"Pulanglah! Siapkan kamar penuh parfum untukku!" titah Reon setelah kopi pahit itu ada di mejanya.
"Hah?! Maksudnya bagaimana?" heran Zara mendelik. Nampan masih digenggam jemarinya.
Reon mendesah lelah. Mata sayunya membuat Zara melengkungkan bibir ke bawah.
"Aku akan pulang nanti sore. Pelayanku, kau jangan kabur! Siapkan saja kamar yang harum nan cantik sepertimu," ujarnya mendayu sendu.
Napas Zara tercekat di tenggorokan.
'Ada apa lagi dengannya?!' teriak dalam hati.
Rumah besar Reon yang dihuni banyak pelayan. Saat ini Zara menjadi salah satunya.
Dia menguap sambil mengucek matanya dan berjalan menuju kamar. Mengerjap-ngerjap menyesuaikan pandangan.
"Huft! Aku lelah sekali! Dia benar-benar Raja Iblis! Tidak membiarkanku tidur, tapi menyuruh ini dan itu. Pasti enak kalau berbaring di kasur," gumamnya dengan bibir mengerucut.
"Ahahaha! Ternyata ini pelayan baru yang konon gadis tercantik di kota? Hah? Yang benar saja? Apa mata Tuan kita sudah rabun?"
Zara merasa diinterupsi. Dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara, yaitu dapur. Memicing karena pandangannya kurang jelas akibat mengantuk.
"Hmm? Siapa itu? Nenek tua?" katanya asal.
Orang itu tersentak.
"Hei, sembarangan! Beraninya mengataiku nenek tua! Aku Kepala Pelayan di sini. Azuma Rechal yang selalu sempurna. Kau dinilai lancang telah menunjukkan wajah lusuhmu itu, Pelayan baru!" orang bernama Azuma itu menunjuk Zara.
"Eh?" Zara diam dari kejauhan.
Mendekati wanita paruh baya sombong itu yang dikelilingi beberapa pelayan. Zara mendapatkan kesadarannya sehingga matanya melebar.
"Apa?! Kepala Pelayan?!" kagetnya mengerjap dua kali, "Hahaha, Kepala Pelayan dia bilang? Memangnya ini dunia fantasi di mana ada kerajaan yang punya Kepala Pelayan? Aduh, gelinya! Hahaha!" sambungnya sambil memegang perut.
Gelak tawa Zara menggema. Para pelayan membuat ekspresi buruk sampai menggeleng berkali-kali.
Ternyata Azuma sedang marah. Dia berkacak pinggang, tetapi Zara tetap tertawa.
"Diam!!!" Azuma berteriak.
Tawa Zara langsung berhenti.
"Kau tidak tau di mana posisimu dan bisa-bisanya lancang padaku?! Nona Zara, aku bisa merusak wajah cantik dan mata lebarmu itu sekarang juga jika aku mau! Jadi hormat dan patuhi aku! Stratamu lebih rendah dariku!" Azuma menunjukkan sisi gelapnya.
Apa yang dilakukan Zara? Dia berekspresi malas.
"Heh? Jadi kau ketua gengster, ya?" ujar Zara tanpa minat dan mengundang tawa para pelayan.
Azuma salah tingkah.
"Keren sekali! Kalau begitu terima kasih informasinya, tapi aku tidak butuh. Aku mau tidur. Sangat mengantuk!"
Zara melambaikan tangan dan kembali menguap sambil berjalan mencari kamarnya. Di waktu yang bersamaan, Azuma mengerahkan para pelayan untuk menyergap Zara.
"Eh, eh? Apa-apaan ini? Kenapa kalian menangkapku?" Zara meronta.
"Hahaha! Karena kemarin aku tidak menyambutmu dengan baik, maka izinkan aku memberi sambutan yang meriah. Nikmatilah!!" Azuma tertawa jahat.
Mulut dan mata Zara melebar.
