Rania, dia menolakku!""What? Rania menolakmu?" tanya Mike seakan tak percaya mendengarnya.Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Jemari tangannya mulai membuka kacamata minus yang selalu melekat di saat ia kerja. Bibir sexynya mengecap, berpikir bagaimana bisa itu semua terjadi pada diri sahabatnya itu."Katakan! Apa yang kurang pada diriku ini? Bukankah kamu mengatakan kalo dia memiliki perasaan yang sama? Tapi, kenapa dia bilang kalo aku ini bukan tipenya?" ujar Sakti mendesah sebal. Mike beranjak dari duduknya. Perlahan, ia mulai melangkah dan duduk di samping Sakti Argantara. Mencoba menenangkan emosi yang tertahan pada diri sahabatnya itu."Baru kali ini, aku merasakan malu setengah mati di hadapan wanita. Secara blak-blakan, dia bilang kalo aku sama sekali bukan tipenya. Kalo aku tau dia akan bilang seperti itu, aku tak mungkin menyatakan cintaku padanya secepat ini," gerutu Sakti menyalakan rokok. Menghisapnya dan membuang asap yang keluar dari mulut dan juga hidung.Mike
Aduh! Bagaimana ini? Cincinnya kan ada di rumah? gumam batin Rania merapatkan bibirnya. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap menatap ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Tak mungkin juga aku pulang di saat jam kerja. Apa aku minta tolong ayah untuk mengantarnya kemari?" kata Rania meraih ponsel miliknya yang sedari tadi berdiam diri di atas meja. Namun, jemari tangannya terhenti. Ia kembali meletakkan ponselnya secara perlahan. Menatapnya dan terdiam sejenak memikirkan apa yang akan terjadi jika sang ayah yang mengantarkan cincin pernikahannya itu."Jikalau ayah yang mengantarkannya, sama saja aku bunuh diri," kata Rania memanyunkan bibirnya. Ia menghela nafas panjang. Kedua tangannya bersembunyi di balik kedua saku jas yang ia kenakan."Hah, kenapa juga sih, ayah bertemu dengan Argantara? Semakin ke sini, ayah lebih menyayangi Argantara dibandingkan dengan putrinya sendiri."Sejenak, dahi Rania mengernyit. Jantungnya seakan berdetak kencang saat bu
Apa aku diam di rumah saja, ya? gumam Rania dalam hati. Sesaat, ia menoleh. Celingak-celinguk ke arah jendela kaca yang menembus ke arah ruang tamu."Tapi, jika aku diam di rumah. Yang ada, ayah akan menjadi detektif. Mencecarku habis-habisan. Dan ujung-ujungnya, sudah pasti aku yang di salahkan." Rania menghela nafas panjang. Dengan langkah tak bersemangat, ia mulai meninggalkan rumah dan kembali lagi ke kantor.***Clara menghela nafas panjang. Bibir mungilnya merapat mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir dengan paksa. Sudut matanya mengerut menatap kotak makanan yang ia bawa. Sebuah makanan yang seharusnya menjadi jalan penghubung untuk hubungannya dengan Sakti."Dulu aku memang sangat menyukai makanan ini, apalagi makanan yang kamu buat. Tapi sekarang, semuanya berbeda. Rasa suka itu perlahan hilang, sejak orang yang aku suka meninggalkanku begitu saja." Perkataan Sakti beberapa menit yang lalu kembali terlintas dalam benak Clara.Perkataan yang membuat Clara kecewa setenga
Marahlah, Sakti Argantara! gumam Rania dalam hati. Menatap Sakti yang terdiam menatapnya. Pak Sakti? Kenapa pak Mike memanggil suami Rania dengan sebutan pak? Apa jangan-jangan dia adalah pemilik perusahaan? tanya batin Kevin. "Pak Kevin, duduklah! Pak Sakti tak suka jika menunda makan siang," tutur Mike sembari membenarkan kacamatanya.Kevin menoleh. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa melihat Sakti yang tersenyum ke arahnya.Tidak! Itu tidak mungkin. Argh, Kevin. Apa yang kamu pikirkan? ucap batin Kevin seakan bertentangan. Mencoba berpikir positif dan membuang jauh-jauh rasa curiganya itu. "Tapi, pak Mike. Jika pak Sakti ikut makan dengan kita. Lalu, bagaimana dengan pemilik atasan kami? Bukankah bapak bilang, kalo kita akan makan siang bersama?"Seketika, pandangan Mike tertuju ke arah Sakti. Dahinya mengernyit melihat sahabatnya terdiam santai tanpa menggubris perkataan Kevin.Jadi, kevin tak tau kalo dia adalah pemilik perusahaan? Ya Tuhan, Kevin. Apa yang kamu lakukan?
