Pieter bersenandung kecil sembari merapikan rambut. Dia duduk santai di dalam mobil mewah, menanti kedatangan pacar cantiknya.
Setelah dirasa cukup rapi, dia pun meletakkan sisir di dalam laci. Netranya mencuri pandang pada langit malam. Disemarakkan oleh ratusan bintang yang berkelap-kelip di atas sana.
"Ini akan menjadi malam yang indah untuk kita," batin Pieter.
Tak berapa lama, ponsel lelaki itu bergetar. Ada panggilan dari Xela. Dengan cepat, Pieter menyambar telepon.
"Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku udah ada di tempat biasa," ujar Pieter penuh semangat.
"Aku sakit perut, Sayang. Jalan-jalannya lain kali aja, ya," balas kekasihnya.
Jawaban dari Xela membuat mood Pieter hancur. Wajahnya berubah muram. Semangat yang menggebu-gebu itu kini menghilang tanpa jejak, seakan ditelan bumi.
"Sudah ke dokter?" tanyanya memastikan.
Bagaimana pun, kesehatan Xela adalah yang paling utama. Pieter mencoba merelakan pertemuan malam ini demi kesembuhannya. Apa guna memaksa Xela untuk datang jika hanya membuat sakit perempuan itu bertambah parah?
"Jangan khawatir. Aku sudah minum obat. Ada Bibi di rumah. Kamu jangan datang," pesan Xela.
Bibinya bukan membenci Pieter. Dia memang tidak mengizinkan lelaki mana pun untuk menjalin hubungan dengan Xela. Jika kepergok, habislah sudah. Beliau pernah mengancam akan mengirim Xela ke Selandia Baru jika dia nekat berpacaran.
Pieter mengangguk pasrah, "Cepat sembuh, Sayang. Aku pasti merindukanmu."
"Aku juga," sahut Xela sembari memutus sambungan.
Setelah panggilan berakhir, seseorang melingkarkan lengannya di perut Xela. Perempuan itu menoleh sembari meletakkan ponsel di meja dekat ranjang, "Sabar sedikit, Hans."
"Aku udah berbaik hati nunggu selama dua menit, lho," rajuknya sembari memanyunkan bibir.
Xela tertawa kecil, "Ayo, sini. Kasihan adik kecilmu sudah menunggu."
Hans tersenyum puas. Membiarkan dirinya terlarut dalam permainan.
***
Pieter pergi dengan wajah kecewa. Rencana untuk menginap di hotel bersama Xela sirnalah sudah. Padahal, Pieter sengaja membohongi keluarganya dengan alasan mau menginap di rumah Alexander.
Rencana awal, Pieter ingin mengajak kekasihnya makan malam di hotel, sekalian menginap. Kemudian esok harinya, dia akan membawa Xela ke toko perhiasan. Membeli cincin untuk melamar. Pieter sudah tidak sabar untuk mengenalkan Xela pada orang tuanya.
"Aku nggak bisa nginap di rumahnya Alex. Pacarnya dateng. Yang ada, aku iri lihat kemesraan mereka," ucapnya seorang diri sambil melirik kaca spion.
Oleh karena itu, dia memilih untuk pergi ke villa milik ayahnya. Kebetulan, tempat itu jarang dikunjungi orang. ART pun harusnya sudah membubarkan diri. Sebab, jarak rumah mereka dengan villa terhitung dekat. Bisa dicapai dengan sepeda motor, bahkan sepeda.
Setelah mendekati villa, Pieter kemudian turun dari mobil. Lelaki tersebut memasukkan password. Barulah dia bisa membuka pintu.
Pieter memarkir mobil dengan santai di pelataran. Dia kemudian merogoh laci dashboard. Mencari kunci rumah yang selalu diletakkan di sana.
"Untung ada," ucap Pieter lega. Kalau benda itu tak dibawa, terpaksa bermalam di dalam mobil.
Setelah menutup pintu pagar, lelaki itu merasa sangat lelah. Biasanya kalau dia datang, sudah ada yang membukakan. Ternyata, pagar itu berat juga.
***
Pieter langsung membuka pintu kamar terdekat. Tanpa menyalakan lampu terlebih dulu, dia merebahkan diri di kasur.
"Auw!" pekik seseorang yang kejatuhan Pieter.
Lelaki tersebut terkejut dan segera menyingkir. Tangannya gelagapan mencari lampu tidur yang biasa terpasang di meja.
