GADIS
Aku sangat bosan, ingin rasanya pergi bersama Kak Celine. Tapi Kak Celine sendiri juga sedang pergi bersama Ibu dan Bapak. Aku melihat Kavaleri mematikan sambungan teleponnya dan berjalan ke arahku.
“Gimana, udah nentuin?” Ah suara itu lagi. Aku lupa jika sedang satu atap dengannya. Aku menggeleng pelan. Dia nampaknya gemas dengan jawabanku.
“Dari dulu tuh kamu selalu ya kalo dikasih pilihan nggak bisa milih.” Kavaleri duduk di sampingku sambil memandangiku intens.
“Apa?” Tanyaku saat kami bertemu pandang.
“Kamu nambah cantik deh perasaan. Apa kamu juga belum punya pacar selama putus sama aku kemarin?” tanyanya menyelidik diselingi dengan senyuman jahilnya.
Pertanyaan bodoh!
“Kalo aku punya cowok di luar sana aku nggak mungkin mau kamu ajak ketemu Papa kamu! Nggak mungkin mau berjuang buat cinta kita!” jawabku kesal. Tanpa sengaja aku menamp
Soekarno Hatta International Airport, 13.52 WIBAku dan Kavaleri berjalan hendak turun. Tapi teman-teman seprofesi Kavaleri memanggilnya dan itu membuat ia berbincang sejenak.“Kav! Lu habis bulan madu ya?” Tebak salah satu temannya yang berseragam pilot.“Gue belum nikah woy! Eh Rick, lu masih inget Gadis kan? Cewek gue yang dulu gue kenalin ke elu?”Aku tersenyum ke arahnya, dan dia pun membalasnya. Aku sedikit canggung saat Kavaleri mengenalkan aku sebagai pacarnya, seperti dahulu. Ya walaupun saat ini aku memang pacarnya, tapi yang sah di mata Papanya adalah Asha. Bukan aku.“Yaudah gue duluan ya Rick, udah ditungguin Bokap. Lu ati-ati kerjanya!”Kami berdua keluar dari bandara. Aku menata hati dan perasaanku. Aku berusaha membaca doa yang aku bisa agar nanti tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kavaleri yang menyadari kegugupanku langsung menggenggam erat jariku.“Rileks don
GADISAku memasukkan beberapa pin di mesin yang menempel di pintu apartemenku.“Mau mampir dulu?” Tanyaku saat aku berhasil membuka pintu.“Pastilah.” Ucapnya yakin dan penuh semangat.Aku berjalan ke arah sofa dengan langkah gontai. Memijat pelipisku dengan gerakan perlahan sambil memejamkan mataku.“Sayang, kenapa?” Kavaleri menghampiriku dan berusaha menuntunku ke sofa. Aku menggeleng cepat. “Capek Kav. Sedikit pusing.” Aku duduk di sofa dan jarak kami sangatlah dekat.“Mau aku buatin sesuatu? Kamu udah minum obat kamu belum?”Aku lupa! Aku belum meminum obatku sejak tadi pagi! Sebenarnya, aku ini menderita suatu penyakit, tapi entahlah aku tidak mau mengumbarnya disini.“Aku ambilin obat kamu ya, di tas kan?” Aku mengangguk. Hatiku merasa damai saat kehadirannya mengisi apartemenku lagi. Wanginya menguar ke seluruh penjuru apartemenku.
Aku melihat sekali lagi undangan pernikahan yang menampilkan kedua nama mempelainya. Kavaleri Avicenna Sadega dan Asha Putri Aurora. Aku menghembuskan nafasku entah sudah yang ke berapa kali.“Aku harap namaku yang bersanding dengan namamu, Kav. Secepatnya...”Panggilan skype membuyarkan lamunanku.“Hai!” Sapaku bersemangat setelah wajah di seberang sana terlihat di layar handphone-ku. Ya Tuhan! Dia sangat tampan dengan baju kebesarannya dan rambut yang sedikit berantakan.“Hai sayang, udah makan?” tanyanya sembari menyisir rambutnya menggunakan jari.“Tiap ngehubungin aku pasti nanyanya makan. Ntar kalo aku gendut gimana? Kamu mau punya istri gendut?” Aku berpura-pura cemberut. Dia tertawa.“Gendut atau enggak yang penting itu kamu. Bukan yang lain.” Pertahananku yang sok cemberut runtuh saat laki-laki di layar handphone-ku mencium layarnya, berniat menciumku.
