Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?"
"Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter.
Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha.
Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya.
Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas.
"Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah.
Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit.
Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam di lemari. Terlihat masih baru karena sangat jarang dipakai.
"Lihatin aja, gapapa. Aku nggak marah. Perasaan tadi pagi, kamu sempat lihat," ujar Pieter saat melihat ART itu ragu untuk mendekatinya.
Gadis berambut hitam itu pun berbalik. Melangkah cepat ke arah Tuannya. Lebih cepat dikerjakan, maka lebih cepat selesai. Benar atau tidak?
"Tolong angkat tangannya, Tuan," pinta Cyenna.
Pieter menjawab manja, "Angkatkan."
Entah kenapa, dia ingin terus menerus menggoda Cyenna. Seru saat melihat gadis itu salah tingkah. Selama ini, dia tak pernah usil pada orang. Ternyata rasanya menyenangkan.
"Ck. Tuan kalah sama anak TK. Udah pada pintar pakai baju sendiri," omel Cyenna sembari mengangkat kedua tangan Pieter.
Karena ukuran kausnya kecil, gadis itu agak kesulitan. Dia terpaksa mencondongkan tubuh ke depan. Menarik turun kaus yang terlipat di bagian belakang.
Akibat perbuatan Cyenna, Pieter jadi membayangkan yang tidak-tidak. Dia pun menarik napas berat. Mencoba menghilangkan pemikiran itu dari otaknya, namun gagal. Dia malah semakin ingin mencicipi leher Cyenna. Bagaimana rasanya? Apakah manis seperti permen, atau masam bagaikan keringat? Dia takkan tahu sebelum mencoba, bukan?
Saat akan menjauh, Cyenna menyadari kalau ada embusan angin hangat di lehernya. Dia tak berani menoleh. Sebab, jarak keduanya terlalu dekat. Cyenna tak mau berakhir dengan mengecup leher Tuannya.
Mata Cyenna membola saat melihat Pieter semakin mendekat. Memejamkan mata pula. Apa yang akan lelaki itu lakukan?
Refleks, Cyenna menarik tubuhnya. Dia langsung menyambar kemeja yang ditaruh di meja. Lumayan, untuk pengalih isu.
"Kamu tuh, ya. Nggak bisa pelan-pelan? Mau tanggung jawab kalau jantungku copot?" omel Pieter yang gagal mendaratkan bibirnya di leher Cyenna.
Gadis berambut hitam itu pun tersenyum lebar, "Nggak bisa, Tuan."
Pieter jadi sebal. Dia kemudian berkata, "Aku nggak mau kemeja yang itu. Ambilkan kaus aja."
Cyenna berdecak sebal, "Katanya terserah."
"Sekarang, beda. Aku nggak mau pakai kemeja itu. Gatal. Kamu mau menggaruk kalau aku gatal-gatal?" balas Pieter panjang kali lebar.
Tahu kalau berdebat itu tak ada gunanya, Cyenna pun melangkah menuju lemari. Melipat kemeja kelabu dengan rapi, lalu mengambil sebuah kaus warna biru dongker.
"Ini bagaimana, Tuan?" tanya gadis berkemeja rosemary seraya menunjukkan barang yang dimaksud.
Lelaki itu mengangguk, "Pakaikan, cepat!"
"Iya, Tuan. Sabar!" balas Cyenna sedikit kesal.
Setelah selesai, gadis itu pun mengambil kemeja biru Pieter yang ketumpahan obat merah. Tak lupa menyambar kaus dalam di atas ranjang. Mau dia taruh di ember cucian. Supaya besok bisa dicuci.
"Na. Habis ini, kamu balik ke sini," perintahnya pelan.
"Untuk apa, Tuan?" jawab Cyenna sambil menoleh.
Melirik teh di meja, "Mau minum. Ada sendoknya, nggak? Suapin."
"What?!" responnya terkejut.
"Gak mau gajian?" ancam Pieter sambil menaikkan alisnya.
Gadis itu buru-buru menyahut, "Bukan gitu, Tuan. Cyenna cuma kaget."
"Oh, ya udah kalau kamu mau," ucap lelaki berkaus biru sambil menyandarkan punggungnya di tembok.
Cyenna mencoba menawar, "Tuan, kalau minumnya sekarang aja, gimana? Daripada repot bolak-balik. Mending sekarang."
"Mau cepat-cepat menyuapiku? Agresif sekali," ucap Pieter asal.
"Tuan!" bentak Cyenna yang sudah sangat kesal.
Gadis itu meremas kuat kemeja Pieter yang ada dalam genggamannya. Dalam hati, dia ingin melemparkan kain-kain itu ke sembarang arah. Atau lebih baik, dilempar ke muka Pieter saja?
"Ganteng," balas lelaki itu tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Cyenna menaruh kemeja dan kausnya di atas ranjang. Tangannya kemudian meraih cangkir.
"Buka mulutnya!" ujar Cyenna setelah mendapatkan sesendok air teh.
Entah kenapa, Pieter merasa kalau akan ada hal buruk yang terjadi bila dia tidak menuruti perintah ARTnya. Eh tapi, masa iya seorang Tuan mau diperintah oleh pembantunya? Jaga image sedikit, ah.
Ketidakpatuhan Pieter membuat Cyenna gemas. Gadis itu pun langsung memasukkan sendok ke mulut Tuannya. Akibatnya, terdengar suara dentingan yang dihasilkan dari gigi dengan benda berbahan dasar stainless steel tersebut.
"Sakit!" geram lelaki berkaus biru setelah menelan teh yang mampir ke mulutnya. Rasanya enak, sayang kalau disemburkan.
Cyenna menjawab enteng, "Kan saya sudah minta Tuan buat membuka mulutnya. Saya nggak salah, dong."
Pieter jadi kesal. Dalam hati, dia ingin menampar gadis di hadapannya. Tapi, ya sudahlah. Daripada nggak jadi minum. Tenggorokannya sudah kering.
"Minumkan lagi," pinta Pieter seraya melirik ke arah teh yang dibawa Cyenna.
Gadis berkemeja rosemary pun menghembuskan napas kuat-kuat. Tapi, dia tetap menyuapkan teh tersebut untuk Pieter. Bisa bahaya kalau dia nggak gajian.
Selesai minum, akhirnya Cyenna benar-benar terbebas dari lelaki menyebalkan tersebut. Dia pun segera melempar pakaian Pieter ke ember cucian. Keringatnya banyak. Habis berantem, sih.
Saat melewati kamar mandi, gadis itu baru ingat kalau dia belum mandi. Handuknya pun masih ada di mobil. Cyenna merogoh saku, menemukan kunci yang masih ia bawa sejak tadi.
"Gara-gara Tuan, sih," omel gadis berkemeja rosemary sembari melangkahkan kaki ke parkiran.
Tanpa butuh waktu lama, dia mengambil handuk barunya yang tertinggal. Kebetulan, netra Cyenna melihat ada sebuah ponsel mahal. Tergeletak begitu saja di atas kursi bagian tengah.
Tanpa pikir panjang, Cyenna mengambilnya. Punya siapa lagi kalau bukan milik Pieter? Tak ada penumpang lagi selain dia.
***
Mengetuk pintu perlahan. "Tuan, ponselnya tertinggal di dalam mobil."
Hening, tidak ada sahutan. Cyenna jadi bimbang. Haruskah dia menerabas masuk? Atau menunggu sinyal dari Tuannya?
"Masuk aja, deh. Daripada nanti harus ke sini lagi buat ngembaliin hp," gumamnya seorang diri sembari memutar gagang pintu.
Pieter diam, tak merespon. Cyenna pun melenggang dengan bebas di kamar yang luas tersebut. Walaupun demikian, dia tak berani macam-macam. Hanya meletakkan benda pipih tersebut, kemudian pergi tanpa permisi.
Sepeninggal gadis berkemeja rosemary, Pieter membuka mata. Lelaki itu melirik ke atas meja. Mendapati ponselnya yang tergeletak di sana.
Meski sedikit sakit, Pieter meraih ponselnya. Dia berselancar di kontak. Berusaha memilih seseorang yang tepat untuk memata-matai Xela.
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Pieter menutup matanya sebentar. Silau karena lampu menyala secara tiba-tiba. Dia tak punya persiapan."Bilang dulu kalau mau nyalain lampu," omel Pieter dengan mata yang masih terpejam.Cyenna meringis, "Maaf, Tuan. Lain kali, Na bilang dulu."Pieter mendengus. Dia lantas memerintah, "Ke sini, cepat!"Mau tak mau, gadis itu mendekat. Sesaat kemudian, Pieter mengernyitkan dahi. Dia jadi bertanya-tanya mengapa rambut Cyenna sebasah itu. Keramas atau bagaimana?"Kok basah gitu, Na?" tanyanya kemudian."Bukan, Tuan. Barusan nyebur ke kolam," jawabnya jujur.Pieter menepuk jidat. Tidak habis pikir dengan tingkah Cyenna. "Kalau mau renang, kenapa malam-malam?"Cyenna meringis, "Lagi galau, Tuan. Makanya langsung nyemplung. Tapi enggak lama-lama. Biar besok tetap bisa kerja."Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ada ya, perempuan se-absurd Cyenna."Minta nomor ponselmu," ujar Pieter sembari menyodorkan ponsel.
Perlahan, Pieter membaringkan tubuh Cyenna di atas ranjang. Beruntung, dia memiliki cukup bantal."Pantas kau nggak mau kusuruh duduk di sini. Takut tertidur, rupanya," ucap Pieter seorang diri sembari beranjak.Mengambilkan sebuah baju tak terpakai untuk alas rambut Cyenna yang masih basah. Entah kapan keringnya."Selamat malam," bisik Pieter sebelum memunggungi gadis itu.***Bi Rosa sengaja datang pagi. Kebetulan hari ini, beliau mendapat giliran menyapu rumah. Dengan segera, wanita 40 tahunan tersebut membawa sapu."Tuan Muda sudah bangun atau belum, ya?" bingungnya di depan pintu.Setelah berpikir cukup lama, dia memutar kenop secara perlahan. Tak ingin membangunkan Pieter, bila memang belum terjaga.Bi Rosa kaget dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu sedang melingkarkan tangan di pinggang seorang gadis. Ditilik dari penampilan, kemungkinan besar adalah Cyenna. Tapi, kenapa?Wanita berbaju merah muda pun menutup pi
Lelaki berjas hitam membelalakkan mata ketika melihat kekasihnya asyik bergelut dengan seorang pria. Bahkan, tak ada sehelai pakaian pun yang menempel di tubuh mereka."Lagi dong, Sayang," pinta Xela, beberapa saat setelah mereka mencapai puncak.Hans tersenyum miring, "Calon istriku rakus banget.""Biarin. Yang penting, kita nikah bulan depan," balas perempuan itu sembari mengecup pipi Hans.Pieter merasa sangat marah telah dikhianati oleh perempuan yang teramat ia percayai. Dia pun bergegas turun dari lantai dua. Melemparkan buket bunga di dalam mobil sembari berteriak kencang, "Sialan!"Hatinya hancur berkeping-keping. Dia memukul-mukul pintu mobil bagian dalam. Menyesali keputusan untuk memberikan sepenuh hatinya pada Xela."Keterlaluan kamu, La! Aku cinta mati sama kamu. Kenapa kamu gitu sama aku, hah?!" gelisah Pieter dengan tangan mengepal kuat.Frustasi, dia pun mengacak rambut. Dengan segera, Pieter menyambar telepon. Jemarin
Matahari menyingsing dari ufuk timur. Membawa kehangatan bersama kilau sinar keemasannya yang mempesona.Sayup-sayup, terdengar tangisan seorang perempuan. Membuat Pieter terjaga dari tidurnya.Menggeliat ke kiri sembari mengusap mata. Mencoba mencari sumber suara. Perlahan, atensinya tertuju pada seorang perempuan yang duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekatinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Berjongkok di depan perempuan berkaus jingga seraya bertanya, "Cyenna, kamu kenapa?"Telinga perempuan itu memanas. Luka di hatinya yang menganga pun terasa ditaburi garam. Perih sekali rasanya. Apa Pieter tak ingat dengan kejadian tadi malam?Melihat asistennya bungkam, Pieter menggaruk kepala yang tidak gatal. Tak biasanya Cyenna bertingkah seperti ini."Jawab, dong. Jangan diam aja. Barangkali, aku bisa bantu kamu," ucapnya lagi. Kali ini, sambil mengangkat dagu Cyenna. Memaksa perempuan itu untuk bertatap muka dengannya.Tentu s
"Bukan gitu. Cuma nggak tega aja," balas kekasihnya. Mencoba meminimalkan kesalahpahaman di antara mereka.Hans menyeringai. "Kalau mau hubungan kalian berakhir baik-baik, harusnya kamu putusin dia, baru pacaran sama aku!"Xela terdiam sempurna. Ucapan Hans ada benarnya. Jadi selama ini, dia menyakiti Pieter?"Tatap mataku, La," ujar kekasihnya sembari menangkup wajah wanitanya.Memandang Hans, tapi tak sanggup. Hanya mengingatkan akan pertemuan pertama mereka yang membuatnya haus akan kasih sayang. Hingga akhirnya, dia memilih berpaling dari Pieter. Tanpa tahu kalau lelaki itu menunggu waktu yang tepat untuk menaikkan status hubungan mereka.Xela menyesal. Tapi, semua itu tak ada gunanya. Toh, dia memiliki Hans. Mereka akan menikah bulan depan. Secepat mungkin, Xela harus menghapus perasaannya untuk Pieter.***Pieter melemparkan ponsel ke atas kasur. Dia sungguh kecewa dengan jawaban Xela."Setidaknya, aku tahu kau mencintaik
Cyenna tak menampik kalau perkataan Pieter benar adanya. Kebanyakan lelaki tak suka bila pasangan hidupnya ternyata bekas orang lain. Maunya yang masih bersegel. Tapi yang aneh, mereka suka memberi bekas kepada pria lain."Ada satu," jawabnya pelan, tapi pasti.Bagai tersambar petir di siang bolong, Pieter terkejut. Mungkinkah Cyenna jatuh cinta dengan seorang berandalan?"Siapa?" tuntut Pieter sembari menahan ribuan jarum yang menghujam dada.Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat rongga dadanya sesak. Rasanya sama persis ketika menyaksikan perselingkuhan Xela di depan mata.Cyenna enggan menjawab. Emosi Pieter semakin tersulut. Penasaran dengan sosok yang dibicarakan Cyenna."Kutanya sekali lagi. Siapa orangnya?" amuk lelaki tersebut.Entah mendapat keberanian dari mana, dia menyahut singkat, "Mantanku."Jawaban dari Cyenna sungguh mengiris hati Pieter. Lelaki itu langsung menerjang asistennya hingga jatuh telentang di
Pieter bersenandung kecil sembari merapikan rambut. Dia duduk santai di dalam mobil mewah, menanti kedatangan pacar cantiknya. Setelah dirasa cukup rapi, dia pun meletakkan sisir di dalam laci. Netranya mencuri pandang pada langit malam. Disemarakkan oleh ratusan bintang yang berkelap-kelip di atas sana. "Ini akan menjadi malam yang indah untuk kita," batin Pieter. Tak berapa lama, ponsel lelaki itu bergetar. Ada panggilan dari Xela. Dengan cepat, Pieter menyambar telepon. "Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku udah ada di tempat biasa," ujar Pieter penuh semangat. "Aku sakit perut, Sayang. Jalan-jalannya lain kali aja, ya," balas kekasihnya. Jawaban dari Xela membuat mood Pieter hancur. Wajahnya berubah muram. Semangat yang menggebu-gebu itu kini menghilang tanpa jejak, seakan ditelan bumi. "Sudah ke dokter?" tanyanya memastikan. Bagaimana pun, kesehatan Xela adalah yang paling utama. Pieter mencoba merelakan pertemuan
Cyenna tak menampik kalau perkataan Pieter benar adanya. Kebanyakan lelaki tak suka bila pasangan hidupnya ternyata bekas orang lain. Maunya yang masih bersegel. Tapi yang aneh, mereka suka memberi bekas kepada pria lain."Ada satu," jawabnya pelan, tapi pasti.Bagai tersambar petir di siang bolong, Pieter terkejut. Mungkinkah Cyenna jatuh cinta dengan seorang berandalan?"Siapa?" tuntut Pieter sembari menahan ribuan jarum yang menghujam dada.Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat rongga dadanya sesak. Rasanya sama persis ketika menyaksikan perselingkuhan Xela di depan mata.Cyenna enggan menjawab. Emosi Pieter semakin tersulut. Penasaran dengan sosok yang dibicarakan Cyenna."Kutanya sekali lagi. Siapa orangnya?" amuk lelaki tersebut.Entah mendapat keberanian dari mana, dia menyahut singkat, "Mantanku."Jawaban dari Cyenna sungguh mengiris hati Pieter. Lelaki itu langsung menerjang asistennya hingga jatuh telentang di
"Bukan gitu. Cuma nggak tega aja," balas kekasihnya. Mencoba meminimalkan kesalahpahaman di antara mereka.Hans menyeringai. "Kalau mau hubungan kalian berakhir baik-baik, harusnya kamu putusin dia, baru pacaran sama aku!"Xela terdiam sempurna. Ucapan Hans ada benarnya. Jadi selama ini, dia menyakiti Pieter?"Tatap mataku, La," ujar kekasihnya sembari menangkup wajah wanitanya.Memandang Hans, tapi tak sanggup. Hanya mengingatkan akan pertemuan pertama mereka yang membuatnya haus akan kasih sayang. Hingga akhirnya, dia memilih berpaling dari Pieter. Tanpa tahu kalau lelaki itu menunggu waktu yang tepat untuk menaikkan status hubungan mereka.Xela menyesal. Tapi, semua itu tak ada gunanya. Toh, dia memiliki Hans. Mereka akan menikah bulan depan. Secepat mungkin, Xela harus menghapus perasaannya untuk Pieter.***Pieter melemparkan ponsel ke atas kasur. Dia sungguh kecewa dengan jawaban Xela."Setidaknya, aku tahu kau mencintaik
Matahari menyingsing dari ufuk timur. Membawa kehangatan bersama kilau sinar keemasannya yang mempesona.Sayup-sayup, terdengar tangisan seorang perempuan. Membuat Pieter terjaga dari tidurnya.Menggeliat ke kiri sembari mengusap mata. Mencoba mencari sumber suara. Perlahan, atensinya tertuju pada seorang perempuan yang duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekatinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Berjongkok di depan perempuan berkaus jingga seraya bertanya, "Cyenna, kamu kenapa?"Telinga perempuan itu memanas. Luka di hatinya yang menganga pun terasa ditaburi garam. Perih sekali rasanya. Apa Pieter tak ingat dengan kejadian tadi malam?Melihat asistennya bungkam, Pieter menggaruk kepala yang tidak gatal. Tak biasanya Cyenna bertingkah seperti ini."Jawab, dong. Jangan diam aja. Barangkali, aku bisa bantu kamu," ucapnya lagi. Kali ini, sambil mengangkat dagu Cyenna. Memaksa perempuan itu untuk bertatap muka dengannya.Tentu s
Lelaki berjas hitam membelalakkan mata ketika melihat kekasihnya asyik bergelut dengan seorang pria. Bahkan, tak ada sehelai pakaian pun yang menempel di tubuh mereka."Lagi dong, Sayang," pinta Xela, beberapa saat setelah mereka mencapai puncak.Hans tersenyum miring, "Calon istriku rakus banget.""Biarin. Yang penting, kita nikah bulan depan," balas perempuan itu sembari mengecup pipi Hans.Pieter merasa sangat marah telah dikhianati oleh perempuan yang teramat ia percayai. Dia pun bergegas turun dari lantai dua. Melemparkan buket bunga di dalam mobil sembari berteriak kencang, "Sialan!"Hatinya hancur berkeping-keping. Dia memukul-mukul pintu mobil bagian dalam. Menyesali keputusan untuk memberikan sepenuh hatinya pada Xela."Keterlaluan kamu, La! Aku cinta mati sama kamu. Kenapa kamu gitu sama aku, hah?!" gelisah Pieter dengan tangan mengepal kuat.Frustasi, dia pun mengacak rambut. Dengan segera, Pieter menyambar telepon. Jemarin
Perlahan, Pieter membaringkan tubuh Cyenna di atas ranjang. Beruntung, dia memiliki cukup bantal."Pantas kau nggak mau kusuruh duduk di sini. Takut tertidur, rupanya," ucap Pieter seorang diri sembari beranjak.Mengambilkan sebuah baju tak terpakai untuk alas rambut Cyenna yang masih basah. Entah kapan keringnya."Selamat malam," bisik Pieter sebelum memunggungi gadis itu.***Bi Rosa sengaja datang pagi. Kebetulan hari ini, beliau mendapat giliran menyapu rumah. Dengan segera, wanita 40 tahunan tersebut membawa sapu."Tuan Muda sudah bangun atau belum, ya?" bingungnya di depan pintu.Setelah berpikir cukup lama, dia memutar kenop secara perlahan. Tak ingin membangunkan Pieter, bila memang belum terjaga.Bi Rosa kaget dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu sedang melingkarkan tangan di pinggang seorang gadis. Ditilik dari penampilan, kemungkinan besar adalah Cyenna. Tapi, kenapa?Wanita berbaju merah muda pun menutup pi
Pieter menutup matanya sebentar. Silau karena lampu menyala secara tiba-tiba. Dia tak punya persiapan."Bilang dulu kalau mau nyalain lampu," omel Pieter dengan mata yang masih terpejam.Cyenna meringis, "Maaf, Tuan. Lain kali, Na bilang dulu."Pieter mendengus. Dia lantas memerintah, "Ke sini, cepat!"Mau tak mau, gadis itu mendekat. Sesaat kemudian, Pieter mengernyitkan dahi. Dia jadi bertanya-tanya mengapa rambut Cyenna sebasah itu. Keramas atau bagaimana?"Kok basah gitu, Na?" tanyanya kemudian."Bukan, Tuan. Barusan nyebur ke kolam," jawabnya jujur.Pieter menepuk jidat. Tidak habis pikir dengan tingkah Cyenna. "Kalau mau renang, kenapa malam-malam?"Cyenna meringis, "Lagi galau, Tuan. Makanya langsung nyemplung. Tapi enggak lama-lama. Biar besok tetap bisa kerja."Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ada ya, perempuan se-absurd Cyenna."Minta nomor ponselmu," ujar Pieter sembari menyodorkan ponsel.
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam
Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue." "Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut. Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja." "Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas. Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit." "Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga. Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye." "Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru. Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin y