Beberapa minggu berlalu setelah pertemuan tegang dengan Dimas, Wisang dan Taka justru semakin erat dalam proyek yayasan yang mereka bangun bersama. Suasana di kantor kecil mereka dipenuhi semangat dan energi positif, meskipun bayang-bayang Dimas masih menghantui. Namun, kedekatan mereka semakin tumbuh, dan di balik semua kerja keras itu, muncul perasaan yang lebih dalam.Pada suatu malam, setelah seharian penuh bekerja di yayasan, mereka berdua duduk di meja makan kecil di kantor. Mereka baru saja menyelesaikan perencanaan untuk acara penggalangan dana pertama yayasan. Taka memandang Wisang dengan tatapan yang sulit diartikan."Wisang," Taka memulai, suaranya lebih lembut dari biasanya, "Terima kasih sudah selalu ada. Aku tahu aku banyak berutang padamu."Wisang menatap Taka dengan perhatian. "Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan, Taka. Ini bukan tentang utang atau balas budi. Kita saling mendukung, itu saja."Namun, di dalam diri Wisang, ada perasaan yang sulit ia sembunyika
Pagi itu, ketenangan di kantor yayasan mendadak buyar ketika seorang staf berlari masuk dengan wajah panik."Pak Taka, Bu Wisang! Ada masalah besar! Yayasan ini… diberitakan di media sebagai lembaga ilegal yang melakukan penggelapan dana!" seru staf tersebut, menyerahkan ponsel dengan sebuah artikel yang menampilkan foto Taka dan Wisang.Judul besar di layar itu membuat Taka membeku. “Yayasan Pendidikan atau Penipuan? Mantan Pasangan Suami-Istri Terkait Skandal Dana Donasi!”Wisang menggertakkan gigi, matanya menyusuri artikel yang penuh dengan tuduhan palsu. "Ini jelas permainan Dimas. Dia menggunakan media untuk menghancurkan kita secara publik," ujarnya, suaranya penuh amarah.Taka menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kita tidak bisa terpancing. Kita harus fokus membuktikan kebenaran. Kalau kita kehilangan kendali sekarang, itu justru memperkuat tuduhan mereka."Namun, sebelum mereka bisa menyusun strategi, sebuah panggilan telepon masuk ke ponsel Taka. Itu dari salah
Seminggu kemudianSetelah surat perintah penyelidikan, berita terkait yayasan Wisang dan Taka terus mendominasi media. Para petugas telah menyelesaikan pemeriksaan awal, dan hasilnya menunjukkan tidak ada indikasi penyalahgunaan dana. Namun, Dimas tampaknya belum puas. Ia menyewa pengacara ternama untuk mencari celah lain.Di sisi lain, Wisang dan Taka terus menjalankan kegiatan yayasan meskipun dengan pengawasan ketat. Semangat mereka untuk membantu anak-anak tetap menjadi prioritas utama. Namun, tekanan dari luar mulai memengaruhi hubungan mereka.Malam itu, setelah seharian bekerja, Taka mendapati Wisang sedang duduk termenung di teras kantor yayasan. Udara dingin malam membuat suasana semakin hening."Kamu kenapa?" tanya Taka, duduk di sampingnya.Wisang menghela napas panjang, lalu memandang Taka. "Aku hanya memikirkan... bagaimana jika semua ini tidak pernah terjadi? Jika aku tidak terlibat denganmu, mungkin kamu tidak akan menghadapi semua masalah ini."Taka mengernyit. "Wisang
