"Pieter mana?" tanya pria berjas silver tersebut.
Sesuai amanat dari Tuannya, gadis itu menjawab, "Sedang rapat."
"Ah, sialan!" umpatnya dengan wajah kesal.
Gadis berambut hitam sangat kaget. Selama ini, dia belum pernah mendengar kata kasar yang terlontar dari seorang lelaki.
Menyambar sebuah gelas di dekat dispenser dan mengisinya dengan air panas sembari mengomel, "Kalau lagi banyak masalah, pasti susah dicari. Waktu minim kepentingan, nggak perlu dicari pun nongol sendiri."
Cyenna hanya diam mendengar celotehan lelaki berdasi hitam itu. Toh, dia tak berminat menanggapi.
"Oh ya, apa keperluan Anda ke mari, Nona?" tanya lelaki tersebut setelah selesai menyeduh kopi.
Menjawab singkat, "Saya menunggu Tuan Pieter."
"Maksudku, kenapa kau menunggunya?" selidiknya lagi. Sepertinya, dia salah memberi format pertanyaan.
Gadis berambut hitam mengedip-ngedipkan matanya sebentar. Mencari jawaban yang tak membingungkan, "Saya menunggu Tuan Pieter karena saya diminta beliau untuk menunggu di sini."
Mengernyitkan alis sebentar, "Memang, kau siapanya?"
"Saya asisten rumah tangga beliau, Tuan. Kebetulan, tadi kami pulang berbelanja," balas Cyenna jujur.
Pria itu hampir menyemburkan kopi yang ada di mulutnya. Dia terbatuk sebentar.
"Apa katamu tadi? Belanja?" ulang pria berdasi hitam, tak percaya dengan pengakuan gadis itu.
Mengangguk dengan wajah polosnya. "Apa ada yang salah, Tuan?"
"Pieter tak suka berbelanja. Apalagi, menemani seorang perempuan," ujarnya jujur.
Cyenna diam. Haruskah dia berkata bahwa Pieter tak sengaja memakai handuknya? Eh tapi, Pieter melarangnya untuk bercerita dengan siapa pun. Ah, bagaimana ini?
"Saya juga kurang tahu kalau Tuan Pieter tidak suka berbelanja. Mungkin, beliau terpaksa karena diminta oleh orang tuanya," bohong Cyenna.
Dalam hati, dia berharap. Semoga saja, lelaki tersebut tidak bertanya apa pun lagi. Pusing menjawabnya.
Pria berdasi hitam mengangguk-anggukkan kepala. "Dia memang sangat patuh dengan orang tuanya."
"Ooh," balas Cyenna yang tak tahu harus berkomentar apa.
Sedetik kemudian, lelaki berdasi hitam mengulurkan tangan. "Kenalkan, aku Zven."
"Saya Cyenna, Tuan Zven," balas gadis berambut hitam seraya menyambut uluran tangan pria tampan tersebut.
Zven membatin, "Udah cantik, kulitnya halus pula. Bisa nih, gue deketin jadi calon istri. Kayanya, dia cewek baik-baik, deh."
Cyenna merasa tak enak karena lelaki tersebut terus-terusan menatapnya. Terlebih, Zven belum melepaskan tautan tangan mereka. Menyebalkan sekali.
"Udah lama jadi asistennya Pieter?" tanya Zven kemudian.
Gadis berkemeja rosemary itu pun menggeleng, "Baru dua minggu."
"Kita udah jadi teman, Cyenna. Nggak usah bicara formal. Pakai lo-gue aja. Atau, aku-kamu juga boleh," ucap lelaki berdasi hitam tersebut.
Dara manis itu meringis, lalu menjawab, "Oke, Zven."
"Besok minggu, ada acara nggak?" tanyanya tanpa basa-basi.
Cyenna menjawab mantap, "Jaga rumah."
"Eh, kamu tinggal di rumahnya Pieter?" tanya Zven sangsi.
Gadis berambut hitam langsung meluruskan, "Bukan rumahnya Tuan Pieter, tapi villanya keluarga beliau."
"Wah. Boleh tuh, kalau aku mampir. Sekalian refreshing. Capek kerja terus," modusnya.
Zven menyeruput kopi yang mulai dingin. Sayang kalau tak diminum. Dan siapa tahu, Cyenna mengagumi ketampanannya saat sedang menghirup cairan kental warna hitam tersebut.
Akan tetapi, perkiraan lelaki itu salah besar. Cyenna hanya tersenyum tipis, kemudian kembali fokus pada surat kabar yang sedari tadi ada di tangannya.
Pieter yang diam-diam mengintip pun terkikik geli ketika Cyenna mengabaikan Zven. Dia berkata dalam hati, "Rasain! Lagian, hobi, kok, ngembat perempuan cantik."
Membuka pintu tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Na, ayo pulang."
"Rapatnya sudah selesai, Tuan?" tanya gadis itu seraya melipat surat kabarnya di atas meja.
Zven langsung bangkit, "Bentar! Enak aja, main pulang."
"Kenapa memangnya?" tanya Pieter sembari menaikkan sebelah alisnya.
Mengambil setumpuk berkas dari tasnya, "Tanda tangan dulu. Selain itu, ada yang harus kita obrolkan mengenai Navistama Group."
Cyenna langsung melirik ke arah Zven. Apa yang akan mereka bicarakan tentang keluarga kaya yang misterius itu? Masalah kontrakkah?
"Nggak bisa lain kali, Ven?" tawar Pieter sedikit malas.
Setelah gagal menghabiskan malam panas dengan Xela, dia jadi agak bad mood. Ke kantor pun karena dipaksa oleh ayahnya. Kalau enggak, mungkin sekarang, dia dan Cyenna sudah sampai di villa.
Zven terlihat putus asa. "Dokumen buat tanda tangan, silakan kalau mau dibawa pulang. Tapi urusan Navistama, harus di sini! Nggak bisa ditawar lagi!"
Melihat situasi yang kurang kondusif ini, Cyenna berinisiatif untuk bangkit dari tempat duduknya. Dia bermaksud untuk keluar. Barangkali, mau berbicara empat mata.
Pieter langsung bertanya, "Mau ke mana, Na?"
"Cari angin segar, Tuan. Enggak jauh, kok. Paling di luar ruangan," balasnya nyengir kuda.
Lelaki itu menghela napas. Berpesan, "Jangan jauh-jauh, tapi. Aku nggak mau repot-repot cari kamu kalau nyasar."
Gadis berambut hitam tersebut mengangguk, "Iya, Tuan."
Cyenna melanjutkan perjalanan yang tertunda. Menyisakan Pieter dan Zven di dalam sana.
"Tuan, tuh, nggak peka atau gimana, sih? Tahu kalau diajak mengobrolkan hal penting, malah mau cegah Na buat enggak keluar dari ruangan," gerutu Cyenna sembari mendudukkan dirinya di kursi tunggu.
Setelah cukup lama berada di sana, gadis itu jadi mengantuk. Tanpa sempat berpikir panjang, Cyenna pun menyandarkan punggungnya di dinding. Memejamkan mata, terhanyut ke alam mimpi.
Beberapa saat kemudian, Zven keluar dari ruangan Pieter dengan wajah kesal. Tadinya hendak marah-marah dan sempat berniat membanting pintu. Akan tetapi, rencana tersebut langsung berubah saat melihat Cyenna yang tertidur pulas di kursi ruang tunggu.
Zven mereguk salivanya sebentar. ART itu terlihat lebih manis saat sedang tidur. Wajahnya sungguh menggoda iman.
Melihat rekannya diam mematung di ambang pintu, Pieter pun melongok dari jendela. Memergoki Zven yang memandang tanpa kedip ke arah kursi tunggu. Netra coklat Pieter pun memandang hal yang sama. Jujur, dia sedikit tergoda. Tapi sadar diri kalau sudah mempunyai pacar.
Tak mau Zven terus menerus memelototi ARTnya, Pieter pun pergi menghampiri. Bahkan, sengaja menyenggol lelaki itu supaya kehilangan keseimbangan.
"Jalanan itu lebar. Nggak usah nabrak-nabrak orang!" ujarnya sedikit marah dengan tingkah Pieter.
Menarik bawah matanya sembari menjulurkan lidah, "Ini kantorku, suka-suka aku."
Zven menghantamkan tangannya ke tembok. Dia kemudian pergi dengan hati yang kesal. Mengapa Pieter bertingkah menyebalkan seperti itu?
Sepeninggal lelaki berdasi hitam tersebut, Pieter ganti menatap Cyenna. Dia mengacak-acak rambutnya yang rapi.
"Perempuan ini berat banget nggak, ya?" gunamnya dalam hati.
Pieter berniat untuk menggendong gadis itu ke sofa. Lebih empuk dan nyaman daripada tidur dalam posisi duduk. Masalahnya, apa dia kuat menjunjung Cyenna?
"Dicoba aja dulu. Siapa tahu, dia seringan bulu," ucap Pieter sambil mendekati gadis berkemeja rosemary.
Perlahan, lelaki tersebut menelusupkan tangan di punggung Cyenna. Dalam sekali sentakan, dia berhasil menggendong gadis itu. Ternyata, Cyenna tak seberat yang dia pikirkan. Atau, memang dia yang terlalu kuat? Entahlah.
Cyenna sampai dengan selamat di sofa. Pieter membaringkannya perlahan supaya tidak bangun. Dan supaya gadis itu tak jatuh menggelinding, dia sengaja menggeser meja. Merapatkannya pada sofa.
"Menyapu halaman itu melelahkan, bukan? Apalagi, kau masih punya kewajiban mencuci pakaian," ujar Pieter. Pandangannya tertuju pada Cyenna yang masih memejamkan mata.
Lelaki berkemeja biru kemudian beranjak ke meja kerja. Menandatangani dokumen-dokumen yang dibawa Zven. Sepertinya, dia harus menyiapkan tangan dan mata untuk menyelesaikan semua itu. Detik demi detik berlalu. Tanpa terasa, pekerjaan Pieter sudah selesai semua. Lelaki itu pun merenggangkan otot-ototnya yang pegal. Perlahan, diliriknya Cyenna yang masih tertidur pulas. Padahal, sudah dua jam semenjak Pieter berkutat dengan dokumen-dokumennya. Saat akan menghampiri, ponselnya berbunyi. Lelaki itu pun segera menyambar benda pipih warna hitam tersebut. "Astaga naga!" ujar Pieter, mengungkapkan keterkejutannya. Lelaki itu menepuk jidat. Dia bahkan melupakan rencana penting yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Gara-gara Xela sakit perut, sih. "Na, bangun!" Sontak, gadis cantik itu terbangun karena seruan Pieter. Dia bangkit dengan kesadaran yang belum utuh. Gelagapan. "Ke-kenapa, Tuan?" tanyanya dalam kondisi sete
Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue." "Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut. Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja." "Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas. Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit." "Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga. Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye." "Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru. Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin y
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Pieter menutup matanya sebentar. Silau karena lampu menyala secara tiba-tiba. Dia tak punya persiapan."Bilang dulu kalau mau nyalain lampu," omel Pieter dengan mata yang masih terpejam.Cyenna meringis, "Maaf, Tuan. Lain kali, Na bilang dulu."Pieter mendengus. Dia lantas memerintah, "Ke sini, cepat!"Mau tak mau, gadis itu mendekat. Sesaat kemudian, Pieter mengernyitkan dahi. Dia jadi bertanya-tanya mengapa rambut Cyenna sebasah itu. Keramas atau bagaimana?"Kok basah gitu, Na?" tanyanya kemudian."Bukan, Tuan. Barusan nyebur ke kolam," jawabnya jujur.Pieter menepuk jidat. Tidak habis pikir dengan tingkah Cyenna. "Kalau mau renang, kenapa malam-malam?"Cyenna meringis, "Lagi galau, Tuan. Makanya langsung nyemplung. Tapi enggak lama-lama. Biar besok tetap bisa kerja."Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ada ya, perempuan se-absurd Cyenna."Minta nomor ponselmu," ujar Pieter sembari menyodorkan ponsel.
Perlahan, Pieter membaringkan tubuh Cyenna di atas ranjang. Beruntung, dia memiliki cukup bantal."Pantas kau nggak mau kusuruh duduk di sini. Takut tertidur, rupanya," ucap Pieter seorang diri sembari beranjak.Mengambilkan sebuah baju tak terpakai untuk alas rambut Cyenna yang masih basah. Entah kapan keringnya."Selamat malam," bisik Pieter sebelum memunggungi gadis itu.***Bi Rosa sengaja datang pagi. Kebetulan hari ini, beliau mendapat giliran menyapu rumah. Dengan segera, wanita 40 tahunan tersebut membawa sapu."Tuan Muda sudah bangun atau belum, ya?" bingungnya di depan pintu.Setelah berpikir cukup lama, dia memutar kenop secara perlahan. Tak ingin membangunkan Pieter, bila memang belum terjaga.Bi Rosa kaget dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu sedang melingkarkan tangan di pinggang seorang gadis. Ditilik dari penampilan, kemungkinan besar adalah Cyenna. Tapi, kenapa?Wanita berbaju merah muda pun menutup pi
Lelaki berjas hitam membelalakkan mata ketika melihat kekasihnya asyik bergelut dengan seorang pria. Bahkan, tak ada sehelai pakaian pun yang menempel di tubuh mereka."Lagi dong, Sayang," pinta Xela, beberapa saat setelah mereka mencapai puncak.Hans tersenyum miring, "Calon istriku rakus banget.""Biarin. Yang penting, kita nikah bulan depan," balas perempuan itu sembari mengecup pipi Hans.Pieter merasa sangat marah telah dikhianati oleh perempuan yang teramat ia percayai. Dia pun bergegas turun dari lantai dua. Melemparkan buket bunga di dalam mobil sembari berteriak kencang, "Sialan!"Hatinya hancur berkeping-keping. Dia memukul-mukul pintu mobil bagian dalam. Menyesali keputusan untuk memberikan sepenuh hatinya pada Xela."Keterlaluan kamu, La! Aku cinta mati sama kamu. Kenapa kamu gitu sama aku, hah?!" gelisah Pieter dengan tangan mengepal kuat.Frustasi, dia pun mengacak rambut. Dengan segera, Pieter menyambar telepon. Jemarin
Matahari menyingsing dari ufuk timur. Membawa kehangatan bersama kilau sinar keemasannya yang mempesona.Sayup-sayup, terdengar tangisan seorang perempuan. Membuat Pieter terjaga dari tidurnya.Menggeliat ke kiri sembari mengusap mata. Mencoba mencari sumber suara. Perlahan, atensinya tertuju pada seorang perempuan yang duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekatinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Berjongkok di depan perempuan berkaus jingga seraya bertanya, "Cyenna, kamu kenapa?"Telinga perempuan itu memanas. Luka di hatinya yang menganga pun terasa ditaburi garam. Perih sekali rasanya. Apa Pieter tak ingat dengan kejadian tadi malam?Melihat asistennya bungkam, Pieter menggaruk kepala yang tidak gatal. Tak biasanya Cyenna bertingkah seperti ini."Jawab, dong. Jangan diam aja. Barangkali, aku bisa bantu kamu," ucapnya lagi. Kali ini, sambil mengangkat dagu Cyenna. Memaksa perempuan itu untuk bertatap muka dengannya.Tentu s
Cyenna tak menampik kalau perkataan Pieter benar adanya. Kebanyakan lelaki tak suka bila pasangan hidupnya ternyata bekas orang lain. Maunya yang masih bersegel. Tapi yang aneh, mereka suka memberi bekas kepada pria lain."Ada satu," jawabnya pelan, tapi pasti.Bagai tersambar petir di siang bolong, Pieter terkejut. Mungkinkah Cyenna jatuh cinta dengan seorang berandalan?"Siapa?" tuntut Pieter sembari menahan ribuan jarum yang menghujam dada.Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat rongga dadanya sesak. Rasanya sama persis ketika menyaksikan perselingkuhan Xela di depan mata.Cyenna enggan menjawab. Emosi Pieter semakin tersulut. Penasaran dengan sosok yang dibicarakan Cyenna."Kutanya sekali lagi. Siapa orangnya?" amuk lelaki tersebut.Entah mendapat keberanian dari mana, dia menyahut singkat, "Mantanku."Jawaban dari Cyenna sungguh mengiris hati Pieter. Lelaki itu langsung menerjang asistennya hingga jatuh telentang di
"Bukan gitu. Cuma nggak tega aja," balas kekasihnya. Mencoba meminimalkan kesalahpahaman di antara mereka.Hans menyeringai. "Kalau mau hubungan kalian berakhir baik-baik, harusnya kamu putusin dia, baru pacaran sama aku!"Xela terdiam sempurna. Ucapan Hans ada benarnya. Jadi selama ini, dia menyakiti Pieter?"Tatap mataku, La," ujar kekasihnya sembari menangkup wajah wanitanya.Memandang Hans, tapi tak sanggup. Hanya mengingatkan akan pertemuan pertama mereka yang membuatnya haus akan kasih sayang. Hingga akhirnya, dia memilih berpaling dari Pieter. Tanpa tahu kalau lelaki itu menunggu waktu yang tepat untuk menaikkan status hubungan mereka.Xela menyesal. Tapi, semua itu tak ada gunanya. Toh, dia memiliki Hans. Mereka akan menikah bulan depan. Secepat mungkin, Xela harus menghapus perasaannya untuk Pieter.***Pieter melemparkan ponsel ke atas kasur. Dia sungguh kecewa dengan jawaban Xela."Setidaknya, aku tahu kau mencintaik
Matahari menyingsing dari ufuk timur. Membawa kehangatan bersama kilau sinar keemasannya yang mempesona.Sayup-sayup, terdengar tangisan seorang perempuan. Membuat Pieter terjaga dari tidurnya.Menggeliat ke kiri sembari mengusap mata. Mencoba mencari sumber suara. Perlahan, atensinya tertuju pada seorang perempuan yang duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekatinya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Berjongkok di depan perempuan berkaus jingga seraya bertanya, "Cyenna, kamu kenapa?"Telinga perempuan itu memanas. Luka di hatinya yang menganga pun terasa ditaburi garam. Perih sekali rasanya. Apa Pieter tak ingat dengan kejadian tadi malam?Melihat asistennya bungkam, Pieter menggaruk kepala yang tidak gatal. Tak biasanya Cyenna bertingkah seperti ini."Jawab, dong. Jangan diam aja. Barangkali, aku bisa bantu kamu," ucapnya lagi. Kali ini, sambil mengangkat dagu Cyenna. Memaksa perempuan itu untuk bertatap muka dengannya.Tentu s
Lelaki berjas hitam membelalakkan mata ketika melihat kekasihnya asyik bergelut dengan seorang pria. Bahkan, tak ada sehelai pakaian pun yang menempel di tubuh mereka."Lagi dong, Sayang," pinta Xela, beberapa saat setelah mereka mencapai puncak.Hans tersenyum miring, "Calon istriku rakus banget.""Biarin. Yang penting, kita nikah bulan depan," balas perempuan itu sembari mengecup pipi Hans.Pieter merasa sangat marah telah dikhianati oleh perempuan yang teramat ia percayai. Dia pun bergegas turun dari lantai dua. Melemparkan buket bunga di dalam mobil sembari berteriak kencang, "Sialan!"Hatinya hancur berkeping-keping. Dia memukul-mukul pintu mobil bagian dalam. Menyesali keputusan untuk memberikan sepenuh hatinya pada Xela."Keterlaluan kamu, La! Aku cinta mati sama kamu. Kenapa kamu gitu sama aku, hah?!" gelisah Pieter dengan tangan mengepal kuat.Frustasi, dia pun mengacak rambut. Dengan segera, Pieter menyambar telepon. Jemarin
Perlahan, Pieter membaringkan tubuh Cyenna di atas ranjang. Beruntung, dia memiliki cukup bantal."Pantas kau nggak mau kusuruh duduk di sini. Takut tertidur, rupanya," ucap Pieter seorang diri sembari beranjak.Mengambilkan sebuah baju tak terpakai untuk alas rambut Cyenna yang masih basah. Entah kapan keringnya."Selamat malam," bisik Pieter sebelum memunggungi gadis itu.***Bi Rosa sengaja datang pagi. Kebetulan hari ini, beliau mendapat giliran menyapu rumah. Dengan segera, wanita 40 tahunan tersebut membawa sapu."Tuan Muda sudah bangun atau belum, ya?" bingungnya di depan pintu.Setelah berpikir cukup lama, dia memutar kenop secara perlahan. Tak ingin membangunkan Pieter, bila memang belum terjaga.Bi Rosa kaget dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu sedang melingkarkan tangan di pinggang seorang gadis. Ditilik dari penampilan, kemungkinan besar adalah Cyenna. Tapi, kenapa?Wanita berbaju merah muda pun menutup pi
Pieter menutup matanya sebentar. Silau karena lampu menyala secara tiba-tiba. Dia tak punya persiapan."Bilang dulu kalau mau nyalain lampu," omel Pieter dengan mata yang masih terpejam.Cyenna meringis, "Maaf, Tuan. Lain kali, Na bilang dulu."Pieter mendengus. Dia lantas memerintah, "Ke sini, cepat!"Mau tak mau, gadis itu mendekat. Sesaat kemudian, Pieter mengernyitkan dahi. Dia jadi bertanya-tanya mengapa rambut Cyenna sebasah itu. Keramas atau bagaimana?"Kok basah gitu, Na?" tanyanya kemudian."Bukan, Tuan. Barusan nyebur ke kolam," jawabnya jujur.Pieter menepuk jidat. Tidak habis pikir dengan tingkah Cyenna. "Kalau mau renang, kenapa malam-malam?"Cyenna meringis, "Lagi galau, Tuan. Makanya langsung nyemplung. Tapi enggak lama-lama. Biar besok tetap bisa kerja."Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ada ya, perempuan se-absurd Cyenna."Minta nomor ponselmu," ujar Pieter sembari menyodorkan ponsel.
"Tapi kalau aku minta bantuan dari bodyguard, Papa sama Mama bakal tahu kalau anaknya pacaran. Bisa gawat," desis Pieter setelah mencari selama beberapa saat.Lelaki itu pun berpikir keras. Bagaimana caranya agar dapat mengawasi Xela? Tapi, dia tidak turun tangan. Masa iya, mau memasang CCTV?"Ah, gataulah," ujarnya putus asa seraya mengembalikan ponselnya ke atas meja.Melihat keberadaan lonceng, Pieter teringat akan Cyenna. Bukankah gadis itu sudah tahu kalau dirinya punya pacar? Dia juga bisa menyetir mobil. Bisa nih, diberi tugas tambahan.Dengan semangat, Pieter meraih bel di meja. Tapi kemudian, lelaki tersebut mengurungkan niat."Cyenna baru aja dari sini. Nanti ketahuan kalau tadi aku pura-pura tidur," gumamnya pelan."Aish, masa harus nunggu satu jam buat panggil Cyenna. Ah, ya udahlah. Mau tidur siang aja. Lumayan, udah lama nggak nyantai begini," sambung Pieter lagi.***"Na, nanti malam, kamu menginap se
Gadis berkemeja rosemary menoleh dengan tangan yang terkepal kuat. Dia mengomel, "Kenapa, sih? Harus banget, Cyenna yang pakaikan?" "Iya, harus! Udah gerah," balas Pieter. Walau berlagak tidak masalah, sebenarnya jantung lelaki itu berdegup tak karuan. Sensasi saat Cyenna membuka kancing bajunya sanggup membuat pikiran Pieter berkeliaran ke mana-mana. Sayang kalau tidak dilanjutkan, ha ha. Cyenna mereguk saliva. Dia berjalan sambil menunduk. Dalam satu kali tarikan, kaus itu terlepas dari tempatnya. Pieter tertawa kencang saat melihat ekspresi yang dibuat Cyenna. Gadis berkemeja rosemary terlihat membuang muka saat melihat perut six pack milik Tuannya. Dan hal itu sukses membuat Pieter gemas. "Apa sih?" ucap Cyenna sembari membuang kaus berkeringat itu ke sembarang arah. Lelaki berambut hitam tak menjawab. Masih asyik tertawa. Bahkan, perutnya sampai sakit. Cyenna menarik napas panjang. Dia kemudian mengambil sebuah kaus dalam
Theodore tertawa terbahak-bahak, "Cincin itu udah bener buat gue. Soalnya, Xela yang lo maksud itu pacar dari asisten pribadi gue." "Hah? Pacarnya Hans?" tanggap Cyenna terkejut. Lelaki berambut kecoklatan itu mengangguk mantap, "Nah, lo tahu, 'kan Hans cowok model gimana? Cyenna, bilang ke Tuan lo buat putus sama Xela. Barangkali, tuh cewek cuma mau duitnya aja." "Nggak! Itu gak mungkin! Paling cuma akal-akalanmu biar bisa dapetin cincin itu, 'kan?" tolak putra sulung keluarga Rowlerie dengan tegas. Menghirup napas panjang, "Gue udah beberapa kali ngeliat mereka di depan kantor. Dan udah dua hari ini, Hans izin sakit." "Xela juga sakit perut," batin Pieter, mulai curiga. Theo berdecak sebentar, "Lo samperin aja ke rumahnya Xela. Barangkali, asisten pribadi gue ada di sana. Bye." "Heh! Cincinnya jangan dibawa!" teriak lelaki berkemeja biru. Teman kuliah Cyenna itu akhirnya memutar bola mata ke atas. Menyerahkan cincin y