CELINEAku tidak tau harus berbuat apa saat mendapat kabar bahwa Gadis mengalami kecelakaan fatal di daerah Kebayoran. Valerie terdengar sangat histeris di telepon, dan aku tidak berani mengabari Bapak atau Ibu. Aku segera menginjak pedal gas mobilku dan menuju RSPP Jakarta.Pikiranku kalut, membayangkan sesuatu menakutkan yang akan menimpa adik semata wayangku itu. Entahlah, aku rasa akhir-akhir ini terlalu banyak cobaan yang datang padanya. Aku tidak memikirkan lagi berapa kecepatan mobilku. Yang aku butuhkan sekarang adalah sampai di tempat adikku dirawat. Untung jalanan Jakarta agak lengang.Rumah Sakit Pusat Pertamina, 19.02 WIBAku segera berlari ke ruang IGD karena Valerie mengatakan Gadis dirawat di sana. Aku menangis di sepanjang lorong rumah sakit ini. Tidak kupedulikan pandangan orang-orang yang berpapasan denganku.Aku melihat Valerie duduk di kursi panjang depan pintu IGD. Dia menangis, sama sepertiku.
CELINEAku mengeringkan rambutku dengan handuk dan mencoba mendekati tubuh Gadis yang masih belum juga sadarkan diri. Ini sudah hari keenam sejak kecelakaan itu, dan Gadis belum juga membuka matanya.Aku sedikit terbiasa dengan keadaan ini. Keadaan dimana aku berbicara dengan Gadis tanpa ada sahutan sepatah kata pun. Keadaan dimana aku sedikit melupakan pekerjaanku sebagai seorang pilot. Dan semua ini membuat hatiku teriris, menangis tanpa ada yang nengetahui.Aku tidak pernah sedetik pun meninggalkan Gadis dan mempercayakannya kepada orang lain. Walaupun itu Bapak, Ibu, Valerie, ataupun Mbak Celine. Aku merasa lebih baik jika bisa melihat langsung kondisi kekasihku.“Dis... apa kamu nggak kangen sama aku?” Aku mengelus fotonya yang menjadi wallpaper iPhone-ku. Dia terlihat sangat bahagia, berdiri dengan satu kakinya, dan kaki lain ia tekuk ke belakang. Menara Eiffel berdiri gagah dibelakang Gadis, menjadi saksi betapa bahagia
Aku mengepak beberapa pakaian dan barang bawaanku yang kubawa untuk menginap di rumah sakit. Hari ini kabar yang sangat menggembirakan setelah kesadaran Gadis. Gadis diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan.Bapak, Ibu, Mbak Celine, Valerie, dan juga Papa ikut mengantar Gadis pulang dan telah menyiapkan sedikit kejutan karena kepulangannya. Aku memandangnya yang sedang turun dari ranjangnya. Walaupun sudah jauh membaik, tapi aku tau bahwa tubuh dan raganya masih lemah.“Bisa?” Aku langsung meraih tangannya saat dia mulai berjalan. Ia tersenyum dan mengangguk.“Janji ya Dis, mulai sekarang kamu harus lupain hal-hal yang bikin pikiran kamu nggak fokus, yang bisa bahayain nyawa kamu sendiri.” Papa mencoba memberikan petuah kepada Gadis.“Iya Pa, Gadis janji.”Ya, Gadis memang memanggil Papa seperti itu. Atas paksaan Papa tentunya. Entahlah, akhir-akhir ini semuanya menjadi lebih indah dan satu persatu beban te
Tak terasa sudah satu bulan berlalu sejak kejadian yang hampir membuat nyawaku melayang. Dan sudah dua minggu ini aku tidak bertemu Kavaleri. Aku terus berpikiran positif jika dia sedang banyak kerjaan dan tidak bisa seenak jidat pulang untuk menemuiku. Aku tau jika bekerja menjadi seorang pilot selama berada di dalam pesawat handphone harus dimatikan. Tapi waktu dia landing atau mau take off bisa kan telfon aku dulu? Seperti kebiasaan sebelumnya yang rutin ia lakukan padaku?Entahlah, dia berubah. Dia berubah sejak kejadian itu. Dimana secara informal dia melamarku, dan secara terang-terangan aku menolaknya dengan halus. Bodoh? Mungkin iya. Tapi aku merasa itulah yang pertama-tama harus aku lakukan. Mengingat penyakitku yang sudah dua tahun ini mendiami tubuhku.“Dis?” Suara Kak Celine membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya, memberikan senyumku untuk kakakku satu-satunya dan setia merawatku di rumah sakit.“Lagi ngelamunin apa?”