Beberapa bulan berlalu sejak kemenangan mereka di pengadilan, yayasan yang dibangun oleh Taka mulai mendapatkan perhatian lebih luas. Donasi dan dukungan terus mengalir, membawa kehidupan baru pada proyek-proyek mereka.Namun, di tengah semua keberhasilan itu, hubungan antara Taka dan Wisang juga mengalami perkembangan yang semakin rumit. Meski keduanya sangat terlibat dalam pekerjaan yayasan, chemistry di antara mereka tak bisa lagi diabaikan.---Perasaan yang Tak TerucapPada suatu malam, setelah semua staf pulang, Taka dan Wisang masih berada di kantor yayasan, menyelesaikan laporan akhir bulan. Hujan turun deras di luar, menciptakan suasana intim di antara mereka."Ini luar biasa," ujar Wisang sambil menatap layar laptop. "Dalam waktu singkat, kita sudah membantu lebih dari seratus anak."Taka tersenyum, matanya berbinar. "Ini karena kerja keras semua orang, termasuk kamu."Wisang menatap Taka, matanya penuh kehangatan. "Aku hanya mengikuti langkahmu, Taka. Kamu adalah alasan sem
Keesokan harinya, Taka dan Wisang memutuskan untuk tidak tinggal diam. Mereka tahu Dimas tidak akan berhenti sampai dia menghancurkan yayasan dan hubungan mereka. Bersama-sama, mereka mulai merancang strategi untuk melindungi apa yang telah mereka bangun."Kita harus mencari tahu apa rencana Dimas selanjutnya," ujar Wisang saat mereka berdiskusi di kantor yayasan.Taka mengangguk. "Aku juga akan menghubungi beberapa teman lama yang mungkin bisa membantu kita. Jika Dimas ingin bermain kotor, kita harus selangkah lebih maju darinya."Di sisi lain, Dimas yang merasa rencananya mulai membuahkan hasil, semakin berani dalam menyerang. Ia menyebarkan rumor tentang yayasan Taka, mencoba mencoreng reputasi mereka di mata donatur.Namun, Wisang dan Taka tidak tinggal diam. Mereka mulai menghubungi media untuk mengangkat cerita tentang yayasan mereka, menyoroti dampak positif yang telah mereka ciptakan.Seminggu kemudian, Dimas datang ke kantor yayasan dengan sikap sombongnya. Kali ini, ia memba
Beberapa minggu setelah pernyataan cinta mereka, yayasan mulai menunjukkan kemajuan pesat. Anak-anak yang membutuhkan mulai datang, kegiatan belajar-mengajar mulai berjalan, dan dukungan dari masyarakat setempat mulai mengalir kembali. Namun, badai berikutnya datang tanpa peringatan.Pada suatu malam, Taka menerima telepon darurat dari staf yayasan."Tuan Taka, kantor yayasan kita terbakar! Api sudah melahap hampir seluruh bangunan!"Taka dan Wisang segera bergegas ke lokasi. Ketika mereka tiba, kobaran api sudah menjalar, menghancurkan semua yang telah mereka bangun. Para petugas pemadam kebakaran bekerja keras untuk mengendalikan situasi, sementara Taka berdiri mematung, menatap pemandangan itu dengan mata berkaca-kaca.“Bagaimana ini bisa terjadi?” Wisang bertanya pada salah satu petugas di lokasi.“Ada indikasi bahwa ini adalah kebakaran disengaja,” jawab petugas itu dengan nada serius. “Kami menemukan jejak bahan bakar di sekitar pintu masuk.”Kejadian ini segera menyebar, dan go
Setelah percakapan emosional mereka, Wisang dan Taka memutuskan untuk menghadapi skandal ini bersama. Namun, usaha mereka untuk mengatasi masalah itu belum selesai. Dimas masih menjadi ancaman besar. Sementara itu, berita tentang kebakaran perusahaan Taka mulai menyebar, membawa konsekuensi yang lebih besar dari sekadar kerusakan fisik.Dua hari kemudian, Taka menerima laporan dari tim investigasi kebakaran. Dokumen yang diserahkan kepadanya mengungkapkan sesuatu yang mencurigakan: kebakaran itu bukan kecelakaan. Ada jejak bahan bakar yang tidak biasa ditemukan di lokasi.“Ini sabotase,” kata Taka, menggenggam laporan itu dengan tangan gemetar. “Seseorang sengaja menghancurkan ini.”Wisang, yang berada di sampingnya, mencoba menenangkan Taka. “Kita harus melapor ke polisi dan mengusut ini sampai tuntas.”Namun, Taka menggeleng. “Tidak semudah itu. Kalau kita membawa ini ke pihak berwajib sekarang, reputasi perusahaan yang tersisa akan hancur. Investor akan pergi, dan aku akan kehilang