Setelah agak terang, barulah dia menoleh. Samar, dia melihat seorang gadis yang wajahnya kusut.
"Kamu siapa? Maling, ya? Mau kena bogem mentahku? Ayo, sini!" tantangnya sembari menyiapkan kuda-kuda di atas kasur.
Pieter yang tadinya kaget itu kemudian tertawa. Konyol sekali tingkah perempuan ini. Apa dia ART baru? Belum pernah sekali pun dirinya bertemu gadis ini.
Ikut berdiri di atas kasur sembari meregangkan otot-ototnya. Turut menyiapkan kuda-kuda dengan dua tangan yang mengepal kuat. Siap menghadapi ART tidak tahu diri tersebut.
"Maju duluan kalau berani," tantang Pieter, berlagak sombong.
Harusnya, dia menang dengan mudah bila melawan seorang gadis. Sebab secara logika, Pieter seorang laki-laki. Otomatis tenaganya lebih kuat daripada perempuan.
"Eh, malah nantangin. Dasar maling!" umpat gadis tersebut sembari melayangkan tangan kanan. Sasarannya adalah pipi lelaki berbaju jingga.
Dengan cepat, Pieter menangkapnya. Gadis bernama Cyenna itu mencoba melepaskan tangan kanannya, tapi gagal. Pieter tertawa kecil melihatnya.
Tak mau diremehkan, Cyenna menendang lutut Pieter bagian belakang. Tak ayal, lelaki itu pun terjungkal. Karena tangan mereka masih bertautan, maka Cyenna ikut terjatuh di atas peraduan.
Sialnya, bibir keduanya menempel selama beberapa saat. Pieter hanya diam mematung ketika merasakan benda itu mampir. Terasa hangat dan membuat jantung berpacu dengan waktu. Mungkin, inilah penyebab orang-orang ingin segera menikah.
Cyenna sadar dan menjauhkan diri dari Pieter. Sekarang, dia duduk sambil mengusap bibir. Masih terasa hangat dan sensasinya tidak mau hilang.
Pieter tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat, lelaki tersebut bangkit. Membalikkan keadaan. ART tersebut tak berkutik dalam kungkungannya.
"Minggir!" ucapnya gemetar. Rasa takut mulai menjalar. Bagaimana kalau pencuri itu bersikap kurang ajar?
Pieter tak mengindahkan peringatan dari gadis tersebut. Dia malah mendekatkan wajah ke ceruk leher. Hidungnya iseng menempel di sana. Membuat empunya tubuh mencoba mendorong lelaki di atasnya.
"Kenapa memangnya? Takut?" tanya lelaki tersebut sembari memandang lekat pada Cyenna.
Gadis berkemeja putih langsung berguling ke kiri. Menerabas lengan Pieter yang mencengkeram seprai.
Refleks, lelaki itu menghindar. Membuat gadis berambut hitam dapat meloloskan diri. Mencoba berlari ke arah pintu.
Takut kalau Cyenna akan membuat kesalahpahaman dengan warga sekitar, Pieter pun mengejar. Dia berteriak kencang, "Aku bukan pencuri!"
"Mana ada maling yang ngaku!" balas gadis berkemeja putih sambil terus berlari menuju dapur.
Pieter mendobrak pintu dapur yang tak begitu kokoh. Rusak dalam sekali tendangan. Matanya pun berkeliaran, mencari keberadaan ART menyebalkan itu.
Sesaat kemudian, gadis itu muncul dari belakang. Tangannya mendekatkan pisau di leher Pieter. Sudah mirip adegan film saja.
"Aku putra sulung keluarga Rowlerie." Pieter angkat bicara sebelum nyawanya melayang di tangan ART tersebut.
Cyenna tidak percaya. "Bahkan, maling pun pintar mengaku-ngaku. Kalau Bapak beneran putra keluarga Rowlerie, mana buktinya?"
Menghela napas sebentar. "Aku punya foto keluarga. Mau lihat?"
"Ck, itu pasti tipuan! Kalau kulepasin, nanti malah nyerang balik. Aku tidak mau! Sudah keren menangkapmu, eh, malah lepas," tolak gadis berkemeja putih tersebut.
Pieter memutar otak. Apa yang harus ia lakukan supaya gadis ini percaya padanya?
Sesaat kemudian, dia menemukan suatu cara. Pieter berkata, "Izin ambil ponsel di saku."
"Nggak, biar aku yang mengambilkan!" ujar Cyenna tegas.
