Sungguh, di kepala Sinar saat ini tertimbun banyak pertanyaan ketika melihat Bira ada di depannya.
Pria itu hanya bisa menatap takjub, dengan sosok mungil yang masih memiliki hobi tidur itu. Bira tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk menggendong Qaishar, karena takut akan menyakitinya. Salah sedikit saja, Pras bisa saja menghabisinya. Lebih baik cari aman dengan hanya menatap, meskipun tangannya gemas ingin sekali membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapannya.
“Bira!” panggil Sinar yang duduk santai pada sofa khusus menyusui, yang dibelikan oleh Mira kala itu.
Pria itu pun menoleh pada Sinar dengan cepat. “Apaan?”
Bibir Sinar terbuka, tapi giginya menatup rapat seraya mendesis kesal sejenak. “Kamu, sama Gina, pacaran?”
“Enggak!”
“Jangan bohong kamu,” desak Sinar semakin menajamkan tatapannya. “Aku lihat story chat kamu waktu itu! Kalian pake baju couple warna biru pink!”
Bira memberi ringisan pada Sinar seraya menggaruk le
Sinar memandang puas, dengan foto newborn Qaishar yang baru saja terpasang di kamar mereka. Terletak tepat di samping foto pernikahannya dengan Pras. Qaishar benar-benar tampan, dengan memakai tuksedo dan bergaya bak seorang presiden direktur. Dan kesemua ide untuk tema pemotretan tersebut, Praslah pencetusnya. Sepertinya, Qaishar akan benar-benar dipersiapkan untuk meneruskan tombak kepemimpinan Casteel High nantinya. “Ganteng, kan?” Pras yang baru saja keluar dari kamar mandi itu, langsung menghampiri Sinar. Berdiri di belakang sang istri lalu memeluknya. Menjatuhkan wajahnya pada ceruk leher Sinar kemudian berbisik. “Sama seperti ayahnya.” Dagu Sinar lantas langsung mengetat. Menarik wajahnya untuk melihat Pras. “Sejak kapan kamu jadi narsis, Mas? Jangan kecentilan ih!” seru Sinar merasa aneh karena sikap Pras barusan. “Awas ya, kalua berani macem-macem, aku habisin ulat bulu kamu itu!” “Kalau dihabisi, kamu gak bakal bisa punya anak lagi.” Pras me
Wajah datar Pras terdiam sebentar, seraya melihat Qaishar yang baru saja melepaskan bibir mungilnya dari tubuh Sinar. “Itu …” tunjuknya pada bagian tubuh yang cepat-cepat ditutup oleh Sinar.“Huh!” Sinar memicing tajam lalu bangkit perlahan untuk meletakkan bayi tampanya di box bayi. Masih memendam rasa curiga akan telepon dari Arista di pagi hari seperti ini.Sinar mengikuti Pras yang sudah melangkahkan kakinya ke menuju walk ini closet. Kembali duduk di sofa bench dan menatap tubuh polos itu mengganti pakaian dengan pakaian santai. Karena jam kerja masih beberapa jam lagi, maka Pras belum menggunakan setelah formalnya.“Yang tadi belum dijawab, kenapa Arista nelpo n pagi-pagi gini?”“Ada urusan kantor,” jawab Pras santai lalu memakai kaos oblongnya.“Iya apa? Kenapa harus nelpon pagi-pagi? Kenapa gak nelpon mas Lex? Arista, kan, sekretarisnya mas Lex?” Sinar tidak akan membiarkan
Arista memutuskan untuk mempercepat makan siangnya. Merasa canggung karena berada diantara Pras dan Sinar. Meskipun Sinar selalu mengajaknya berbicara panjang lebar, tapi, Arista sudah merasa sesuatu yang canggungm karena ada nama Bintang dalam pembicaraan mereka. Arista tahu benar, bagaimana sejarah hubungan antara Pras, Sinar dan Bintang. Sungguh sangat membingungkan dan merepotkan jika harus dipikirkan, Untuk itu, Arista tidak ingin memasukkan dirinya dalam kubangan kerumitan yang sama. Namun, di atas itu semua, Arista memiliki satu alasan kuat, yang menjadikan dirinya ingin segera lepas, dari permasalahan salah satu pemilik dari firma Sagara itu. “Kira-kira, kenapa ya, Mas. Arista gak mau sama Mas Bin?” tanya Sinar setelah Arista sudah pergi menjauh dari meja mereka. Sepanjang yang Sinar tahu dari penjelasan Arista, wanita itu baru kali ini diajak makan siang dengan Pras untuk membahas profil pembeli saham Surya. Biasanya, Arista hanya sebatas menelepon P
Suasana pagi itu begitu tenang. Sinar dan Pras tengah duduk tidak jauh dari kolam renang. Mencari sinar mentari pagi, untuk sekedar berjemur menghangatkan diri bersama keluarga kecil mereka.Ada sang bayi yang baru saja terlelap setelah menyesap ASInya. Serta Pras dan Sinar yang mengapitnya.“Mas …” Manik Sinar mengikuti sosok Bira, yang baru keluar dari rumah belakang dan hanya melambaikan tangan pada mereka. Pria itu berjalan dengan senyum mengembang dan sangat percaya dan menghilang ketika tubuhnya memasuki rumah depan.“Hm?”“Kenapa Bira belakangan ini, selalu pulang setiap weekend?” tanya Sinar dengan rasa penasaran yang begitu tinggi. “Udah gak FWBan sama Gina lagi, berarti, ya?”Sejak memiliki Qaishar, Pras tidak lagi membawa istrinya ke apartemen, bila adik bontotnya itu pulang ke rumah. Hati Pras sudah mulai sedikit melunak untuk satu hal ini. Pras sudah menaruh rasa percaya, pada Sina
Suasana pelataran kediaman Raja sore itu, sudah terlihat sangat meriah. Berbagai hiasan bertema otomotif, dengan berbagai tokoh mobil kartun, sudah semarak menghiasi pesta ulang tahun Qaishar yang pertama. Sedari Qaishar bayi, Pras sudah mengenalkan putranya itu dengan berbagai macam koleksi mobil yang ada di garasi. Kamar Qaishar pun, penuh dengan berbagai macam mainan yang memiliki roda empat. Ulang tahun kali ini, tentu saja Qaishar tidak merayakannya sendirian. Juga ada Bira, yang sekaligus merayakan ulang tahunnya yang ke 29 tahun. Namun, wajah bahagia tidak terpancar dari wajah Bira sedari tadi. Pria itu sibuk melihat ponsel, dan sesekali maniknya terarah pada pintu gerbang yang berada di ujung pelataran. Sepertinya, ada seseorang yang ditunggunya, tapi orang tersebut tidak kunjung datang. “Nungguin sapa, sih, Bir?” tegur Sinar sambil menepuk bahu Bira yang tengah melamun. “Oh!” Bira menoleh pada Sinar yang malam ini terlihat sangat luar
Jelang malam, satu per satu keluarga besar yang berkumpul itu pun, akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan Bira, setelah acara foto bersama selesai, pria itu langsung berpamitan pergi entah ke mana. Aida hanya bisa menduga, kalau Bira akan merayakan ulang tahunnya dengan teman-temannya di luar sana. Hanya satu pesan yang selalu diberikan Aida kepada ketiga anaknya ketika hendak bersenang-senang di luar sana. Jangan sampai menyentuh minuman keras, barang sedikit pun. Karena dari situlah nantinya, induk dari semua masalah bermula. “Kamu perhatiin Bira, gak, sih, dari tadi, Mas?” Sinar duduk di depan meja rias sembari melepas beberapa aksesoris yang ada di rambutnya. Melihat Pras yang tengah melepas baju Qaishar dari pantulan cermin. “Kayak lagi nungguin orang, mukanya juga suntuk.” “Bira itu sudah dewasa, jadi, biarlah dia urus masalahnya sendi— Qai …” Qaishar yang baru saja melepaskan seluruh baju itu, langsung berjalan pelan dengan t
Baby monitor yang berada di nakas itu mengeluarkan suara, tepat, di saat Pras melepas seluruh hasratnya pada Sinar. Dalam keadaan masih terengah, Pras dengan terpaksa menarik diri dan melepas penyatuannya. Terengah puas dan terpejam untuk menikmati sebuah rasa yang tidak akan pernah puas untuk direguk. Sementara itu, Sinar buru-buru berlari menuju walk ini closet untuk mengambil daster lalu memakainya dengan cepat. Membuka connecting door dan mendapati Qaishar sudah terduduk tepat di balik pintu. Tempat tidur Qaishar memang didesain sangat rendah, agar balita satu tahun itu tidak kesulitan jika hendak naik turun ke tempat tidurnya. Selain itu, lantai di kamar Qaishar juga dilapisi dengan karpet tebal, untuk menghindari benturan-benturan yang tidak diinginkan. “Bubu …” Sinar terkekeh kemudian berjongkok dengan cepat. Menjulurkan kedua tangannya dan Qaishar pun langsung menyambut dengan riang. “Mimik,” lanjut Qaishar ketika sudah berada di gendo
“Kenapa aku di suruh pulang?” Sinar tidak bisa terima begitu saja, jika harus kembali ke rumah seusai makan siang. Hanya karena melihat Qaishar ada di gendongan Elang, Pras kembali menjadi dirinya yang dulu. Sangat otoriter dan begitu arogan.“Because I said so, as simple as that,” ucap Pras tanpa melihat Sinar sama sekali. Pria itu tetap terus saja berjalan membawa Qaishar dalam gendongannya.“Mas!” Sinar kembali melangkah cepat untuk menyakan langkahnya dengan Pras. “Itu yang namanya egois!”Pras kembali berhenti untuk menoleh pada Sinar. “Aku, lagi gendong Qai. Tolong jaga bicaramu, Bund.”Tenggorokan Sinar langsung terasa tercekat seketika. Baru menyadari kalau ada Qai di tengah-tengah mereka. Kekesalan Sinar barusan, membuat dirinya melupakan hal tersebut. Sinar pun masih membatu di tempat, melihat punggung Pras yang kembali meninggalkannya. Pria itu terlihat memasuki sebuah restoran tanpa m