Aku memutar keran menutup, merubah aliran deras air bening menjadi tetesan dalam tempo yang lebih lambat.
“Kencan konyol dan aku idiot!”
Sepuluh menit yang lalu, Putra sudah berhasil membujukku berduet menyanyikan sebuah lagu dangdut koplo. Bahkan dia menggunakan momen itu untuk diam-diam menyentuh rambut dan tubuhku. Aku ingin muntah lagi jika mengingatnya. Mungkin sekarang setelah puas berusaha menggerayangikku, ia tengah menyusun rencana untuk menyeretku ke tempat tidur. Berdalih mual dan pusing, aku bisa kabur ke toilet.
Bayanganku terpantul di cermin persegi yang tergantung. Rona pucat membayang di antara wajah oval tirusku. Rambutku yang model bob dan saat ini sudah memanjang di bawah pundak, tampak lepek. Asal-asalan kusisir rambutku dengan jari.
Tiba-tiba aku melihat pantulan sekilas bayangan yang berkelebat cepat di belakangku.
Aku berbalik. Tidak ada siapapun di belakang, persis ketika aku masuk tadi. Terdapat dua bilik toilet dan semuanya kosong.
“Halo? Siapa di sana?” teriakku dengan bulu kuduk meremang.
Sunyi.
Oke…oke…rileks! Aku hanya kebanyakan minum soda, kurang tidur, dan punya pasangan ngedate cabul. Jadi sekarang aku pusing dan mulai berhalusinasi gila.
Tidak mau berlama-lama di ruangan seram itu, aku segera keluar dari toilet.
Aku menuju lemari pendingin, mengambil air mineral lalu membayarnya di kasir. Jam dinding bulat yang tergantung di belakang kasir menunjukkan tepat pukul sebelas malam. Aku berjalan lagi, bukan kembali ke ruang karaoke, tapi aku mau pulang meskipun besok Gina akan mengomeliku seharian. Pergi ke dokter THT menjadi pilihan yang lebih menarik dari pada menjadi korban pelecehan seksual.
Bersandar ke dinding, aku membuka tutup botol dan mulai menegak. Tiba-tiba seseorang mencolek bahuku. Satu kali…dua kali…
Dia pikir bahuku ini sambal colek, apa? Sebelum colekan yang ketiga aku berbalik.
Berdiri di belakangku, seorang laki-laki jangkung dengan bayangan dada bidang menggiurkan. Seperti dada milik foto model dalam artikel majalah bertema sex sehat yang biasanya kubaca sembunyi-sembunyi sebelum tidur. Berotot tapi tidak terlalu gempal berlebihan. Sangat maskulin. Pria berambut gelap pendek itu menggunakan jas casual gelap dengan kemeja berwarna abu-abu yang mungkin tadinya ada dasi tapi dilepas paksa sehingga bagian depan kemejanya sedikit kusut. Aroma hutan pinus bercampur apel segar menggantung di udara seperti selimut beludru yang lembut dan mengundang, dan aku yakin bersumber dari tubuhnya. Bersedekap santai dengan gaya macho alamiahnya, laki-laki itu menatapku.
Sialnya hari ini begitu kacau. Misiku untuk menggaet pria malam ini sudah resmi kututup. Jadi, dengan terpaksa laki-laki berperawakan dewa ini harus aku lewatkan. Sebenarnya sayang sekali, semua yang ada pada dirinya memenuhi semua kriteria pria impianku, baik wajah, postur tubuh, ataupun dada bidangnya─bagian dari tubuh laki-laki yang begitu aku puja. Andai saja aku bertemu laki-laki ini jauh sebelum aku bertemu Putra, dengan hasratku yang masih menggebu-gebu, lelaki ini pasti sudah kurayu habis-habisan tanpa peduli pendidikan moral yang kumiliki.
Tidak menghiraukan sopan santun yang sudah diajarkan orangtuaku, aku kembali menegak airku sambil menatap balik sepasang mata hitam lelaki itu dengan sikap menantang. Sepertinya aku pernah melihatnya, dia terlihat tidak asing.
“Apa?! Kita saling kenal?”
Bibir lelaki itu berwarna sedikit kemerah-merahan alami. Bibir sehat bukan perokok, dengan bagian bawah sedikit lebih penuh dari pada bagian atas, anehnya
membuatnya semakin seksi, meskipun aku rasa dia sedang mendengus sinis sekarang. “Kamu bercanda, ya?”Setelah tiga detik berpikir, aku merasa malu sekaligus bodoh. Bunyi ‘ting’ berteriak di kepalaku.
Kedatanganku yang terlambat membuatku tidak mengetahui nama-nama para peserta kencan buta selain Gina, Hendrik, dan Putra. Tapi aku ingat, lelaki inilah yang tadi melotot marah padaku saat aku kepergok mencuri pandang ke arahnya. Bagus, jadi aku tadi telah membuatnya tersinggung sehingga dia mau mengomeliku sekarang? Apakah ada peraturan perundang-undangan tentang larangan memandangi orang tampan yang telah kulanggar?
Akibat terburu-buru, aku tidak sempat memakai kontak lensa dan apesnya kacamataku juga tertinggal. Aku memicingkan mata agar pandanganku bisa lebih fokus.
Laki-laki ini sungguh menarik. Bukan golongan tampan yang manis, ramah, baik hati atau ketampanan yang dimiliki bangsawan yang selalu taat pada tata krama. Dia menarik dengan caranya sendiri, ada raut sombong, sedikit liar, dan keras kepala tergambar menonjol di tulang wajahnya yang kokoh. Rahangnya tampak kuat. Ia juga punya sepasang mata hitam tegas, yang bisa terasa menelanjangi ketika ia memutuskan untuk menatap lawan jenisnya secara intens. Sudut bibir kanannya sedikit tertarik ke atas, menampakkan cengiran sinis yang khas. Lelaki ini sangat cocok memerankan tokoh pria tampan jahat dan licik yang begitu banyak dipuja kaum wanita dalam sebuah film misteri.
Aku berdehem, menghilangkan suara serak yang tiba-tiba memenuhi kerongkongan. “Jika kamu tersinggung karena aku memandangimu tadi, terserahlah. Aku tidak berniat minta maaf.”
Rasa sebalku yang tak beralasan kembali. Kutegak lagi airku dengan marah.
Si laki-laki asing memutar bola matanya sambil menggigit bibir bawahnya. Entah ia sadar atau tidak, gerakan provokatif itu sungguh terlarang karena ia tampak semakin enak untuk digigit. Lalu dengan pelan ia mencodongkan tubuhnya yang beraroma campuran pinus dan apel segar ke arahku. Ia benar-benar sedang menghipnotisku.
“Kamu beneran lupa atau kamu memang jago acting?” Menggunakan punggung telunjuknya, ia mengelus pelan pipi kiriku, mengirimkan getaran elektrik di sekujur tubuhku yang menghangat. “Aku orang yang kamu tampar sembilan tahun lalu.”
Sepuluh detik pertama otakku menjadi kosong.
Apakah efek samping dari pusing adalah amnesia?! Tidak mungkin aku mempunyai pikiran mesum pada musuhku! Tidak mungkin pula aku melupakan wajah musuhku begitu saja!
Daniel?! Mantan sahabat Revi yang pernah kutampar karena ia mengataiku ‘si parasut menjijikkan’.Aku tersedak. Air yang masih berada di mulutku tersembur keluar begitu saja dan menyemprot tepat di wajah Daniel, layaknya air yang menyembur deras dari selang pemadam kebakaran.
“Sial.” Daniel berdiri tegak dengan tetesan air di seluruh wajahnya yang marah. “Kamu tuh nggak bisa ya, bersikap baik padaku? Aduuhh!”
Sebelum Daniel mencekal tanganku, aku berhasil menendang tulang keringnya dengan high heel hitam yang kupakai. Daniel terhuyung kesakitan, aku pukulkan botol air mineral ke tubuhnya berulang kali. Air tumpah ke lantai licin yang baru saja dipel. Terlihat dari tanda ‘wet floor’ di ujung lorong. Kudorong Daniel dengan tenagaku yang kembali menggebu-gebu.
Daniel jatuh terpeleset. Ia terjengkang di lantai, melototiku sambil menggeram marah, “Kamu memukuliku?!”
“Sembilan tahun berlalu, tapi kamu tetap saja jadi kudanil bodoh!” teriakku dan segera melesat kabur melihat Daniel mulai bangun.
“Gadis udik, stop!” perintah Daniel. “Anaaa…!!!”
Aku beruntung melihat Daniel terpeleset jatuh lagi. Tapi itu tidak membuatku mengurangi kecepatan langkah. Dulu aku menamparnya, sekarang aku memukulinya, mencincangku pelan-pelan pasti menjadi prioritas utama hidup Daniel.
Dengan nafas memburu, aku masuk ke dalam mobil boxku tersayang. Duduk di balik kemudi, cepat-cepat kupasang sabuk pengaman. Secara tidak sengaja, sudut mataku melihat ada sepasang kaki di kursi sebelah. Bulu kudukku serentak berdiri. Aku mendongak. Revi duduk tepat di sebelahku.
Sambil menjerit lantang, aku meringkuk di sudut pintu dan menutupi wajah dengan tangan. Tetapi saat aku mengintip, tidak ada siapapun di dalam mobil. Sial. Munculnya Daniel mendatangkan kenangan-kenangan burukku. Tidak ingin bertambah gila, aku segera tancap gas sejauh-jauhnya.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Sembilan tahun lalu… Kedua tanganku penuh tumpukan buku dan kertas-kertas berisi catatan. Aku baru saja keluar dari perpustakaan kampus. Seperti hari-hari sebelumnya, membantu mengumpulkan bahan materi tugas akhir Revi, senior paling baik yang kukenal empat bulan lalu di acara penyambutan mahasiswa baru. Dan kali ini tugasku bertambah dengan esai sepanjang sepuluh halaman yang harus selesai kukerjakan sebelum tengah hari. Esai itu adalah hukuman yang diberikan oleh Daniel, si asisten dosen paling menyebalkan yang kemarin mendapati aku dan Gina terlarut dalam obrolan rencana akhir pekan, selama hampir setengah jam pelajaran. Ketika asisten dosen itu melontarkan pertanyaan pada kami, otakku benar-benar buntu. Gina justru senang mendapat hukuman, alasannya ia mengidolakan asisten dosen itu melebihi dokter gigi pribadinya yang katanya amat sangat tampan sekaligus mengalahkan pesona Robert Pattinson, aktor tiada tanding versi Gina. Jadi Gina rela melakukan apapun
Lagi-lagi kabut tebal berwarna hitam mengurungku. Setelah kabut itu memudar yang kulihat adalah sebuah sedan tengah meluncur turun dalam kecepatan tinggi. Kali ini aku melihat sang pengemudi terbangun dari tidurnya dan mulai panik mengendalikan laju sedan. Terlambat. Sedan itu menghantam pembatas jalan dan terpelanting jatuh ke dalam jurang.“Ana… aku mohon. Tolong aku…!” … “REVIII!!!” Aku terbangun, duduk di kasurku dengan keringat sebesar biji jagung menuruni kepala. Tenggorokanku terasa kering. Selimutku melilit kaki dan salah satu bantalku tergeletak di lantai. Nafasku masih memburu. Aku tidak berada di tengah kegelapan hutan, aku aman di kamarku dengan sinar matahari pagi menembus tirai kamar. Sudah berhari-hari mimpi buruk itu terus menghantuiku. Mengusap wajah frustasi, aku menendang selimut. Revi yang duduk di ujung kasurku nyaris terlempar oleh selimut. Eh?! Aku mengucek mata, le
Rumah mungilku terdiri dari dua lantai, berlokasi di pusat kota. Dindingnya bernuansa warna pastel, dengan beberapa kombinasi warna cokelat dan hijau yang terlihat nyaman di mata. Di lantai atas terdapat ruang santai dengan sebuah televisi flat screen ukuran 42 inch, diapit sebuah sofa panjang melengkung hasil dari salah satu desain buatanku, lalu ada kamar tidurku, dan kamar mandi. Sedangkan lantai bawah hampir sepenuhnya menjadi galeri woodcraft dengan dapur kecil dan kamar mandi ekstra di bagian belakang. Ayah menambahkan bangunan tepat di sisi timur rumah untuk dijadikan gudang dan garasi. Kedua mataku masih belum terbiasa melihat Revi menginspeksi isi rumahku dengan jurus ‘menghilang dan menembus’ tembok. Ia kembali padaku dalam sekejap setelah mengagumi isi Kelud Woodcraft─tokoku─yang beberapa sudah memiliki tujuan ekspor ke negara tetangga dengan wajah kagum. “Aku beneran nggak percaya. Look at your self, girl! Si gadis udik telah berevo
Ada dua design box bayi pesanan pemilik restoran seafood langgananku, juga design satu set kursi taman bermotif kartun Disney pesanan play group yang berada dua kilometer dari rumahku, yang seharusnya kukerjakan hari ini agar lusa bisa langsung dikerjakan oleh pekerja kakakku. Sayangnya, jadwalku berantakan, dan aku harus mulai mempersiapkan mental, untuk seterusnya jadwal kerjaku pasti tambah berantakan. Sayangnya lagi, pihak yang seharusnya dipersalahkan adalah sesosok hantu yang jelas tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. “Untung saja aku sudah jadi setan. Coba bayangin, apa yang orang bilang jika mereka sampai melihatku tadi naik mobil box? Nggak ada lagi wanita cantik yang mau dekat-dekat denganku.” Tetap merapat ke dinding, aku memberikan tatapan mencemooh pada hantu narsis di sebelah. Aku belum sampai satu hari bersamanya, tapi aku sudah mulai sebal dengan sifat buruknya itu. Sungguh aneh, sembilan ta
Sabtu malam yang cerah tiba, berlawanan dengan hatiku yang berkabut.Gina sudah meneleponku berulang kali, memastikan agar aku datang ke acaranya. Ia juga sudah memberitahuku lokasi kencan sesi dua-nya berlangsung dan berpesan aku tidak boleh terlambat lagi.Revi melayang kesana-kemari mirip kepulan asap rokok, membuatku semakin terbiasa dengan kehadirannya. Diam-diam aku masih berharap aku sedang bermimpi, tapi tiap kali aku bangun pagi, selalu kudapati sosok Revi transparan menyapaku dengan senyum ceria di sudut kamar. Dia juga selalu menguntitku kemana-mana. Meskipun aku sudah kelelahan, dia malah semakin bersemangat, apalagi malam ini aku bisa bertemu Daniel secara langsung dan segera melancarkan misinya.“Rayu Daniel! Bilang bahwa dulu kamu diam-diam menyukainya dan ternyata rasa itu masih ada sampai sekarang. Ingat, ini adalah satu-satunya cara agar kamu bisa dekat dengannya dan menjauhkan dia dari pamanku,” suruh Revi, kembali mengoar-oarkan d
Satu jam berikutnya aku ingin menghilang. “Hom-pim-pa…” “Ana kalah!!” Kerumunan itu bersorak. Sekali lagi memaki dalam hati, aku menatap hampa telapak tanganku yang satu-satunya terbuka ke atas. Aku dipaksa mengikuti gamestak bermoral kawanan-kencan-buta-bodoh-Gina, dan untuk yang ke-empat kalinya aku kalah. Hukuman bagi yang kalah adalah mendapat pertanyaam memalukan dari peserta lain dan wajib dijawab jujur. Mengubur rasa malu, aku sudah menjawab tentang dengan siapa aku first kiss─Gama, mantan pacarku yang bertahan dua setengah bulan saja di tahun ke dua kuliahku, apa yang ingin aku sentuh dari tubuh seorang pria─dadanya yang bidang, dan apa warna celana dalamku malam ini─hitam dengan beberapa renda. Bahkan aku sudah menegak habis lemon ice─pengganti martini yang aku tolak dengan tegas─berulang kali sampai rasanya berubah aneh di mulutku. “Pertanyaan lo kali ini, siapa cowok pertama yang tidur bareng l
“Putri tidur, ayo bangun. Saatnya kita menyelematkan dunia.”Hawa dingin merambati tengkuk. Aku bergidik. Melawan rasa sakit di kepala, aku paksakan mataku mengerjap dan membuka. Jam dindingku menunjukkan sudah tengah hari. Bagaikan tersambar petir, aku langsung duduk tegak di kasur.“Tokoku?!”“Tenang, Adik Kecil. Dua pegawaimu yang rajin itu sudah buka toko sejak pagi tadi. Setelah mengintipmu masih tidur nyenyak, mereka memutuskan memulai kerja tanpa dirimu. Kamu nggak usah khawatir, aku membantumu mengawasi mereka kok,” terang Revi sambil duduk di ujung kasurku, persis saat pertama kali dia menampakkan dirinya padaku.Aku mendesah lega, bersyukur karena aku punya pegawai yang tekun sekaligus dapat kupercaya untuk memegang kunci cadangan toko, berjaga-jaga untuk keadaan darurat seperti ini. Mengangkat kepala, aku mulai bingung melihat Revi, meski tidak membutuhkan tidur lagi ia begitu sumringah.“Kenapa
Hampir satu jam berikutnya, aku sudah berada di dalam movil Gina, meliuk-liuk di jalanan kota Surabaya yang panas dan gerah. Cuaca yang seperti ini menenggelamkan niatku yang tadinya ingin berjalan-jalan santai di sepanjang trotoar menikmati pemandangan kota sambil menjernihkan pikiran. “Klien gue kali ini seorang wanita cerewet dan super nyebelin. Dia pengen pesta pertunangannya sesempurna mungkin. Kakak gue sudah pusing dibuatnya, dan terpaksa kali ini gue yang harus turun tangan. Wanita ini beruntung karena calon tunangannya tajir dan sama sekali nggak peduli dengan bayaran yang kami minta. Kalau bukan karena calon tunangannya itu, WO kakak gue nggak bakalan sudi ngelayani wanita itu.” Gina masih mengomel ketika mobilnya masuk ke halaman rumah klien yang dia maksud. Sebagai imbalan karena telah mengantar balik mobil boxku, Gina menyeretku untuk mendatangi rumah kliennya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali. Gina bekerja di dua tempat. Terkadang dia berada di ka
Satu jam berikutnya aku sudah duduk manis di dalam SUV Range Rover Daniel yang mewah mengkilat. Rombongan kerabat jauh datang menjenguk Kakek. Takut membuat canggung suasana aku pamit setelah mendoakan kesembuhan Kakek Daniel dan menyarankan agar lain kali beliau lebih berhati-hati. Sebetulnya aku berniat pulang dengan taxi, tapi Kakek berkeras agar Daniel mengantarku. Sama sekali tidak menyadari raut muka protes cucu kesayangannya. Kami pergi setelah Kakek Daniel sukses membuatku berjanji untuk segera menjenguknya kembali.“Kamu tidak merindukan orangtuamu?”Daniel bertanya sesaat setelah aku menutup telepon dari Ibuku. Seperti biasa, ibu mengecek keadaanku. Kulempar senyum sekilasku pada Daniel.“Dasar penguping! Tentu saja aku sangat merindukan mereka. Biasanya dua minggu sekali aku pulang mengunjungi mereka sekaligus mengambil stok dagangan. Tapi belakangan ini aku terlalu sibuk. Beruntung, berkat kemajuan teknologi saat ini, mereka terasa jauh lebih dekat dari kenyataannya. Aku m
Kakek Daniel benar-benar seorang pria tua yang luar biasa. Aku masih ingat keadaannya kemarin begitu mengkhawatirkan. Siang ini, melihatnya duduk bersandar di atas ranjang terbaik rumah sakit sambil tersenyum cerah menyambutku, membuat kejadian kemarin hanya seperti mimpi belaka. Kakek Daniel punya semangat hidup yang tinggi dan sama seperti cucunya, tidak mau terlihat lemah di depan orang lain.“Apa kabar, Kek? Aku berharap Kakek benar-benar sudah membaik.”Pelan-pelan aku melepas pelukan Kakek Daniel, berharap selang infusnya tidak aku senggol. Begitu melihatku datang tadi, Kakek menyuruhku mendekatinya dan sambil membentangkan kedua lengannya, ia memintaku memeluknya.Aku usap cepat sudut mataku yang berair. Belakangan ini aku menjadi cengeng.Suara tawa serak meluncur. “Setelah melihatmu aku merasa sangat sehat, Nak. Sebenarnya aku sudah menyuruh Daniel untuk membawaku secepatnya pergi dari tempat ini, tapi dia tidak mau. Aku benci rumah sakit, seolah aroma kematian menantiku di s
Aku pernah ingat Nenek mengatakan kalau manusia itu sulit lepas dari sifat munafik. Apa yang dipikir, diucap, dirasa, dan dilakukannya sering kali saling bertolak belakang. Meskipun aku mengatakan dengan lantang kalau aku membenci Daniel,faktanya hatiku menolaknya.Sejak dulu Daniel membenciku. Seharusnya aku tidak heran.Tapi sembilan tahun berlalu, waktu yang cukup lama untuk membuat perasaanku kepadanya berubah. Awalnya aku mengira juga semakin membencinya. Faktanya, aku mulai mendamaikan diri dengannya, diam-diam berharap Daniel bisa bersikap baik padaku, memandangku sebagai seorang wanita yang bisa diajaknya bercanda dan tempat keluh kesahnya.Seharian kepalaku dipenuhi bayangan Daniel dan mengingat bagaimana menyakitkannya dia memperlakukan aku kemarin di rumah sakit. Aku putus asa. Aku tidak bisa berkonsentrasi melakukan apapun. Kecewa, sedih, dan gelisah bercampur menjadi satu.“Kak, ketipung ini terbuat dari kayu apa, sih?”Dua
Roda dari brankar dan kereta peralatan medis bergesekan dengan ubin rumah sakit yang berwarna putih ketika ditarik melintasi ruangan, menimbulkan suara gaduh mengganggu telinga. Pengunjung rumah sakit berlalu-lalang layaknya iklan dalam televisi yang tak perlu terlalu disimak. Beberapa perawat bergerak dalam langkah cekatan yang terlatih, keluar masuk ke dalam ruang bertuliskan ‘ICU’ mengikuti sang dokter. Lagi, seorang dokter bergabung ke dalam ruangan itu dengan wajah cemas yang tak berhasil ia sembunyikan dengan baik di balik wajahnya yang ramah.“Sebaiknya kamu duduk, Adik Kecil. Kamu juga kelihatan pucat, dan aku yakin kakimu itu masih sakit,” saran Revi tulus.Aku menggeleng, tidak memperdulikan deretan bangku di sepanjang lorong. Aku lebih memilih bersandar pada dinding rumah sakit yang dingin, tanpa peduli dengan kaki terkilirku mulai membengkak dan berdenyut sakit. Sebelum salah seorang dokter di ICU itu keluar dan memberitahuku bahwa K
Akhirnya aku membawa koran Gina pulang. Berharap itu kelak bisa aku tunjukkan ke Daniel dan menjadi tambahan bukti. Meskipun aku tahu Daniel tidak akan percaya begitu saja. Karena malas berjalan menuju lantai dasar dan bersesakkan di eskalator yang ramai dipadati oleh orang-orang yang selesai dari acara di hallroom,kami berdua melangkah lunglai menuju lift. Rombongan orang telah terangkut di dua box lift pertama yang terbuka. Aku menunggu datangnya lift ketiga. Dari arah belakang, muncul sekelompok orang yang menyalipku tergesa-gesa untuk mendahului masuk lift ketiga yang baru datang dan pintunya terbuka. Sepertinya mereka kawanan orang penting, karena mengusir keluar dua orang yang sebelumnya sudah berada di dalam lift. Pintu lift bergerak menutup. Hanya sekilas, tapi cukup jelas untuk melihat kakek Daniel ditengah pria-pria aneh yang salah satunya kuingat sebagai…pria yang kusuruh mengangkut kursi di rumah Daniel. “Mereka se
Gina dan Hendrik akhirnya berpamitan dan pergi berkencan. Sebenarnya, Gina tadi mengajakku makan siang hanya untuk menemaninya sementara menunggu Hendrik menyelesaikan pekerjaannya.Melihat mereka berdua bergandengan tangan mesra sambil tersenyum satu sama lain, mau tak mau membuatku iri. Gina saja yang mudah bosan dengan pria tampaknya kali ini bisa serius dengan Hendrik. Sedangkan aku, tetap menjadi Si Lajang yang menyedihkan.Menghentikan aksi meratapi diri, aku beralih pada Revi yang bergerak gelisah, seakan-akan ia ingin segera menghilang dari hadapanku. “Apa semua itu tadi benar?”“Apa?” tanya Revi sok polos.“Kamu tahu apa maksudku, Rev.”Revi memasang muka cemberut, sebelum mengacak-acak sendiri rambutnya dengan frustasi. “Ya, begitulah. Daniel memang sedang membalasku. Dia cukup senang melihatku tidak bisa mendekati Cherry lagi.”“Pantas saja aku sering memergokimu memandang Cher
Hari Senin, awal dari serangkaian hari melelahkan. Meski udara Surabaya yang seperti biasanya sulit bersahabat dengan kulit, foodcourt di lantai enam mall yang Gina dan aku kunjungi penuh hiruk pikuk manusia. Sebenarnya aku sering makan di tempat ini, tapi sejak mengetahui bahwa mall ini salah satu properti keluarga Daniel, rasanya jadi berbeda. Ada sedikit perasaan geram yang mengganjal hati.Beberapa remaja duduk berkelompok di bagian tengah ruangan foodcourtsambil sesekali cekikikan. Tak jauh dari mereka, sekelompok keluarga duduk bersantai setelah lelah berbelanja. Para pegawai serta pramuniaga toko yang istirahat siang mulai berdatangan dan berebut kursi kosong untuk makan siang.Hallroomyang terletak satu lantai di atasku juga terlihat ramai, eskalator yang bergerak naik belum sepi oleh jubelan orang. Dari poster-poster besar yang tadi sempat kulihat dan kubaca sepintas di sudut-sudut mal, ada acara amal ya
Sesosok bayangan menghampiriku. Bukan Revi. Karena dulu aku mengidentikkan Revi sebagai titisan malaikat dari surga, dimana pendar cahaya putih yang begitu menghangatkan selalu mengelilingnya.Sedangkan sosok ini, aku lebih menganggapnya sebagai malaikat kegelapan. Dia memiliki sepasang sayap hitam licin seindah bulu burung gagak. Sorot matanya penuh kemisteriusan, namun menjajikan kekuatan dan sensualitas yang bisa membuat wanita bertekuk lutut padanya. Naas, pun aku tidak sanggup mengelak dari godaannya. Sosok itu menghinoptisku, membuatku terpesona, dan aku menjadi percaya bahwa dialah yang pantas aku perjuangkan dalam hidupku yang singkat. Sayap-sayap sang malaikat kegelapan membungkus tubuhku, dan waktu menjadi tidak berarti lagi bagiku ketika ia menciumku, menghirup sebanyak-banyaknya jiwa kehidupanku.Aku bangun dengan aliran air hangat yang lengket di ujung mulut. Menggunakan punggung tangan, aku berusaha mengusap air liurkul. Aku mengernyit, seluruh tubuhku pe
Daniel berlagak menjadi orang brengsek, meskipun dari dulu aku tahu ia memang brengsek.Ia memaksaku menduduki sofa yang sebelumnya ia duduki. Memaksa karena setelah ia mengikatku dengan simpul mati, kugunakan tanganku untuk mencekal kuat-kuat daun pintu kamar mandi dan memakukan kaki ke lantai, tidak mau mengikuti perintahnya untuk kembali ke ruang televisi dengan cara baik-baik. Sambil mengumpat, Daniel memanggulku pergi dan melemparku ke sofa layaknya aku sekarung beras.Aku mendengar langkah kaki menaiki tangga, lelaki itu muncul bersama panci dan sekeresek besar berisi keripik kentang, kacang goreng, dan biskuit kelapa yang kubeli tadi siang. Makanan itu dihamparkan di atas meja. Ia duduk bersila nyaman di atas karpet dengan punggung bersandar pada sofa.“Kamu sudah memakan makanan ini dan aku lihat kamu masih baik-baik saja. Aku putuskan makanan ini aman.”Bagaikan mendengar seorang badut yang mengatakan bahwa ia tidak bisa melawak. Beda