Aku mengenakan dress selutut berwarna biru tua dan high heels berwarna senada. Kubiarkan rambut hitam keunguanku tergerai. Untuk kesekian kalinya aku menghadap cermin lagi, memastikan bahwa penampilanku tidak berlebihan.Entahlah aku mau dibawa kemana, Kavaleri hanya berpesan untuk mengenakan pakaian formal, dan aku menurutinya saja. Setelah aku cukup yakin dengan penampilanku, aku menyambar tas tanganku dan turun ke lobi berniat menunggu Kavaleri.Saat aku duduk di sofa panjang dekat kolam ikan, sekilas aku melihat Asha sedang berjalan masuk ke lobi dan menggandeng tangan seorang pria bule. Tinggi, kekar, dan tampan. Untung saja dia tidak menyadari keberadaanku.“Syukurlah kalo dia udah dapet pengganti Kava...” gumamku pelan.“Mbak, sudah ditunggu di luar.” Seorang petugas keamanan menginterupsi gendang telingaku. “Oh ya, terima kasih Pak.” Aku berdiri, melangkahkan kakiku ke mobil Audi hitam milik Ka
GADISHari berganti hari, bulan terus berganti, tahun pun juga ikut berganti. Kehidupanku yang dahulu hanya sendiri, mulai menemukan cinta sejati walaupun perjalanannya harus menanjak dan berkelok. Ketika suatu hubungan diserang sana sini, aku tetap berdiri kokoh memperjuangkan sesuatu yang aku tau bahwa hal itu patut untuk diperjuangkan.Memiliki suami setampan Kavaleri Sadega bukanlah hal yang mudah dan selalu menyenangkan. Kadang, aku harus mendengar gosip-gosip yang beredar di kalangancabin crewseputar hubungan gelap Kava dengan pramugari atauwoman pilot.Awalnya memang aku marah, aku marah karena tega-teganya Kavaleri mengkhianatiku dan juga anak-anak kami. Tapi seiring berjalannya waktu, aku tau bahwa hal itu hanyalah isapan jempol yang berusaha membuat rumah tanggaku berantakan.Kavaleri Avicenna Sadega, orang yang paling bertanggung jawab atas kehamilanku. Bapak dari Saga dan Aqilla. Lelaki tampan
Dua Tahun KemudianKesibukan wajib sebagai seorang ibu dan istri di pagi hari adalah menyiapkan sarapan dan bekal sekolah bagi anak dan suaminya. Tugas ini semakin berat jika aku harus meng-handle semuanya sendirian, alias Kavaleri sedang terbang. Untungnya minggu ini dia bisa membantu meringankan pekerjaan rumahku, dan setiap pagi dia juga merasakan bagaimana ribet dan riwehnya aku ketika harus mengurus Saga yang sudah mulai masuk sekolah dan Qilla yang sering rewel di pagi hari.“Yang, tas sekolah Saga udah dibawa turun?” tanyaku dengan nada setengah berteriak karena jarak dapur dengan ruang keluarga agak sedikit jauh. Tak ada jawaban.“Yangg…” panggilku dengan menaikkan nada suaraku. Belum juga ada jawaban. Aku berjalan mengambil tupperware dan menata makanan bekal sekolah Saga. Sayup-sayup aku mendengar suara Kavaleri dan suara cekikikan Saga dari arah kolam renang.“Saga, ayo pak
Dengan sepenuh hati aku menggendong Aqilla yang baru saja digendong oleh Uti-nya. Aku, Kava, Saga, dan Qilla sedang berada di bandara menjemput Ibu dan Bapak yang baru saja datang dari Bali.“Saga kangen nggak sama Akung sama Uti?” tanya Bapak sambil membawa Saga ke dalam gendongannya.“Kangen dong Akung, Akung sama Uti kan udah lama nggak ke rumahnya Saga…” jawab Saga sambil memeluk Bapak.Saga memang tipe anak yang gampang dekat dengan siapa saja, terlebih pada Akung-akungnya karena sedari Saga kecil Bapak dan Papa sangat sering membantuku dalam mengurus Saga.“Sini gantian Uti yang gendong jagoan ganteng Uti.” Saga diambil alih oleh Ibu karena segera ingin merasakan pipi gembulnya. Heran aku, semakin umur Saga bertambah, bukannya semakin kurus malah semakin menggemaskan! Mungkin karena aku juga terlalu sering menyuruhnya makan dan menyediakan berbagai camilan di rumah sehingga dia sendiri tidak bisa berhenti m
Mendekati Persalinan“Bu, Saga tadi jalan-jalan kemana sih?” Aku memasukkan sesuap sup matahari yang Ibu bawakan setibanya dari Bali.“Katanya sih mau kemall,pengen belihot wheels.”Aku hanya manggut-manggut. Saga semakin besar, dan semakin rewel minta mainan ini itu. Aku yang tengah hamil tua terkadang dibikin kewalahan jika Saga tak mau mengerti perkataanku.Tiba-tiba aku merasakan perutku kencang. Aku merasa ada sesuatu mendesak keluar dari lubangku di bawah sana. Ibu yang menyadari ekspresi kesakitanku segera menelepon ambulance dan membawaku ke rumah sakit.“Buuuu, tolong telfon Kavaleri ya...”KAVALERIAku menghembuskan nafas lega ketika berhasil mendaratkanBoeing 777-300ERdengan mulus. Mengantarkan parapassengerdengan selamat, dan bisa segera menghubungi istri dan anakku.&ld
“Kav!!!” panggilnya dengan nada setengah berteriak.Aku segera berlari mendengar teriakan Gadis dari dalam kamar mandi. Ia terduduk diclosetdengan air mata membanjiri pipinya yang selalu membuatku ketagihan menciumnya. Di tangannya, memegang dua buahtest packyang entah hasilnya positif atau negatif.Dengan langkah perlahan aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Ia langsung menunjukkantest packke hadapanku, dan aku melihat ada dua garis tertera di sana.“Aku hamil Kav!!!”Rasa bahagia menyesaki rongga dadaku, aku juga tak bisa membendung air mata lagi. Kupeluk istriku erat-erat dan menggendongnya. Ia tertawa bahagia sambil kubawa keluar kamar mandi.“Aku hebat ya? Baru kemarin udah jadi aja...” dengan bangga aku menyombongkan diri perihal kehebatanku membuat anak.Ia memukul dadaku pelan. “Yang hebat tuh kita, bukan kamu aja tau! Lagian kam
Setelah kurang lebih empat puluh lima menit perjalan menggunakansubway,akhirnya kami sampai juga di pemberhentian Disneyland. Saga ada di kereta dorong yang dibawa Mama dan Papa. Aku dan Kavaleri sibuk membawa barang bawaan Saga seperti baju, susu, dan sereal.“Dis, inget nggak Celine pernah foto di depan gerbang Disneyland itu?” Ibu menunjuk tulisan Disneyland Japan yang menyambut kedatangan kami. Aku tersenyum kecut.“Ibu nggak sedih kok, Ibu juga nggak nangis. Ibu hanya keinget aja dulu anak Ibu pernah foto di sana.”Mendengar ucapan Ibu yang berusaha untuk tegar, membuat air mataku lolos dari peraduannya.“Ibu...” Aku merengkuh tubuh kecil Ibu. Mau tidak mau, semua memori tentang Kak Celine menari-nari di bola mataku. Senyumannya, teriakannya, tingkah lucunya yang selalu membuatku tertawa. Sudah tidak ada lagi memang fisiknya, tapi bayangan dan kenangan tentang sosok K
