Sembilan tahun lalu…
Kedua tanganku penuh tumpukan buku dan kertas-kertas berisi catatan. Aku baru saja keluar dari perpustakaan kampus. Seperti hari-hari sebelumnya, membantu mengumpulkan bahan materi tugas akhir Revi, senior paling baik yang kukenal empat bulan lalu di acara penyambutan mahasiswa baru. Dan kali ini tugasku bertambah dengan esai sepanjang sepuluh halaman yang harus selesai kukerjakan sebelum tengah hari.
Esai itu adalah hukuman yang diberikan oleh Daniel, si asisten dosen paling menyebalkan yang kemarin mendapati aku dan Gina terlarut dalam obrolan rencana akhir pekan, selama hampir setengah jam pelajaran. Ketika asisten dosen itu melontarkan pertanyaan pada kami, otakku benar-benar buntu. Gina justru senang mendapat hukuman, alasannya ia mengidolakan asisten dosen itu melebihi dokter gigi pribadinya yang katanya amat sangat tampan sekaligus mengalahkan pesona Robert Pattinson, aktor tiada tanding versi Gina. Jadi Gina rela melakukan apapun asalkan bisa sering bertatap muka dengan si asisten dosen.
Padahal, aku tidak yakin apa yang bisa diidolakan dari laki-laki yang berbadan cungkring itu. Asisten dosen itu juga bermuka jutek dengan rambut sehitam bulu gagak yang sepertinya tidak pernah akur dengan gunting rambut. Rautnya selalu serius dan kurasa tidak ada satupun humor yang bisa membujuknya sekedar untuk menyeringai, apalagi tersenyum. Dia tipe pria tertutup, kaku, dan seolah ada pesan ‘jauhi-aku’ tertempel di jidatnya. Sinar matanya mengatakan ia seharusnya tidak hidup satu dunia dengan orang-orang membosankan tak berotak.
Tapi… Tuhan selalu memberikan kelebihan dibalik kekurangan setiap makhluknya, termasuk pada makhluk satu itu. Asisten dosenku itu berotak encer. Tiap orang yang mengetahui nilai ataupun deretan prestasi yang pernah diperolehnya akan langsung berdecak kagum dan menganak-emaskannya.
Untungya itu tidak membuatku langsung memujanya seperti yang dilakukan Gina dan sebagian besar orang. Aku justru tidak menyukainya. Aku yakin, asisten dosen itu menghukumku karena alasan pribadi.
Pada perjumpaan pertama kami, ia memasang wajah tanpa ekspresi. Perjumpaan kedua, laki-laki itu sudah siap dengan muka antipati yang jelas-jelas menunjukkan dia juga tidak menyukaiku. Dan image pada perjumpaan kedua itu bertahan hingga hari ini, malah bisa dibilang semakin buruk.
Ketika akan berbelok lorong menuju kelas, aku tidak sengaja melihat mereka. Seorang gadis dengan kulit seterang porselen tengah mengobrol akrab dengan laki-laki tinggi yang bersandar di tembok kusam kampus. Meskipun posisi laki-laki itu tidak sepenuhnya menghadpku, dengan mudah bisa kukenali itu adalah Revi.
Selama ini sudah banyak waktu yang kuhabiskan untuk mengamati laki-laki itu diam-diam. Revi seperti pangeran dari negeri dongeng yang hidup di dunia nyata. Berbeda dengan Daniel, aku sangat mengagumi Revi atas semua sikap baik ala malaikatnya. Bahkan aku juga selalu aktif membanding-bandingkan Revi dengan asisten dosen kebanggaan Gina baik dari segi fisik maupun sifat.
Tidak perlu polling, separuh lebih dari mahasiswi di kampus akan mendukungku dan menyayangkan fakta bahwa dua pria berbeda kepribadian itu adalah sahabat karib.
“Ayolah ngaku! Nggak ada gunanya malu ngakuin kamu sudah jatuh cinta pada gadis itu. Jangan bilang padaku kalau semua itu bohong. Nggak lucu, tau,” kata gadis itu dengan suara sejernih gemericik air di antara batu-batu pegunungan.
Sesaat Revi menatap terkejut wanita di depannya. Lalu mendadak ia tergelak, seolah wanita itu baru saja menceritakan sesuatu yang konyol.
“Enggak. Suer! Enggak.” Revi mencoba berdiri tegak dengan tangan di atas perut menahan tawa.
“Aku sering melihatmu bersama dia.”
“Memang.”
“Jadi aku benar?”
Revi tersenyum simpul mendengar nada jengkel si penanya. “Dia adalah salah satu dari para gadis yang suka menempel padaku. Kelebihannya, dia pintar dan lugu sekali sampai gampang sekali untuk diperalat ke sana-kemari. Apalagi saat ini aku butuh asisten gratis untuk membantuku menyelesaikan Tugas Akhir secepatnya.”
“Wajahnya lumayan menarik,” desak gadis itu.
“Ya, wajahnya lumayan imut dan dengan sedikit polesan make-up pasti bakal terlihat jauh lebih baik.” Revi terkekeh senang, “Tapi, dengar baik-baik, Manis. Aku hanya anggap dia sebagai adikku. Sampai kapanpun nggak akan lebih dari itu. Ana, maksudku gadis itu, bukan tipe dan levelku. Aku nggak ada perasaan khusus sama dia.”
Gadis itu terlihat lega dan mulai ikut tertawa, “Kamu tuh jahat banget! Selalu bermanis-manis pada setiap gadis kalau lagi ada maunya, lalu membuangnya setelah urusanmu selesai. Kebiasaanmu itu harus diperbaiki, Rev.”
Masih dengan tertawa Revi menyahut, “Tau, nggak? Bahkan Daniel pun mengira aku serius jatuh cinta pada gadis itu. Dia pikir aku sudah gila. Aku cuma bisa nahan tawa agar Daniel terus tertipu. Sekali-kali ngerjain Daniel asyik juga.”
Aku menunggu dalam sepuluh detik, berharap Revi menarik kembali kata-katanya. Atau setidaknya dia menghentikan gelak tawanya yang mencemooh itu dan kembali pada raut wajah Revi yang ramah dan baik hati. Lalu sambil tersenyum sehangat matahari akan mengatakan bahwa ia hanya sedang bercanda.
Sepuluh detik berlalu. Lima detik ekstra yang kutambahkan juga berlalu.
Harapan bodohku ternyata sia-sia.
Satu ember air dingin rasaya tidak akan cukup untuk disiramkan di atas kepalaku dan membuatku merasa lebih yakin lagi bahwa yang kudengar adalah kenyataan. Bahwa, selama ini aku benar-benar sedang dipermainkan.
Gina berulangkali bilang kalau Revi itu playboy, tapi selama ini aku menyumpal rapat-rapat telingaku. Dan sekarang aku diserang rasa patah hati, sakit hati sekaligus marah dalam satu waktu.Semua kerja keras dan perasaan cinta yang berkembang selama empat bulan ini berakhir tragis, meleset dari impianku yang terlalu muluk. Seiring suara gelak tawa itu berlanjut, sadarlah betapa dungunya aku, sangat tergila-gila pada pria sejahat dia dan menganggap bahwa selama ini dia juga menaruh hati padaku. Semua perhatian dan keakraban yang diberikannya padaku hanyalah omong kosong, serangkaian rayuan gombal yang diobral pria untuk mendapatkan hati para wanita.
Baru pertama ini aku menyukai seorang lelaki sampai rela melakukan apapun untuknya dan ternyata memang itu yang diharapkan lelaki brengsek itu, memanfaatkan aku sebaik-baiknya.
Amarah yang mengalir di pembuluh darahku rasanya sanggup untuk modal menghajar Revi, memberinya pelajaran tentang arti sebuah perasaan.
Seorang laki-laki datang bergabung dengan dua orang itu, mengurungkan niatku untuk melabrak Revi.
“Hai Sayang…” Si gadis menyapa manja pada orang yang baru saja datang. Tangannya yang ramping mulai terangkat untuk membelai lengan si lelaki, tapi dikibaskan begitu saja oleh pemiliknya.
“Tinggalkan kami dan tunggu di mobil! Sekarang!” perintah laki-laki itu saat si gadis mulai merajuk. Baru setelah lima detik kemudian gadis cantik itu menuruti perintah, pergi sambil menghentakkan kaki. Wajahnya tampak sebal karena tidak mendapatkan perhatian.
Dari balik punggung si gadis, aku melihat lelaki yang baru datang itu Daniel. Ada sorot amarah ketika ia menatap tajam Revi. Hal aneh yang pernah aku lihat mengingat Daniel dan Revi ibaratnya sahabat sehidup semati. Mungkin karena itulah Daniel membenciku. Melihat kedekatanku dengan Revi, Daniel menganggapku sebagai lintah menjijikkan yang siap merampas Revi darinya lalu menggerogoti kekayaan Revi, gambaran umum orang kaya terhadap kaum miskin.
Pandanganku beralih pada benda yang ditodongkan Daniel pada Revi. Dari bentuk dan warna gantungan talinya yang familiar, aku tahu benda itu adalah sebuah flashdisk. Wajah Daniel memang dingin, tapi kali ini yang kulihat lebih mengerikan dari biasanya. Seolah pandangannya akan membekukan segala objek didekatnya. Dan orang berpikiran bijak akan lebih memilih segera menjauhinya jika ingin selamat dari arti tatapan itu.
“Kamu mencurinya dariku!” suara Daniel sekasar tarikan napasnya, “Semua kerja keras dan impianku telah kamu hancurkan begitu mudahnya. Kamu bilang kita sahabat, apa ini caranya bersahabat, hah?! Tega kamu, Rev!” teriaknya.
“Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud, Dany,” Revi tergagap, menatap cemas pria di depannya dengan kerutan dalam di dahinya.
Gerakan itu begitu cepat dan mendadak, ketika Daniel menyabet kerah kaus Revi dan menariknya kuat sampai mereka saling berhadapan dalam aura ketegangan yang kental. “Aku kehilangan flashdisk ini beberapa bulan lalu. Semua desain proyekku ada disini, termasuk draft Tugas Akhirku. Dan aku dikejutkan bahwa seseorang telah menggunakan hasil desainku di salah satu kompetisi internasional. Mereka menang dengan hasil kerja kerasku dan tanpa seijinku!”
“Aku masih belum mengerti maksudmu, Dany,” erang Revi.
“Jangan pura-pura bodoh!” sergah Daniel kasar. “Seharusnya kamu menyumpal mulut mereka, Rev. Aku menemui pencuri-pencuri sialan itu. Hanya sekali gertak saja mereka mengakui semua desain itu berasal darimu. Kamu mengkhianatiku, Brengsek!”
Aliran darah menyurut dari wajah Revi. Lelaki itu tampak pucat pasi.
Kepalaku berdengung sementara mereka berdua masih saling melemparkan tuduhan. Aku berdiri dengan lemas, menyadari Revi telah memperalatku lagi. Aku tahu flashdisk itu. Beberapa bulan lalu, benda itu tertinggal di kelasku setelah Daniel mengajar. Terlalu gengsi bertatap muka dengan Daniel aku menitipkan benda itu pada Revi agar diberikan pada Daniel. Aku tidak menyangka semuanya akan seperti ini. Sejauh inikah Revi memperalatku?Tiba-tiba raut Revi berubah bengis. Ia merenggut lepas tangan Daniel dari kausnya lalu mendorong kasar tubuh Daniel. Bukan gerakan yang sulit karena mereka sama-sama tinggi, dan karena hobi basketnya Revi lebih unggul dalam hal bobot.
“Bukan aku yang brengsek, tapi kamu!” maki Revi.
Daniel menatap tajam Revi dengan raut bingung.
“Ya, aku yang mencuri desainmu dan menyuruh orang lain menjiplaknya.”
“Sialan!”
“Ingin tahu kenapa, Dany? Karena aku ingin lihat kamu merasakan kekalahan!” teriak Revi dengan mata nyalang. “Sejak kecil kita selalu bersama, semua orang selalu membanggakan Daniel yang tampan, hebat, jenius, dan terbaik di semua hal. Aku nggak kurang apapun darimu. Tapi mereka selalu melihatmu, bukan padaku. Sosokmu membuatku jadi binatang kerdil menyedihkan dan nggak berguna.”
Daniel menatap tajam lawannya, tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Aku benci jadi pusat perhatian, kamu tahu itu. Jangan ngarang alasan yang nggak logis.”
Revi tergelak, “Cih! Aku lelah dengan persahabatan yang penuh omong kosong ini.”
“Omong kosong?” tuntut Daniel.
“Sejujurnya aku membencimu, Dany.” Satu ujung bibir Revi tertarik ke atas dengan sinis. “Ayahku selalu membandingkan aku denganmu. Dia menyebutku anak bodoh nggak berguna dan seharusnya dia punya anak lelaki sepertimu. Dia selalu mencaci-makiku. Bahkan dia mati dengan membawa kebenciannya padaku. Bisakah kamu bayangin perasaanku, hah?”
“Rev…”
“Sial! Aku harap di alam baka sana dia bisa melihatku membuatmu hancur pelan-pelan. Bisa kubuktikan, bahwa anak haram sepertimu nggak bisa selamanya berada di atas awan. Kamu pantas dibuang, sama dengan cara ibumu membuangmu! Bayangin, gimana jika semua orang tahu bahwa anak emas mereka hanya-lah anak haram?”
Daniel mematung.
“Lihat dirimu, Dany! Benar-benar menyedihkan.”
Perlahan Daniel menegakkan tubuh dengan kaku. Warna merah gelap membayangi wajahnya yang mengeras. Kebisuan yang mencekam menggantung di udara bercampur dengan angin kering yang panas, sebelum akhirnya suaranya yang berat mengalun, “Kamu sudah mengakhiri persahabatan kita.” Ia berbalik pergi dengan punggung kaku, berjalan angkuh dari titik awal medan perang yang ia yakini akan ia menangi di kemudian hari.
Aku masih berdiri tertegun, terlalu kaget meresapi pertengkaran mereka ketika Daniel berjalan ke arahku, mendapatiku menguping semuanya.
Memandang tak suka dengan mata tajam yang ganas, Daniel berhenti satu langkah di depanku. Tatapan itu bisa kuartikan sebagai harapan menghilangnya aku dari hadapannya untuk selama-lamanya.
“Dasar penguntit kecil! Apa kamu juga turut andil membantunya menghancurkan aku?”
Aku memandangnya tak percaya.
Luka, amarah dan kekecewaan terbayang dalam matanya ketika Daniel mencibir sinis. “Tentu saja. Berikan uang, perhatian, dan popularitas pada si miskin maka dia akan jadi budak layaknya anjing yang setia pada majikannya. Parasut menjijikkan!”Tamparanku mendarat di pipi kiri Daniel, meninggalkan jejak merah yang aku harap sama membaranya dengan amarah yang merudungku. Tusukan beribu jarum mulai menyengat di sudut-sudut mata dan tanganku yang berdenyut. Aku tidak terima ia sengaja melampiaskan sisa kemarahannya padaku.
Daniel menggeram. Rambutnya yang awut-awutan terkibas saat ia berbalik. Bergerak cepat ia menutup jarak diantara kami. Telapak tangannya yang besar dan sepanas api menangkup kasar sisi wajahku, hampir seperti mencekik. Tidak kusangka, di balik badannya yang cungkring tersimpan kekuatan untuk menyakiti sekaligus menghancurkan.
“Akan kupastikan, kamu dan pacar brengsekmu itu membayar mahal semua ini.” Lalu dengan sama kasarnya, Daniel melepas cekalannya hingga tubuhku terhuyung. Ia pergi dengan langkah cepat penuh amarah.
Lurus dari tempatku berdiri, aku bertemu pandang dengan Revi. Setelah sejenak aku mengamati lembaran esai dan buku-buku yang tercecer di seputar kaki, aku mendengar Revi mengumpat-umpat. Sepertinya dia mengerti tentang tatapan marah dan kecewa dariku sama dengan milik Daniel.
Lagi-lagi kabut tebal berwarna hitam mengurungku. Setelah kabut itu memudar yang kulihat adalah sebuah sedan tengah meluncur turun dalam kecepatan tinggi. Kali ini aku melihat sang pengemudi terbangun dari tidurnya dan mulai panik mengendalikan laju sedan. Terlambat. Sedan itu menghantam pembatas jalan dan terpelanting jatuh ke dalam jurang.“Ana… aku mohon. Tolong aku…!” … “REVIII!!!” Aku terbangun, duduk di kasurku dengan keringat sebesar biji jagung menuruni kepala. Tenggorokanku terasa kering. Selimutku melilit kaki dan salah satu bantalku tergeletak di lantai. Nafasku masih memburu. Aku tidak berada di tengah kegelapan hutan, aku aman di kamarku dengan sinar matahari pagi menembus tirai kamar. Sudah berhari-hari mimpi buruk itu terus menghantuiku. Mengusap wajah frustasi, aku menendang selimut. Revi yang duduk di ujung kasurku nyaris terlempar oleh selimut. Eh?! Aku mengucek mata, le
Rumah mungilku terdiri dari dua lantai, berlokasi di pusat kota. Dindingnya bernuansa warna pastel, dengan beberapa kombinasi warna cokelat dan hijau yang terlihat nyaman di mata. Di lantai atas terdapat ruang santai dengan sebuah televisi flat screen ukuran 42 inch, diapit sebuah sofa panjang melengkung hasil dari salah satu desain buatanku, lalu ada kamar tidurku, dan kamar mandi. Sedangkan lantai bawah hampir sepenuhnya menjadi galeri woodcraft dengan dapur kecil dan kamar mandi ekstra di bagian belakang. Ayah menambahkan bangunan tepat di sisi timur rumah untuk dijadikan gudang dan garasi. Kedua mataku masih belum terbiasa melihat Revi menginspeksi isi rumahku dengan jurus ‘menghilang dan menembus’ tembok. Ia kembali padaku dalam sekejap setelah mengagumi isi Kelud Woodcraft─tokoku─yang beberapa sudah memiliki tujuan ekspor ke negara tetangga dengan wajah kagum. “Aku beneran nggak percaya. Look at your self, girl! Si gadis udik telah berevo
Ada dua design box bayi pesanan pemilik restoran seafood langgananku, juga design satu set kursi taman bermotif kartun Disney pesanan play group yang berada dua kilometer dari rumahku, yang seharusnya kukerjakan hari ini agar lusa bisa langsung dikerjakan oleh pekerja kakakku. Sayangnya, jadwalku berantakan, dan aku harus mulai mempersiapkan mental, untuk seterusnya jadwal kerjaku pasti tambah berantakan. Sayangnya lagi, pihak yang seharusnya dipersalahkan adalah sesosok hantu yang jelas tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. “Untung saja aku sudah jadi setan. Coba bayangin, apa yang orang bilang jika mereka sampai melihatku tadi naik mobil box? Nggak ada lagi wanita cantik yang mau dekat-dekat denganku.” Tetap merapat ke dinding, aku memberikan tatapan mencemooh pada hantu narsis di sebelah. Aku belum sampai satu hari bersamanya, tapi aku sudah mulai sebal dengan sifat buruknya itu. Sungguh aneh, sembilan ta
Sabtu malam yang cerah tiba, berlawanan dengan hatiku yang berkabut.Gina sudah meneleponku berulang kali, memastikan agar aku datang ke acaranya. Ia juga sudah memberitahuku lokasi kencan sesi dua-nya berlangsung dan berpesan aku tidak boleh terlambat lagi.Revi melayang kesana-kemari mirip kepulan asap rokok, membuatku semakin terbiasa dengan kehadirannya. Diam-diam aku masih berharap aku sedang bermimpi, tapi tiap kali aku bangun pagi, selalu kudapati sosok Revi transparan menyapaku dengan senyum ceria di sudut kamar. Dia juga selalu menguntitku kemana-mana. Meskipun aku sudah kelelahan, dia malah semakin bersemangat, apalagi malam ini aku bisa bertemu Daniel secara langsung dan segera melancarkan misinya.“Rayu Daniel! Bilang bahwa dulu kamu diam-diam menyukainya dan ternyata rasa itu masih ada sampai sekarang. Ingat, ini adalah satu-satunya cara agar kamu bisa dekat dengannya dan menjauhkan dia dari pamanku,” suruh Revi, kembali mengoar-oarkan d
Satu jam berikutnya aku ingin menghilang. “Hom-pim-pa…” “Ana kalah!!” Kerumunan itu bersorak. Sekali lagi memaki dalam hati, aku menatap hampa telapak tanganku yang satu-satunya terbuka ke atas. Aku dipaksa mengikuti gamestak bermoral kawanan-kencan-buta-bodoh-Gina, dan untuk yang ke-empat kalinya aku kalah. Hukuman bagi yang kalah adalah mendapat pertanyaam memalukan dari peserta lain dan wajib dijawab jujur. Mengubur rasa malu, aku sudah menjawab tentang dengan siapa aku first kiss─Gama, mantan pacarku yang bertahan dua setengah bulan saja di tahun ke dua kuliahku, apa yang ingin aku sentuh dari tubuh seorang pria─dadanya yang bidang, dan apa warna celana dalamku malam ini─hitam dengan beberapa renda. Bahkan aku sudah menegak habis lemon ice─pengganti martini yang aku tolak dengan tegas─berulang kali sampai rasanya berubah aneh di mulutku. “Pertanyaan lo kali ini, siapa cowok pertama yang tidur bareng l
“Putri tidur, ayo bangun. Saatnya kita menyelematkan dunia.”Hawa dingin merambati tengkuk. Aku bergidik. Melawan rasa sakit di kepala, aku paksakan mataku mengerjap dan membuka. Jam dindingku menunjukkan sudah tengah hari. Bagaikan tersambar petir, aku langsung duduk tegak di kasur.“Tokoku?!”“Tenang, Adik Kecil. Dua pegawaimu yang rajin itu sudah buka toko sejak pagi tadi. Setelah mengintipmu masih tidur nyenyak, mereka memutuskan memulai kerja tanpa dirimu. Kamu nggak usah khawatir, aku membantumu mengawasi mereka kok,” terang Revi sambil duduk di ujung kasurku, persis saat pertama kali dia menampakkan dirinya padaku.Aku mendesah lega, bersyukur karena aku punya pegawai yang tekun sekaligus dapat kupercaya untuk memegang kunci cadangan toko, berjaga-jaga untuk keadaan darurat seperti ini. Mengangkat kepala, aku mulai bingung melihat Revi, meski tidak membutuhkan tidur lagi ia begitu sumringah.“Kenapa
Hampir satu jam berikutnya, aku sudah berada di dalam movil Gina, meliuk-liuk di jalanan kota Surabaya yang panas dan gerah. Cuaca yang seperti ini menenggelamkan niatku yang tadinya ingin berjalan-jalan santai di sepanjang trotoar menikmati pemandangan kota sambil menjernihkan pikiran. “Klien gue kali ini seorang wanita cerewet dan super nyebelin. Dia pengen pesta pertunangannya sesempurna mungkin. Kakak gue sudah pusing dibuatnya, dan terpaksa kali ini gue yang harus turun tangan. Wanita ini beruntung karena calon tunangannya tajir dan sama sekali nggak peduli dengan bayaran yang kami minta. Kalau bukan karena calon tunangannya itu, WO kakak gue nggak bakalan sudi ngelayani wanita itu.” Gina masih mengomel ketika mobilnya masuk ke halaman rumah klien yang dia maksud. Sebagai imbalan karena telah mengantar balik mobil boxku, Gina menyeretku untuk mendatangi rumah kliennya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali. Gina bekerja di dua tempat. Terkadang dia berada di ka
Aku sedang membuat desain di buku sketsa, tapi garis lengkungan yang kutarik terlalu tajam. Kaki kursi yang kugambar terlihat menjadi tidak seimbang. “Ayolah, Adik Kecil. Maafkan aku…” Aku merobek gambar itu, menjadikannya bola-bola kertas seperti beberapa sebelumnya yang sudah memenuhi keranjang sampah, kemudian mulai menggambar lagi di kertas baru. Hampir satu jam setelah pulang dari rumah Daniel aku menekur di meja kerja tanpa memperdulikan sosok transparan Revi yang mengocehkan kata maaf. Lain lagi dengan Gina. Gadis itu tidak menduga bahwa Daniel ‘tunangan klien cerewetnya’ adalah Daniel yang ‘sangat ia kagumi’. Selama ini yang bersemangat mengurusi masalah pertunangan itu hanya Cherry, dan awalnya kakak Gina yang menangani wanita itu sebelum akhirnya dilimpahkan padanya. Intinya, Gina tidak tahu apa-apa. Sisa perjalanan pulang ia habiskan untuk menyumpahi wanita itu. Ujung pensilku patah. Merasa bosan dengan ocehan maaf Revi, aku membalikkan tub
Satu jam berikutnya aku sudah duduk manis di dalam SUV Range Rover Daniel yang mewah mengkilat. Rombongan kerabat jauh datang menjenguk Kakek. Takut membuat canggung suasana aku pamit setelah mendoakan kesembuhan Kakek Daniel dan menyarankan agar lain kali beliau lebih berhati-hati. Sebetulnya aku berniat pulang dengan taxi, tapi Kakek berkeras agar Daniel mengantarku. Sama sekali tidak menyadari raut muka protes cucu kesayangannya. Kami pergi setelah Kakek Daniel sukses membuatku berjanji untuk segera menjenguknya kembali.“Kamu tidak merindukan orangtuamu?”Daniel bertanya sesaat setelah aku menutup telepon dari Ibuku. Seperti biasa, ibu mengecek keadaanku. Kulempar senyum sekilasku pada Daniel.“Dasar penguping! Tentu saja aku sangat merindukan mereka. Biasanya dua minggu sekali aku pulang mengunjungi mereka sekaligus mengambil stok dagangan. Tapi belakangan ini aku terlalu sibuk. Beruntung, berkat kemajuan teknologi saat ini, mereka terasa jauh lebih dekat dari kenyataannya. Aku m
Kakek Daniel benar-benar seorang pria tua yang luar biasa. Aku masih ingat keadaannya kemarin begitu mengkhawatirkan. Siang ini, melihatnya duduk bersandar di atas ranjang terbaik rumah sakit sambil tersenyum cerah menyambutku, membuat kejadian kemarin hanya seperti mimpi belaka. Kakek Daniel punya semangat hidup yang tinggi dan sama seperti cucunya, tidak mau terlihat lemah di depan orang lain.“Apa kabar, Kek? Aku berharap Kakek benar-benar sudah membaik.”Pelan-pelan aku melepas pelukan Kakek Daniel, berharap selang infusnya tidak aku senggol. Begitu melihatku datang tadi, Kakek menyuruhku mendekatinya dan sambil membentangkan kedua lengannya, ia memintaku memeluknya.Aku usap cepat sudut mataku yang berair. Belakangan ini aku menjadi cengeng.Suara tawa serak meluncur. “Setelah melihatmu aku merasa sangat sehat, Nak. Sebenarnya aku sudah menyuruh Daniel untuk membawaku secepatnya pergi dari tempat ini, tapi dia tidak mau. Aku benci rumah sakit, seolah aroma kematian menantiku di s
Aku pernah ingat Nenek mengatakan kalau manusia itu sulit lepas dari sifat munafik. Apa yang dipikir, diucap, dirasa, dan dilakukannya sering kali saling bertolak belakang. Meskipun aku mengatakan dengan lantang kalau aku membenci Daniel,faktanya hatiku menolaknya.Sejak dulu Daniel membenciku. Seharusnya aku tidak heran.Tapi sembilan tahun berlalu, waktu yang cukup lama untuk membuat perasaanku kepadanya berubah. Awalnya aku mengira juga semakin membencinya. Faktanya, aku mulai mendamaikan diri dengannya, diam-diam berharap Daniel bisa bersikap baik padaku, memandangku sebagai seorang wanita yang bisa diajaknya bercanda dan tempat keluh kesahnya.Seharian kepalaku dipenuhi bayangan Daniel dan mengingat bagaimana menyakitkannya dia memperlakukan aku kemarin di rumah sakit. Aku putus asa. Aku tidak bisa berkonsentrasi melakukan apapun. Kecewa, sedih, dan gelisah bercampur menjadi satu.“Kak, ketipung ini terbuat dari kayu apa, sih?”Dua
Roda dari brankar dan kereta peralatan medis bergesekan dengan ubin rumah sakit yang berwarna putih ketika ditarik melintasi ruangan, menimbulkan suara gaduh mengganggu telinga. Pengunjung rumah sakit berlalu-lalang layaknya iklan dalam televisi yang tak perlu terlalu disimak. Beberapa perawat bergerak dalam langkah cekatan yang terlatih, keluar masuk ke dalam ruang bertuliskan ‘ICU’ mengikuti sang dokter. Lagi, seorang dokter bergabung ke dalam ruangan itu dengan wajah cemas yang tak berhasil ia sembunyikan dengan baik di balik wajahnya yang ramah.“Sebaiknya kamu duduk, Adik Kecil. Kamu juga kelihatan pucat, dan aku yakin kakimu itu masih sakit,” saran Revi tulus.Aku menggeleng, tidak memperdulikan deretan bangku di sepanjang lorong. Aku lebih memilih bersandar pada dinding rumah sakit yang dingin, tanpa peduli dengan kaki terkilirku mulai membengkak dan berdenyut sakit. Sebelum salah seorang dokter di ICU itu keluar dan memberitahuku bahwa K
Akhirnya aku membawa koran Gina pulang. Berharap itu kelak bisa aku tunjukkan ke Daniel dan menjadi tambahan bukti. Meskipun aku tahu Daniel tidak akan percaya begitu saja. Karena malas berjalan menuju lantai dasar dan bersesakkan di eskalator yang ramai dipadati oleh orang-orang yang selesai dari acara di hallroom,kami berdua melangkah lunglai menuju lift. Rombongan orang telah terangkut di dua box lift pertama yang terbuka. Aku menunggu datangnya lift ketiga. Dari arah belakang, muncul sekelompok orang yang menyalipku tergesa-gesa untuk mendahului masuk lift ketiga yang baru datang dan pintunya terbuka. Sepertinya mereka kawanan orang penting, karena mengusir keluar dua orang yang sebelumnya sudah berada di dalam lift. Pintu lift bergerak menutup. Hanya sekilas, tapi cukup jelas untuk melihat kakek Daniel ditengah pria-pria aneh yang salah satunya kuingat sebagai…pria yang kusuruh mengangkut kursi di rumah Daniel. “Mereka se
Gina dan Hendrik akhirnya berpamitan dan pergi berkencan. Sebenarnya, Gina tadi mengajakku makan siang hanya untuk menemaninya sementara menunggu Hendrik menyelesaikan pekerjaannya.Melihat mereka berdua bergandengan tangan mesra sambil tersenyum satu sama lain, mau tak mau membuatku iri. Gina saja yang mudah bosan dengan pria tampaknya kali ini bisa serius dengan Hendrik. Sedangkan aku, tetap menjadi Si Lajang yang menyedihkan.Menghentikan aksi meratapi diri, aku beralih pada Revi yang bergerak gelisah, seakan-akan ia ingin segera menghilang dari hadapanku. “Apa semua itu tadi benar?”“Apa?” tanya Revi sok polos.“Kamu tahu apa maksudku, Rev.”Revi memasang muka cemberut, sebelum mengacak-acak sendiri rambutnya dengan frustasi. “Ya, begitulah. Daniel memang sedang membalasku. Dia cukup senang melihatku tidak bisa mendekati Cherry lagi.”“Pantas saja aku sering memergokimu memandang Cher
Hari Senin, awal dari serangkaian hari melelahkan. Meski udara Surabaya yang seperti biasanya sulit bersahabat dengan kulit, foodcourt di lantai enam mall yang Gina dan aku kunjungi penuh hiruk pikuk manusia. Sebenarnya aku sering makan di tempat ini, tapi sejak mengetahui bahwa mall ini salah satu properti keluarga Daniel, rasanya jadi berbeda. Ada sedikit perasaan geram yang mengganjal hati.Beberapa remaja duduk berkelompok di bagian tengah ruangan foodcourtsambil sesekali cekikikan. Tak jauh dari mereka, sekelompok keluarga duduk bersantai setelah lelah berbelanja. Para pegawai serta pramuniaga toko yang istirahat siang mulai berdatangan dan berebut kursi kosong untuk makan siang.Hallroomyang terletak satu lantai di atasku juga terlihat ramai, eskalator yang bergerak naik belum sepi oleh jubelan orang. Dari poster-poster besar yang tadi sempat kulihat dan kubaca sepintas di sudut-sudut mal, ada acara amal ya
Sesosok bayangan menghampiriku. Bukan Revi. Karena dulu aku mengidentikkan Revi sebagai titisan malaikat dari surga, dimana pendar cahaya putih yang begitu menghangatkan selalu mengelilingnya.Sedangkan sosok ini, aku lebih menganggapnya sebagai malaikat kegelapan. Dia memiliki sepasang sayap hitam licin seindah bulu burung gagak. Sorot matanya penuh kemisteriusan, namun menjajikan kekuatan dan sensualitas yang bisa membuat wanita bertekuk lutut padanya. Naas, pun aku tidak sanggup mengelak dari godaannya. Sosok itu menghinoptisku, membuatku terpesona, dan aku menjadi percaya bahwa dialah yang pantas aku perjuangkan dalam hidupku yang singkat. Sayap-sayap sang malaikat kegelapan membungkus tubuhku, dan waktu menjadi tidak berarti lagi bagiku ketika ia menciumku, menghirup sebanyak-banyaknya jiwa kehidupanku.Aku bangun dengan aliran air hangat yang lengket di ujung mulut. Menggunakan punggung tangan, aku berusaha mengusap air liurkul. Aku mengernyit, seluruh tubuhku pe
Daniel berlagak menjadi orang brengsek, meskipun dari dulu aku tahu ia memang brengsek.Ia memaksaku menduduki sofa yang sebelumnya ia duduki. Memaksa karena setelah ia mengikatku dengan simpul mati, kugunakan tanganku untuk mencekal kuat-kuat daun pintu kamar mandi dan memakukan kaki ke lantai, tidak mau mengikuti perintahnya untuk kembali ke ruang televisi dengan cara baik-baik. Sambil mengumpat, Daniel memanggulku pergi dan melemparku ke sofa layaknya aku sekarung beras.Aku mendengar langkah kaki menaiki tangga, lelaki itu muncul bersama panci dan sekeresek besar berisi keripik kentang, kacang goreng, dan biskuit kelapa yang kubeli tadi siang. Makanan itu dihamparkan di atas meja. Ia duduk bersila nyaman di atas karpet dengan punggung bersandar pada sofa.“Kamu sudah memakan makanan ini dan aku lihat kamu masih baik-baik saja. Aku putuskan makanan ini aman.”Bagaikan mendengar seorang badut yang mengatakan bahwa ia tidak bisa melawak. Beda