Setelah tiga hari berada di rumah sakit, Sinar akhirnya kembali ke rumah yang sangat ia rindukan. Itu pun, Pras sempat memaksa agar Sinar tidak perlu pulang dulu hingga benar-benar pulih. Namun, Sinar menolaknya dengan rengekan tanpa henti, hingga Pras mengalah dan menuruti sang istri untuk pulang ke rumah.
Tidak hanya itu sebenarnya. Ketika sampai di rumah pun, Pras telah menyiapkan Sinar sebuah kursi roda, agar Sinar tidak terlalu banyak bergerak selama masa pemulihan. Pras benar-benar tidak tega, ketika melihat istrinya itu berjalan dengan sangat perlahan dan hati-hati ketika melangkah.
“Kamu tuh, lebay, Mas,” decak Sinar yang menolak untuk memakai kursi rodanya. “Aku tuh masih bisa jalan. Lagian kata dokter, aku tuh harus gerak seperti biasa, meskipun harus hati-hati dulu sementara.”
“Justru itu, sementara ini, kamu bisa pake kursi roda dulu,” saran Pras. “Kan enak, kamu tinggal gerakin tuasnya terus bisa jalan dengan cepat.”
“Ih, yaa enggaklaaaah
Pagi itu, adalah pagi pertama Qaishar berada di rumah. Ada seorang suster yang akan datang untuk memandikan bayi tampan itu setiap pagi dan sore harinya. Pras pun menyaksikan Qaishar yang dimandikan oleh suster tersebut dengan seksama. Sedangkan Sinar, wanita itu tengah mengisi amunisi agar ASI yang diberikan pada putranya semakin lancar dan tidak sampai kurang. Sementara itu, Aida sibuk dengan kamera mirrorless keluaran terbaru, yang digunakan untuk mengabadikan moment tersebut, dengan sebuah video. “Qai, rewel gak semalam?” tanya Aida pada Pras, ketika sang suster sudah mengangkat Qaishar dari bak mandi. “Gak rewel, cuma bangun-bangun minta ASI sampai …” Pras menghitung sejenak, berapa kali dirinya terbangun karena putranya itu menangis karena lapar. “Lima kali,” ungkapnya dengan yakin. “Kamu ikut bantuin Sinar, atau lanjut tidur?” selidik Aida dengan memicingkan mata. “Cuma bisa bantu ngangkat sama mindahin Qai,” jawab Pras tanpa melepaskan
Sinar menerima suapan demi suapan yang diberikan Pras dengan hati kesal. Menahan sakit hati karena masih terngiang dengan bentakan suaminya tersebut. Selama itu, Sinar hanya mendiamkan Pras dan tidak memberikan seulas senyum pun pada pria itu.“Bukannya aku sudah bilang, aku gak ngebentak kamu,” Pras dengan alibinya, meyakinkan diri karena memang tidak merasa membentak Sinar sama sekali.“Terserah! Tapi aku sakit hati dengar omongan kamu tadi,” balas Sinar mengalihkan tatapannya dari wajah Pras.“Tapi, aku benar, Nar.” Pras tetap bertahan dengan argumennya. “Gimana kalau ada Ato lewat? Atau yang lain, pak Juna misalnya? Dan mereka lihat kamu lagi begini?” satu telapak tangan Pras terbuka, untuk menunjuk Qaishar yang masih saja sibuk menyesap ASInya dengan sangat lahap.“Ya, kamu bisa ngomong baik-baik, Mas,” sangkal Sinar. “Gak pake bentak-bentak.”Meskipun sedari tadi mereka b
Usia Qaishar sudah memasuki hari ke sembilan. Lantas hari itu, adalah hari pertama Pras harus meninggalkan putra kesayangannya untuk bekerja.Rutinitas Sinar pun, mau tidak mau harus kembali seperti semula. Menyiapkan semua keperluan untuk Pras di pagi harinya. Meskipun, geraknya masih belum bisa selincah dan secepat dahulu kala. Rasa trauma serta nyeri akibat jahitan pada jalan lahirnya, masih menghantui hari-harinya jika hendak melakukan suatu hal.Sementara Sinar sibuk menyiapkan pakaian Pras yang warnanya sangat-sangat monoton, yakni hanya ada kemeja dengan satu warna yaitu putih. Sinar tidak perlu bingung lagi, jika harus memadu padankan jas dengan kemeja beserta dasinya yang hendak dipakai oleh Pras.Sementara itu, Pras sendiri tengah merebahkan diri bersama putra, yang sementara ini masih memiliki hobi tertidur itu. Tunggu saja dua atau tiga bulan lagi, maka bayi tersebut mungkin sudah bisa berguling-guling dan berteriak sekehendak hatinya.“
“Eits …” Sinar merentangkan kedua tangannya. Menghalangi Pras yang baru saja tiba dari kantor, untuk mendekati Qaishar yang masih terlelap. “Mandi dulu, baru boleh pegang-pegang.” Pras langsung memeluk tubuh Sinar secara tiba-tiba. Sedikit mengangkat wanita itu dan memutar tubuhnya. “Kalau pegang kamu boleh?” “Mandmm …” Bibir yang baru saja terbuka, dan hendak memuntahkan protes itu pun langsung dibungkam oleh Pras. Sementara Sinar, refleks saja mengalungkan tangannya dan ikut ke mana pun Pras membawanya. “Ayah, enam bulan lagi bebas,” kata Pras setelah melepas pagutan panasnya. Memberi senyum tipis pada sang istri sembari mengusap jejak basahnya yang masih tersisa di bibir Sinar. Kontan saja, manik bening milik Sinar itu langsung tampak berbinar mendengarnya. Sudut bibirnya pun tertarik lebar, sangat sempurna. “Serius, Mas?” Pras mengangguk, lalu menyambar satu kecupan lagi di bibir yang masih terbuka dengan rasa takjub itu. “
