Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue."
"Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut.
Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja."
"Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas.
Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit."
"Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga.
Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye."
"Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru.
Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin yang dipersengketakan ke tangan gadis bersurai hitam.
"Kalau Xela selingkuh, kembaliin cincin ini! Kalau enggak, gue yang bayar cincin ini buat lamaran Tuan lo," pesan Theodore.
Sebelum benar-benar meninggalkan toko, lelaki tersebut melunasi cincin tersebut di kasir. Cyenna hanya memandangnya tanpa kedip. Apa Theodore bersungguh-sungguh membayar cincin seharga satu miliar?
"Theo, lo masih waras, nggak?" teriak Cyenna sebelum lelaki itu membuka pintu keluar.
Menoleh sebentar sembari tersenyum miring, "Otak gue sedikit miring gara-gara ditonjok Tuan lo."
Pieter sendiri asyik merenungi perkataan Theodore. Benarkah yang dikatakan lelaki itu? Sampai membayarkan cincin seharga satu miliar rolla.
(Note: 1 miliar rolla = 2 miliar rupiah)"Xela, apa kamu sungguh berselingkuh dariku?" batinnya galau.
***
"Tuan, kita mau ke rumah sakit, atau bagaimana?" tanya Cyenna setelah siap mengemudi.
Lelaki yang berada di kursi tengah tersebut rupanya tak mendengarkan. Dia masih memikirkan tentang Xela. Apa benar kekasihnya itu berselingkuh dengan Hans?
"Tuan," panggil gadis itu lagi ketika tak mendapatkan jawaban.
Kali ini, Pieter tersentak. Dia balas bertanya, "A-apa?"
"Mau ke rumah, villa, atau rumah sakit, Tuan?" jawab Cyenna, mencoba bersabar.
Lelaki berkemeja biru itu langsung menjawab, "Villa aja. Biar aku yang panggil dokter pribadi. Malas kalau ditanyain Papa sama Mama."
Cyenna mengangguk paham. Dia pun segera melajukan mobilnya di jalanan Kota Scenara. Tanpa butuh waktu lama, gadis itu menemukan jalan untuk pulang.
Di sinilah, Pieter mulai curiga dengan ARTnya. Bagaimana bisa gadis itu saling mengenal dengan Theodore? Sejauh gosip yang ia dengar selama ini, lelaki tersebut hanya mau bertemankan orang-orang kaya. Kemudian, Cyenna juga hafal jalan pulang meski baru kali ini dia membawa gadis itu ke kota.
"Semua orang pasti merahasiakan sesuatu," simpul Pieter pada akhirnya.
Dengan bantuan dari satpam, lelaki itu sampai di kamarnya. Tak lama kemudian, Cyenna masuk. Gadis berambut hitam tersebut membawa secangkir teh hangat.
"Tuan bisa membunyikan bel bila membutuhkan bantuan," ujar gadis itu saat meletakkan tehnya di meja.
Pieter tidak menjawab. Cyenna yang kesal itu pun langsung pergi. Malas berurusan dengan Tuannya.
Kring!
Lelaki tersebut membunyikan bel, tepat ketika Cyenna akan membuka pintu kamar. Gadis itu pun menoleh. Mencoba bersabar.
"Ada apa, Tuan?" tanyanya seraya tersenyum lebar.
Pieter menyeringai, "Aku butuh bantuanmu. Katanya kalau butuh bantuan, suruh membunyikan lonceng."
Cyenna yang sudah tak bisa mengontrol emosi pun bertanya, "Maksud saya, bantuan apa yang Tuan butuhkan?"
"Obati lukaku! Kamu bisa, 'kan?"
Menggeleng, "Maaf. Sebaiknya, Tuan memanggil dokter. Saya takut kalau lukanya bertambah parah."
"Nggak akan! Ngirit, ah. Aku nggak mau dokter pribadiku laporan ke Mama. Mulutnya tuh, lemes banget," ujar Pieter.
Dia memang baru sadar kalau dokter itu selalu memberitahu orang tuanya. Padahal laki-laki. Dokter kepercayaan, sih. Hal sekecil apa pun harus dilaporkan.
Cyenna mengalah. Gadis itu menjawab, "Baik, Tuan. Saya ambil kotak P3K dahulu."
Walau agak dongkol, ART berkemeja rosemary berjalan menuju tempat penyimpanan kotak obat. Diambilnya obat merah dan kapas. Itu cukup, 'kan?
"Ah, biarlah. Salah sendiri, nggak mau ke dokter. Lagian kenapa kalau ketahuan Papa sama Mama? Kena marah?" gerutu Cyenna seorang diri.
Gadis itu tak rela jika melewatkan acara televisi kesukaannya. Sebentar lagi mulai. Tapi Pieter malah menyuruhnya untuk mengobati luka.
"Pelan-pelan," ujar Pieter saat Cyenna membuka pintu dengan kasar.
"Iya, Tuan," balas gadis itu seraya duduk di dekat lelaki berkemeja biru.
Cyenna kemudian menyapukan obat merah ke atas kapas putih. Perlahan, gadis itu mengoleskannya ke sudut bibir Pieter. Darahnya sudah mengering.
"Auw," pekik lelaki berkemeja biru.
Gadis itu tidak menghentikan kegiatannya, "Tahan sedikit, Tuan."
"Sakit!" balas Pieter.
Cyenna tak peduli. Dia terus saja menutulkan kapas ke bagian wajah Pieter yang lecet. Tak peduli dengan jerit kesakitan lelaki itu.
"Sudah selesai, Tuan. Apa ada lagi yang berdarah? Tangan, misalnya," ucap gadis berkemeja rosemary.
Pieter mengangkat tangannya. ART itu pun langsung menggulung lengan baju perlahan-lahan.
"Oh, ini yang sakit, Tuan?" tanya Cyenna berbasa-basi saat melihat luka cakar di pergelangan tangan Tuannya.
"Hm," balasnya singkat.
Dalam hati, Pieter membatin, "Sudah kelihatan begitu, pakai nanya segala."
Dengan cekatan, Cyenna membubuhkan obat merah di luka Pieter. Terdengar jerit kesakitan dari mulut pria itu. Tapi seperti biasa, Cyenna tidak peduli.
"Sudah selesai, Tuan," beritahu gadis berkemeja rosemary sembari bangkit dari duduknya.
Karena kesemutan, gadis itu kehilangan keseimbangan. Cyenna yang tak mau berakhir dengan menabrak tubuh Pieter pun memilih untuk menjatuhkan obat merah yang dipegangnya. Tangan itu ia gunakan untuk menopang di tembok.
"Maaf Tuan, nggak sengaja," ucap Cyenna sebelum kena marah.
Pieter menarik napas panjang, "Bawakan baju ganti! Kemejaku ketumpahan obat merah."
"Baik, Tuan. Mau pakai yang warna apa?" tanya gadis itu seraya meraih obat merah yang sempat menggelinding di atas seprai.
"Terserah. Kau saja yang pilihkan," ucap Pieter sambil memandang ke arah pintu.
Cyenna menurut. Diambilnya sebuah kemeja warna kelabu. Kemudian, dia serahkan untuk Tuannya.
"Pakaikan," ucap Pieter seraya merentangkan kedua tangan.
Gadis di hadapannya langsung melotot, "Tuan barusan bilang apa?"
"Apa aku harus berbisik di telingamu, hm?" ujar Pieter seraya memandang indra pendengaran Cyenna.
ART tersebut langsung menjawab, "Sembarangan!"
"Ya udah, buruan pakaikan bajuku! Tanganku sakit kalau ditekuk," perintah Pieter dengan nada yang kurang mengenakkan.
Walau ragu, Cyenna akhirnya melepas kancing kemeja Pieter satu per satu. Gadis itu menarik napas lega saat mengetahui Tuannya memakai kaus dalam. Aman, kulitnya tidak akan kelihatan.
"Gantikan yang dalam juga," ucap Pieter, menghalau kesenangan Cyenna.
ARTnya refleks menjawab, "Nggak mau!"
Melangkah pergi seraya berkata, "Biar saya panggilkan Bi Rosa. Nanti, beliau yang menggantikan baju Tuan. Saya permisi."
"Cyenna! Kamu berani melangkahkan kaki melebihi pintu kamar itu, gajimu kutahan seumur hidup!" ancam Pieter.
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Pieter menutup matanya sebentar. Silau karena lampu menyala secara tiba-tiba. Dia tak punya persiapan."Bilang dulu kalau mau nyalain lampu," omel Pieter dengan mata yang masih terpejam.Cyenna meringis, "Maaf, Tuan. Lain kali, Na bilang dulu."Pieter mendengus. Dia lantas memerintah, "Ke sini, cepat!"Mau tak mau, gadis itu mendekat. Sesaat kemudian, Pieter mengernyitkan dahi. Dia jadi bertanya-tanya mengapa rambut Cyenna sebasah itu. Keramas atau bagaimana?"Kok basah gitu, Na?" tanyanya kemudian."Bukan, Tuan. Barusan nyebur ke kolam," jawabnya jujur.Pieter menepuk jidat. Tidak habis pikir dengan tingkah Cyenna. "Kalau mau renang, kenapa malam-malam?"Cyenna meringis, "Lagi galau, Tuan. Makanya langsung nyemplung. Tapi enggak lama-lama. Biar besok tetap bisa kerja."Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ada ya, perempuan se-absurd Cyenna."Minta nomor ponselmu," ujar Pieter sembari menyodorkan ponsel.
Perlahan, Pieter membaringkan tubuh Cyenna di atas ranjang. Beruntung, dia memiliki cukup bantal."Pantas kau nggak mau kusuruh duduk di sini. Takut tertidur, rupanya," ucap Pieter seorang diri sembari beranjak.Mengambilkan sebuah baju tak terpakai untuk alas rambut Cyenna yang masih basah. Entah kapan keringnya."Selamat malam," bisik Pieter sebelum memunggungi gadis itu.***Bi Rosa sengaja datang pagi. Kebetulan hari ini, beliau mendapat giliran menyapu rumah. Dengan segera, wanita 40 tahunan tersebut membawa sapu."Tuan Muda sudah bangun atau belum, ya?" bingungnya di depan pintu.Setelah berpikir cukup lama, dia memutar kenop secara perlahan. Tak ingin membangunkan Pieter, bila memang belum terjaga.Bi Rosa kaget dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu sedang melingkarkan tangan di pinggang seorang gadis. Ditilik dari penampilan, kemungkinan besar adalah Cyenna. Tapi, kenapa?Wanita berbaju merah muda pun menutup pi
Lelaki berjas hitam membelalakkan mata ketika melihat kekasihnya asyik bergelut dengan seorang pria. Bahkan, tak ada sehelai pakaian pun yang menempel di tubuh mereka."Lagi dong, Sayang," pinta Xela, beberapa saat setelah mereka mencapai puncak.Hans tersenyum miring, "Calon istriku rakus banget.""Biarin. Yang penting, kita nikah bulan depan," balas perempuan itu sembari mengecup pipi Hans.Pieter merasa sangat marah telah dikhianati oleh perempuan yang teramat ia percayai. Dia pun bergegas turun dari lantai dua. Melemparkan buket bunga di dalam mobil sembari berteriak kencang, "Sialan!"Hatinya hancur berkeping-keping. Dia memukul-mukul pintu mobil bagian dalam. Menyesali keputusan untuk memberikan sepenuh hatinya pada Xela."Keterlaluan kamu, La! Aku cinta mati sama kamu. Kenapa kamu gitu sama aku, hah?!" gelisah Pieter dengan tangan mengepal kuat.Frustasi, dia pun mengacak rambut. Dengan segera, Pieter menyambar telepon. Jemarin
Matahari menyingsing dari ufuk timur. Membawa kehangatan bersama kilau sinar keemasannya yang mempesona.Sayup-sayup, terdengar tangisan seorang perempuan. Membuat Pieter terjaga dari tidurnya.Menggeliat ke kiri sembari mengusap mata. Mencoba mencari sumber suara. Perlahan, atensinya tertuju pada seorang perempuan yang duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekatinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Berjongkok di depan perempuan berkaus jingga seraya bertanya, "Cyenna, kamu kenapa?"Telinga perempuan itu memanas. Luka di hatinya yang menganga pun terasa ditaburi garam. Perih sekali rasanya. Apa Pieter tak ingat dengan kejadian tadi malam?Melihat asistennya bungkam, Pieter menggaruk kepala yang tidak gatal. Tak biasanya Cyenna bertingkah seperti ini."Jawab, dong. Jangan diam aja. Barangkali, aku bisa bantu kamu," ucapnya lagi. Kali ini, sambil mengangkat dagu Cyenna. Memaksa perempuan itu untuk bertatap muka dengannya.Tentu s
"Bukan gitu. Cuma nggak tega aja," balas kekasihnya. Mencoba meminimalkan kesalahpahaman di antara mereka.Hans menyeringai. "Kalau mau hubungan kalian berakhir baik-baik, harusnya kamu putusin dia, baru pacaran sama aku!"Xela terdiam sempurna. Ucapan Hans ada benarnya. Jadi selama ini, dia menyakiti Pieter?"Tatap mataku, La," ujar kekasihnya sembari menangkup wajah wanitanya.Memandang Hans, tapi tak sanggup. Hanya mengingatkan akan pertemuan pertama mereka yang membuatnya haus akan kasih sayang. Hingga akhirnya, dia memilih berpaling dari Pieter. Tanpa tahu kalau lelaki itu menunggu waktu yang tepat untuk menaikkan status hubungan mereka.Xela menyesal. Tapi, semua itu tak ada gunanya. Toh, dia memiliki Hans. Mereka akan menikah bulan depan. Secepat mungkin, Xela harus menghapus perasaannya untuk Pieter.***Pieter melemparkan ponsel ke atas kasur. Dia sungguh kecewa dengan jawaban Xela."Setidaknya, aku tahu kau mencintaik
Cyenna tak menampik kalau perkataan Pieter benar adanya. Kebanyakan lelaki tak suka bila pasangan hidupnya ternyata bekas orang lain. Maunya yang masih bersegel. Tapi yang aneh, mereka suka memberi bekas kepada pria lain."Ada satu," jawabnya pelan, tapi pasti.Bagai tersambar petir di siang bolong, Pieter terkejut. Mungkinkah Cyenna jatuh cinta dengan seorang berandalan?"Siapa?" tuntut Pieter sembari menahan ribuan jarum yang menghujam dada.Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat rongga dadanya sesak. Rasanya sama persis ketika menyaksikan perselingkuhan Xela di depan mata.Cyenna enggan menjawab. Emosi Pieter semakin tersulut. Penasaran dengan sosok yang dibicarakan Cyenna."Kutanya sekali lagi. Siapa orangnya?" amuk lelaki tersebut.Entah mendapat keberanian dari mana, dia menyahut singkat, "Mantanku."Jawaban dari Cyenna sungguh mengiris hati Pieter. Lelaki itu langsung menerjang asistennya hingga jatuh telentang di
Cyenna tak menampik kalau perkataan Pieter benar adanya. Kebanyakan lelaki tak suka bila pasangan hidupnya ternyata bekas orang lain. Maunya yang masih bersegel. Tapi yang aneh, mereka suka memberi bekas kepada pria lain."Ada satu," jawabnya pelan, tapi pasti.Bagai tersambar petir di siang bolong, Pieter terkejut. Mungkinkah Cyenna jatuh cinta dengan seorang berandalan?"Siapa?" tuntut Pieter sembari menahan ribuan jarum yang menghujam dada.Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat rongga dadanya sesak. Rasanya sama persis ketika menyaksikan perselingkuhan Xela di depan mata.Cyenna enggan menjawab. Emosi Pieter semakin tersulut. Penasaran dengan sosok yang dibicarakan Cyenna."Kutanya sekali lagi. Siapa orangnya?" amuk lelaki tersebut.Entah mendapat keberanian dari mana, dia menyahut singkat, "Mantanku."Jawaban dari Cyenna sungguh mengiris hati Pieter. Lelaki itu langsung menerjang asistennya hingga jatuh telentang di
"Bukan gitu. Cuma nggak tega aja," balas kekasihnya. Mencoba meminimalkan kesalahpahaman di antara mereka.Hans menyeringai. "Kalau mau hubungan kalian berakhir baik-baik, harusnya kamu putusin dia, baru pacaran sama aku!"Xela terdiam sempurna. Ucapan Hans ada benarnya. Jadi selama ini, dia menyakiti Pieter?"Tatap mataku, La," ujar kekasihnya sembari menangkup wajah wanitanya.Memandang Hans, tapi tak sanggup. Hanya mengingatkan akan pertemuan pertama mereka yang membuatnya haus akan kasih sayang. Hingga akhirnya, dia memilih berpaling dari Pieter. Tanpa tahu kalau lelaki itu menunggu waktu yang tepat untuk menaikkan status hubungan mereka.Xela menyesal. Tapi, semua itu tak ada gunanya. Toh, dia memiliki Hans. Mereka akan menikah bulan depan. Secepat mungkin, Xela harus menghapus perasaannya untuk Pieter.***Pieter melemparkan ponsel ke atas kasur. Dia sungguh kecewa dengan jawaban Xela."Setidaknya, aku tahu kau mencintaik
Matahari menyingsing dari ufuk timur. Membawa kehangatan bersama kilau sinar keemasannya yang mempesona.Sayup-sayup, terdengar tangisan seorang perempuan. Membuat Pieter terjaga dari tidurnya.Menggeliat ke kiri sembari mengusap mata. Mencoba mencari sumber suara. Perlahan, atensinya tertuju pada seorang perempuan yang duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekatinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Berjongkok di depan perempuan berkaus jingga seraya bertanya, "Cyenna, kamu kenapa?"Telinga perempuan itu memanas. Luka di hatinya yang menganga pun terasa ditaburi garam. Perih sekali rasanya. Apa Pieter tak ingat dengan kejadian tadi malam?Melihat asistennya bungkam, Pieter menggaruk kepala yang tidak gatal. Tak biasanya Cyenna bertingkah seperti ini."Jawab, dong. Jangan diam aja. Barangkali, aku bisa bantu kamu," ucapnya lagi. Kali ini, sambil mengangkat dagu Cyenna. Memaksa perempuan itu untuk bertatap muka dengannya.Tentu s
Lelaki berjas hitam membelalakkan mata ketika melihat kekasihnya asyik bergelut dengan seorang pria. Bahkan, tak ada sehelai pakaian pun yang menempel di tubuh mereka."Lagi dong, Sayang," pinta Xela, beberapa saat setelah mereka mencapai puncak.Hans tersenyum miring, "Calon istriku rakus banget.""Biarin. Yang penting, kita nikah bulan depan," balas perempuan itu sembari mengecup pipi Hans.Pieter merasa sangat marah telah dikhianati oleh perempuan yang teramat ia percayai. Dia pun bergegas turun dari lantai dua. Melemparkan buket bunga di dalam mobil sembari berteriak kencang, "Sialan!"Hatinya hancur berkeping-keping. Dia memukul-mukul pintu mobil bagian dalam. Menyesali keputusan untuk memberikan sepenuh hatinya pada Xela."Keterlaluan kamu, La! Aku cinta mati sama kamu. Kenapa kamu gitu sama aku, hah?!" gelisah Pieter dengan tangan mengepal kuat.Frustasi, dia pun mengacak rambut. Dengan segera, Pieter menyambar telepon. Jemarin
Perlahan, Pieter membaringkan tubuh Cyenna di atas ranjang. Beruntung, dia memiliki cukup bantal."Pantas kau nggak mau kusuruh duduk di sini. Takut tertidur, rupanya," ucap Pieter seorang diri sembari beranjak.Mengambilkan sebuah baju tak terpakai untuk alas rambut Cyenna yang masih basah. Entah kapan keringnya."Selamat malam," bisik Pieter sebelum memunggungi gadis itu.***Bi Rosa sengaja datang pagi. Kebetulan hari ini, beliau mendapat giliran menyapu rumah. Dengan segera, wanita 40 tahunan tersebut membawa sapu."Tuan Muda sudah bangun atau belum, ya?" bingungnya di depan pintu.Setelah berpikir cukup lama, dia memutar kenop secara perlahan. Tak ingin membangunkan Pieter, bila memang belum terjaga.Bi Rosa kaget dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu sedang melingkarkan tangan di pinggang seorang gadis. Ditilik dari penampilan, kemungkinan besar adalah Cyenna. Tapi, kenapa?Wanita berbaju merah muda pun menutup pi
Pieter menutup matanya sebentar. Silau karena lampu menyala secara tiba-tiba. Dia tak punya persiapan."Bilang dulu kalau mau nyalain lampu," omel Pieter dengan mata yang masih terpejam.Cyenna meringis, "Maaf, Tuan. Lain kali, Na bilang dulu."Pieter mendengus. Dia lantas memerintah, "Ke sini, cepat!"Mau tak mau, gadis itu mendekat. Sesaat kemudian, Pieter mengernyitkan dahi. Dia jadi bertanya-tanya mengapa rambut Cyenna sebasah itu. Keramas atau bagaimana?"Kok basah gitu, Na?" tanyanya kemudian."Bukan, Tuan. Barusan nyebur ke kolam," jawabnya jujur.Pieter menepuk jidat. Tidak habis pikir dengan tingkah Cyenna. "Kalau mau renang, kenapa malam-malam?"Cyenna meringis, "Lagi galau, Tuan. Makanya langsung nyemplung. Tapi enggak lama-lama. Biar besok tetap bisa kerja."Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ada ya, perempuan se-absurd Cyenna."Minta nomor ponselmu," ujar Pieter sembari menyodorkan ponsel.
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam
Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue." "Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut. Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja." "Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas. Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit." "Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga. Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye." "Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru. Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin y