GADIS
Aku membuka mataku, mengerjap sesekali untuk membiasakan cahaya yang menusuk pupilku. Gelap. Aku melihat pergelanganku, 19.20 WIB. Aku terperanjat kaget dan langsung terduduk di tengah-tengah kasurku.
Berantakan. Aku melihat bayanganku di cermin dekat kasur. Eyeliner-ku luntur, rambutku kusut terikat seadanya. Aku menghela nafas kasar. Mencoba meraba dimana iPhone-ku berada.
8 Missed Call
2 New Messages
Aku menggeser layar kunci, dan membuka satu persatu notifikasi tadi. Valerie dan kak Celine yang menelepon. Dan Radit yang mengirim sms.
“Dis, lu sama Valerie dapet off day seminggu ya. Gunain waktu dengan maksimal, holiday maybe. Jangan terlalu capek dan jangan terlalu mikirin seseorang^.^”
Aku tersenyum membaca secuil perhatiannya. Dulu, yang sering begini ya Kavaleri. Lebih manis dan lebih perhatian dari ini. “Ah...” aku mendesah kecil saat menyadari bahwa aku sedang memikirkannya lagi.
“Aku harus mandi.”
.
Aku membanting pantatku di sofa dan memejamkan mataku, mencoba meresapi alunan lagu yang mengalun dari earphone-ku. Hold Me Tight - BTS.
“Hah, aku kira kamu bakal nepatin semua janjimu dulu Kav. Ternyata...” satu tetes air mata berhasil lolos.
Sentilan kecil di keningku membuatku terperanjat dan membuka mataku cepat. Valerie.
“Hayo ketahuan ya lagi galau!” godanya tepat di hadapan mukaku.
“Galau apasih, gue cuma terharu aja sama lagunya BTS.” Kilahku cepat.
Valerie mengambil undangan pernikahan di meja dekat sofa, membacanya barang sedetik dan langsung berteriak.
“God!!”
Aku yang sudah mengira sebelumnya, hanya mengendikkan bahu saat Valerie menatapku tak percaya.
“Dis, semua ini nggak bisa dibiarin!” Valerie mengambil langkah seribu untuk mendekatiku.
“Terus kita mau ngapain? Ngebom tempat resepsinya gitu?” tanyaku becanda sembari mengambil posisi duduk bersila. Aku mulai menata perasaanku saat membicarakan pernikahan itu. “Ide bagus!” celetuk Valerie.
Aku terperanjat tak percaya saat ide becandaku dianggap serius.
“Udahlah, tugas kita itu cuma dateng ke pernikahannya pak pilot, dandan cantik tapi simpel, duduk manis, makan enak perut kenyang. Udah deh pulang.” Aku berusaha tertawa, walaupun aku tau tawaku terdengar kaku. Valerie memandangiku datar.
“Sarap lu!” Valerie membanting undangannya Kembali ke meja dan beranjak ke dapur.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Celine Incoming Call
“Haloo?” sapaku berusaha segembira mungkin. Jangan sampai Kak Celine tau perasaanku yang sebenarnya.
“Gembiranya adik gue. Baru kali ini nih, setelah ditinggal cabonya pergi.”
“Cabo? Apaan cabo?” aku memandang Valerie sekembalinya ia dari dapur, berusaha mencari jawabannya.
“Calon bojo!!!” Kak Celine tertawa terbahak-bahak. Aku ikut tertawa tanpa memperdulikan rasa perih yang menghinggapi hatiku.
“Dis lu udah dapet off day belum? Kalo udah, sowan gih ke Bali. Kasihan Bapak Ibu udah lama nggak ketemu kita.”
“Seminggu Kak off day-nya. Kak Celine ikutan juga?” tanyaku antusias.
“Yep, gue juga ambil cuti seminggu. Ntar booking tiketnya lewat gue aja, lu terima beres pokoknya.”
“Asik deh, lusa ya berangkatnya. Masih capek nih badan.”
“Oke nggak masalah, lu siap-siap aja, paling gue ambil flight pagi.”
“Jangan Garuda plis! Jangan Kavaleri!!!” pintaku memohon pada Kak Celine. Kuharap dia bisa mengerti keadaan dan posisiku saat ini.
☺☺☺
Bali
Aku memeluk Ibu dan Bapak bergantian. Mereka terlihat sangat antusias menyambut kedatanganku dan Kak Celine.
“Bu, Celine bawain oleh-oleh banyak nih buat Ibu sama Bapak.” Kak Celine menyodorkan tas belanja sejumlah empat kantong.
“Kok repot-repot sih Cel, Ibu kan nggak minta apa-apa. Dengan lihat kalian berdua masih akur dan sowan ke rumah Bapak Ibu, itu lebih dari cukup.”
“Yaudah, sekarang kalian ke kamar aja dulu istirahat. Nanti sore kita lanjut ngobrol-ngobrolnya. Bu, kasihan anak-anak pasti capek.” Potong Bapak sambil mengelus bahu ibuk.
“Iya bener juga ya Pak. Yaudah kalian ke kamar masing-masing ya. Udah diberesin sama Mbok Un.”
Aku dan Kak Celine mengangguk lalu menyeret koper kami menuju lantai atas. Tenang, damai, dan asri merupakan tiga kata yang tepat dalam menggambarkan rumah milik Bapak Ibu di Bali ini. Dulu, waktu jabatanku belum setinggi sekarang, jadwal belum sepadat saat ini, dan tiap punya masalah dengan Kavaleri, aku pasti datang ke rumah ini. Dua hari saja aku tinggal di sini, pasti semua masalah yang aku hadapi jadi mudah untuk diselesaikan. Selain itu juga, aku selalu dapat pelukan Ibu yang menghangatkan dan mendamaikan hati.
Sesampainya di kamar, aku membuka jendela yang menyuguhkan pemandangan sawah terasering khas Bali. Aku berusaha merilekskan otot-ototku dengan mengangkat kedua tanganku ke atas sembari mengeluarkan suara lenguhanku.
Ddrrt ddrrtt
iPhone-ku bergetar. Aku segera meraihnya.
From : Capt.Kvlr
Udah sampai Bali Dis?
Aku mengernyitkan dahiku heran. Dari mana dia tahu kalo aku di Bali? "Ah terserahlah. Gue nggak peduli." Aku membanting iPhone-ku ke kasur dan berjalan hendak mandi. Belum juga membuka pintu kamar mandi, handphone-ku berdering. Aku segera berlari kecil mengambilnya.
"Shit!" Umpatku tertahan. Kavaleri. Aku berlari bukan karena antusias menerima teleponnya! Aku kira itu dari Valerie atau Radit mungkin. Dengan berat hati aku meletakkan ponselku ke kasur lagi. Mencoba untuk menutup gendang telingaku, agar tidak membujuk hati kecilku untuk menggeser layar ponselnya.
"Ah ayolah Dis! Lu pasti bisa buat ngehirauin teleponnya Kava!" batinku sambil mondar-mandir di dekat kasur. Dan saat smartphone-ku berhenti berdering, aku langsung berlari ke kamar mandi.☺☺☺
Aku menuruni satu per satu anak tangga yang terlapisi karpet berwarna emas ini. Aku melihat Bapak dan Ibu sedang bersantai di dekat kolam renang menikmati indahnya senja Pulau Dewata. Aku menghampiri mereka dan duduk di bibir kolam.
“Duh enaknya yang lagi mesra-mesraan…” godaku.
“Nggak tidur to kamu Dis?” Tanya Ibu saat aku sedang bermain air. Aku menggeleng pelan dan tersenyum kepada beliau.
“Nanti malam kamu sendiri atau sama Pak Ketut Dis yang jemput?" tanya Bapak sembari membalikkan koran yang ia baca. Aku melihat ke arah Bapak heran. Memanyunkan sedikit bibirku ke depan dan memutar bola mataku.
“Jemput? Siapa yang mau dateng?” Aku mendekati Bapak dan menatap beliau intens. Bapak juga terlihat bingung dengan pertanyaanku. Tapi tiba-tiba Kak Celine datang dan membuat semuanya terlupakan begitu saja.
“Nanti jadi kan Pak, Bu? Celine udah booking tempatnya.”
“Mau kemana?” tanyaku seraya memberikan tempat duduk untuk Kak Celine.
“Jalan-jalan dong, ke Kuta.”
Aku excited sekali, dan langsung masuk ke kamar untuk memilih baju.
.
CELINE
“Pak, jangan bilang ke Gadis kalo ntar malem Kava dateng. Soalnya Kava mau kasih surprise ke Gadis.”
Bapak manggut-manggut mengerti. “Maafin Bapak, Bapak nggak tau kalo itu surprise.”
“Nggak salah juga sih Pak, soalnya Celine juga lupa kasih tau ke Bapak Ibu.”
“Emangnya ada apa harus kasih surprise segala? Apa udah nggak ketemu lama?” Tanya Ibu sembari mengembalikan cangkir kopinya ke meja.
“Um...” aku bingung harus menjelaskan apa. “Umm, sebenernya waktu Gadis ke Singapura itu ditemenin Kava. Tapi cuma sehari. Nah ini Kava ada waktu libur, dia pengen ketemu Bapak sama Ibu. Mau ngomongin sesuatu sama Bapak Ibu.” jelasku panjang lebar.
“Ngomongin soal apa Cel?” tanya Bapak serius. Aku hanya menggelengkan kepalaku lemah. Jujur, aku sangat khawatir dengan kesehatan mereka berdua jika nanti Kava memberikan suatu kabar buruk tentang hubungannya dengan adikku.
GADISAku menikmati semilir angin Kuta yang menerpa rambutku. Ibu duduk di sampingku sambil mengelus pelan rambutku. Kak Celine sedang ada di kasir bersama Bapak. Memesan menu mungkin.“Tumben Dis kamu nggak ganti warna rambut? Dua bulan lalu kamu ke sini rambutnya masih ini kan?” Suara Ibu memecah keheningan dan aku memegang ujung rambutku.“Belum nemu warna yang bagus dan cocok buat aku Bu, mungkin kalo besok ke salon nemu yang cocok langsung ganti."“Oh begitu ya, Ibu pikir karena Kavaleri suka yang warna ini.”DEG.Aku masih belum memberitahu Ibu maupun Bapak perihal undangan pernikahan itu.“Kavaleri kabarnya baik-baik aja kan Dis? Ini kedua kalinya ya kamu ke Bali tanpa dia.”Aku membeku. Tubuhku menegang. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya bukan pilihan tepat aku berada di Bali dalam kondisi dan situasi seperti ini. Bapak dan Ibu pasti akan selalu mena
Kata-kata Kavaleri masih membekas di telingaku. Aku mencari jawaban ke segala penjuru otakku. Nafasku terasa berat sekarang, Kavaleri masih berdiri di depanku, dan aku mendongakkan kepalaku untuk tetap menatap mata indahnya. Nafasnya bisa kurasakan menyapu hangat wajahku, dan tangannya masih setia menangkup kedua pipiku.“Aku mohon Dis, kamu mau nemenin aku berjuang.” Aku menangkap nada memohonnya dengan sangat jelas. Ada harapan yang digantungkan di sana. Aku menghelas nafas panjang. Menyingkirkan tangannya dan mencoba berdiri untuk menyeimbangkan tinggi kami.“Gimana sama Asha? Aku nggak mau buat dia kecewa.” Balasku seraya berjalan ke arah jendela balkon kamarku. Aku mendengar decakan yang sangat jelas dari belakangku.“Tsk, kamu ngapain mikir dia? Dia aja waktu ngrebut aku dan berhasil ngedoktrin Papa nggak mikirin perasaan kamu.” Aku merasakan kedua tangan melingkar di pinggulku, Kavaleri memelukku dari belakang. Na
GADISAku sangat bosan, ingin rasanya pergi bersama Kak Celine. Tapi Kak Celine sendiri juga sedang pergi bersama Ibu dan Bapak. Aku melihat Kavaleri mematikan sambungan teleponnya dan berjalan ke arahku.“Gimana, udah nentuin?” Ah suara itu lagi. Aku lupa jika sedang satu atap dengannya. Aku menggeleng pelan. Dia nampaknya gemas dengan jawabanku.“Dari dulu tuh kamu selalu ya kalo dikasih pilihan nggak bisa milih.” Kavaleri duduk di sampingku sambil memandangiku intens.“Apa?” Tanyaku saat kami bertemu pandang.“Kamu nambah cantik deh perasaan. Apa kamu juga belum punya pacar selama putus sama aku kemarin?” tanyanya menyelidik diselingi dengan senyuman jahilnya.Pertanyaan bodoh!“Kalo aku punya cowok di luar sana aku nggak mungkin mau kamu ajak ketemu Papa kamu! Nggak mungkin mau berjuang buat cinta kita!” jawabku kesal. Tanpa sengaja aku menamp
Soekarno Hatta International Airport, 13.52 WIBAku dan Kavaleri berjalan hendak turun. Tapi teman-teman seprofesi Kavaleri memanggilnya dan itu membuat ia berbincang sejenak.“Kav! Lu habis bulan madu ya?” Tebak salah satu temannya yang berseragam pilot.“Gue belum nikah woy! Eh Rick, lu masih inget Gadis kan? Cewek gue yang dulu gue kenalin ke elu?”Aku tersenyum ke arahnya, dan dia pun membalasnya. Aku sedikit canggung saat Kavaleri mengenalkan aku sebagai pacarnya, seperti dahulu. Ya walaupun saat ini aku memang pacarnya, tapi yang sah di mata Papanya adalah Asha. Bukan aku.“Yaudah gue duluan ya Rick, udah ditungguin Bokap. Lu ati-ati kerjanya!”Kami berdua keluar dari bandara. Aku menata hati dan perasaanku. Aku berusaha membaca doa yang aku bisa agar nanti tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kavaleri yang menyadari kegugupanku langsung menggenggam erat jariku.“Rileks don
GADISAku memasukkan beberapa pin di mesin yang menempel di pintu apartemenku.“Mau mampir dulu?” Tanyaku saat aku berhasil membuka pintu.“Pastilah.” Ucapnya yakin dan penuh semangat.Aku berjalan ke arah sofa dengan langkah gontai. Memijat pelipisku dengan gerakan perlahan sambil memejamkan mataku.“Sayang, kenapa?” Kavaleri menghampiriku dan berusaha menuntunku ke sofa. Aku menggeleng cepat. “Capek Kav. Sedikit pusing.” Aku duduk di sofa dan jarak kami sangatlah dekat.“Mau aku buatin sesuatu? Kamu udah minum obat kamu belum?”Aku lupa! Aku belum meminum obatku sejak tadi pagi! Sebenarnya, aku ini menderita suatu penyakit, tapi entahlah aku tidak mau mengumbarnya disini.“Aku ambilin obat kamu ya, di tas kan?” Aku mengangguk. Hatiku merasa damai saat kehadirannya mengisi apartemenku lagi. Wanginya menguar ke seluruh penjuru apartemenku.
Aku melihat sekali lagi undangan pernikahan yang menampilkan kedua nama mempelainya. Kavaleri Avicenna Sadega dan Asha Putri Aurora. Aku menghembuskan nafasku entah sudah yang ke berapa kali.“Aku harap namaku yang bersanding dengan namamu, Kav. Secepatnya...”Panggilan skype membuyarkan lamunanku.“Hai!” Sapaku bersemangat setelah wajah di seberang sana terlihat di layar handphone-ku. Ya Tuhan! Dia sangat tampan dengan baju kebesarannya dan rambut yang sedikit berantakan.“Hai sayang, udah makan?” tanyanya sembari menyisir rambutnya menggunakan jari.“Tiap ngehubungin aku pasti nanyanya makan. Ntar kalo aku gendut gimana? Kamu mau punya istri gendut?” Aku berpura-pura cemberut. Dia tertawa.“Gendut atau enggak yang penting itu kamu. Bukan yang lain.” Pertahananku yang sok cemberut runtuh saat laki-laki di layar handphone-ku mencium layarnya, berniat menciumku.
CELINEAku tidak tau harus berbuat apa saat mendapat kabar bahwa Gadis mengalami kecelakaan fatal di daerah Kebayoran. Valerie terdengar sangat histeris di telepon, dan aku tidak berani mengabari Bapak atau Ibu. Aku segera menginjak pedal gas mobilku dan menuju RSPP Jakarta.Pikiranku kalut, membayangkan sesuatu menakutkan yang akan menimpa adik semata wayangku itu. Entahlah, aku rasa akhir-akhir ini terlalu banyak cobaan yang datang padanya. Aku tidak memikirkan lagi berapa kecepatan mobilku. Yang aku butuhkan sekarang adalah sampai di tempat adikku dirawat. Untung jalanan Jakarta agak lengang.Rumah Sakit Pusat Pertamina, 19.02 WIBAku segera berlari ke ruang IGD karena Valerie mengatakan Gadis dirawat di sana. Aku menangis di sepanjang lorong rumah sakit ini. Tidak kupedulikan pandangan orang-orang yang berpapasan denganku.Aku melihat Valerie duduk di kursi panjang depan pintu IGD. Dia menangis, sama sepertiku.
CELINEAku mengeringkan rambutku dengan handuk dan mencoba mendekati tubuh Gadis yang masih belum juga sadarkan diri. Ini sudah hari keenam sejak kecelakaan itu, dan Gadis belum juga membuka matanya.Aku sedikit terbiasa dengan keadaan ini. Keadaan dimana aku berbicara dengan Gadis tanpa ada sahutan sepatah kata pun. Keadaan dimana aku sedikit melupakan pekerjaanku sebagai seorang pilot. Dan semua ini membuat hatiku teriris, menangis tanpa ada yang nengetahui.Aku tidak pernah sedetik pun meninggalkan Gadis dan mempercayakannya kepada orang lain. Walaupun itu Bapak, Ibu, Valerie, ataupun Mbak Celine. Aku merasa lebih baik jika bisa melihat langsung kondisi kekasihku.“Dis... apa kamu nggak kangen sama aku?” Aku mengelus fotonya yang menjadi wallpaper iPhone-ku. Dia terlihat sangat bahagia, berdiri dengan satu kakinya, dan kaki lain ia tekuk ke belakang. Menara Eiffel berdiri gagah dibelakang Gadis, menjadi saksi betapa bahagia
GADISHari berganti hari, bulan terus berganti, tahun pun juga ikut berganti. Kehidupanku yang dahulu hanya sendiri, mulai menemukan cinta sejati walaupun perjalanannya harus menanjak dan berkelok. Ketika suatu hubungan diserang sana sini, aku tetap berdiri kokoh memperjuangkan sesuatu yang aku tau bahwa hal itu patut untuk diperjuangkan.Memiliki suami setampan Kavaleri Sadega bukanlah hal yang mudah dan selalu menyenangkan. Kadang, aku harus mendengar gosip-gosip yang beredar di kalangancabin crewseputar hubungan gelap Kava dengan pramugari atauwoman pilot.Awalnya memang aku marah, aku marah karena tega-teganya Kavaleri mengkhianatiku dan juga anak-anak kami. Tapi seiring berjalannya waktu, aku tau bahwa hal itu hanyalah isapan jempol yang berusaha membuat rumah tanggaku berantakan.Kavaleri Avicenna Sadega, orang yang paling bertanggung jawab atas kehamilanku. Bapak dari Saga dan Aqilla. Lelaki tampan
Dua Tahun KemudianKesibukan wajib sebagai seorang ibu dan istri di pagi hari adalah menyiapkan sarapan dan bekal sekolah bagi anak dan suaminya. Tugas ini semakin berat jika aku harus meng-handle semuanya sendirian, alias Kavaleri sedang terbang. Untungnya minggu ini dia bisa membantu meringankan pekerjaan rumahku, dan setiap pagi dia juga merasakan bagaimana ribet dan riwehnya aku ketika harus mengurus Saga yang sudah mulai masuk sekolah dan Qilla yang sering rewel di pagi hari.“Yang, tas sekolah Saga udah dibawa turun?” tanyaku dengan nada setengah berteriak karena jarak dapur dengan ruang keluarga agak sedikit jauh. Tak ada jawaban.“Yangg…” panggilku dengan menaikkan nada suaraku. Belum juga ada jawaban. Aku berjalan mengambil tupperware dan menata makanan bekal sekolah Saga. Sayup-sayup aku mendengar suara Kavaleri dan suara cekikikan Saga dari arah kolam renang.“Saga, ayo pak
Dengan sepenuh hati aku menggendong Aqilla yang baru saja digendong oleh Uti-nya. Aku, Kava, Saga, dan Qilla sedang berada di bandara menjemput Ibu dan Bapak yang baru saja datang dari Bali.“Saga kangen nggak sama Akung sama Uti?” tanya Bapak sambil membawa Saga ke dalam gendongannya.“Kangen dong Akung, Akung sama Uti kan udah lama nggak ke rumahnya Saga…” jawab Saga sambil memeluk Bapak.Saga memang tipe anak yang gampang dekat dengan siapa saja, terlebih pada Akung-akungnya karena sedari Saga kecil Bapak dan Papa sangat sering membantuku dalam mengurus Saga.“Sini gantian Uti yang gendong jagoan ganteng Uti.” Saga diambil alih oleh Ibu karena segera ingin merasakan pipi gembulnya. Heran aku, semakin umur Saga bertambah, bukannya semakin kurus malah semakin menggemaskan! Mungkin karena aku juga terlalu sering menyuruhnya makan dan menyediakan berbagai camilan di rumah sehingga dia sendiri tidak bisa berhenti m
Mendekati Persalinan“Bu, Saga tadi jalan-jalan kemana sih?” Aku memasukkan sesuap sup matahari yang Ibu bawakan setibanya dari Bali.“Katanya sih mau kemall,pengen belihot wheels.”Aku hanya manggut-manggut. Saga semakin besar, dan semakin rewel minta mainan ini itu. Aku yang tengah hamil tua terkadang dibikin kewalahan jika Saga tak mau mengerti perkataanku.Tiba-tiba aku merasakan perutku kencang. Aku merasa ada sesuatu mendesak keluar dari lubangku di bawah sana. Ibu yang menyadari ekspresi kesakitanku segera menelepon ambulance dan membawaku ke rumah sakit.“Buuuu, tolong telfon Kavaleri ya...”KAVALERIAku menghembuskan nafas lega ketika berhasil mendaratkanBoeing 777-300ERdengan mulus. Mengantarkan parapassengerdengan selamat, dan bisa segera menghubungi istri dan anakku.&ld
“Kav!!!” panggilnya dengan nada setengah berteriak.Aku segera berlari mendengar teriakan Gadis dari dalam kamar mandi. Ia terduduk diclosetdengan air mata membanjiri pipinya yang selalu membuatku ketagihan menciumnya. Di tangannya, memegang dua buahtest packyang entah hasilnya positif atau negatif.Dengan langkah perlahan aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Ia langsung menunjukkantest packke hadapanku, dan aku melihat ada dua garis tertera di sana.“Aku hamil Kav!!!”Rasa bahagia menyesaki rongga dadaku, aku juga tak bisa membendung air mata lagi. Kupeluk istriku erat-erat dan menggendongnya. Ia tertawa bahagia sambil kubawa keluar kamar mandi.“Aku hebat ya? Baru kemarin udah jadi aja...” dengan bangga aku menyombongkan diri perihal kehebatanku membuat anak.Ia memukul dadaku pelan. “Yang hebat tuh kita, bukan kamu aja tau! Lagian kam
Setelah kurang lebih empat puluh lima menit perjalan menggunakansubway,akhirnya kami sampai juga di pemberhentian Disneyland. Saga ada di kereta dorong yang dibawa Mama dan Papa. Aku dan Kavaleri sibuk membawa barang bawaan Saga seperti baju, susu, dan sereal.“Dis, inget nggak Celine pernah foto di depan gerbang Disneyland itu?” Ibu menunjuk tulisan Disneyland Japan yang menyambut kedatangan kami. Aku tersenyum kecut.“Ibu nggak sedih kok, Ibu juga nggak nangis. Ibu hanya keinget aja dulu anak Ibu pernah foto di sana.”Mendengar ucapan Ibu yang berusaha untuk tegar, membuat air mataku lolos dari peraduannya.“Ibu...” Aku merengkuh tubuh kecil Ibu. Mau tidak mau, semua memori tentang Kak Celine menari-nari di bola mataku. Senyumannya, teriakannya, tingkah lucunya yang selalu membuatku tertawa. Sudah tidak ada lagi memang fisiknya, tapi bayangan dan kenangan tentang sosok K
Narita Airport, JepangHawa dingin menyambut kedatangan kami. Saga tertidur pulas di stroller-nya, diselimuti neneknya dengan selimut tebal.“Kav dorong dulu ya, aku mau ngurus bagasi sama akomodasi.” Aku meminta tolong pada Kavaleri agar dia menjaga Saga untuk sebentar saja.“Saga mau di dorong Bapak kok Dis, aku suruh temenin kamu.”“Oh, yaudah kalo gitu ayo agak cepetan. Kasihan Saga kedinginan ntar.”Setelah urusan imigrasi dan segala macamnya selesai, kami segera bergegas menuju hotel. Kami semua sudah berada di dalam bus yang akan mengantarkan kami ke hotel.“Bapak Ibu suka?” Aku duduk di dekat mereka. Mereka terlihat kedinginan memang.“Suka sekali Dis, Bapak sangat suka.” Suaranya gemetar menahan dingin.“Ibu juga Dis, terakhir kali ke sini kita masih berempat. Belum ada keluarga lain.”Aku kembali teringat dengan li
Aku duduk di depan cermin besar yang ada di kamarku. Memoleskanblush-onke pipiku. Saga masih terlelap, maklum ini baru jam setengah lima. Kavaleri sedang mandi. Hari ini adalah hari keberangkatan keluarga kami ke Jepang. Tapi hatiku tidak sebahagia sebelumnya. Ya, sebelum kejadian Femi mencium Kavaleri terjadi.“Yang, masih marah ya?”Kavaleri berada di belakangku, mengancingkan kemejanya dengan gaya yang selalucoolbagiku. Aku hanya terdiam. Dia mulai mendekatiku.“Jangan marah lagi ya, aku sama Femi nggak ada perasaan atau bahkan hubungan apapun kecuali antara FA sama pilotnya. Jangan ngambek ya sayang.”Kavaleri mengecup bahuku lama. Hatiku yang awalnya keras perlahan mulai terbawa alur mesra yang Kavaleri berikan. Tiba-tiba kedua tangannya melingkar di perutku. Menuntunku untuk berdiri, aku pun menurutinya. Ia mencium bagian leherku. Aku hanya bisa mendesah diperlakukan seperti itu.
Aku memasukkan kakiku ke stiletto kesayangan yang dibelikan Kavaleri ketika ia ada jadwal terbang ke Dubai. Ya, aku hendak menjemput Kavaleri.“Papa yakin nggak ikut?” Aku menanyai beliau sekali lagi sambil menggendong Saga. Papa tersenyum sambil menggeleng pelan.“Papa di rumah aja Dis. Udah sana buruan berangkat, ntar telat lho.”Setelah berpamitan, aku menggendong Saga keluar dan mendudukkannya ke bangku mobil. Memasangseat-beltkhusus miliknya.“Anteng ya sayang, jangan banyak gerak.”Aku melajukan Civic-ku perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya jalanan Jakarta pasti sudah macet. Sedangkan pesawat Kavaleri mungkin akanlandingsekitar jam setengah satu. Di tengah perjalanan Saga bergumam, oh tidak lebih tepatnya bernyanyi namun hanya gumaman.“Nyanyi apa sih dek?”Dia tidak menggubrisku,