Hari itu, setelah hampir seminggu penuh dengan pertemuan hukum dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan kebakaran, Wisang dan Taka akhirnya punya waktu untuk duduk bersama, beristirahat sejenak dari segala keruwetan. Mereka berada di sebuah kafe kecil yang sepi, di sudut kota yang sering mereka kunjungi sejak dulu. Tempat itu memiliki kenangan tersendiri bagi mereka, kenangan akan masa-masa sulit yang telah mereka lewati bersama.Wisang duduk dengan tenang, menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Taka yang terlihat lelah namun tetap tegar. "Kamu sudah melalui banyak hal, Taka. Aku terkejut melihat bagaimana kamu bisa tetap teguh menghadapi semuanya."Taka menatap Wisang, senyumnya penuh kehangatan. "Karena aku tahu, aku tidak sendirian. Kamu ada di sini dengan aku. Itulah yang membuatku bisa bertahan."Wisang terdiam sejenak, hatinya dipenuhi oleh perasaan yang sulit diungkapkan. Mereka sudah melalui banyak hal bersama: kebangkitan yayasan, konfrontasi dengan Dimas, dan ket
Beberapa hari setelah pertemuan itu…Wisang kembali ke rutinitasnya, mencoba menata hidup di rumah barunya. Ia mulai mengajar les lagi, membuka kelas daring, dan menata hari-harinya agar tetap sibuk. Tapi pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Tatapan Dimas, cara Taka meminta maaf, semua itu terus berputar dalam benaknya.Dan benar saja…Malam itu, saat Wisang baru saja selesai membersihkan dapur, pintu rumahnya diketuk keras.Dug… dug… dug…Ia mengintip dari jendela—jantungnya langsung melompat.Dimas. Lagi.Namun kali ini, ekspresinya jauh berbeda. Wajahnya tampak marah. Sorot matanya tajam. Seperti seseorang yang datang membawa dendam.Wisang membuka pintu dengan hati-hati. “Apa lagi, Dim?”“Boleh aku masuk?” tanya Dimas, tanpa senyum.“Kalau kamu datang buat bikin keributan, lebih baik kamu pulang.”“Bukan. Aku cuma mau kasih kamu sesuatu.”Ia menyerahkan sebuah amplop cokelat besar.Wisang ragu, tapi ia mengambilnya. Begitu dibuka, matanya membelalak.“Ini…?”Foto-foto. Bebera
Beberapa hari setelah Wisang memutuskan untuk berpisah dari Taka...Taka masih menjaga jarak. Meskipun Wisang sudah menjelaskan semuanya, termasuk pengorbanannya, Taka tetap memilih diam. Ia seperti membangun benteng, tak lagi memberi ruang untuk bicara, apalagi untuk mendekat.Wisang tak marah. Ia tahu luka di hati Taka tak bisa sembuh dalam semalam. Ia bersabar, menunggu, sambil diam-diam tetap memperhatikan dari kejauhan. Ya, Wisang memilih keluar dari rumah Taka dan kini mengisi rumahnya sendiri.Namun, pagi itu…Untuk pertama kalinya, Wisang membuka pintu rumahnya dan melihat seseorang yang tak pernah ia bayangkan akan datang.Dimas.Pria yang dulu ia nikahi. Pria yang pernah ia cintai—dan yang telah menghancurkan semuanya.Wisang menegang. “Ngapain kamu ke sini?”Dimas mengenakan jaket gelap, rambutnya sedikit acak, tapi sorot matanya tetap penuh percaya diri. Ia tersenyum kecil.“Aku hanya mau bicara sebentar. Itu saja.”“Dengan aku?” Wisang menahan nada ketusnya.“Ya. Hanya de
Tanpa Wisang sadari, dia bermimpi panjang kali ini. Ya ... Di tengah keriuhan reuni, Wisang berusaha menjaga dirinya tetap tenang. Dimas telah menanamkan benih keraguan di benaknya, dan meskipun ia berusaha mengabaikannya, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Sementara itu, Taka masih berada di dalam aula, berhadapan dengan Larissa yang tak henti-hentinya mencoba menariknya kembali ke masa lalu. "Kau tidak bisa menyangkalnya, Taka," kata Larissa, suaranya lembut namun penuh keyakinan. "Kita punya sejarah yang lebih dalam daripada yang kau dan Wisang miliki. Apa kau benar-benar berpikir dia bisa memahami dirimu seperti aku dulu?" Taka mengatupkan rahangnya. "Larissa, aku sudah mengatakan ini berkali-kali. Aku tidak bisa kembali padamu. Aku mencintai Wisang." Larissa menyeringai kecil. "Tapi apakah Wisang benar-benar mencintaimu? Atau dia hanya berada di sisimu karena merasa tidak punya pilihan lain?" Ucapan itu menusuk lebih dalam dari yang Taka harapkan. Namun, se
Keesokan harinya, matahari belum tinggi ketika Taka terbangun lebih awal dari biasanya. Malam tadi terlalu panjang untuk bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Larissa memang bukan sahabat dekat, tapi bukan juga orang yang mudah asal bicara tanpa maksud.Taka menoleh ke samping. Wisang masih tertidur, wajahnya tenang dan damai seperti biasanya. Tapi justru ketenangan itu yang membuat Taka merasa tidak tenang. Ia perlahan turun dari ranjang, berjalan ke dapur dan membuat secangkir teh hangat, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah.Tak lama kemudian, Wisang muncul di ambang pintu dapur, mengenakan kaus putih dan celana tidur. Ia menatap Taka dengan mata yang masih sembab namun penuh perhatian."Kau tak bisa tidur?" tanyanya lembut.Taka mengangguk. "Kepalaku penuh…"Wisang mendekat dan duduk di sampingnya. "Kau masih memikirkan Larissa?""Ya. Dan juga... kata-katamu. Aku ingin percaya sepenuhnya padamu, Wisang. Tapi a
Di dalam mobil yang melaju pelan di bawah cahaya lampu jalan, Taka menatap Wisang dengan ekspresi yang sulit diartikan. Suara lembut musik dari radio mengisi kesunyian di antara mereka, namun ada ketegangan yang tak terucapkan."Jika aku tiada... apakah kau akan kembali pada Dimas?" Taka akhirnya bertanya, suaranya nyaris tenggelam dalam desiran AC mobil.Wisang yang tengah fokus menyetir menoleh sekilas dengan kening berkerut. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"Taka menghela napas, menatap ke luar jendela. "Aku hanya penasaran. Dimas pernah menjadi bagian besar dalam hidupku. Aku tahu dia bukan pria yang baik, tapi... jika aku tak ada lagi di sisimu, kau mungkin akan merasa lebih mudah untuk kembali padanya."Wisang menggeleng pelan, matanya tetap terarah ke jalan. "Dimas adalah masa lalu, Taka. Aku tidak akan kembali padanya, bahkan jika kau tiada sekalipun."Taka tertawa kecil, meskipun terdengar getir. "Benarkah? Kau tadi tampak begitu bersyukur karena dia berhasil membangun
Reuni SMA itu seharusnya menjadi malam penuh nostalgia dan kebahagiaan bagi para alumni. Namun, bagi Wisang dan Taka, malam itu perlahan berubah menjadi ajang konspirasi yang mengancam hubungan mereka.Di balkon yang sepi, Wisang masih berdiri berhadapan dengan Dimas. Suasana di antara mereka penuh ketegangan. Wisang mencoba mengendalikan emosinya, tapi kata-kata Dimas terus menggema di pikirannya.“Aku bahagia dengan pilihanku,” ulang Wisang dengan suara lebih tegas. Namun, Dimas hanya tersenyum kecil, seolah-olah dia tahu sesuatu yang Wisang sendiri enggan akui.“Aku tidak yakin, Wisang,” kata Dimas, bersandar di pagar balkon. “Aku hanya ingin kau memikirkan sesuatu… Jika Taka benar-benar mencintaimu, mengapa dia tidak pernah benar-benar melepaskanku dari hidupnya?”Wisang menegang. “Apa maksudmu?”Dimas merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah foto kecil. Dia menyerahkannya pada Wisang dengan ekspresi penuh kemenangan.Deng
Di suatu tempat yang remang-remang, di sebuah lounge eksklusif yang hanya dihadiri oleh kalangan tertentu, Larissa duduk di sofa beludru dengan segelas anggur merah di tangannya. Di hadapannya, Dimas bersandar dengan santai, mengaduk minuman di gelasnya sambil menatap Larissa dengan tatapan penuh perhitungan."Jadi, kau sudah memikirkan rencana kita?" tanya Larissa, menyesap anggurnya dengan tenang.Dimas menyeringai. "Tentu saja. Taka tidak akan bisa menolak masa lalunya. Kita hanya perlu memancingnya ke dalam situasi yang membuatnya tak punya pilihan selain kembali padamu."Larissa menyilangkan kakinya, mengangkat alisnya dengan ekspresi tertarik. "Dan bagaimana kau berencana melakukannya? Wisang adalah masalah utama di sini. Taka mungkin masih memiliki perasaan padaku, tapi Wisang selalu ada di sampingnya. Dia tidak akan begitu saja membiarkan Taka kembali padaku."Dimas mengetukkan jemarinya di atas meja, berpikir sejenak sebelum berbicara, "Kau benar. Maka kita harus membuat Wisa
Wisang duduk di sudut kamar, tangannya mengepal di atas lututnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tetapi pikirannya jauh dari pemandangan yang terbentang di luar sana. Semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir terus berputar di kepalanya seperti film yang tak ada habisnya.Pertemuannya dengan Larissa membuatnya merasa semakin terpojok. Wanita itu berbicara seolah-olah dirinya adalah korban, seolah-olah Wisang adalah orang ketiga yang masuk ke dalam pernikahan Taka. Padahal, selama ini, Wisang yang harus menghadapi kenyataan bahwa dia menikahi seorang pria yang masih dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya.Dia mencintai Taka, tidak diragukan lagi. Tetapi cinta itu kini terasa bercampur dengan rasa sakit yang sulit ia jelaskan. Bagaimana mungkin dia harus terus bertahan sementara Larissa seolah berusaha membuatnya tampak seperti perebut suami orang? Bagaimana mungkin dia harus bertahan dengan fakta bahwa Dimas dan Larissa sedang berusaha memisahkan mereka?Taka sudah ber
Malam semakin larut ketika Wisang tiba di yayasan tempat Taka bekerja. Langkahnya mantap, tapi hatinya dipenuhi keraguan. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar tentang pertemuannya dengan Larissa sore tadi. Wanita itu bukan hanya kembali ke kehidupan Taka, tapi juga membawa aura ancaman yang sulit diabaikan.Ketika Wisang memasuki kantor utama yayasan, ia menemukan Taka masih sibuk di balik meja kerjanya. Pria itu tengah membaca laporan keuangan dengan serius, tetapi begitu melihat Wisang, ia langsung meletakkan dokumen itu dan menatap istrinya dengan lembut.“Kau masih di sini?” Taka bertanya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Wisang mengangguk, kemudian duduk di kursi di hadapan suaminya. “Aku ingin bicara.”Taka menatapnya dengan penuh perhatian. “Tentang Larissa?”Wisang menghela napas, merasa terbebani dengan segala yang ada di pikirannya. “Aku bertemu dengannya sore ini. Dia datang untuk menjemput Ghenta.”Taka mengangguk, tidak terkejut. “Aku tahu dia akan datang