"Lepaskan aku, Nenek sialan! Apa yang akan kau lakukan padaku?!" teriaknya tak didengar.
Para pelayan itu akan membawanya paksa ke kamar mandi. Kepala Zara sudah penuh dengan adegan buruk. Namun, seseorang datang merubah euforia.
"Siapa yang berani menyentuhnya?"
Gelegar suara bariton Reon menggema di lantai utama. Sontak Zara menoleh, Azuma terkejut, dan para pelayan melepaskan Zara.
Zara kehilangan keseimbangan. Bingung menatap Reon yang dengan gagahnya menuju ke arahnya.
"Reon?" Zara memanggil lirih nan heran.
Hingga Reon berada di sampingnya, binar matanya masih bertanya-tanya. Berbeda dengan Azuma dan pelayan lain yang sudah berkeringat dingin.
Mereka menunduk tak berani memandang Reon. Hanya bisa mencuri pandang dan takut.
"Jangan ada yang berani menyentuhnya!" kelakar Reon tegas sekaligus tetap tenang.
Azuma memantapkan diri untuk membantah.
"Tapi kenapa, Tuan?" kening Azuma berkerut tebal.
"Karena dia ... Pelayan Khususku." Reon tersenyum miring dan menarik kepala Zara untuk bersandar di bahunya.
Dalam imajinasi kepala Zara mendongak lemas tak sanggup. Semua orang tersentak dan tersipu.
'Hiyaaaa! Kenapa aku ada di pelukannya?!' teriak otak dan hati Zara.
Dia menurut begitu saja kala Reon membawanya naik ke lantai dua.
Di balik itu, Azuma mengepalkan tangan. Sebenarnya dia kesal karena Zara diperlakukan dengan istimewa.
"Tunggu! Kenapa kau pulang? Seharusnya nanti sore, 'kan?"
Refleks Zara mendorong Reon dan menjauhkan diri.
"Apa kamarku sudah penuh parfum?" tanya Reon santai.
Zara menghela napas berat. "Belum, Tuan. Mana sempat aku mengaturnya? Kepala Pelayanmu itu ...," perkataannya menggantung.
'Tidak, aku tidak boleh menjelekkan Bibi Azuma. Siapa tau dia bisa berguna nanti, hehe,' pikir Zara licik.
"Eee, maksudku Bibi Azuma sangat baik. Dia sibuk menyapaku sampai aku lupa tugasku. Aku minta maaf." ringis Zara bodoh.
"Baiklah!"
Jawaban Reon membuat Zara menghela napas panjang.
'Tidak kusangka akan bertemu Kepala Pelayan seperti Bibi Azuma. Kurasa dia seperti karakter penjilat. Pasti sering mencari muka di depan Reon,' pikir Zara.
Setibanya di kamar Reon, Zara diberi setumpuk kardus penuh kertas.
"Heh?! Apa ini?!"
"Jawaban dari pertanyaan di otakmu," jawab Reon dingin.
Guntur menggelegar tepat di atas kepala Zara.
'Bagaimana dia tau isi kepalaku? Apa dia berbakat jadi penyihir otak manusia?' pikir Zara kelam.
"CCTV, Bodoh! Kau menguping saat aku sedang bicara dengan Alexa secara terang-terangan. Tentu saja kamera pengintai mengawasimu," terang Reon mengejutkan Zara sampai mundur selangkah.
"Apa?!" teriaknya tak berguna.
Reon mendesah dan duduk di tepi ranjang.
"Sekarang, itulah jawabannya. Aku ingin kau membuangnya dan tidak terlihat lagi di bumi walau sebutir debu sekalipun." tatapan Reon beralih ke jendela.
"Ha-hah?! Tapi kenapa? Memangnya apa ini?!"
"Berisik! Buang saja dulu!" lirik Reon tajam.
'Hiyaaa, menakutkan!' teriak Zara dalam hati.
Walau wajahnya kesal, Zara tetap pergi ke tempat sampah belakang. Dia membakar semua kertas beserta kardus itu dan memastikan mereka habis menjadi debu.
Kemudian, kembali pada Reon dengan senyuman.
"Sudah selesai, Tuan!"
'Dengan begini apa kau senang?' geramnya tertahan.
"Ah, aku juga membawa abu mereka. Apa perlu aku tebar sebagai parfum pengganti ruanganmu?" senyum Zara semakin manis.
Dia menunjukkan sekantung plastik abu.
Reon terkejut.
Tanpa menunggu apapun, Zara menebar abu itu dan dalam sekejap kamar Reon dipenuhi hujan abu. Senyum manis hilang berganti sungutan amarah.
"Seenaknya saja kau memerintah tanpa mengasihani jiwa dan raga pelayan cantikmu ini! Tuan CEO yang kejam!" bentak Zara mengeluarkan isi hatinya.
Sebelah tangannya menepuk dada dan yang satunya masih memegang kantung plastik sisa abu. Namun, di tengah hujan abu dan ketajaman matanya, Zara bisa melihat Reon yang melongo terpesona.
"Indahnya!" gumam Reon jelas.
Seketika Zara membekap mulutnya.
"Mustahil! Dia ini orang macam apa?! Tidak bisa dihadapi dengan menurut atau memberontak! Bukannya marah, matanya justru berseri-seri!" oceh Zara yang hanya bisa dia dengar sendiri.
"Parfum busuk dari orang di Bandung semalam. Aromanya ... luar biasa!" Reon masih terhanyut dalam kilauan abu di udara.
Zara tersentak, "Apa maksudmu?" matanya masih menajam.
"Semua kertas itu adalah dokumen penting perjanjian antara perusahaanku dengan perusahaan orang yang menyuruhmu duduk di pangkuanku." terang Reon seraya sedikit tersenyum.
Zara jauh lebih tersentak, "Apa?"
"Benar, aku memutuskan perjanjian kerja samanya. Orang yang tidak bisa menghargai pelayanku walau serendah apapun dirimu tidak pantas menjadi mitra kerja seorang Reon Varezan Dailendra!" seru Reon menggema.
Jantung Zara bergemuruh hebat dan hangat.
"Eh, tunggu. Aku harus senang atau merasa terhina?" ucapnya heran setelah berpikir.
Terungkap sudah misteri percakapan Reon dengan Alexa. Tidak disangka bersangkutan dengan peristiwa semalam. Belum puas terlena dengan ucapan majikannya, Zara sudah dibuat kualahan lagi dengan berbagai tugas. "Aku ... harus membuang semua ini! Hiyaaa!" Zara membuang seprai dan gorden penuh semangat sampai bersin. Sebenarnya terlalu kesal, sehingga melampiaskannya pada semangat."Masa bodoh dengan tubuh yang hampir remuk! Mata berkunang-kunang pun bukan halangan bagiku! Lihat saja, Iblis sialan! Aku akan membuatmu terkesan dan kau akan bersedia membantuku, hahaha! Aku akan menjadikanmu bonekaku, maka apapun tugasmu pasti kuladeni! Gejolak gunung berapi sekarang ada di nadiku!" Berteriak layaknya monster dengan mata memerah sembari mencengkeram seprai.Reon menyuruhnya membersihkan hujan abu dan menghiasi kamarnya dengan aroma parfum terbarunya. Lalu, membuat karangan bunga dan menyiapkan hidangan utama. Sepertinya akan kedatangan tamu. Walau keringat bercucuran, Zara tidak berhenti
Jantung Zara masih berdegup kencang. 'Gawat! Ini tidak aman. Kenapa jantungku terus berdebar saat Reon ada di dekatku? Aku tidak mungkin terpesona sungguhan, 'kan?' pikirnya bingung. Meringis memegang dada. Reon sudah pergi, kini dia sendirian di kamar. Mendesah lesu sembari memandang semangkuk bubur hangat di meja. "Huft, tapi dia memang mempesona! Tidak salah jika dia sombong sedikit. Sudah merawatku dan ternyata sadar telah mempermainkanku."Matanya sedikit berbinar. Dia tersenyum ringan. "Yah, apapun itu yang jelas aku harus berterima kasih sekaligus mengajukan permintaan. Dia harus membantuku."Semangatnya kembali sampai menepuk tangannya. Demi memulihkan tenaga, dia rela memakan bubur buatan Azuma dengan sedikit kesal.Mengganti pakaian pelayan dengan yang baru. Sepertinya Zara mulai menyukai pakaian itu, terlebih lagi bagian bando putih. Rambutnya kini diikat menjadi satu. Namun, Reon sedang menemui tamu di ruang tamu. Pupus sudah harapan Zara. Dia bersembunyi di balik pin
"Tenang saja, Tuan! Dengan senang hati aku akan melayanimu. Aku sudah seperti robot tanpa jiwa yang tidak kenal lelah, haha." senyum palsu Zara sangat manis.Kamar adalah tempat yang berbahaya. Terlebih lagi Reon beraksi tampil seksi nan menawan di tepi ranjang dengan senyum dan kancing kemeja atas terbuka.'Tahan dirimu, Zara. Hiraukan saja dia,' dalam hati menekan perasaannya sekuat tenaga. "Ah, aku baru ingat ingin mengatakan ini. Tuan Reon, kau punya kepribadian ganda, ya? Berubah-ubah setiap saat seperti memiliki seribu wajah," lanjut Zara menyembunyikan kekesalannya, padahal otot kepalanya sudah menegang. Senyum Reon pun hilang. "Apa kau akan lari dariku?" tatapan sayu menurunkan ego-nya.Zara mencicit melepas ketegangan ototnya."Jangan membuat wajah sedih seperti itu! Aku tidak membuangmu, 'kan?!" Meskipun sudah teredam dengan keindahan kamar rahasia yang membuatnya syok, masih saja bisa terengah.Reon tidak mempermasalahkan teriakan Zara. Zara pun cemberut.'Sudah kuduga!
Bagai kisah pangeran dan tuan putri yang hilang, mereka kembali dipertemukan di dunia yang berbeda. "Eh?" kaget Zara setelah bertatapan dengan orang yang menabraknya."Eh?!!" orang itu jauh lebih terkejut. Keduanya saling tunjuk. "Bastian Charlie?!" pekik Zara heboh hingga ternganga."Zara?! Zara Azuri Frazanista?!" teriak laki-laki itu dengan tangan gemetar sampai mundur.Seketika Zara menarik telunjuk Bastian dan menggoyang-goyangkannya. "Ahaha, benar-benar Bastian teman sekolah dasar dulu rupanya? Wah, kau sudah besar dan tampan, ya? Tidak kusangka bisa bertemu denganmu di sini. Aku senang sekali!" seru Zara riang. Bastian panik segera menarik telunjuknya. Pipinya sudah merah padam."Ti-tidak mungkin! Kau pasti salah orang! Permisi!" hendak melarikan diri. "Eh, tidak bisa! Kau masih pemalu seperti dulu? Astaga, dasar memang tidak pernah berubah, haha!" Zara mengerling jahil. Napas Bastian tercekat, "Le-lepaskan aku!" Suaranya menjadi aneh membuat Zara meneleng heran. "Kau
"Tuan, maaf menunggu! Ini kopi manis untukmu!"Zara tersenyum menaruh kopi di meja, padahal Reon tidak meminta. Dia diacuhkan. "Ah, keringatmu menetes. Izinkan saya membersihkannya." Cekatan mengambil tisu dari saku celemek dan menyeka keringat di pelipis Reon. Sayangnya Reon melenggang pergi. "Eh?!" Zara kelepasan. Dia merengut dan berdecak. Mengejar Reon yang terburu-buru.Alexa sudah menunggu di lobi. Dia memberi salam ketika Reon datang. "Kunjungan ke laboratorium sudah dipersiapkan. Zack telah mengatur janji temu dengan desainer mancanegara tiga puluh menit lagi." ujar Alexa sembari mengikuti Reon. Reon hanya mengangguk. Mereka sangat cepat hingga tiba di mobil. Zara bingung dan setelah mengerti dia langsung membukakan pintu mobil."Silahkan masuk, Tuan!" Senyum Zara sangat manis. Terlalu manis sampai membuat Alexa tersipu. Namun, Reon menatapnya bengis. Panas terik seakan dibalut mendung hitam. Kharisma Reon merusaknya hingga senyum Zara menjadi pahit. Kembali lagi diab
Tiupan angin mengusik tiap helai rambut Zara. Bastian terbuai pesona. Dia baru menyadari kecantikan Zara dengan pakaian pelayan.Kemudian, Zara memberi tahu sedang melarikan diri dari penjara kamar Reon."Apa?! Jika kau kabur begini dia pasti marah!" Bastian takut mengingat kharisma Reon."Tidak juga. Dia halus padaku. Mungkin karena aku cantik," jawab Zara percaya diri."Hah! Senjatamu dari dulu selalu menggunakan wajahmu." Bastian menunduk lesu. "Dan juga otakku." Zara mengerling menunjuk kepalanya. 'Marahnya Reon dilampiaskan ke orang lain, bukan padaku. Selama ini dia hanya bermain denganku. Aku tidak takut lagi, tapi jadi merinding,' sambungnya dalam hati. Kegelisahan sementara itu hilang kala Bastian mengoceh tidak jelas. Isinya masih tidak menyangka Zara seorang pelayan. Zara telah menceritakan bahwa dia dicampakkan Ryo dan menjadi bawahan orang yang mengaku Raja Iblis.Zara memutar bola matanya jengah dan memandang sekeliling. "Tidak ada kabar setelah pesta itu. Semua ker
"Ah, nasibku memang terlalu buruk! Haruskah aku menerima hukumannya?" pandangan sayu bak putri yang menderita, "Karena aku terlalu cantik." sambungnya menunduk. Seluruh otot Forin mengejang. "Sungguh ini kejahatanku. Merebut lirikan CEO perusahaan parfum ternama hingga merekrutku menjadi pelayan pribadinya. Mata yang tajam nan teduh itu menyihirku untuk masuk ke pelukannya. Huaaa, sepertinya aku terkena virulen cinta! Dunianya bagaikan utopia yang sempurna! Aku rela terjerumus dalam kegelapan tanpa batas Tuan Reon. Apa yang diberikan Ryo tidak sebanding dengannya. Aku sudah teramat gila!"Zara semakin memperparah improvisasinya. Semua yang dia ucapkan seperti melodi.Forin tersentak dahsyat. "Mustahil! Apa ada orang sesempurna itu? Ini kisah pelayan dan Tuan Muda?!" kaget Forin membuat Zara menggeleng. "Bukan Tuan Muda, tapi Bos Besar! Kurasa aku jatuh cinta padanya!" Zara memicing seraya tersenyum miring. Hilang sudah pertahanan Forin. Dia berdecak tak lagi menahan diri."Wah,
"Terima kasih sudah menjaga Zara baik-baik." senyum penuh penekanan Reon menusuk jantung Bastian hingga Bastian koma. "Bastian? Bastian, kau kenapa? Bastian!!!" pekik Zara setelah menginjak kaki Alexa dan menghampiri Bastian. Dia mengguncangkan tubuh lelaki itu kuat. Kemudian, Bastian sadar dan pergi. Dia telah berjanji akan membantu Zara.Bukan hanya sebagai teman lama, tetapi dia tidak menyukai perubahan Ryo dengan kekasih barunya. Nasib Zara kembali di penjara. Menjadi pajangan layaknya boneka yang meronta di lemari kaca ruang tamu. "Lepaskan aku! Tuan, aku tau aku bersalah. Itu hanya jendela, kenapa kau marah besar?! Aku tidak bisa bernapas!"Zara menggedor-gedor lemari itu pelan lantaran takut memecahkannya. Gaya bicaranya kembali tidak formal."Tuan, sudah tiga jam lamanya. Dia bisa mati jika tidak dikeluarkan," dengan datar Alexa berkata demikian. "Lupakan saja!" Reon tetap fokus pada dokumen di meja kerjanya. "Ahahaha, kasihan sekali! Itu balasanmu karena sok kecantikan
Diam-diam mengintip di celah pintu. Kamar Reon membuat bulu kuduk Zara merinding. Kakinya gemetaran, meringis dalam diam. "Aduh! Kenapa aku malah ke sini? Tadinya hanya penasaran apa yang Reon lakukan, kenapa aku benar-benar datang mengintipnya?" mencicit bodoh. Tiba-tiba pintu terbuka membuat Zara berteriak hampir jatuh tersungkur. "Aaa, sakit sekali!" Bangkit mengusap lutut yang terbentur keras dengan lantai. Ada kaki besar di sampingnya. Seketika Zara mati gaya. Dia berdiri cepat dan memberi senyuman manis. "Ah, Tuan. Tidak bisa tidur, ya?" Senyum itu menjadi kikuk. Reon menatapnya begitu dalam sampai Zara terpaksa memutar-mutarkan pandangannya. "Zara," panggil Reon membuat Zara terjingkat. "Hiii! Iya, Tuan!" Seketika Zara bersikap tegap. "Apa kau tidak keberatan menyukai mantan Pembunuh Rahasia sepertiku?" Tatapan redup Reon mengatakan segalanya. Zara mendelik heboh bahkan sulit bernapas. 'Kenapa tiba-tiba begini?! Apa yang merasukinya?!' memekik dalam hati
"Zara Azuri Frazanista, kuucapkan terima kasih sudah mendampingi Tuan tanpa memerasnya seperti rencanamu pada awalnya," ujar Aoi tanpa melepas rokok di sudut mulutnya. Zara mendelik meringis. 'Sial! Kenapa gadis ini bisa setenang Alexa? Tidak, Alexa lebih gelap dari ini,' batin Zara. "Aku tidak bermaksud memerasnya, tapi memanfaatkannya." bela Zara malas menepis udara. "Omong-omong, kau sangat cantik!" Aoi mengeluarkan asap rokok dari mulutnya seperti mainan. Zara terperangah langsung memegang kedua pipi. "Iya, haha, jangan begitu. Aku tidak secantik itu."Dia tersipu. "Bicaranya jadi malu-malu." Bastian mendelik.Ekspresi Zara berubah seketika ketika menoleh ke Bastian. "Jadi, apa yang kalian lakukan?" Pertanyaan yang cukup serius. Bastian melengos. "Hanya bermain," jawabnya santai. Zara memicing tidak percaya. Dia pun berdiri membuat mereka mendongak. "Bastian, kutunggu penjelasanmu. Yah, terserah kalian mau bermain atau tidak, aku tidak berhak mengaturnya, tetapi aku
"Semuanya telah berakhir?" Di gerbang kantor polisi, Ryo bertanya kepada Zara. Zara mengangguk mantap. "Sudah berakhir!" Mereka berjabat tangan dan menukar senyum.Tidak akan ada pembalasan dendam lagi yang menyulitkan semua orang. Zara sudah bisa lega sepenuhnya. Kegelisahan di hati pun hilang. "Aku akan pergi ke jalanku. Temui aku jika membutuhkan sesuatu. Setelah ini apa rencanamu?" Ryo melepaskan jabatan tangan mereka. Zara berkedip polos. "Hmm? Aku akan kembali bekerja di rumah Tuan Reon, apa lagi?" Ryo pun menepuk dahi. "Gadis payah!" "Ha? Apa? Kenapa kau bilang begitu?" Zara seperti orang bodoh yang dikerjai. Namun, jalan memisahkan mereka sehingga Zara tidak mendapat jawabannya. Ryo kembali mengatur perusahaannya dan Zara kembali ke rumah Reon bersama orang-orang penting yang berbunga-bunga akannya. Setibanya di rumah, dia baru sadar bahwa Bastian dan Aoi menghilang, padahal Reon beserta kedua ajudannya ada di sana. "Bibi, ke mana Bastian dan Aoi? Tadi mereka p
Keesokan harinya, Zara sudah tidak menjadi tahanan asmara. Ryo berniat untuk menyelesaikan segalanya dan memulai sesuatu yang baru. Dengan didampingi Zara, Ryo berniat menuju kantor polisi, akan tetapi tanpa diduga Forin menghadang di depan rumahnya. "Astaga! Forin?!" Zara yang terkejut sampai mundur hampir kembali ke teras. Ryo juga terkejut, tetapi dia mematung. 'A-apa yang dilakukannya di sini?! Pagi-pagi sekali sudah ada masalah?! Oh, tidak, kapan ini akan selesai?!' batin Zara menjerit. Memandang mereka berdua bergantian sampai matanya melebar. Ekspresi Forin nampak segan bercampur malu, tetapi terdapat niat yang kuat. Mereka diam sampai Forin membuka percakapan. Dia sangat gelisah sebelum memantapkan langkah dan memandang Ryo dalam. "Ryo, aku ingin mengakhiri hubungan denganmu," ujar Forin tegas. Sontak pagi yang cerah itu menjadi mendung bagi Ryo. Zara membekap mulutnya. Syok tak berkesudahan dengan keberanian Forin dalam bermain-main, akan tetapi kali ini mantan mode
Demam melanda, panas-dingin di sekujur badan. Hujan petir di luar menambah gelapnya kamar. Zara menyelimuti Ryo dengan satu-satunya selimut dan menyuruhnya duduk menekuk lutut setelah sadar. Laki-laki itu begitu lembab. Tubuhnya membiru nan pucat. Zara panik tak karuan. "Ada apa denganmu? Kenapa bisa begini? Kau bermain hujan? Seperti anak kecil saja!" Marah Zara akan kekhawatirannya. Ryo yang terpuruk menatap Zara dengan makna berbeda. Sisi perhatian nan baik itu membuatnya berdecak dalam hati. Memalingkan pandangan kembali pada kesedihan yang mendalam. Kemudian, dia menceritakan segalanya. Tentang Forin yang berkhianat.Zara terperangah, "Apa ... kau bilang?" Tangan lemah tak lagi memegang selimut yang menutupi Ryo dari kepala hingga kaki. Laki-laki itu pun mengangguk lemah. Zara tidak bisa berucap sepatah kata pun. Meskipun telah mengetahui perasaan Forin pada Reon, tetapi keberanian Forin menyelamatkan Reon dan mengakui cintanya pada Ryo itu terlalu memukul. Bahkan Zara
"Karena aku mencintaimu!" Jantung Reon bergemuruh. Langit menghadirkan guntur dan awan mendung dari segala sisi. Bulan separuh yang bersinar mulai tertutup mendung. Musim kemarau lenyap untuk malam ini. Rintikan air mulai turun mengguyur seluruh sudut Jakarta. Pernyataan Forin hanyut bersamaan turunnya hujan. "Kau gila!" Reon menggeleng. Forin justru berbinar. "Ini pertama kalinya kau menggunakan ekspresimu untukku selain senyuman sinis dan marah. Aku senang sekali!" Reon memejamkan mata meredam emosi. "Terima kasih, tapi aku tidak punya banyak waktu. Membebaskanku hanya akan menambah masalah bagimu." Reon hendak pergi, tetapi Forin menariknya berjongkok di dekat pintu belakang. "Ssttt! Aku punya rencana untuk membawa Zara ke sisimu."Forin mengangguk pasti. Reon terpancing."Zara?" Tatapannya sedikit berubah. "Ryo menjaganya sangat ketat. Jika aku yang membawanya keluar pasti tidak akan masalah. Percayalah padaku!" Reon hendak membalas, akan tetapi sebuah tepuk tangan te
Bastian masih menganga tak percaya. Bagaimana bisa seorang gadis berubah menjadi kepala sipir yang mengerikan?Bagaimana pula tubuh kecil itu berkembang menjadi besar? Di depan cermin, Bastian tak kunjung reda menunjukkan wajah bodohnya. "Aku siap! Kau jangan mengacaukan rencanaku. Jika tidak, kau juga akan kugantung!" Aoi berbalik sembari memakai sarung tangan putih. Bastian tersentak mundur. "Haaa! Suara ... suaramu juga berubah seperti laki-laki!" Syok yang tak berkesudahan itu membuat Aoi mendesah panjang."Ayo pergi!" Terpaksa menyeret Bastian dengan menarik kamera yang terkalung di leher. Sungguh malam yang indah penuh gairah. Perempuan bisa menjadi sangat kuat dari dua sisi. Zara hanya bisa merenung membayangkan langit gelap penuh bintang. Andai saja pertarungan juga terjadi padanya sekarang. "Menendang pintu juga tidak berhasil. Sialan! Ryo, kau melanggar janjimu!" Ribuan kali Zara memaki tak mempan menghilangkan dendamnya. Semua untaian perasaan Ryo sebelumnya len
Ryo memberitahu siksaan yang Reon terima di penjara kepada Zara. Terus mengancam dan mendorong mental Zara agar bersedia membebaskan Forin dan Mario. Gadis itu begitu tangguh, meskipun mendengar Reon disiksa. Ini sudah lewat satu hari. Semuanya masih berjalan monoton. Hingga pada akhirnya, di pagi ini Ryo kembali datang membawa sebuah video rekaman. "Pergilah!" usir Zara. Ryo tersenyum miring setelah mengunci pintu."Kenapa? Ayo kita bermain-main, Sayang! Akan kuperlihatkan kehidupan penjara padamu." Langkah tertata memaksa keberanian Zara mundur hingga terealisasikan. Zara menabrak kepala ranjang dan Ryo semakin mendekatinya. Kemudian, rekaman video itu pun diputar. Bagai tersapu badai seorang diri, kesadaran Zara menghilang. Mata seakan buta dan telinga tidak mendengar.Ryo tersenyum jahat melihat Zara yang membatu tak berdaya. Ketangguhan Reon yang tak menjerit sama sekali dalam menerima semua siksaan itu tiba-tiba meluruhkan air mata Zara. Tanpa suara, gadis itu menangis
Sementara Reon yang terus disiksa, perusahaannya masih berjalan dengan normal. Alasannya karena Zack dan Alexa dipaksa bekerja dari penjara. "Haha, ini menarik! Akan kukenang seumur hidup. Ternyata penjara tidak sepahit itu. Yah, jika aku mau kubisa merusak besi-besi ini kapan saja, tapi demi Pak Reon dan Zara aku harus menahannya. Ah, aku pegal. Azuma, bisakah kau buatkan aku kopi?" Zack dengan lihai mengolah dokumen di laptop dalam jeruji besi. Dia bertolakbelakang dengan Alexa yang juga sedang bekerja. Azuma hanya memandang mereka di pojokan. "Hanya debu yang bisa kuberikan padamu, Tuan Zack. Huft, kenapa Tuan Reon harus menerima pukulan yang menyakitkan itu demi kita? Kenapa tidak membiarkan kita menanggungnya juga? Aku sangat sedih!" lirih Azuma. "Menjijikkan!" maki Alexa datar. Seketika bibir Azuma semakin melengkung ke bawah. "Itulah kualitas terbaik Tuan kita, bukan?" Zack meredupkan matanya.Di sisi lain, Ryo membawakan makanan untuk Zara. Zara berdiri tegap mengepal