Lelaki berbaju jingga itu terkejut. Dia bertanya, "Serius?"
"Sejak kapan aku bercanda?" tanyanya.
Di dalam hati, Pieter membenarkan ucapan Cyenna. Sebab sedari tadi, perempuan itu tidak pernah bermain-main. Jadi, apa dia sungguh akan mengambil dompet itu?
Pieter menelan saliva. Berkata lirih, "Ponselku ada di saku celana bagian depan. Masih ngotot mau ambil?"
Walau sebenarnya malu, gadis itu menjawab, "Kanan atau kiri?" "Heh, mau kamu ambil beneran? Nggak, nggak usah! Aku lebih rela berdiri begini daripada digerayangi kamu," balasnya dengan wajah memerah. Cyenna tidak peduli. Tangannya langsung mencari keberadaan ponsel Pieter. Lelaki tersebut diam membeku di tempat. Setelah dapat, gadis berkemeja putih bertanya, "Fotonya di mana?" "Ga-galeri. Cari aja di folder keluarga. Ada banyak di sana," balas Pieter tergagap. Sebelumnya, lelaki tersebut tak pernah disentuh perempuan. Bahkan oleh Xela, perempuan yang sudah menjadi pacarnya selama dua tahun belakangan. Paling, mereka hanya berpelukan. Asisten rumah tangga tersebut menurut. Dia langsung menemukan folder yang dimaksud. "Ikut Cyenna ke kamar. Mau nyocokin wajah Bapak di cermin," perintahnya pelan. Pieter hanya bisa pasrah. Bagaikan tah
"Lho, kenapa?" selidik lelaki tersebut sembari mengambil sepotong ayam goreng. Pieter masih tidak menyadari kesalahan yang telah dia perbuat. Padahal Cyenna jelas-jelas memberikan banyak kode padanya. "Handuknya belum dikembalikan," balas gadis itu seraya meletakkan lalapan di atas meja makan. Pieter mengernyit heran, "Kamu minjemin handuk ke orang?" Walau kesal, Cyenna tetap tersenyum. Dia berkata, "Lebih tepatnya diambil tanpa sepengetahuan saya." "Lah, siapa yang mencuri? Ck ck ck. Nggak modal banget. Handuk pun diembat," komentarnya sembari menciduk nasi. Kali ini, Cyenna tak tahan lagi. Dia menjawab dengan tegas, "Tuan adalah orang yang mengambil, sekaligus memakai handuk saya." "Ooh," sahutnya singkat sambil mengangguk-angguk. Tapi kemudian, dia merasa ada yang janggal. Ditatapnya ART tersebut dengan mata membelalak sempurna,
Selesai membayar, Cyenna memergoki Tuannya yang diam mematung. Dia kemudian mencuri pandang ke arah tatapan Pieter. Gadis itu tak paham apa yang tengah dilihat lelaki tersebut, ingin bertanya tapi segan. Takut mengusik, lebih tepatnya. Tak berapa lama, Pieter teringat akan Cyenna yang sedang mengantre di kasir. Apa gadis itu sudah selesai? Saat menoleh, dia mendapati Cyenna tak ada di tempat. Ke mana gadis itu pergi? "Tuan mencari saya?" tanyanya polos dari balik punggung lelaki berkemeja biru. Pieter tersentak. Dia menoleh ke belakang. Ganti memandang Cyenna yang entah sejak kapan ada di sana. "Suka banget ngagetin orang," komentarnya kesal. Cyenna membalas, "Tadi, saya mau panggil Tuan. Tapi kayaknya lagi sibuk lihatin sesuatu. Ya udah, nggak berani ganggu." Mengusap muka kasar. "Ooh, gitu. Soalnya tadi kayak lihat seseorang. Tapi ga tau siapa." "Tuan nggak ngejar?" tanya Cyenna sembari mengangkat alisnya. "Bu
"Pieter mana?" tanya pria berjas silver tersebut. Sesuai amanat dari Tuannya, gadis itu menjawab, "Sedang rapat." "Ah, sialan!" umpatnya dengan wajah kesal. Gadis berambut hitam sangat kaget. Selama ini, dia belum pernah mendengar kata kasar yang terlontar dari seorang lelaki. Menyambar sebuah gelas di dekat dispenser dan mengisinya dengan air panas sembari mengomel, "Kalau lagi banyak masalah, pasti susah dicari. Waktu minim kepentingan, nggak perlu dicari pun nongol sendiri." Cyenna hanya diam mendengar celotehan lelaki berdasi hitam itu. Toh, dia tak berminat menanggapi. "Oh ya, apa keperluan Anda ke mari, Nona?" tanya lelaki tersebut setelah selesai menyeduh kopi. Menjawab singkat, "Saya menunggu Tuan Pieter." "Maksudku, kenapa kau menunggunya?" selidiknya lagi. Sepertinya, dia salah memberi format pertanyaan. Gadis berambut hitam mengedip-ngedipkan matanya sebentar. Mencari jawaban yang tak memb
Lelaki berkemeja biru kemudian beranjak ke meja kerja. Menandatangani dokumen-dokumen yang dibawa Zven. Sepertinya, dia harus menyiapkan tangan dan mata untuk menyelesaikan semua itu. Detik demi detik berlalu. Tanpa terasa, pekerjaan Pieter sudah selesai semua. Lelaki itu pun merenggangkan otot-ototnya yang pegal. Perlahan, diliriknya Cyenna yang masih tertidur pulas. Padahal, sudah dua jam semenjak Pieter berkutat dengan dokumen-dokumennya. Saat akan menghampiri, ponselnya berbunyi. Lelaki itu pun segera menyambar benda pipih warna hitam tersebut. "Astaga naga!" ujar Pieter, mengungkapkan keterkejutannya. Lelaki itu menepuk jidat. Dia bahkan melupakan rencana penting yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Gara-gara Xela sakit perut, sih. "Na, bangun!" Sontak, gadis cantik itu terbangun karena seruan Pieter. Dia bangkit dengan kesadaran yang belum utuh. Gelagapan. "Ke-kenapa, Tuan?" tanyanya dalam kondisi sete
Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue." "Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut. Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja." "Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas. Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit." "Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga. Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye." "Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru. Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin y
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Cyenna tak menampik kalau perkataan Pieter benar adanya. Kebanyakan lelaki tak suka bila pasangan hidupnya ternyata bekas orang lain. Maunya yang masih bersegel. Tapi yang aneh, mereka suka memberi bekas kepada pria lain."Ada satu," jawabnya pelan, tapi pasti.Bagai tersambar petir di siang bolong, Pieter terkejut. Mungkinkah Cyenna jatuh cinta dengan seorang berandalan?"Siapa?" tuntut Pieter sembari menahan ribuan jarum yang menghujam dada.Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat rongga dadanya sesak. Rasanya sama persis ketika menyaksikan perselingkuhan Xela di depan mata.Cyenna enggan menjawab. Emosi Pieter semakin tersulut. Penasaran dengan sosok yang dibicarakan Cyenna."Kutanya sekali lagi. Siapa orangnya?" amuk lelaki tersebut.Entah mendapat keberanian dari mana, dia menyahut singkat, "Mantanku."Jawaban dari Cyenna sungguh mengiris hati Pieter. Lelaki itu langsung menerjang asistennya hingga jatuh telentang di
"Bukan gitu. Cuma nggak tega aja," balas kekasihnya. Mencoba meminimalkan kesalahpahaman di antara mereka.Hans menyeringai. "Kalau mau hubungan kalian berakhir baik-baik, harusnya kamu putusin dia, baru pacaran sama aku!"Xela terdiam sempurna. Ucapan Hans ada benarnya. Jadi selama ini, dia menyakiti Pieter?"Tatap mataku, La," ujar kekasihnya sembari menangkup wajah wanitanya.Memandang Hans, tapi tak sanggup. Hanya mengingatkan akan pertemuan pertama mereka yang membuatnya haus akan kasih sayang. Hingga akhirnya, dia memilih berpaling dari Pieter. Tanpa tahu kalau lelaki itu menunggu waktu yang tepat untuk menaikkan status hubungan mereka.Xela menyesal. Tapi, semua itu tak ada gunanya. Toh, dia memiliki Hans. Mereka akan menikah bulan depan. Secepat mungkin, Xela harus menghapus perasaannya untuk Pieter.***Pieter melemparkan ponsel ke atas kasur. Dia sungguh kecewa dengan jawaban Xela."Setidaknya, aku tahu kau mencintaik
Matahari menyingsing dari ufuk timur. Membawa kehangatan bersama kilau sinar keemasannya yang mempesona.Sayup-sayup, terdengar tangisan seorang perempuan. Membuat Pieter terjaga dari tidurnya.Menggeliat ke kiri sembari mengusap mata. Mencoba mencari sumber suara. Perlahan, atensinya tertuju pada seorang perempuan yang duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekatinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Berjongkok di depan perempuan berkaus jingga seraya bertanya, "Cyenna, kamu kenapa?"Telinga perempuan itu memanas. Luka di hatinya yang menganga pun terasa ditaburi garam. Perih sekali rasanya. Apa Pieter tak ingat dengan kejadian tadi malam?Melihat asistennya bungkam, Pieter menggaruk kepala yang tidak gatal. Tak biasanya Cyenna bertingkah seperti ini."Jawab, dong. Jangan diam aja. Barangkali, aku bisa bantu kamu," ucapnya lagi. Kali ini, sambil mengangkat dagu Cyenna. Memaksa perempuan itu untuk bertatap muka dengannya.Tentu s
Lelaki berjas hitam membelalakkan mata ketika melihat kekasihnya asyik bergelut dengan seorang pria. Bahkan, tak ada sehelai pakaian pun yang menempel di tubuh mereka."Lagi dong, Sayang," pinta Xela, beberapa saat setelah mereka mencapai puncak.Hans tersenyum miring, "Calon istriku rakus banget.""Biarin. Yang penting, kita nikah bulan depan," balas perempuan itu sembari mengecup pipi Hans.Pieter merasa sangat marah telah dikhianati oleh perempuan yang teramat ia percayai. Dia pun bergegas turun dari lantai dua. Melemparkan buket bunga di dalam mobil sembari berteriak kencang, "Sialan!"Hatinya hancur berkeping-keping. Dia memukul-mukul pintu mobil bagian dalam. Menyesali keputusan untuk memberikan sepenuh hatinya pada Xela."Keterlaluan kamu, La! Aku cinta mati sama kamu. Kenapa kamu gitu sama aku, hah?!" gelisah Pieter dengan tangan mengepal kuat.Frustasi, dia pun mengacak rambut. Dengan segera, Pieter menyambar telepon. Jemarin
Perlahan, Pieter membaringkan tubuh Cyenna di atas ranjang. Beruntung, dia memiliki cukup bantal."Pantas kau nggak mau kusuruh duduk di sini. Takut tertidur, rupanya," ucap Pieter seorang diri sembari beranjak.Mengambilkan sebuah baju tak terpakai untuk alas rambut Cyenna yang masih basah. Entah kapan keringnya."Selamat malam," bisik Pieter sebelum memunggungi gadis itu.***Bi Rosa sengaja datang pagi. Kebetulan hari ini, beliau mendapat giliran menyapu rumah. Dengan segera, wanita 40 tahunan tersebut membawa sapu."Tuan Muda sudah bangun atau belum, ya?" bingungnya di depan pintu.Setelah berpikir cukup lama, dia memutar kenop secara perlahan. Tak ingin membangunkan Pieter, bila memang belum terjaga.Bi Rosa kaget dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu sedang melingkarkan tangan di pinggang seorang gadis. Ditilik dari penampilan, kemungkinan besar adalah Cyenna. Tapi, kenapa?Wanita berbaju merah muda pun menutup pi
Pieter menutup matanya sebentar. Silau karena lampu menyala secara tiba-tiba. Dia tak punya persiapan."Bilang dulu kalau mau nyalain lampu," omel Pieter dengan mata yang masih terpejam.Cyenna meringis, "Maaf, Tuan. Lain kali, Na bilang dulu."Pieter mendengus. Dia lantas memerintah, "Ke sini, cepat!"Mau tak mau, gadis itu mendekat. Sesaat kemudian, Pieter mengernyitkan dahi. Dia jadi bertanya-tanya mengapa rambut Cyenna sebasah itu. Keramas atau bagaimana?"Kok basah gitu, Na?" tanyanya kemudian."Bukan, Tuan. Barusan nyebur ke kolam," jawabnya jujur.Pieter menepuk jidat. Tidak habis pikir dengan tingkah Cyenna. "Kalau mau renang, kenapa malam-malam?"Cyenna meringis, "Lagi galau, Tuan. Makanya langsung nyemplung. Tapi enggak lama-lama. Biar besok tetap bisa kerja."Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ada ya, perempuan se-absurd Cyenna."Minta nomor ponselmu," ujar Pieter sembari menyodorkan ponsel.
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam
Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue." "Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut. Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja." "Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas. Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit." "Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga. Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye." "Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru. Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin y