Di sana, Lavina melihat anak kecil yang dia perkirakan masih berusia lima tahun, anak itu memeluk boneka beruang putih sambil bersembunyi di belakang tubuh seorang pria dewasa, sambil memeluk sebelah kakinya.
Kening Lavina mengernyit, wajah anak itu tampak tak nyaman saat menatap orang-orang dengan waspada. Seolah mereka akan berbuat jahat kepadanya.
Sementara si anak terus merengek, Lavina melihat pria yang ia yakini sebagai ayah anak itu, tampak sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon. Mimik mukanya serius sekali seakan sedang membicarakan urusan negara yang amat penting.
Selain mereka berdua, ada wanita paruh baya yang sedang membujuk anak itu. Dilihat dari penampilannya yang sederhana, Lavina mengira wanita itu adalah baby sitter si anak.
“Non Aurora, kita ke cafe duluan sama Bibik ya? Nanti Daddy Non Aurora nyusul ke sana. Ya?”
‘Oh, namanya Aurora,’ batin Lavina.
“Nggak mau! Aku mau pergi bareng Daddy,” rengek anak berambut sedikit ikal itu dengan mata berkaca-kaca.
“Oke, kita pergi ke cafe dua menit lagi. Sekarang beri waktu Daddy untuk menyelesaikan urusan Daddy dulu. Hem?” Si pria bertubuh tinggi dan tegap itu menunduk menatap Aurora sembari menjauhkan ponsel dari telinga.
Pria itu mengenakan celana denim, kaos putih dan dilapisi jaket denim. Rahangnya dihiasi cambang tipis. Tampan, tapi wajah blasteran seperti itu bukan tipe laki-laki idaman Lavina.
Eh?!
Lavina seketika menegakkan punggung dan berpaling ke arah lain saat pria itu tiba-tiba menatapnya sekilas. Sepertinya pria itu sadar sedang diperhatikan Lavina.
Jangan-jangan dia tahu isi kepalaku?
Lavina menggaruk pelipis yang tak gatal sama sekali. Tersenyum kikuk, membuang muka.
Tiba-tiba Lavina mendengar Aurora menangis dengan suara lirih. Lavina langsung menoleh dan merasa iba ketika anak itu masih tampak ketakutan melihat orang lain yang hilir mudik.
Namun, tangisan anak itu seketika terhenti saat matanya dan mata Lavina bertemu.
Lavina mengerjap.
Aurora pun mengerjap.
Lavina merasa salah tingkah ditatap dengan intens seperti itu. Lavina berpaling lagi ke arah lain dan berdehem pelan.
Beberapa saat kemudian Lavina merasa masih diawasi, dengan perlahan Lavina menelengkan kepala, menatap anak itu lagi yang ternyata masih menatapnya dengan lekat.
Hallo! sapa Lavina tanpa suara sembari melambaikan tangan.
Tanpa diduga-duga, anak itu membalas lambaian tangannya dengan hal serupa.
Entah perasaan Lavina saja atau bukan, tapi Lavina merasa ketakutan di wajah anak itu seketika lenyap.
“Kita pergi sekarang.”
Pria berjaket denim itu tiba-tiba berkata setelah memasukkan ponsel ke saku celana. Dia menggendong putrinya,kemudian pergi.
Disusul wanita paruh baya yang tampak kerepotan mendorong troli berisi dua koper besar dan satu koper kabin, punggungnya menggendong tas anak kecil.
Lavina menghela napas panjang, memperhatikan ketiga orang itu sampai sosok mereka menjauh. Lavina mengeluarkan ponsel dan mengecek pesan yang ia kirimkan kepada Yasa. Masih ceklis satu. Nomor pria itu belum aktif.
Lavina berdiri dengan lesu dan hendak mencari kakak tirinya lagi, tapi keningnya mengernyit kala melihat ransel hitam kecil di atas kursi yang tadi diduduki baby sitter-nya Aurora.
Tas mereka ketinggalan!
Tanpa berpikir panjang, Lavina mengambil tas itu dan berlari ke arah perginya rombongan kecil pria tadi.
Namun, mereka sudah tidak terlihat dari pandangan Lavina.
Lavina tidak menyerah, ia harus mengembalikan tas ini ke pemiliknya.
“Kak Yasa!” pekik Lavina tiba-tiba, saat tak sengaja ia melihat kakak tirinya sedang mengantre di salah satu restoran cepat saji.
Lavina mengetatkan rahang dan mengepalkan tangan. Ia bergegas menghampiri Yasa dan menepuk pundaknya keras-keras, membuat pria berpenampilan urakan itu mengaduh, lalu menoleh dan terkejut melihat Lavina.
“La-Lavina? Ke-kenapa kamu ada di… sini?” Yasa tergagap sembari memegang bahu Lavina, tapi dengan cepat Lavina menepis tangannya.
“Kembaliin kalung Mama!” tegas Lavina sambil menengadahkan telapak tangan.
Yasa melihat ke sekeliling yang ramai, lalu ia menarik tangan Lavina dan membawanya ke tempat yang cukup sepi. “Kalung? Kalung apa?”
“Jangan pura-pura nggak tahu. Cepat kembaliin!” Mata Lavina menatap Yasa dengan tatapan tajam.
Yasa mendengus pelan. Jari telunjuknya menoyor kening Lavina seenaknya. “Kamu nuduh aku ngambil kalung Mama?”
“Memang Kakak yang nyuri, ‘kan?!”
“Jangan sembarangan memfitnah aku, Lavina.”
“Cuma Kakak dan aku yang ada di rumah!” Emosi Lavina makin tersulut.
“Bisa aja kamu yang nyuri kan? Terus fitnah aku yang mau pergi supaya Mama nggak marah ke kamu! Iya, ‘kan?!”
Napas Lavina terasa memburu dan masih menatap Yasa dengan tajam. Ia merogoh saku hoodie kuningnya dan menunjukkan sebuah kunci.
“Terus ini apa? Aku nemu ini di dekat lemari tempat nyimpan kalung Mama. Ini kunci kamar Kak Yasa. Pasti jatuh waktu Kakak ngambil kalung itu, karena semalam aku nggak lihat kunci ini di sana!”
“Aku nggak tahu apa-apa masalah kunci itu!” Wajah Yasa memerah. “Udah deh! Jangan nyari-nyari kambing hitam, Lavina. Ngaku aja kalau kamu yang nyuri terus dijual buat biaya kuliah!”
Yasa yang terus mengelak membuat emosi Lavina semakin tak terbendung. Dadanya bergemuruh penuh amarah. Ia menatap Yasa dengan tatapan marah dan terluka.
Lavina yakin sekali kakaknya yang mencuri kalung itu, sebab sudah berulang kali Yasa kedapatan mencuri barang-barang milik Mawar atau Risa–kakak tiri Lavina, sekaligus adik kandung Yasa. Namun ujung-ujungnya selalu Lavina yang dijadikan kambing hitam.
“Kenapa kamu selalu nyusahin aku?!” teriak Lavina sembari memukul Yasa menggunakan ransel hitam di tangannya.
“Hey! Sakit!”
“Apa keberadaan aku di rumah sudah ganggu kalian?! Kenapa selalu aku yang disalahin padahal kamu dan Risa yang selalu berbuat salah!” Teriakan Lavina semakin menjadi-jadi.
“Berisik! Kamu nggak malu dilihat orang?”
“Aku nggak peduli!” pekik Lavina lagi yang terus memukuli Yasa dengan ransel.
Yasa berdecak lidah, wajahnya sama sekali terlihat tak bersalah. Dia merampas tas di tangan Lavina. “Wow! Tas siapa ini? Sejak kapan kamu punya tas bermerek kayak gini?”
“Jangan banyak ngomong! Kembaliin aja kalung Mama!”
Yasa tampak tak peduli, ia malah membuka ransel tersebut dan melihat isinya. Matanya seketika melebar, bibirnya tersenyum senang. Lavina tak mengerti kenapa Yasa tiba-tiba bereaksi seperti itu.
“Kembaliin tasnya! Itu punya orang lain, aku mau ngembaliin tas itu ke orangnya!” pinta Lavina sembari berusaha merebut tas itu, tapi Yasa tidak melepaskannya.
“Biar aku yang kembaliin ke petugas. Aku pergi dulu. Selamat tinggal,” ucap Yasa, lalu detik itu juga ia melesat pergi dari hadapan Lavina.
Lavina segera mengejar Yasa. “Hey! Jangan mencuri tas itu! Kembaliin!” teriaknya, tapi langkahnya yang kecil kalah oleh langkah Yasa yang lebar dan berlari sangat cepat.
Lavina tidak mampu mengejar Yasa. Ia kehilangan jejak pria urakan itu.
Napas Lavina tersengal-sengal. Ia merasa kelelahan, lalu istirahat sejenak sambil mengatur napas. Lavina mengepalkan tangan dan bersumpah tidak akan pernah memaafkan kakak tirinya.
Saat Lavina akan kembali berlari mengejar Yasa, kakinya tiba-tiba terasa sulit digerakkan, terasa berat seolah pergelangan kedua kakinya diikat bola besi. Tubuhnya membeku kaku. Kerongkongannya tercekat seperti ada duri yang menghalangi. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahi. Wajahnya memucat. Matanya terus terpaku pada pesawat yang terparkir, terlihat dari dinding kaca tembus pandang di salah satu restoran.
“Dek!”
Lavina tersentak saat seseorang menepuk pundaknya. Ia mengatur napas, memejamkan mata sejenak, lalu berbalik dan mendapati dua pria petugas keamanan bandara sedang berdiri di hadapannya.
“Bapak manggil saya? Ada apa ya?” tanya Lavina.
“Kamu yang menemukan ransel hitam di kursi di gate 3?”
Lavina mengangguk setelah berpikir sesaat.
“Kalau begitu ikut kami ke kantor.”
***
Lavina memasuki sebuah ruangan sembari mengerutkan kening. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa dibawa kemari, karena petugas keamaan itu tidak menjelaskan apapun lagi. Setelah duduk di sofa, Lavina baru menyadari bahwa di hadapannya ada seseorang yang duduk bersilang kaki, bersedekap dada, dan sedang menatapnya dengan marah. Mata Lavina mengerjap-ngerjap. Bukannya dia om yang tadi sama anak perempuan itu? batin Lavina. Kenapa dia di sini? Apa jangan-jangan…. Lavina seketika membelalak, lehernya terasa seperti dicekik. Tidak mungkin ia dibawa kemari karena mereka mengira ia yang mencuri tas itu, ‘kan? “Halo,” sapa Lavina sembari mengangguk dan melemparkan senyuman termanis yang pernah ia berikan pada orang lain.Ia berharap senyuman itu bisa melenyapkan tatapan tajam pria tersebut darinya. “Pantas saja gerak-gerik kamu dari tadi mencurigakan. Ternyata kamu seorang pencuri,” kata pria itu dengan ekspresi dingin, tersenyum kecut. Lavina terperanjat. Senyumannya lenyap. “Eh? Penc
“Tante, em… maksud aku Mommy, ayo kita pulang ke rumah!” “Hah?!” Lavina ternganga. Mulutnya terbuka untuk bicara, tapi melihat tatapan Aurora yang mengiba, lidah Lavina mendadak terasa kelu. Bibirnya mengatup lagi, lalu menatap Auriga, seolah-olah lewat tatapan itu ia ingin bilang apa yang harus saya katakan? Sejak awal melihat Aurora, Lavina merasa kasihan karena anak ini tampak ketakutan saat melihat orang lain. Lavina melihat Auriga mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, Auriga berkata kepada putrinya bahwa Lavina bukanlah ibunya. Auriga meminta Aurora untuk melepaskan pelukannya. Namun, tanpa diduga-duga, tangisan Aurora malah semakin kencang. Aurora menolak dipeluk ayahnya dan memilih untuk menangis berguling-guling di lantai seperti anak sedang tantrum. Melihat pemandangan itu, hati Lavina yang sehalus kapas ikut merasakan sakit. Ia pernah berada di posisi Aurora, yang ingin sekali bertemu dengan ibu kandung yang tak pernah Lavina lihat seumur hidup. Sementara itu Aurora
Lavina cukup kesulitan keluar dari rumah tersebut. Setiap kali ia akan pamit pulang, Aurora menahannya dengan alasan ingin makan malam bersama. Namun, tak cukup sampai di situ, setelah selesai makan malam, Lavina mengira Aurora akan melepaskannya, tetapi lagi-lagi anak itu menahannya karena ingin dibacakan buku cerita sebelum tidur oleh Lavina. Lavina pasrah. Pertama, ia tidak mau berakhir di kantor polisi karena tuduhan pencurian tas Auriga. Sebab meski Lavina sudah menjelaskan kepada Auriga saat makan malam, mengenai apa yang terjadi tadi siang, tentang Yasa yang merupakan kakak tirinya yang kabur membawa kalung milik Mawar, sampai kemudian Yasa membawa kabur tas Auriga. Namun sepertinya Auriga belum percaya sepenuhnya pada penjelasan Lavina. Kedua, setiap kali menatap mata polos Aurora, Lavina merasa tersentuh dan tak sampai hati untuk menolak keinginannya. Begitu pula dengan Auriga. Lavina melihat pria matang itu kesal dengan keinginan Aurora, tapi Auriga seperti tak berdaya
Plak!Wajah Lavina terlempar ke samping. Pipinya terasa kebas dan pandangannya sempat mengabur. Bekas tamparan Mawar tak hanya membekas di pipi saja, tetapi juga di hati.“Kamu sadar selama ini kamu hidup dengan siapa, hah?! Berani-beraninya kamu nyuri kalung punya orang yang sudah ngerawat kamu!" teriak Mawar dengan wajah merah padam.Tangan Lavina terkepal. “Udah aku bilang, Ma. Yang nyuri kalung Mama itu Kak Yasa, bukan aku!”"Halah! Kebiasaan kamu dari dulu selalu nyalahin anak Mama! Yasa nggak mungkin mencuri apalagi sampai mencuri kalung Mama!” seru Mawar lagi, urat-urat di dahinya menonjol, napasnya memburu penuh emosi.Lavina terdiam. Matanya menatap lantai keramik putih dengan tatapan datar. Bibirnya tersenyum miris.‘Selalu nyalahin anak Mama.’Ya, aku emang bukan anak Mama. Aku cuma beban di rumah ini. Mama nggak pernah anggap aku anak. Anak Mama cuma Kak Yasa dan Kak Resa.“Pokoknya Mama nggak mau tahu. Kembaliin kalung itu, Lavina!”“Akh!” pekik Lavina saat tubuhnya tiba-
“Menikah?” Seketika, Resa tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. “Hey! Emangnya ada cowok yang mau nikah sama lo? Ya… kalaupun ada, gue yakin dia cuma bocah kemaren yang masih minta duit sama orang tua.”Itulah respons pertama Resa setelah Lavina menyampaikan rencananya untuk menikah. Resa seolah tidak percaya Lavina akan mendapat lelaki yang sempurna, karena penampilan Lavina yang jauh dari kata anggun dan berkelas.Lavina hanya remaja yang berpenampilan sederhana, wajahnya nyaris tidak pernah dipoles make up. Sehari-harinya hanya memakai sunscreen dan bedak tipis. Tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya selain lip gloss untuk melembabkan bibir. Tubuhnya pun kecil dan tidak begitu tinggi.Berbeda sekali dengan Resa yang tinggi semampai dan fasionista.Jadi, ketika Auriga datang ke rumah Mawar bersama orang tuanya untuk melamar Lavina, Resa nyaris pingsan karena dugaannya salah besar.Calon suami Lavina bukan bocah kemarin yang biaya hidupnya masih ditanggung orang tu
Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?Lavina mengamati wanita itu yang berjalan semakin mendekat. Saat berpapasan, wanita berambut pirang itu memandangi Lavina sembari tersenyum. Lavina balas tersenyum dan mengangguk.Harum banget, parfumnya pasti mahal. Dalam hati Lavina mengomentari parfum wanita itu yang wangi semerbak dan masih tercium meski orangnya sudah pergi cukup jauh.Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Auriga, ia menoleh ke punggung wanita itu yang semakin menjauh. Tidak mungkin wanita itu salah satu petugas wedding organizer, bukan? Penampilannya tidak terlihat seperti petugas yang berseragam.“Sedang apa kamu di sini?”“Oh?” Lavina kaget. Ia mengalihkan tatapannya ke depan dan mendapati Auriga yang baru saja membuka pintu.Mata Lavina mengerjap, mulutnya sedikit ternganga melihat wajah segar nan tampan pria di hadapannya itu. Garis rahang Auriga yang tegas memberikan kesan maskulin yang kuat. Matanya seperti permata hitam yang mengilap, seperti mala
“Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa.” Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.“Apa?!” Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Tapi… kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?”Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.“Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa ‘kan, Mom, Dad?Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.“Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?” tanya Auriga dengan suara lembut.Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. “Iya, Dad.”“Tapi…,” sela Lavina, “gimana kala
Pria berusia 30 tahun itu mengembuskan napas kasar, air mukanya mendadak berubah serius saat berkata, “Tadi saya cuma bercanda, jangan dianggap serius.”“Hah? Tadi?”“Ya, yang mengajak kamu melakukan itu.” Tangan Auriga sibuk mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil selagi ia menghampiri lemari. “Jangan khawatir, saya nggak akan pernah menyentuh kamu selama kita menikah. Sesuai perjanjian di awal, pernikahan kita hanya sebatas bisnis saja.”Mendengarnya, seketika Lavina mengembuskan napas dengan lega. Ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri.“Kalau gitu Om bisa keluar selama aku mandi?” tanya Lavina sembari melepas cardigan. Gaun pengantinnya sudah ia lepas tadi setelah selesai acara dan dibantu MUA.“Nggak bisa. Saya ngantuk, mau tidur.”“Lho?!! Kok gitu? Terus aku mandi gimana?”“Ya mandi saja. nggak perlu ribet begitu.”“Tapi—”“Masih ingat yang saya bilang tadi siang?” sela Auriga sembari menghampiri Lavina. “Tubuh kamu bukan tipe ideal saya.”Mata Lav
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab