Adelia berdiri di belakang para tamu, seketika pandangan para tamu terpusat ke arah Adelia, disamping Adelia berdiri dua asisten peribadinya, seakan tahu bahwa musauh nonanya akan bertambah.
Adelia berjalan maju ke depan untuk mengambil ampolop putih yang sudah rapih berjejer di meja di depan pengacara Bernard, dia mengambil salah satu amplop yang sudah tertera namanya, saat berjalan dia tidak sekalipun menoleh ke arah tamu-tamu yang memperhatikannya.
Pamannya yang mencoba menahan diri juga ikut mengambil amplop yang disiapkan oleh ayahnya, tidak seperti Adelia, Pamannya langsung membuka amplop tersebut, tidak lama kemudia amplop itu di remas dan dilempar ke bawah, Adelia melihat dengan rasa penasaran, apa yang sebenarnya ditulis kakeknya di amplop itu sampai membuat wajah pamannya mengeras.
Bibinya pun sama, adik dari ayah dan pamannya itu adalah satu-satunya putri dari kakeknya, dia menikah dengan pacarnya dan hanya mampu bertahan selama tiga tahun, dia diberikan kakek untuk mengelola butik pakaian-pakaian mahal karena kakek kesahian pada anaknya yang masih kecil, satu-satunya sepupu Adelia yang masih polos dan menerima Adelia sebagai kakak sepupunya.
Lagi-lagi Bibinya terlihat kesal dengan pesan di amplop tersebut, hal itu mambuat Adelia penasaran untuk membuka amplop yang ada ditangannya, namun dia juga tidak mau membuka amplop itu di hadapan keluarganya, Adelia mengurungkan niatnya.
“Sepertinya semua sudah mengambil Amplop masing-masing,” kata pengacara Bernard.
“Saya akan menyampaikan sesuatu, melanjutkan video tuan Gito tadi, tentang pewaris GoTop Ltd, yaitu nona Adelia,” kata pengacara Bernard melanjutkan.
“Anda akan menjadi presdir GoTop Ltd menggantikan kakek apabila anda menikah, dan anda akan diberikan waktu tiga bulan untuk melakukannya,” kata pengacara Bernard membuat Adelia tercengang.
“Wasiat konyol apa ini,” kata Adelia dalam hati, dia bisa mendengar keluarganya mentertawakannya.
“Kakek tahu aku tidak tertarik dengan pria, apalagi pernikahan,” kata Adelia lagi dalam hati, namun dia juga tidak ingi perusahaan kakeknya jatuh ke tangan orang-orang serakah itu.
“Demikian pembacaan wasiat ini, nona Adelia apabila anda menemukan seorang laki-laki yang akan anda nikahi, saya sangat senang sekali,” kata pengacara Bernard menyudahi acara pembacaan surat wasiat tersebut.
“Ternyata kakek masih waras,” kata Lion sambil menatap mengejek kea rah Adelia.
Adelia balas menatap Lion, dia sudah menahan diri untuk cacian yang di lontarkan para sepupunya.
“Apakah kau begitu kesal karena kakek tidka meninggalkan apa-apa untukmu,” kata Adelia berbisik di telinga Lion, seketika wajah Lion merah padam.
“Kau beraninya berbicara seperti itu padaku, dasar anak yatim,” balas Lion.
“Tapi aku seorang pewaris, yatim sang pewaris,” balas Adelia sengaja membuat Lion kesal, lalu meninggalkannya pergi.
Adelia bergegaas meninggalkan ruang tengah yang masih di penuhi para tamu, dia tidak membiarkan siapapun membuatnya berhenti hanya untuk mendengarkan ucapan selamat dari orang-orang bermuka dua, “Mereka sama aja, orang-orang serakah,” kata Adelia dalam hati.
Adelia masuk ke dalam kamarnya, merebahkan tubuhnya di tempat tidur, dia meminta Arisa dan Deva untuk pulang, meskipun Arisa bersihkukuh akan tinggal dan menginap di sana selama tiga hari untuk menemani nonanya.
“Aku tidak apa-apa, kalian pulanglah, kembali saja besok pagi ke sini,” kata Adelia sambil menutup pintu kamarnya.
Adelia teringat amplop putih yang diberikan kakek padanya, dia mengambil dan membuka amplop tersebut, satu surat yang membuat Adelia merindukan kakeknya, tulisan tangan kakeknya yang sangat ia kenali, dan Adelia mulai membaca surat itu.
Untuk Adelia, cucu kesayanganku
Bila saat ini kau sedang membaca surat ini, berarti kakek sudah tidak berada disampingmu, kakek percaya kau bisa meneruskan hidupmu tanpa kakek meskipun terasa berat. Kakak masih ingat saat kau kehilangan kedua orang tuamu, bahkan kakek heran kau tidak menangis saat itu, tapi kakek melihat luka yang dalam di matamu, kakek harap itu tidak terjadi saat kakek tidak ada, kau harus tersenyum.
Maafkan kakek meninggalkanmu dengan tanggung jawab yang besar, tapi tidak ada yang kakek percaya selain kamu untuk memegang perusahaan yang sudah kakek dirikan hingga menjadi besar seperti ini, tapi bila kau tak sanggup ingatlah, kau mempunyai mimpi yang lain, tinggalkan saja perusahaan ini, dan kejarlah mimpimu, berikan perusahaan ini kepada serigala-serigala lapar itu.
Menikahlah, agar kau tak kesepian, agar kau punya tujuan pulang, agak kau tak sendirian cucuku.
Kakek
Adelia menutup wajahnya dengan surat, air matanya menetes, padahal dia sudah berjanji untuk tidak menangis lagi, dia terlalu takut saat ini, tapi dia tidak ingin orang lain tahu, hanya di kamar ini dia merasa aman, hanya di kamar ini dunianya berjalan.
“Tok..tok..tok,” suara pintu kamarnya di ketuk seseorang, Adelia heran tidak pernah ada yang mengetuk pintu kamarnya selain Arisa dan Deva.
“Tok..tok..tok, nona Adelia,” sebuah suara yang Adelia kenal memanggil namanya.
Adelia segera turun dari tempat tidur, berjalan ke arah pintu dan membukanya, wajah Deva terlihat di depan kamarnya.
“Sedang apa kau disini, aku jelas tadi sudah menyuruhmu dan Arisa pulang,” kata Adelia sambil melihat ke kanan dan ke kiri, mencari Arisa.
“Mba Arisa sudah pulang nona, hanya saya yang masih disini atas perintah mba Arisa menemani anda apabila membutuhkan sesuatu,” jawab Deva.
“Terus,” tanya Adelia sambil melipat tangan ke dada.
“Oh, saya membawakan ini,” kata Deva sambil menunjukan beberapa jajanan yang di bawanya.
“Apa itu,” tanya Adelia dengan wajah mengernyit.
“Hahhhh,” Deva mendesah, terlihat dia sudah sangat letih.
“Bolehkah saya masuk nona, jajanan ini sangat berat,” kata Deva sambil menerobos masuk.
“Kau, siapa yang mengijinkan masuk ke kamarku,” kata Adelia dengan ketus.
“Bisakah anda lebih manusiawi sedikit, setidaknya hari ini, hari dimana kakek anda baru saja dimakamkan,” jawab Deva.
“Anda tidak lapar?” tanya Deva.
Adelia menutup pintu kamarnya, “Tidak,” jawab Adelia.
“Anda akan menyesal bila tidak mencicipi jajanan yang saya bawa,” kata Deva sambil mengambil satu bungkusan jajanan pasar.
“Kenapa kau makan disini?” tanya Adelia sambil berdiri menatap tajam Deva.
“Nona,bolehkah saya mengisi perut dulu, saya akan sambil bercerita kenapa saya tidak pulang dan menemaani anda disini,” kata Deva dengan cueknya.
Satu jam lalu Deva yang sudah perjalanan pulang mampir membeli jajanan untuk di bawa pulang dan makan bersama keluarganya, tiba-tiba ponselnya berbunyi, nama mba Arisa terpampang di sana, harusnya Deva mengikuti kata hatinya untuk tidak mengangkat telepn dari seniornya itu, dan benar saja, Arisa menyuruh Deva untuk kembali ke rumah keluarga Hermawan untuk menemani nona Adelia.
Akhirnya Deva kembali dengan membawa jajanan yang sudah terlanjur dia beli, dia kembali ke rumah keluarga Hermawan dengan wajah kesal, dia baru tiga bulan bekerja, tapi rasanya sudah puluhan tahun di neraka, udahlah dia harus bekerja dengan nona kaya yang judes, dingin dan ketus, dia juga harus menuruti perintah Arisa sebagai personal asisten utama.
Dia juga tidak tahu kenapa wanita seperti Arisa membutuhkan asisten juga untuk membantunya, karena semua pekerjaan yang berhubungan dengan nona Adelia selalu dia selesaikan sendiri, lalu apa gunanya Deva.
Ya seperti inilah, kaya babu tepatnya, dari pada seperti personal asisten, Deva sudah berpikiran untuk megundurkan diri kalau bukan karena gaji disini terhitung sangat besar, karena itulah Deva bertahan, keluarganya membutuhkan uang, apalagi adik-adiknya masih bersekolah, gaji Deva bekerja dengan keluarga Hermawan mampu menutupi kebutuhan keluarganya bahkan selalu sisa banyak untuk di tabung.
“Kau benar-benar tidak mau mencobanya nona?” tanya Deva lagi yang masih melanjutkan makannya.
“Kau sudah berapa lama kerja denganku? Kau tak paham aku tidak makan makanan seperti itu, kau…” kata Adelia yang belum selesai berbicara tiba-tiba Deva memasukan makanan ke dalam mulutnya.
“Jam kerja saya sudah lewat nona, saat ini anda bukan atasan saya,” kata Deva memberanikan diri.
“Beraninya kau berbuat seperti ini padaku,” kata Adelia sambil mencoba rasa makanan yang Deva masukan ke mulutnya.
“Loh, kok enak,” kata Adelia dalam hati.
“Bagaimana, enak kan?” tanya Deva.
“Anda punya segalanya, apalagi anda sang pewaris, tapi makanan murah seperti ini anda tidak pernah makan,” kata Deva sedikit mengejek.
Adelia hanya diam, tak membalas, dia terlalu letih untuk mengurusi pegawainya satu ini, Adelia akan membicarakan hal ini pada Arisa besok.
“Akhirnya anda sesaat terlihat seperti nona Adelia yang sesungguhnya,” kata Deva lagi sambil melanjutkan makannya.
“Maksudmu?” tanya Adelia.
“Hari ini, anda tidak terlihat seperti nona Adelia yang seperti biasanya, wajah anda sangat mendung, mata anda tak bercahaya seperti biasanya,” jawab Deva.
Adelia terhenyak, dia tidak tahu Deva memperhatikannya, apakah semua pegawainya memperhatikannya sama seperti Deva.
Adelia mengambil ponselnya, dia mengirimkan pesan kepada Arisa bahwa hari ini dia akan pegi ke kantor, dia tidak ingin lama-lama mengurung diri di kamar, membiarkan orang-orang mengasihaninya dan memandangnya bahwa dia lemah saat kakeknya sudah tidak ada. Semalam setelah Deva memakan habis makanannya, Adleia menyurhnya pulang, dia mengancam apabila dia masih ada di rumah ini, Adelia akan memecatnya. “Aku akan pergi ke kantor sendiri, kita bertemu dikantor saja,” kata Adelia di pesan yang dia kirim untuk Arisa. Para karyawan yang mengira Adelia tidak akan hadi di kantor dalam beberapa waktu ke depan terlihat kaget bahwa bisnya sudah ada di kantor pagi-pagi sekali, mereka tidak menyangka baru satu hari persdir meninggal, tapi nona Adelia sudah masuk kantor. Adelia berpikir dengan keras, kata-kata pengacara Bernard terngiang-ngiang dikepalanya, “Bagaimana aku bisa mendapatkan pria yang akan kunikahi dalam waktu tiga bulan,” Adelia berbicara dalam hati sambil melipat tangannya
Deva baru saja menginjakkan kaki di rumahnya, dia duduk sejenak di teras rumah sambil menikmati hembusan angin malam dengan aroma hujan yang baru saja menyentuh tanah, dia tidak banyak bekerja hari ini tapi tubuh dan pikirannya seakan terjun bebas ke tumpukan masalah-masalah di kantor. Sampai saat ini dia tidak menyangka hal yang baru saja menimpanya, mimpipun dia tidak berani, bagaimana bisa laki-laki biasa dari keluarga yang sangat biasa seperti dirinya akan menikah dengan pewaris keluarga konglomerat, dia tahu hidupnya tidak akan lagi sama, dan sekarang entah bagaimana dia harus menjelaskan hal ini kepada keluarganya. “Lho, sudah pulang nak, kok gak masuk ke dalam?” suara ibunya yang tiba-tiba muncul mengangetkan Deva yang sedang melamun. “Iya bu, belum lama kok, baru sepuluh menit Deva sampai di rumah,” jawab Deva sambil menggeser duduknya untuk mempersilahkan ibunya duduk di sampingnya. Rumah Deva sangat sederhana, ayahnya yang pensiunan dari pegawai pemerintah hanya
Pagi sekali Deva sudah bersiap berangkat ke kantor, semalaman dia tidak bisa tertidur, setelah kejadian semalam saat semua anggota keluarganya tahu bahwa dia adalah calon suami keluarga konglomerat dari berita di televisi. Deva keluar dari kamarnya menuju ruang makan, ibu dan bapaknserta adik-adiknya sudah duduk untuk sarapan, bapaknya hanya melirik Deva sambil mengambil nasi goreng yang disediakan ibunya untuk sarapan, Deva duduk berharap pagi ini tidak ada lagi yang membahas soal semalam. “Kamu mau the hangat Dev?” tanya ibunya, Deva mengangguk lalu melirik ke arah bapaknya. Ada yang berbeda dari penampilan bapaknya pagi ini, tidak biasanya pagi-pagi bapaknya sudah rapih memakai kaos kerah dan celana panjang, di sandaran kursinya ada jaket yang menggantung. “Bapak mau antar Bian?” tanya Deva sambil menyendok nasi goreng di depannya. “Habiskan dulu sarapanmu, bapak antar ke kantor,” jawab bapaknya. “Antar siapa?” tanya Deva balik seperti salah mendengar ayahnya bi
Adelia duduk di meja kerjanya, setelah perbincangannya dengan Deva tadi pagi, dia hanya diam melihat ke layar laptop meskipun pikirannya tidak ada di sana bersamanya, bahkan makan siang yang Arisa siapkan belum dia sentuh sama sekali. “Tadi kamu bicara apa sama bos?” tanya Arisa pada Deva yang mejanya tepat di sebelah Arisa. “Ehmm, gak ada yang terlalu penting sih, hanya dia menyampaikan sore nanti akan bertemu paman dan bibinya, itu saja,” jawab Deva sambil melanjutkan mengerjakan pekerjaannya. Arisa diam memandang Deva dalam, dia tahu ada yang Deva sembunyikan darinya. “Kau tahu kan, kalian berdua tidak akan pernah bisa apa-apa tanpa aku, apabila kedepannya kalian menemui masalah,” kata Arisa sambil mendekatkan wajahnya ke Deva. Deva sedikit menghindar tatapan Arisa, memang ada benarnya apa yang dikatakan Arisa, saat ini posisi Deva bukanlah posisi yang menguntungkan, dia menyukai pekerjaannya, gaji tinggi meskipun pekerjaannya berat secara mental bekerja dengan nona
Mobil Adelia masuk ke halaman restoran terkenal di Jakarta, keluarga Hermawan mereservasi seluruh restoran itu untuk acara makan malam perkenalan calon suami Adelia, sekretaris keluarga Hermawan yang biasa melayani Tuan Besar Hermawan sudah menyiapkan semua acara, sebelum pengangkatan pewaris sah perusahaan Go Top, semua agenda terkait hal itu dikerjakan oleh sekretaris tuan besar Hermawan, dan dia satu-satunya orang yang memegang perintah Tuan Besar Hermawan meskipun kini dia sudah tidak ada. “Wah pemeran utamanya sudah hadir,” kata Lion. Adelia masuk ke dalam ruangan dengan tersenyum, disampingnya Deva yang mencoba tersenyum ramah malah terlihat menyeringai aneh, jantungnya berdegup lbih kencang seakan mau keluar dari tubuhnya, semua mata yang memandangnya terlihat bersiap menerkamnya, perasaannya mengatakan bahwa dia sedaang berada di kandang harimau yang sedang kelaparan. “Selamat, aku tidak percaya anak manja ini membawa tunangannya hadir,” Paman Andrew mendatangi mereka
Deva masuk ke dalam rumah, di ruang depan Dini seakan menunggu Deva masuk ke dalam rumah, tentu saja adiknya yang judes itu sudah menyiapkan berbagai sambutan pedas untuk Deva. “Ibu mana?” tanya Deva sambil melongok ke dalam rumah mencari ibunya, dalih untuk menghindar dari Dini, bukan karena Deva tidak siap untuk menjawab berbagai pertanyaan dari Dini, tapi saat ini, Deva memang tidak mempunyai jawaban apa-apa, semua yang terjadi beberapa hari ini diluar dugaannya dan terjadi begitu cepat tanpa direncanakan. “Abang kok bisa berbuat seperti ini pada kami,” kata Dini yang enggan menjawab pertanyaan Deva. Deva memandang wajah Dini dan menghela nafasnya, “Abang juga gak tahu Din, abang gak punya jawaban atas pertanyaanmu saat ini, mungkin nanti,” jawab Deva sambil berjalan ke dalam rumah. “Bu,” panggil Deva samil melongok ke dalam kamar ibunya. “Ibu disini,” jawab ibunya terdengar dari arah kamar Deva. “Ibu ngapain?” tanya Deva yang melihat ibunya membereskan baju-baju
“Perkenalkan saya Adelia Cantara Hermawan, CEO TopFood Indonesia,” Wanita yang berdiri di tengah panggung itu berdiri dengan rasa percaya diri, di umurnya yang ke 32 tahun dia mampu memimpin perusahaan startup makanan yang berkembang pesat setelah tiga tahun dia memimpin. Tepuk tangan memenuhi ruangan ballroom hotel bintang lima itu, acara perkenalan resmi dan pengukuhan Adelia sebagai CEO yang ditunjuk langsung oleh pengusaha kaya raya Gito Hermawan yang tak lain adalah kakeknya. Adelia yang di gadang-gadang sebagai penerus Go Top Ltd adalah wanita yang nyaris tak pernah ada berita skandal negatif tentangnya, kehidupannya sebagai cucu dari konglomerat tak luput dari kejaran media, segala yang dilakukannya selalu masuk berita nomor satu, baju yang dipakainya selalu ditiru anak-anak muda, setiap yang dimakannya selalu menjadi viral dimana-mana, namun dibalik itu semua Adelia tidak pernah menggubris media sedikitpun, wajahnya selalu ketus dibalik kaca mata hitamnya. “Selamat at
Adelia lari sekencang-kencangnya ke kamar kakek, dia berharap apa yang barusan di sampaikan Albert hanyalah bualan belaka, “Tidak, kakek tidak akan pernah meninggalkanku,” kata Adelia dalam hati, dia terus berlari tapa memandang orang-orang di depannya. Adelia menerobos masuk ke dalam kamar kakeknya, dia melihat tubuh kakeknya terbujur kaku, Adelia mencoba membangunkannya, menyentuh pipinya, namun kakeknya terasa dingin di tangannya. “Kek, kakek, tolong jangan bercanda seperti ini,” kata Adelia memanggil kakeknya dan menggoyangkan tubuh itu perlahan. “Kek, ayolah, buka matamu,” tetap tak ada respon dari tubuh kakeknya, air mata Adelia mulai jatuh, suaranya tercekat di tenggorokan, dia memeluk tubuh kakeknya dan mengguncangkannya perlahan. “Kek, jangan tinggalkan Adelia sendiri, tolong bangunlah,” kata Adelia sambil terisak. Tangan Albert mencoba menangkan Adelia, menariknya perlahan menjauhi tubuh kakeknya. “Kenapa ini tiba-tiba,” kata Adelia sambil menatap Albert. “Dok
Deva masuk ke dalam rumah, di ruang depan Dini seakan menunggu Deva masuk ke dalam rumah, tentu saja adiknya yang judes itu sudah menyiapkan berbagai sambutan pedas untuk Deva. “Ibu mana?” tanya Deva sambil melongok ke dalam rumah mencari ibunya, dalih untuk menghindar dari Dini, bukan karena Deva tidak siap untuk menjawab berbagai pertanyaan dari Dini, tapi saat ini, Deva memang tidak mempunyai jawaban apa-apa, semua yang terjadi beberapa hari ini diluar dugaannya dan terjadi begitu cepat tanpa direncanakan. “Abang kok bisa berbuat seperti ini pada kami,” kata Dini yang enggan menjawab pertanyaan Deva. Deva memandang wajah Dini dan menghela nafasnya, “Abang juga gak tahu Din, abang gak punya jawaban atas pertanyaanmu saat ini, mungkin nanti,” jawab Deva sambil berjalan ke dalam rumah. “Bu,” panggil Deva samil melongok ke dalam kamar ibunya. “Ibu disini,” jawab ibunya terdengar dari arah kamar Deva. “Ibu ngapain?” tanya Deva yang melihat ibunya membereskan baju-baju
Mobil Adelia masuk ke halaman restoran terkenal di Jakarta, keluarga Hermawan mereservasi seluruh restoran itu untuk acara makan malam perkenalan calon suami Adelia, sekretaris keluarga Hermawan yang biasa melayani Tuan Besar Hermawan sudah menyiapkan semua acara, sebelum pengangkatan pewaris sah perusahaan Go Top, semua agenda terkait hal itu dikerjakan oleh sekretaris tuan besar Hermawan, dan dia satu-satunya orang yang memegang perintah Tuan Besar Hermawan meskipun kini dia sudah tidak ada. “Wah pemeran utamanya sudah hadir,” kata Lion. Adelia masuk ke dalam ruangan dengan tersenyum, disampingnya Deva yang mencoba tersenyum ramah malah terlihat menyeringai aneh, jantungnya berdegup lbih kencang seakan mau keluar dari tubuhnya, semua mata yang memandangnya terlihat bersiap menerkamnya, perasaannya mengatakan bahwa dia sedaang berada di kandang harimau yang sedang kelaparan. “Selamat, aku tidak percaya anak manja ini membawa tunangannya hadir,” Paman Andrew mendatangi mereka
Adelia duduk di meja kerjanya, setelah perbincangannya dengan Deva tadi pagi, dia hanya diam melihat ke layar laptop meskipun pikirannya tidak ada di sana bersamanya, bahkan makan siang yang Arisa siapkan belum dia sentuh sama sekali. “Tadi kamu bicara apa sama bos?” tanya Arisa pada Deva yang mejanya tepat di sebelah Arisa. “Ehmm, gak ada yang terlalu penting sih, hanya dia menyampaikan sore nanti akan bertemu paman dan bibinya, itu saja,” jawab Deva sambil melanjutkan mengerjakan pekerjaannya. Arisa diam memandang Deva dalam, dia tahu ada yang Deva sembunyikan darinya. “Kau tahu kan, kalian berdua tidak akan pernah bisa apa-apa tanpa aku, apabila kedepannya kalian menemui masalah,” kata Arisa sambil mendekatkan wajahnya ke Deva. Deva sedikit menghindar tatapan Arisa, memang ada benarnya apa yang dikatakan Arisa, saat ini posisi Deva bukanlah posisi yang menguntungkan, dia menyukai pekerjaannya, gaji tinggi meskipun pekerjaannya berat secara mental bekerja dengan nona
Pagi sekali Deva sudah bersiap berangkat ke kantor, semalaman dia tidak bisa tertidur, setelah kejadian semalam saat semua anggota keluarganya tahu bahwa dia adalah calon suami keluarga konglomerat dari berita di televisi. Deva keluar dari kamarnya menuju ruang makan, ibu dan bapaknserta adik-adiknya sudah duduk untuk sarapan, bapaknya hanya melirik Deva sambil mengambil nasi goreng yang disediakan ibunya untuk sarapan, Deva duduk berharap pagi ini tidak ada lagi yang membahas soal semalam. “Kamu mau the hangat Dev?” tanya ibunya, Deva mengangguk lalu melirik ke arah bapaknya. Ada yang berbeda dari penampilan bapaknya pagi ini, tidak biasanya pagi-pagi bapaknya sudah rapih memakai kaos kerah dan celana panjang, di sandaran kursinya ada jaket yang menggantung. “Bapak mau antar Bian?” tanya Deva sambil menyendok nasi goreng di depannya. “Habiskan dulu sarapanmu, bapak antar ke kantor,” jawab bapaknya. “Antar siapa?” tanya Deva balik seperti salah mendengar ayahnya bi
Deva baru saja menginjakkan kaki di rumahnya, dia duduk sejenak di teras rumah sambil menikmati hembusan angin malam dengan aroma hujan yang baru saja menyentuh tanah, dia tidak banyak bekerja hari ini tapi tubuh dan pikirannya seakan terjun bebas ke tumpukan masalah-masalah di kantor. Sampai saat ini dia tidak menyangka hal yang baru saja menimpanya, mimpipun dia tidak berani, bagaimana bisa laki-laki biasa dari keluarga yang sangat biasa seperti dirinya akan menikah dengan pewaris keluarga konglomerat, dia tahu hidupnya tidak akan lagi sama, dan sekarang entah bagaimana dia harus menjelaskan hal ini kepada keluarganya. “Lho, sudah pulang nak, kok gak masuk ke dalam?” suara ibunya yang tiba-tiba muncul mengangetkan Deva yang sedang melamun. “Iya bu, belum lama kok, baru sepuluh menit Deva sampai di rumah,” jawab Deva sambil menggeser duduknya untuk mempersilahkan ibunya duduk di sampingnya. Rumah Deva sangat sederhana, ayahnya yang pensiunan dari pegawai pemerintah hanya
Adelia mengambil ponselnya, dia mengirimkan pesan kepada Arisa bahwa hari ini dia akan pegi ke kantor, dia tidak ingin lama-lama mengurung diri di kamar, membiarkan orang-orang mengasihaninya dan memandangnya bahwa dia lemah saat kakeknya sudah tidak ada. Semalam setelah Deva memakan habis makanannya, Adleia menyurhnya pulang, dia mengancam apabila dia masih ada di rumah ini, Adelia akan memecatnya. “Aku akan pergi ke kantor sendiri, kita bertemu dikantor saja,” kata Adelia di pesan yang dia kirim untuk Arisa. Para karyawan yang mengira Adelia tidak akan hadi di kantor dalam beberapa waktu ke depan terlihat kaget bahwa bisnya sudah ada di kantor pagi-pagi sekali, mereka tidak menyangka baru satu hari persdir meninggal, tapi nona Adelia sudah masuk kantor. Adelia berpikir dengan keras, kata-kata pengacara Bernard terngiang-ngiang dikepalanya, “Bagaimana aku bisa mendapatkan pria yang akan kunikahi dalam waktu tiga bulan,” Adelia berbicara dalam hati sambil melipat tangannya
Adelia berdiri di belakang para tamu, seketika pandangan para tamu terpusat ke arah Adelia, disamping Adelia berdiri dua asisten peribadinya, seakan tahu bahwa musauh nonanya akan bertambah. Adelia berjalan maju ke depan untuk mengambil ampolop putih yang sudah rapih berjejer di meja di depan pengacara Bernard, dia mengambil salah satu amplop yang sudah tertera namanya, saat berjalan dia tidak sekalipun menoleh ke arah tamu-tamu yang memperhatikannya. Pamannya yang mencoba menahan diri juga ikut mengambil amplop yang disiapkan oleh ayahnya, tidak seperti Adelia, Pamannya langsung membuka amplop tersebut, tidak lama kemudia amplop itu di remas dan dilempar ke bawah, Adelia melihat dengan rasa penasaran, apa yang sebenarnya ditulis kakeknya di amplop itu sampai membuat wajah pamannya mengeras. Bibinya pun sama, adik dari ayah dan pamannya itu adalah satu-satunya putri dari kakeknya, dia menikah dengan pacarnya dan hanya mampu bertahan selama tiga tahun, dia diberikan kakek untu
Adelia lari sekencang-kencangnya ke kamar kakek, dia berharap apa yang barusan di sampaikan Albert hanyalah bualan belaka, “Tidak, kakek tidak akan pernah meninggalkanku,” kata Adelia dalam hati, dia terus berlari tapa memandang orang-orang di depannya. Adelia menerobos masuk ke dalam kamar kakeknya, dia melihat tubuh kakeknya terbujur kaku, Adelia mencoba membangunkannya, menyentuh pipinya, namun kakeknya terasa dingin di tangannya. “Kek, kakek, tolong jangan bercanda seperti ini,” kata Adelia memanggil kakeknya dan menggoyangkan tubuh itu perlahan. “Kek, ayolah, buka matamu,” tetap tak ada respon dari tubuh kakeknya, air mata Adelia mulai jatuh, suaranya tercekat di tenggorokan, dia memeluk tubuh kakeknya dan mengguncangkannya perlahan. “Kek, jangan tinggalkan Adelia sendiri, tolong bangunlah,” kata Adelia sambil terisak. Tangan Albert mencoba menangkan Adelia, menariknya perlahan menjauhi tubuh kakeknya. “Kenapa ini tiba-tiba,” kata Adelia sambil menatap Albert. “Dok
“Perkenalkan saya Adelia Cantara Hermawan, CEO TopFood Indonesia,” Wanita yang berdiri di tengah panggung itu berdiri dengan rasa percaya diri, di umurnya yang ke 32 tahun dia mampu memimpin perusahaan startup makanan yang berkembang pesat setelah tiga tahun dia memimpin. Tepuk tangan memenuhi ruangan ballroom hotel bintang lima itu, acara perkenalan resmi dan pengukuhan Adelia sebagai CEO yang ditunjuk langsung oleh pengusaha kaya raya Gito Hermawan yang tak lain adalah kakeknya. Adelia yang di gadang-gadang sebagai penerus Go Top Ltd adalah wanita yang nyaris tak pernah ada berita skandal negatif tentangnya, kehidupannya sebagai cucu dari konglomerat tak luput dari kejaran media, segala yang dilakukannya selalu masuk berita nomor satu, baju yang dipakainya selalu ditiru anak-anak muda, setiap yang dimakannya selalu menjadi viral dimana-mana, namun dibalik itu semua Adelia tidak pernah menggubris media sedikitpun, wajahnya selalu ketus dibalik kaca mata hitamnya. “Selamat at