Aku baru saja menarik kartu ATM dari mesin saat wanita itu menabrakku. Ia tidak terlihat merasa bersalah sama sekali. Padahal gara-gara dia isi dompetku berhamburan.
“Iihh.”
Hanya desisan sinis yang kudengar, lalu wanita itu melangkah pergi ke arah pria yang sedang menunggunya di luar.
“Punya BMW aja belagu!” omelku kesal melihat mobil yang ditumpangi wanita itu pergi meninggalkan parkiran bank.
“Orang punya BMW emang boleh belagu. Siapa sih?!”
Aku menggumamkan terimakasih pada seorang bapak yang membantu memungut koin terakhirku sebelum menjawab teriakan Gina di earphone.
Kupastikan dulu dompetku sudah tertutup rapat dan masuk ke dalam tas lenganku sebelum kejadian beberapa menit lalu terulang. “Keturunan Emak Lampir.”
“Ugh, sayang dong, mobil bagus tapi muka miris,” komentar Gina sepedas biasanya.
“Honestly, dia indo dan cantik. Tapi tata krama nol besar.” Aku mendengus sambil berjalan lunglai ke arah mobil box putih yang terparkir paling ujung.
“Gue nggak indo, tapi gue cantik,” sahut Gina penuh percaya diri. Sebelum aku sempat mengomentarinya, Gina berkata cepat-cepat, “Eh, ada panggilan masuk dari Hendrik. Pokoknya ntar jam delapan tet, elo harus datang. Kalo enggak, jangan anggap gue temen lo lagi.”
Bahkan sebelum aku sempat membuka mulut, Gina sudah memutus sambungan telepon.
Aku merutuki layar ponsel yang menggelap. Ajang adu argumen kami yang sudah berlangsung berpuluh-puluh menit akhirnya dimenangi Gina. Lagi.
Berteman selama sepuluh tahun bermanfaat bagi Gina untuk tahu trik jitu membuatku merasa bersalah dan bersedia menuruti keinginannya. Ia memang ahli tentang itu.
Sekarang, sakit kepalaku bertambah.
Pertama, akibat kurang tidur. Mimpi buruk itu terus muncul berulang dalam tidurku, menggangguku selama hampir dua minggu. Dan sekarang aku baru saja dipaksa setuju untuk datang di acara kencan buta.
Kencan buta yang dibuat Gina khusus bagi wanita dengan sejarah kehidupan cinta yang menyedihkan.
Ya Tuhan, mimpi dan kenyataan sama-sama buruknya.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ“Kamu punya kaki jenjang yang cantik dan sexy. Mau jadi modelku?” tanya Putra.
Aku sudah punya firasaat buruk tentang acara ini. Saat aku menginjak ruangan karaoke VIP ini, sudah ada enam laki-laki dan lima wanita menunggu. Gina melemparkan pria ini padaku sebagai pasangan ngedate.
Mini dress selutut yang kupakai adalah sebuah kesalahan fatal. Pengalaman, para pria yang merayu kaki jenjangku hanya bertujuan mengajakku jadi teman tidur.
Menahan erangan, aku mengambil kaleng minuman bersoda dari tengah meja, meneguknya cepat-cepat. “Ide buruk. Aku tidak pandai bergaya.”
Setelah lancang memainkan rambutku, kini ujung tangan Putra mulai turun membelai lenganku. “Bukan masalah. Aku ahli membuat orang, terutama para wanita, jadi percaya diri di depan kamera. Kamu pasti menyukainya. Let me show you.”
Dari seringaian si fotografer mesum itu, bisa kutebak berapa banyak gadis ingusan yang sudah ia rayu. Sekarang aku menjadi kandidat potensial berikutnya untuk melengkapi koleksi mesum pribadinya. Ia adalah satu dari sekian banyak pria brengsek yang bersembunyi di balik wajah tampan.
“No, thanks,” jawabku geram.
Ugh. Kencan buta sialan.
Kalau saja bukan karena merasa bersalah pada Ibuku, aku tidak akan mau menuruti ide konyol Gina. Ibuku yang tinggal dalam radius lebih dari 150 km dari tempatku sekarang, percaya bahwa anak gadis berusia 27 tahun dan tidak berhubungan dekat dengan seorang pria lebih mengkhawatirkan dari pada naik turunnya harga sembako.
“Kamu cantik.” Hidung Putra hampir berhasil mengendus leherku. Aku tidak menyadari ia sudah sedekat ini.
Menahan diri untuk tidak menonjok muka Putra, aku menggeser pantatku menjauhinya.
Duet Gina bersama Hendrik menjadi pembuka. Pria manis berpipi chubby itu dikenal Gina sekitar sebulan lalu dan alasan Gina untuk mengadakan kencan konyol ini. Mereka menyanyikan lagu dengan suara kacau yang bisa membakar telinga sambil berjoget tak beraturan.
Beberapa orang ikut berjoget dan bersorak.
“Bangun, Ana. Ayo, ngedance sama aku,” bujuk Putra.
Demi Tuhan, apa ini salah satu cara liciknya agar bisa diam-diam mengerayangiku?
“Sorry, tarianku buruk.” Aku menggeleng dan mendorong paksa―nyaris menendang― agar Putra bergabung dengan yang lain.
Nafas putus asa keluar dari mulutku. Baru pertama kali ini aku mengikuti kencan buta dan tidak tertarik untuk mengulanginya lagi.
Oke, sebenarnya aku tidak perlu ikut acara sekonyol ini kalau saja bukan trauma akibat ulah si Revi. Sembilan tahun telah berlalu, tapi sakit hati yang diajarkan Revi padaku masih membekas. Aku masih bertahan single. Sulit menjalin hubungan karena tidak bisa lagi mempercayai pria dengan mudahnya.
Menembus keremangan ruang karaoke dengan mata yang berakomodasi maksimal, aku mencoba mengamati para pria. Tadi aku datang terlambat, jadi tak sempat berkenalan dengan semuanya. Mungkin saja di sini ada laki-laki lain sesuai kriteriaku.
Tidak ada salahnya kalau aku melihat-lihat.
Pria ketiga yang kulihat selain Putra dan Hendrik adalah orang berbadan gempal dengan tubuh tidak terlalu tinggi. Terlihat begitu puas diri dengan tonjolan-tonjolan besar ototnya, entah dari hasil rajin nge-gym atau memanggul dua sak semen tiap harinya. Aku menyadari bahwa ia juga terlihat sangat puas oleh ukuran payudara teman kencannya. Lima menit berlalu aku perhatikan tatapan mata pria itu masih terpusat ke sana dan air liurnya sudah mau menetes keluar. Uhhh… Sangat beruntung payudaraku tidak sebesar buah semangka yang sudah pasti tidak bakal menarik perhatian laki-laki itu. Next.
Laki-laki ke empat, memakai kaca mata dan sedikit canggung. Tipe kutu buku yang cukup manis, karena aku perhatikan laki-laki itu berusaha menyimak obrolan teman kencannya. Sayangnya mataku juga sedikit minus. Andaikan saja aku terjebak di lubang gelap mengerikan─entah lubang apa itu─bersama lelaki itu tanpa ada kacamata, softlens dan korek api, keadaan akan berakhir mengerikan dan hanya penuh jeritan. Oh God, next!
Ke lima, laki-laki tampan berdarah campuran Eropa setinggi hampir dua meter dengan badan sekurus stik es krim yang rasanya akan segera tersapu oleh angin puting beliung. Aku ragu laki-laki itu sanggup mengangkat galon air mineral tanpa bantuan dongkrak hidrolik, apalagi menggendongku. Tentu saja aku tidak mengharapkan seorang pria menggendongku tanpa alasan yang kutolerir. Tapi tetap saja. Nexttt…
Laki-laki terakhir, yang baru kusadari tidak turut ngedance dan tengah duduk beradu sudut denganku, adalah tipe lelaki yang paling kubenci dan kuhindari. Laki-laki yang sadar diri kalau dia tampan, yang memancarkan uang serta kekayaan. Lengkap juga dengan sikapnya yang dingin mengintimidasi seolah dialah sang penguasa dunia. Tambahan, dia juga terlihat pemarah.
Pemarah? Oh, BANGET! Karena saat aku kepergok mencuri pandang ke arahnya, laki-laki itu memicingkan matanya padaku kesal dan mengangkat dagunya seolah menantangku. Bahkan wanita berpakaian nyaris transparan yang menempel manja dan berbicara padanya kelihatan tak digubris. Tatapan laser matanya terus tertuju padaku.
Suhu badanku rasanya mendadak naik. Malu, gerah dan sebal bercampur jadi satu. Aku membuang muka dan menegak sodaku sampai habis.
Sial, apa masalah pria itu? Kenapa dia menatapku terus?
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥAku memutar keran menutup, merubah aliran deras air bening menjadi tetesan dalam tempo yang lebih lambat. “Kencan konyol dan aku idiot!” Sepuluh menit yang lalu, Putra sudah berhasil membujukku berduet menyanyikan sebuah lagu dangdut koplo. Bahkan dia menggunakan momen itu untuk diam-diam menyentuh rambut dan tubuhku. Aku ingin muntah lagi jika mengingatnya. Mungkin sekarang setelah puas berusaha menggerayangikku, ia tengah menyusun rencana untuk menyeretku ke tempat tidur. Berdalih mual dan pusing, aku bisa kabur ke toilet. Bayanganku terpantul di cermin persegi yang tergantung. Rona pucat membayang di antara wajah oval tirusku. Rambutku yang model bob dan saat ini sudah memanjang di bawah pundak, tampak lepek. Asal-asalan kusisir rambutku dengan jari. Tiba-tiba aku melihat pantulan sekilas bayangan yang berkelebat cepat di belakangku. Aku berbalik. Tidak ada siapapun di belakang, persis ketika aku masuk tadi. Terdapat dua bilik t
Sembilan tahun lalu… Kedua tanganku penuh tumpukan buku dan kertas-kertas berisi catatan. Aku baru saja keluar dari perpustakaan kampus. Seperti hari-hari sebelumnya, membantu mengumpulkan bahan materi tugas akhir Revi, senior paling baik yang kukenal empat bulan lalu di acara penyambutan mahasiswa baru. Dan kali ini tugasku bertambah dengan esai sepanjang sepuluh halaman yang harus selesai kukerjakan sebelum tengah hari. Esai itu adalah hukuman yang diberikan oleh Daniel, si asisten dosen paling menyebalkan yang kemarin mendapati aku dan Gina terlarut dalam obrolan rencana akhir pekan, selama hampir setengah jam pelajaran. Ketika asisten dosen itu melontarkan pertanyaan pada kami, otakku benar-benar buntu. Gina justru senang mendapat hukuman, alasannya ia mengidolakan asisten dosen itu melebihi dokter gigi pribadinya yang katanya amat sangat tampan sekaligus mengalahkan pesona Robert Pattinson, aktor tiada tanding versi Gina. Jadi Gina rela melakukan apapun
Lagi-lagi kabut tebal berwarna hitam mengurungku. Setelah kabut itu memudar yang kulihat adalah sebuah sedan tengah meluncur turun dalam kecepatan tinggi. Kali ini aku melihat sang pengemudi terbangun dari tidurnya dan mulai panik mengendalikan laju sedan. Terlambat. Sedan itu menghantam pembatas jalan dan terpelanting jatuh ke dalam jurang.“Ana… aku mohon. Tolong aku…!” … “REVIII!!!” Aku terbangun, duduk di kasurku dengan keringat sebesar biji jagung menuruni kepala. Tenggorokanku terasa kering. Selimutku melilit kaki dan salah satu bantalku tergeletak di lantai. Nafasku masih memburu. Aku tidak berada di tengah kegelapan hutan, aku aman di kamarku dengan sinar matahari pagi menembus tirai kamar. Sudah berhari-hari mimpi buruk itu terus menghantuiku. Mengusap wajah frustasi, aku menendang selimut. Revi yang duduk di ujung kasurku nyaris terlempar oleh selimut. Eh?! Aku mengucek mata, le
Rumah mungilku terdiri dari dua lantai, berlokasi di pusat kota. Dindingnya bernuansa warna pastel, dengan beberapa kombinasi warna cokelat dan hijau yang terlihat nyaman di mata. Di lantai atas terdapat ruang santai dengan sebuah televisi flat screen ukuran 42 inch, diapit sebuah sofa panjang melengkung hasil dari salah satu desain buatanku, lalu ada kamar tidurku, dan kamar mandi. Sedangkan lantai bawah hampir sepenuhnya menjadi galeri woodcraft dengan dapur kecil dan kamar mandi ekstra di bagian belakang. Ayah menambahkan bangunan tepat di sisi timur rumah untuk dijadikan gudang dan garasi. Kedua mataku masih belum terbiasa melihat Revi menginspeksi isi rumahku dengan jurus ‘menghilang dan menembus’ tembok. Ia kembali padaku dalam sekejap setelah mengagumi isi Kelud Woodcraft─tokoku─yang beberapa sudah memiliki tujuan ekspor ke negara tetangga dengan wajah kagum. “Aku beneran nggak percaya. Look at your self, girl! Si gadis udik telah berevo
Ada dua design box bayi pesanan pemilik restoran seafood langgananku, juga design satu set kursi taman bermotif kartun Disney pesanan play group yang berada dua kilometer dari rumahku, yang seharusnya kukerjakan hari ini agar lusa bisa langsung dikerjakan oleh pekerja kakakku. Sayangnya, jadwalku berantakan, dan aku harus mulai mempersiapkan mental, untuk seterusnya jadwal kerjaku pasti tambah berantakan. Sayangnya lagi, pihak yang seharusnya dipersalahkan adalah sesosok hantu yang jelas tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. “Untung saja aku sudah jadi setan. Coba bayangin, apa yang orang bilang jika mereka sampai melihatku tadi naik mobil box? Nggak ada lagi wanita cantik yang mau dekat-dekat denganku.” Tetap merapat ke dinding, aku memberikan tatapan mencemooh pada hantu narsis di sebelah. Aku belum sampai satu hari bersamanya, tapi aku sudah mulai sebal dengan sifat buruknya itu. Sungguh aneh, sembilan ta
Sabtu malam yang cerah tiba, berlawanan dengan hatiku yang berkabut.Gina sudah meneleponku berulang kali, memastikan agar aku datang ke acaranya. Ia juga sudah memberitahuku lokasi kencan sesi dua-nya berlangsung dan berpesan aku tidak boleh terlambat lagi.Revi melayang kesana-kemari mirip kepulan asap rokok, membuatku semakin terbiasa dengan kehadirannya. Diam-diam aku masih berharap aku sedang bermimpi, tapi tiap kali aku bangun pagi, selalu kudapati sosok Revi transparan menyapaku dengan senyum ceria di sudut kamar. Dia juga selalu menguntitku kemana-mana. Meskipun aku sudah kelelahan, dia malah semakin bersemangat, apalagi malam ini aku bisa bertemu Daniel secara langsung dan segera melancarkan misinya.“Rayu Daniel! Bilang bahwa dulu kamu diam-diam menyukainya dan ternyata rasa itu masih ada sampai sekarang. Ingat, ini adalah satu-satunya cara agar kamu bisa dekat dengannya dan menjauhkan dia dari pamanku,” suruh Revi, kembali mengoar-oarkan d
Satu jam berikutnya aku ingin menghilang. “Hom-pim-pa…” “Ana kalah!!” Kerumunan itu bersorak. Sekali lagi memaki dalam hati, aku menatap hampa telapak tanganku yang satu-satunya terbuka ke atas. Aku dipaksa mengikuti gamestak bermoral kawanan-kencan-buta-bodoh-Gina, dan untuk yang ke-empat kalinya aku kalah. Hukuman bagi yang kalah adalah mendapat pertanyaam memalukan dari peserta lain dan wajib dijawab jujur. Mengubur rasa malu, aku sudah menjawab tentang dengan siapa aku first kiss─Gama, mantan pacarku yang bertahan dua setengah bulan saja di tahun ke dua kuliahku, apa yang ingin aku sentuh dari tubuh seorang pria─dadanya yang bidang, dan apa warna celana dalamku malam ini─hitam dengan beberapa renda. Bahkan aku sudah menegak habis lemon ice─pengganti martini yang aku tolak dengan tegas─berulang kali sampai rasanya berubah aneh di mulutku. “Pertanyaan lo kali ini, siapa cowok pertama yang tidur bareng l
“Putri tidur, ayo bangun. Saatnya kita menyelematkan dunia.”Hawa dingin merambati tengkuk. Aku bergidik. Melawan rasa sakit di kepala, aku paksakan mataku mengerjap dan membuka. Jam dindingku menunjukkan sudah tengah hari. Bagaikan tersambar petir, aku langsung duduk tegak di kasur.“Tokoku?!”“Tenang, Adik Kecil. Dua pegawaimu yang rajin itu sudah buka toko sejak pagi tadi. Setelah mengintipmu masih tidur nyenyak, mereka memutuskan memulai kerja tanpa dirimu. Kamu nggak usah khawatir, aku membantumu mengawasi mereka kok,” terang Revi sambil duduk di ujung kasurku, persis saat pertama kali dia menampakkan dirinya padaku.Aku mendesah lega, bersyukur karena aku punya pegawai yang tekun sekaligus dapat kupercaya untuk memegang kunci cadangan toko, berjaga-jaga untuk keadaan darurat seperti ini. Mengangkat kepala, aku mulai bingung melihat Revi, meski tidak membutuhkan tidur lagi ia begitu sumringah.“Kenapa
Satu jam berikutnya aku sudah duduk manis di dalam SUV Range Rover Daniel yang mewah mengkilat. Rombongan kerabat jauh datang menjenguk Kakek. Takut membuat canggung suasana aku pamit setelah mendoakan kesembuhan Kakek Daniel dan menyarankan agar lain kali beliau lebih berhati-hati. Sebetulnya aku berniat pulang dengan taxi, tapi Kakek berkeras agar Daniel mengantarku. Sama sekali tidak menyadari raut muka protes cucu kesayangannya. Kami pergi setelah Kakek Daniel sukses membuatku berjanji untuk segera menjenguknya kembali.“Kamu tidak merindukan orangtuamu?”Daniel bertanya sesaat setelah aku menutup telepon dari Ibuku. Seperti biasa, ibu mengecek keadaanku. Kulempar senyum sekilasku pada Daniel.“Dasar penguping! Tentu saja aku sangat merindukan mereka. Biasanya dua minggu sekali aku pulang mengunjungi mereka sekaligus mengambil stok dagangan. Tapi belakangan ini aku terlalu sibuk. Beruntung, berkat kemajuan teknologi saat ini, mereka terasa jauh lebih dekat dari kenyataannya. Aku m
Kakek Daniel benar-benar seorang pria tua yang luar biasa. Aku masih ingat keadaannya kemarin begitu mengkhawatirkan. Siang ini, melihatnya duduk bersandar di atas ranjang terbaik rumah sakit sambil tersenyum cerah menyambutku, membuat kejadian kemarin hanya seperti mimpi belaka. Kakek Daniel punya semangat hidup yang tinggi dan sama seperti cucunya, tidak mau terlihat lemah di depan orang lain.“Apa kabar, Kek? Aku berharap Kakek benar-benar sudah membaik.”Pelan-pelan aku melepas pelukan Kakek Daniel, berharap selang infusnya tidak aku senggol. Begitu melihatku datang tadi, Kakek menyuruhku mendekatinya dan sambil membentangkan kedua lengannya, ia memintaku memeluknya.Aku usap cepat sudut mataku yang berair. Belakangan ini aku menjadi cengeng.Suara tawa serak meluncur. “Setelah melihatmu aku merasa sangat sehat, Nak. Sebenarnya aku sudah menyuruh Daniel untuk membawaku secepatnya pergi dari tempat ini, tapi dia tidak mau. Aku benci rumah sakit, seolah aroma kematian menantiku di s
Aku pernah ingat Nenek mengatakan kalau manusia itu sulit lepas dari sifat munafik. Apa yang dipikir, diucap, dirasa, dan dilakukannya sering kali saling bertolak belakang. Meskipun aku mengatakan dengan lantang kalau aku membenci Daniel,faktanya hatiku menolaknya.Sejak dulu Daniel membenciku. Seharusnya aku tidak heran.Tapi sembilan tahun berlalu, waktu yang cukup lama untuk membuat perasaanku kepadanya berubah. Awalnya aku mengira juga semakin membencinya. Faktanya, aku mulai mendamaikan diri dengannya, diam-diam berharap Daniel bisa bersikap baik padaku, memandangku sebagai seorang wanita yang bisa diajaknya bercanda dan tempat keluh kesahnya.Seharian kepalaku dipenuhi bayangan Daniel dan mengingat bagaimana menyakitkannya dia memperlakukan aku kemarin di rumah sakit. Aku putus asa. Aku tidak bisa berkonsentrasi melakukan apapun. Kecewa, sedih, dan gelisah bercampur menjadi satu.“Kak, ketipung ini terbuat dari kayu apa, sih?”Dua
Roda dari brankar dan kereta peralatan medis bergesekan dengan ubin rumah sakit yang berwarna putih ketika ditarik melintasi ruangan, menimbulkan suara gaduh mengganggu telinga. Pengunjung rumah sakit berlalu-lalang layaknya iklan dalam televisi yang tak perlu terlalu disimak. Beberapa perawat bergerak dalam langkah cekatan yang terlatih, keluar masuk ke dalam ruang bertuliskan ‘ICU’ mengikuti sang dokter. Lagi, seorang dokter bergabung ke dalam ruangan itu dengan wajah cemas yang tak berhasil ia sembunyikan dengan baik di balik wajahnya yang ramah.“Sebaiknya kamu duduk, Adik Kecil. Kamu juga kelihatan pucat, dan aku yakin kakimu itu masih sakit,” saran Revi tulus.Aku menggeleng, tidak memperdulikan deretan bangku di sepanjang lorong. Aku lebih memilih bersandar pada dinding rumah sakit yang dingin, tanpa peduli dengan kaki terkilirku mulai membengkak dan berdenyut sakit. Sebelum salah seorang dokter di ICU itu keluar dan memberitahuku bahwa K
Akhirnya aku membawa koran Gina pulang. Berharap itu kelak bisa aku tunjukkan ke Daniel dan menjadi tambahan bukti. Meskipun aku tahu Daniel tidak akan percaya begitu saja. Karena malas berjalan menuju lantai dasar dan bersesakkan di eskalator yang ramai dipadati oleh orang-orang yang selesai dari acara di hallroom,kami berdua melangkah lunglai menuju lift. Rombongan orang telah terangkut di dua box lift pertama yang terbuka. Aku menunggu datangnya lift ketiga. Dari arah belakang, muncul sekelompok orang yang menyalipku tergesa-gesa untuk mendahului masuk lift ketiga yang baru datang dan pintunya terbuka. Sepertinya mereka kawanan orang penting, karena mengusir keluar dua orang yang sebelumnya sudah berada di dalam lift. Pintu lift bergerak menutup. Hanya sekilas, tapi cukup jelas untuk melihat kakek Daniel ditengah pria-pria aneh yang salah satunya kuingat sebagai…pria yang kusuruh mengangkut kursi di rumah Daniel. “Mereka se
Gina dan Hendrik akhirnya berpamitan dan pergi berkencan. Sebenarnya, Gina tadi mengajakku makan siang hanya untuk menemaninya sementara menunggu Hendrik menyelesaikan pekerjaannya.Melihat mereka berdua bergandengan tangan mesra sambil tersenyum satu sama lain, mau tak mau membuatku iri. Gina saja yang mudah bosan dengan pria tampaknya kali ini bisa serius dengan Hendrik. Sedangkan aku, tetap menjadi Si Lajang yang menyedihkan.Menghentikan aksi meratapi diri, aku beralih pada Revi yang bergerak gelisah, seakan-akan ia ingin segera menghilang dari hadapanku. “Apa semua itu tadi benar?”“Apa?” tanya Revi sok polos.“Kamu tahu apa maksudku, Rev.”Revi memasang muka cemberut, sebelum mengacak-acak sendiri rambutnya dengan frustasi. “Ya, begitulah. Daniel memang sedang membalasku. Dia cukup senang melihatku tidak bisa mendekati Cherry lagi.”“Pantas saja aku sering memergokimu memandang Cher
Hari Senin, awal dari serangkaian hari melelahkan. Meski udara Surabaya yang seperti biasanya sulit bersahabat dengan kulit, foodcourt di lantai enam mall yang Gina dan aku kunjungi penuh hiruk pikuk manusia. Sebenarnya aku sering makan di tempat ini, tapi sejak mengetahui bahwa mall ini salah satu properti keluarga Daniel, rasanya jadi berbeda. Ada sedikit perasaan geram yang mengganjal hati.Beberapa remaja duduk berkelompok di bagian tengah ruangan foodcourtsambil sesekali cekikikan. Tak jauh dari mereka, sekelompok keluarga duduk bersantai setelah lelah berbelanja. Para pegawai serta pramuniaga toko yang istirahat siang mulai berdatangan dan berebut kursi kosong untuk makan siang.Hallroomyang terletak satu lantai di atasku juga terlihat ramai, eskalator yang bergerak naik belum sepi oleh jubelan orang. Dari poster-poster besar yang tadi sempat kulihat dan kubaca sepintas di sudut-sudut mal, ada acara amal ya
Sesosok bayangan menghampiriku. Bukan Revi. Karena dulu aku mengidentikkan Revi sebagai titisan malaikat dari surga, dimana pendar cahaya putih yang begitu menghangatkan selalu mengelilingnya.Sedangkan sosok ini, aku lebih menganggapnya sebagai malaikat kegelapan. Dia memiliki sepasang sayap hitam licin seindah bulu burung gagak. Sorot matanya penuh kemisteriusan, namun menjajikan kekuatan dan sensualitas yang bisa membuat wanita bertekuk lutut padanya. Naas, pun aku tidak sanggup mengelak dari godaannya. Sosok itu menghinoptisku, membuatku terpesona, dan aku menjadi percaya bahwa dialah yang pantas aku perjuangkan dalam hidupku yang singkat. Sayap-sayap sang malaikat kegelapan membungkus tubuhku, dan waktu menjadi tidak berarti lagi bagiku ketika ia menciumku, menghirup sebanyak-banyaknya jiwa kehidupanku.Aku bangun dengan aliran air hangat yang lengket di ujung mulut. Menggunakan punggung tangan, aku berusaha mengusap air liurkul. Aku mengernyit, seluruh tubuhku pe
Daniel berlagak menjadi orang brengsek, meskipun dari dulu aku tahu ia memang brengsek.Ia memaksaku menduduki sofa yang sebelumnya ia duduki. Memaksa karena setelah ia mengikatku dengan simpul mati, kugunakan tanganku untuk mencekal kuat-kuat daun pintu kamar mandi dan memakukan kaki ke lantai, tidak mau mengikuti perintahnya untuk kembali ke ruang televisi dengan cara baik-baik. Sambil mengumpat, Daniel memanggulku pergi dan melemparku ke sofa layaknya aku sekarung beras.Aku mendengar langkah kaki menaiki tangga, lelaki itu muncul bersama panci dan sekeresek besar berisi keripik kentang, kacang goreng, dan biskuit kelapa yang kubeli tadi siang. Makanan itu dihamparkan di atas meja. Ia duduk bersila nyaman di atas karpet dengan punggung bersandar pada sofa.“Kamu sudah memakan makanan ini dan aku lihat kamu masih baik-baik saja. Aku putuskan makanan ini aman.”Bagaikan mendengar seorang badut yang mengatakan bahwa ia tidak bisa melawak. Beda