Narita Airport, JepangHawa dingin menyambut kedatangan kami. Saga tertidur pulas di stroller-nya, diselimuti neneknya dengan selimut tebal.“Kav dorong dulu ya, aku mau ngurus bagasi sama akomodasi.” Aku meminta tolong pada Kavaleri agar dia menjaga Saga untuk sebentar saja.“Saga mau di dorong Bapak kok Dis, aku suruh temenin kamu.”“Oh, yaudah kalo gitu ayo agak cepetan. Kasihan Saga kedinginan ntar.”Setelah urusan imigrasi dan segala macamnya selesai, kami segera bergegas menuju hotel. Kami semua sudah berada di dalam bus yang akan mengantarkan kami ke hotel.“Bapak Ibu suka?” Aku duduk di dekat mereka. Mereka terlihat kedinginan memang.“Suka sekali Dis, Bapak sangat suka.” Suaranya gemetar menahan dingin.“Ibu juga Dis, terakhir kali ke sini kita masih berempat. Belum ada keluarga lain.”Aku kembali teringat dengan li
Aku duduk di depan cermin besar yang ada di kamarku. Memoleskanblush-onke pipiku. Saga masih terlelap, maklum ini baru jam setengah lima. Kavaleri sedang mandi. Hari ini adalah hari keberangkatan keluarga kami ke Jepang. Tapi hatiku tidak sebahagia sebelumnya. Ya, sebelum kejadian Femi mencium Kavaleri terjadi.“Yang, masih marah ya?”Kavaleri berada di belakangku, mengancingkan kemejanya dengan gaya yang selalucoolbagiku. Aku hanya terdiam. Dia mulai mendekatiku.“Jangan marah lagi ya, aku sama Femi nggak ada perasaan atau bahkan hubungan apapun kecuali antara FA sama pilotnya. Jangan ngambek ya sayang.”Kavaleri mengecup bahuku lama. Hatiku yang awalnya keras perlahan mulai terbawa alur mesra yang Kavaleri berikan. Tiba-tiba kedua tangannya melingkar di perutku. Menuntunku untuk berdiri, aku pun menurutinya. Ia mencium bagian leherku. Aku hanya bisa mendesah diperlakukan seperti itu.
Aku memasukkan kakiku ke stiletto kesayangan yang dibelikan Kavaleri ketika ia ada jadwal terbang ke Dubai. Ya, aku hendak menjemput Kavaleri.“Papa yakin nggak ikut?” Aku menanyai beliau sekali lagi sambil menggendong Saga. Papa tersenyum sambil menggeleng pelan.“Papa di rumah aja Dis. Udah sana buruan berangkat, ntar telat lho.”Setelah berpamitan, aku menggendong Saga keluar dan mendudukkannya ke bangku mobil. Memasangseat-beltkhusus miliknya.“Anteng ya sayang, jangan banyak gerak.”Aku melajukan Civic-ku perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya jalanan Jakarta pasti sudah macet. Sedangkan pesawat Kavaleri mungkin akanlandingsekitar jam setengah satu. Di tengah perjalanan Saga bergumam, oh tidak lebih tepatnya bernyanyi namun hanya gumaman.“Nyanyi apa sih dek?”Dia tidak menggubrisku,