"Heem. Dan, aku harap kamu tak melakukan hal yang mempermalukan dirimu karena cincinku yang hilang entah kemana ini!" tutur Rania dengan santainya. Berharap, Sakti akan marah dan benci kepadanya.Marahlah, Sakti Argantara! gumam Rania dalam hati. Menatap Sakti yang terdiam menatapnya. Seakan menyimpan amarah yang tertahan di dada."Kita bisa beli lagi!" jawab Sakti yang membuat Rania seakan tercekat mendengarnya. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap menatap sang suami yang sama sekali tak marah kepadanya."Dan masalah pernikahan kita, kamu tenang saja. Aku akan mengumumkannya, setelah kamu benar-benar menerima hatiku ini," ucap Sakti dengan pasti.Di kantor, kevin terdiam seorang diri. Dua bola manik matanya tak berhenti menatap ke arah dinding ruang kerja yang berwarna putih tersebut. Jemari tangannya menyatu mengimbangi rasa kesal dan sesal yang menaungi dirinya.Bagaimana bisa aku tak tau kalo dia (Sakti) pemilik perusahaan ini! gumam batin Kevin menghela nafas panjang
"Kevin! Ngapain dia kemari? Bukankah aku sudah bilang jangan menjemputku? Ayah tau lagi!" gumam Rania memanyunkan bibirnya."Kamu itu sudah bersuami. Jadi, ayah harap kamu bisa menjaga batasannmu dalam bergaul!" Perkataan sang ayah terlintas kembali dalam benak Rania. "Apa ayah akan marah, kalo aku keluar dengan Kevin?" tanya Rania seorang diri. Sudut matanya mengerut saat angin malam menerpa wajah cantiknya. Menahan dinginnya malam yang mengimbangi rasa cemas dalam dirinya."Hah, semoga saja apa yang aku khawatirkan tidak terjadi," kata Rania berharap dan berjalan menghampiri mereka.Om Hakim menopangkan kedua tangan di dada. Tatapan matanya yang tajam membuat Kevin seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Kevin merasa seperti orang lain di depan ayah Rania."Ada apa, Vin? Kenapa kamu malam-malam datang ke sini?" tanya om Hakim penasaran."Apa kamu ada janji dengan Rania?" Kevin menorehkan senyum. Hatinya lega, saat om Hakim mulai berbicara pada
Rania? Bukankah itu Rania, istrinya Sakti? tanya batin clara. Kenapa Kevin memasang foto Rania? Apa hubungan mereka?Clara seakan tercekat. Ia tak habis pikir, nama Rania selalu ada dalam lelaki yang sangat berharga baginya."Iya, tak apa. Kita bisa makan malam lain kali. Tidurlah!" ujar Kevin mematikan ponselnya."Kevin!"Kevin mendongak saat sapaan lembut keluar dari mulut Clara."Iya!" jawab Kevin datar."Apa wanita di wallpaper ponselmu itu kekasih kamu?" tanya Clara memastikan.Kevin menoleh. Sudut bibirnya mengembang saat pertanyaan itu terlontar."Tidak! Dia sahabatku," jawab Kevin memasukkan ponsel dalam saku celananya."Oh, aku kira dia kekasihmu!" Clara terlihat senang mendengarnya. Raut wajah yang tadinya memasang muka sebal dan penuh kekesalan, kini terlihat sumringah mendengar penuturan Kevin."Apa kamu sudah makan?" Kevin berdiri seraya memasukkan ponsel miliknya. Clara mendongak. Entah kenapa, ia tak bisa menyimpan rasa bahagia saat bersama dengan Kevin. Seakan ada seb
Bukankah sudah kubilang padamu. Jaga jarakmu!" Perkataan om Hakim membuat Kevin tercekat."Om Hakim ...," kata Kevin terhenti."Om Hakim tak mau karena kehadiranmu ini, menantuku jadi salah paham," tutur om Hakim seraya menopangkan kedua tangan di dada. Mencoba menahan rasa amarah dan kecewa yang datang menghampiri."Biarkanlah rania menjalankan kewajibannya menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Mereka saling mencintai satu sama lain. Dan, om tak mau kamu berada di tengah-tengah mereka, Vin. Bukannya apa! Tapi, sangatlah tidak baik jika seorang sahabat terus saja bersikap seperti remaja," gumam om Hakim.Tidak, Om. Mereka tidak saling mencintai! Rania hanya mencintaiku bukan mencintai Sakti Argantara! kata batin Kevin seraya menegak salivanya dengan paksa."Pergilah! Dan jangan pernah lagi menjemput putriku lagi!" tegas om Hakim menyodorkan ponsel milik Kevin.Kevin terdiam. Kedua bola matanya tak berhenti menatap ke arah lelaki paruh baya yang pergi meninggalkan dirinya. Sungguh,
Clara terkejut. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat suara Kevin terdengar olehnya. Ia menoleh. Dan TUARRTamparan keras melesat tepat di pipi kanannya."Dasar wanita sialan!" ketus ibu Mega yang terlihat marah dengan Clara.Kevin dan Mike tercengang di buatnya."Kakak!" ucap Clara seraya memegang pipi kanannya. Sungguh, terasa sangat sakit dan membekas tamparaan keras tersebut."Kakak?" tanya Mike mengerutkan keningnya. Ia seakan tak percaya jika ibu Mega adalah kakak kandungnya Clara."Bagaimana bisa kamu melakukan semua ini? Kamu tau? Rumah ini adalah kenangan kita bersama ayah dan ibu. Dan bisa-bisanya kamu menjual tanpa ijin terlebih dulu padaku. Apa kamu sudah tak menganggap kakak lagi!" ketus ibu mega meluapkan rasa amarah yang tertahan. Clara terdiam. Bibirnya bergetar mengimbangi rasa sakit hati yang masih membekas di hati."Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa menjualnya. Aku tak mau aku berhutang budi dengan lelaki yang sudah menjadi milik orang lain. Sudah cu
"Sebentar lagi, sebentar lagi kehidupanmu akan berubah, Rania Agatha! Dan aku pastikan mereka tak akan mau dengan wanita sepertimu!" ucap Clara begitu senang bukan main.Rania terdiam. Sungguh, ia sangat bingung akan perkataan yang terlontar dari mulut Clara. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat kering dan sakit. "Bersiaplah!" gegas Clara mulai pergi meninggalkan rania seorang diri di kamar.Rania menghela nafas berat. Dua bola manik matanya tak berhenti menatap ke arah Clara yang mulai pergi meninggalkannya. Akan tetapi, Rania mengerling saat Clara berjabat tangan dengan lelaki paruh baya yang terlihat begitu menyeramkan."Aku tak bisa bayangkan, bagaimana ekspresi sakti setelah orang yang ia cintai telah di peristri oleh orang lain. Hah, sudah pasti dia akan menjadi gila!" Perkataan Clara seketika mengingatkan rania.'Kurang ajar! Bisa-bisanya dia ingin menjualku." Rania menggigit bibir bawahnya menahan rasa amarah yang tertahan saat melihat Clara tersenyum senang
"Kamu nggak usah ke sana! Biar aku yang mengurusnya!" ucap Mike."Jangan melarangku! Katakan! Di mana dan siapa yang membawa istriku pergi?" tegas Sakti meluapkan rasa amarahnya."Clara! Tadi clara menghubungiku dan dia tau di mana Rania berada," tutur Mike menjelaskan."Lalu, kamu percaya dengan kata-katanya?" tanya Sakti yang tak mendengar bantahan dari sahabatnya itu. "Yang aku butuhkan saat ini adalah informasi yang akurat dari plat nomor mobil yang aku kirimkan padamu itu. Cari sekarang!"Sakti segera mematikan ponselnya. Ia mendesah sebal saat Mike tak melakukan apa yang ia minta."Bagaimana bisa dia mengabaikan perintahku yang sangat penting ini?" keluh Sakti menegak salivanya dengan paksa. Untuk kali pertama, Mike tak secepat kilat seperti biasanya. Biasanya, di saat sakti selalu memberikan perintah, tak butuh waktu lama mike menyelesaikannya. Sangat berbeda dengan perintah kali ini. Padahal, perintah kali ini sangat berharga bagi Sakti. Bahkan melebihi nyawanya.Di kantor, M
Rania terjatuh tak sadarkan diri."Bawa dia masuk!" perintah seseorang yang membuat Rania pingsan karenanya.Sedangkan, Sakti bingung mencari keberadaan Rania yang tak ada di restoran.'Apa dia sudah pulang ke rumah?' batin Sakti bertanya. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi sopir yang sudah ia tugaskan untuk mengantar sang istri pergi."Halo, Pak! Di mana sekarang?" tanya Sakti memastikan.Sesaat, kedua bola matanya mengerling mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir begitu saja. Bibirnya merapat seraya berpikir kemana sang istri pergi."Hubungi yang lain. Dan segera hubungi saya jika sudah menemukan ibu Rania!" Perintah Sakti menutup teleponnya.Alisnya bertaut. Kedua tangannya menopang di pinggang sembari mengamati tempat duduk yang memperlihatkan sesuatu yang tidak asing baginya.Dengan cepat, ia mulai melangkah. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah pesanan yang sama persis dengan permintaannya pada Rania. "Minumannya masih utuh. Apa mungkin di
"Siapa wanita itu? Bisa-bisanya memanggil suamiku dengan sebutan 'Say'? Dan dia juga, kenapa dia berbicara terang-terangan menjawab pertanyaan wanita itu di depanku?"Bibir ranum rania memanyun. Rasa bahagia dan semangat yang membara perlahan mulai memudar saat rasa cemburu mulai menguasai dirinya."Setelah aku memberikan semua kepadanya, bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku? Hah," keluh Rania melempar dua baju yang ada di tangannya.Di kantor, Sakti berjalan menghampiri Bu Mega, manager keuangan yang usianya lebih tua darinya. Sakti sudah menganggap Bu Mega seperti ibunya sendiri. Tak heran jika mereka begitu akrab. Layaknya ibu dan anak."Semuanya sudah beres, ibu tinggal membenahi selisih keuangannya saja!" tunjuk Sakti ke arah laporan yang di pegang oleh bu Mega."Jadi, hari ini ibu harus lembur, dong?" tanya Ibu Mega memastikan."Heem. Bukankah ibu tak pernah salah dalam berhitung? Tapi, kenapa laporan ini banyak kesalahan?" cecar Sakti yang menatap wanita paruh baya yang du
Tak seharusnya kamu menyuruhku ke sini melihat keromantisan kalian!" Lirih mike dengan tatapan sinis.Sakti menyeringai. Ia tak habis pikir, Mike sudah datang membawa makanan yang ia pesan."Letakkan saja di meja dan kamu ...," kata Sakti terhenti."Masih belum kelar?" tanya Mike berjalan ke arah meja kerja Sakti yang masih sama seperti waktu ia pulang kerja. Laporan menumpuk dan tak ada kegiatan laptop untuk melakukan pekerjaan.'Hah! Pasti dia menyuruhku ke sini untuk lembur. Dan sudah pasti, dia akan beralasan mengantar pulang rania,' gumam batin Mike melirik sahabatnya yang masih sibuk dengan benda layar pipih yang menempel di telinga."Baik, Pak. Sebelum jam dua belas, saya akan mengirimkan file-nya!" Perkataan Sakti yang membuat Mike mendesah sebal dan sudah sangat bisa di tebak, dia akan lembur seorang diri.'Dasar sahabat laknat! Dia tak tau apa, seharian aku tak istirahat karenanya!' gerutu batin Mike membanting tubuhnya tepat di kursi putar milik sahabatnya itu."Pulanglah!
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rania mulai panik.'Kenapa dia diam saja? Apa jangan-jangan dia ....' kata batin Rania terhenti saat pikiran negatif mulai menghantuinya."Tidak! Dia tak mungkin mati! Tidak!' Batin Rania seakan berkecamuk. Dua bola matanya berkaca-kaca. Rasa nikmat dan bahagia yang ia rasakan seketika berubah menjadi rasa takut dan sedih yang teramat dalam."Bangunlah! Tolong, jangan tinggalkan aku!" kata Rania mengoyak tubuh Sakti yang masih berada dalam pelukannya. Air matanya pun menetes saat tak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya itu. Dua bola mata Rania berputar. Semua terlihat begitu gelap dan hanya terdengar detakan jam dinding yang ada di ruangan tersebut.Perlahan, Rania mencoba mendorong tubuh Sakti dan berusaha untuk duduk. Bibirnya bergetar, jemari tangannya mulai mencari dan meraba remote yang akan menerangi ruangan tersebut.TekRania mengernyip. Sinar beberapa lampu yang menyala membuat kedua matanya silau.GlekTegakkan salivanya mengalir de
' Kenapa tatapan matanya seperti itu? Apa rasa cintanya kepadaku berubah hanya gegara sapu itu?' tanya Rania dalam hati seraya melihat sapu yang berada dalam genggaman sakti."Rania, apa kamu tau ...," ucap Sakti terhenti."Bukankah kamu bilang sangat mencintaiku? Lalu, kenapa kamu marah padaku hanya gegara sapu jelek itu? Kamu tau! Sejak semalam, perasaanku bercampur aduk karenamu," gumam Rania memanyunkan bibirnya. Sakti menyeringai. Perlahan, ia mulai meletakkan sapu itu di samping meja dan berjalan menghampiri Rania. Ia tak menyangka, istrinya salah paham dengan tingkah lakunya itu."Di saat aku mulai mencintaimu, kamu malah ...."GlekDua bola manik mata Rania mengerling. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa saat lumatan hangat mengarah pada bibir ranum miliknya. Begitu hangat dan kenyal. Sejenak, lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat Sakti melepas ciumannya. Apalagi jemari tangan Sakti mendongakkan dagunya secara perlahan. Sungguh, membuat detakan ritme jant
DegRania mengerling saat melihat tulisan yang membuat dirinya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.'Jadi dia ....' Dua bola mata indahnya berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat melihat penyakit yang tertulis dalam rongsen tersebut. Sebuah penyakit yang selama ini berada dalam pikirannya.'Ya Tuhan, apa ini benar?' tanya batin Rania seraya menggelengkan kepala.Alis Sarah bertaut. Ia melirik sahabatnya yang terlihat sedih setelah membuka barang yang ia berikan."Ada apa?" tanya Sarah penasaran. Jemari tangannya dengan cepat menggenggam tangan sahabatnya itu.Rania buru-buru memasukkan kembali hasil rongsen tersebut. Bibirnya mengembang, mencoba menutupi rasa sedih yang menguasai dirinya."Tidak! Tidak ada apa-apa! By the way, terimakasih ya! Kamu sudah mau mengantar ini padaku!" ucap Rania mencoba untuk tersenyum."Serius. Kamu tak apa? Tapi, kenapa mata kamu ...," tunjuk Sarah memastikan."Oh ini," tunjuk Rania ke arah sudut matanya."Tadi, tadi aku menguap tiada henti. Jad