Sungguh, di kepala Sinar saat ini tertimbun banyak pertanyaan ketika melihat Bira ada di depannya. Pria itu hanya bisa menatap takjub, dengan sosok mungil yang masih memiliki hobi tidur itu. Bira tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk menggendong Qaishar, karena takut akan menyakitinya. Salah sedikit saja, Pras bisa saja menghabisinya. Lebih baik cari aman dengan hanya menatap, meskipun tangannya gemas ingin sekali membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. “Bira!” panggil Sinar yang duduk santai pada sofa khusus menyusui, yang dibelikan oleh Mira kala itu. Pria itu pun menoleh pada Sinar dengan cepat. “Apaan?” Bibir Sinar terbuka, tapi giginya menatup rapat seraya mendesis kesal sejenak. “Kamu, sama Gina, pacaran?” “Enggak!” “Jangan bohong kamu,” desak Sinar semakin menajamkan tatapannya. “Aku lihat story chat kamu waktu itu! Kalian pake baju couple warna biru pink!” Bira memberi ringisan pada Sinar seraya menggaruk le
Sinar memandang puas, dengan foto newborn Qaishar yang baru saja terpasang di kamar mereka. Terletak tepat di samping foto pernikahannya dengan Pras. Qaishar benar-benar tampan, dengan memakai tuksedo dan bergaya bak seorang presiden direktur. Dan kesemua ide untuk tema pemotretan tersebut, Praslah pencetusnya. Sepertinya, Qaishar akan benar-benar dipersiapkan untuk meneruskan tombak kepemimpinan Casteel High nantinya. “Ganteng, kan?” Pras yang baru saja keluar dari kamar mandi itu, langsung menghampiri Sinar. Berdiri di belakang sang istri lalu memeluknya. Menjatuhkan wajahnya pada ceruk leher Sinar kemudian berbisik. “Sama seperti ayahnya.” Dagu Sinar lantas langsung mengetat. Menarik wajahnya untuk melihat Pras. “Sejak kapan kamu jadi narsis, Mas? Jangan kecentilan ih!” seru Sinar merasa aneh karena sikap Pras barusan. “Awas ya, kalua berani macem-macem, aku habisin ulat bulu kamu itu!” “Kalau dihabisi, kamu gak bakal bisa punya anak lagi.” Pras me
Wajah datar Pras terdiam sebentar, seraya melihat Qaishar yang baru saja melepaskan bibir mungilnya dari tubuh Sinar. “Itu …” tunjuknya pada bagian tubuh yang cepat-cepat ditutup oleh Sinar.“Huh!” Sinar memicing tajam lalu bangkit perlahan untuk meletakkan bayi tampanya di box bayi. Masih memendam rasa curiga akan telepon dari Arista di pagi hari seperti ini.Sinar mengikuti Pras yang sudah melangkahkan kakinya ke menuju walk ini closet. Kembali duduk di sofa bench dan menatap tubuh polos itu mengganti pakaian dengan pakaian santai. Karena jam kerja masih beberapa jam lagi, maka Pras belum menggunakan setelah formalnya.“Yang tadi belum dijawab, kenapa Arista nelpo n pagi-pagi gini?”“Ada urusan kantor,” jawab Pras santai lalu memakai kaos oblongnya.“Iya apa? Kenapa harus nelpon pagi-pagi? Kenapa gak nelpon mas Lex? Arista, kan, sekretarisnya mas Lex?” Sinar tidak akan membiarkan
Arista memutuskan untuk mempercepat makan siangnya. Merasa canggung karena berada diantara Pras dan Sinar. Meskipun Sinar selalu mengajaknya berbicara panjang lebar, tapi, Arista sudah merasa sesuatu yang canggungm karena ada nama Bintang dalam pembicaraan mereka. Arista tahu benar, bagaimana sejarah hubungan antara Pras, Sinar dan Bintang. Sungguh sangat membingungkan dan merepotkan jika harus dipikirkan, Untuk itu, Arista tidak ingin memasukkan dirinya dalam kubangan kerumitan yang sama. Namun, di atas itu semua, Arista memiliki satu alasan kuat, yang menjadikan dirinya ingin segera lepas, dari permasalahan salah satu pemilik dari firma Sagara itu. “Kira-kira, kenapa ya, Mas. Arista gak mau sama Mas Bin?” tanya Sinar setelah Arista sudah pergi menjauh dari meja mereka. Sepanjang yang Sinar tahu dari penjelasan Arista, wanita itu baru kali ini diajak makan siang dengan Pras untuk membahas profil pembeli saham Surya. Biasanya, Arista hanya sebatas menelepon P
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama