Jelang malam, satu per satu keluarga besar yang berkumpul itu pun, akhirnya pulang ke rumah masing-masing.
Sedangkan Bira, setelah acara foto bersama selesai, pria itu langsung berpamitan pergi entah ke mana. Aida hanya bisa menduga, kalau Bira akan merayakan ulang tahunnya dengan teman-temannya di luar sana.
Hanya satu pesan yang selalu diberikan Aida kepada ketiga anaknya ketika hendak bersenang-senang di luar sana. Jangan sampai menyentuh minuman keras, barang sedikit pun. Karena dari situlah nantinya, induk dari semua masalah bermula.
“Kamu perhatiin Bira, gak, sih, dari tadi, Mas?” Sinar duduk di depan meja rias sembari melepas beberapa aksesoris yang ada di rambutnya. Melihat Pras yang tengah melepas baju Qaishar dari pantulan cermin. “Kayak lagi nungguin orang, mukanya juga suntuk.”
“Bira itu sudah dewasa, jadi, biarlah dia urus masalahnya sendi— Qai …”
Qaishar yang baru saja melepaskan seluruh baju itu, langsung berjalan pelan dengan t
Baby monitor yang berada di nakas itu mengeluarkan suara, tepat, di saat Pras melepas seluruh hasratnya pada Sinar. Dalam keadaan masih terengah, Pras dengan terpaksa menarik diri dan melepas penyatuannya. Terengah puas dan terpejam untuk menikmati sebuah rasa yang tidak akan pernah puas untuk direguk. Sementara itu, Sinar buru-buru berlari menuju walk ini closet untuk mengambil daster lalu memakainya dengan cepat. Membuka connecting door dan mendapati Qaishar sudah terduduk tepat di balik pintu. Tempat tidur Qaishar memang didesain sangat rendah, agar balita satu tahun itu tidak kesulitan jika hendak naik turun ke tempat tidurnya. Selain itu, lantai di kamar Qaishar juga dilapisi dengan karpet tebal, untuk menghindari benturan-benturan yang tidak diinginkan. “Bubu …” Sinar terkekeh kemudian berjongkok dengan cepat. Menjulurkan kedua tangannya dan Qaishar pun langsung menyambut dengan riang. “Mimik,” lanjut Qaishar ketika sudah berada di gendo
“Kenapa aku di suruh pulang?” Sinar tidak bisa terima begitu saja, jika harus kembali ke rumah seusai makan siang. Hanya karena melihat Qaishar ada di gendongan Elang, Pras kembali menjadi dirinya yang dulu. Sangat otoriter dan begitu arogan.“Because I said so, as simple as that,” ucap Pras tanpa melihat Sinar sama sekali. Pria itu tetap terus saja berjalan membawa Qaishar dalam gendongannya.“Mas!” Sinar kembali melangkah cepat untuk menyakan langkahnya dengan Pras. “Itu yang namanya egois!”Pras kembali berhenti untuk menoleh pada Sinar. “Aku, lagi gendong Qai. Tolong jaga bicaramu, Bund.”Tenggorokan Sinar langsung terasa tercekat seketika. Baru menyadari kalau ada Qai di tengah-tengah mereka. Kekesalan Sinar barusan, membuat dirinya melupakan hal tersebut. Sinar pun masih membatu di tempat, melihat punggung Pras yang kembali meninggalkannya. Pria itu terlihat memasuki sebuah restoran tanpa m
Bagi Pras, diberi waktu tiga jam untuk menyentuh tubuh sang istri sangatlah kurang. Ingin rasanya hanya menghabiskan malam berdua saja di hotel, dan baru kembali keesokan paginya.Namun, Pras dan Sinar tidak bisa lepas begitu saja dengan Qaishar. Sebagai orang tua, keduanya sangat sadar atas tanggung jawab yang sudah dianugrahkan oleh Tuhan kepada mereka. Untuk itu, Pras dan Sinar tidak akan menyia-nyiakan hal tersebut. Mereka akan selalu memprioritaskan Qaishar, tapi tanpa meninggalkan kewajiban sebagai suami istri."Sepertinya, kita harus buat jadwal quality time tiap minggu," ungkap Pras dengan menunjukkan wajah yang berbinar puas. Meskipun singkat, tapi Pras sangat bahagia karena bisa 'bermain' seperti dahulu kala. Hanya ada dirinya dan Sinar tanpa ada gangguan kecil yang tiba-tiba menyela. Waktu yang ada, benar-benar hanya milik mereka berdua.Pras seakan masih tidak rela jika harus keluar kamar, kemudian check out dan pergi kembali ke rumah.Sinar y
Pras berdiri tegang di depan pintu UGD. Bersedekap tegak dengan satu tangan menutup separuh wajah. Menunggu dan menunggu tanpa merubah posisi berdirinya sedikit pun. Yang membuat Pras heran, mengapa dokter Novi juga terlihat masuk ke dalam ruang tersebut beberapa waktu yang lalu.Pras kembali melempar ingatannya ketika mereka berdua masih berada di kamar hotel. Pras sangat yakin kalau sang istri tidak mengeluh sakit sama sekali. Mereka melakukannya semua hal dengan sangat sempurna, dan benar-benar tidak ada sesuatu yang salah sedikit pun.Namun …Pras menahan napasnya ketika pintu ruangan di depannya terbuka. Terlihat dokter Novi keluar lebih dahulu.“Dok …?” Seketika otak Pras kosong. Tidak tahu harus mengeluarkan pertanyaan seperti apa kepada Novi.“Untung datang tepat waktu, karena kita hampir kehilangan kandungannya.”Di titik ini, Pras semakin tidak bisa berpikir. Kepalanya dipenuhi dengan kebingung
Semenjak Qaishar datang untuk menjenguk Sinar di rumah sakit, balita gembil itu tidak mau lepas sedikit pun dari pelukan sang bunda. Menyesap ASI langsung dari tempatnya secara bergantian sampai ia puas. Meskipun masih ada bagian tubuh yang terasa tidak nyaman, mau tidak mau Sinar harus melakukan tugasnya untuk mengASIhi putranya. Lagi pula, dadanya juga terasa sangat penuh dan sakit karena Qaishar tidak minum ASI semalaman. “Qai, ikut ayah,” bujuk Pras yang sedari tadi berusaha mengambil Qaishar yang selalu menempel pada Sinar. Balita itu hanya diam, membuang wajahnya dan kembali memeluk sang bunda. Tidak peduli dengan keberadaan Pras, yang sudah merayu dengan berbagai macam cara. “Udah biarin aja, namanya juga kangen.” Sinar menatap Qaishar yang berbaring di sebelahnya. “Qai kangen Bunda, kan, ya?” “Bubu …” ucap Qaishar dengan menganggukkan kepalanya. Pras membuang napas yang sangat pelan, ketika melihat perhatian Sinar kini tertuju
Akhirnya, Sinar merasakan kembali ke rumah, dan bisa tidur di ranjangnya sendiri. Namun, dirinya harus benar-benar patuh terhadap semua peraturan yang ditetapkan oleh dokter dan juga sang suami yang datar nan posesif itu. Sinar masih harus bed rest total minimal satu minggu ke depan. Setelah itu, Sinar harus kembali memeriksakan diri untuk mengetahui perkembangan kesehatannya beserta janin yang saat inu dikandungnya. "Sekarang sudah di rumah, kan? sudah bisa ketemu Qai, jadi jangan bawel lagi." Pras merebahkan tubuh lelahnya di samping Sinar. Setelah membawa Sinar pulang ke rumah, hari ini Pras hanya ingin beristirahat, setelah melalui hari yang juga membosankan di rumah sakit. Sementara itu, Qaishar masih berada di rumah July. Rencananya, Pras akan menjemput putranya itu sore hari nanti. “Tapi, Qai masih di rumah bunda, harusnya kita jemput sekalian tadi.” “Jangan, biar kamu bisa istirahat siang ini,” sanggah Pras. “Nanti sore biar aku jemput
"Kamu sakit, Mas?" Sinar baru saja membuka pintu kamar mandi, ketika Pras merangsek masuk dan langsung membungkuk di wastafel. Pria itu terlihat memuntahkan seluruh isi yang ada di dalam perutnya, meskipun pagi ini belum terisi makanan sama sekali. Selama hidup bersama Pras, Sinar jarang sekali melihat pria itu jatuh sakit. Terlebih-lebih sampai muntah seperti kali ini. Biasanya, Pras hanya kelelahan dan sakit kepala jika sudah menghadapi Rapat Umum Pemegang Saham atau ada hasil audit perusahaan yang kacau. Belakangan ini, Pras memang kerap mengeluh mual, tapi baru kali ini Sinar melihat suaminya itu muntah seperti sekarang. Sinar segera membantu untuk mengusap leher bagian belakang Pras, sekaligus memberi pijatan lembut untuk memberi rasa nyaman. "Siapa yang sakit?" Pras bertanya balik, lalu mencuci wajahnya yang tampak sedikit kuyu. "Aku cuma mual, terus muntah." Decakan kesal itu langsung keluar dari bibir Sinar. "Masuk angin kali, itu namanya saki
Sinar terjaga, dan merasa geli ketika merasakan bibir Pras mengecup lehernya berkali-kali. Terkekeh kecil karena sang suami terus saja menjalankan bibirnya tanpa henti. “Mas ihh! Geli,” kata Sinar di sela kekehannya. Mendorong tubuh Pras lalu menyalakan lampu tidur yang berada di atas nakas. “Jam berapa, sih, ini?” tanya Sinar kemudian, sembari mencari remote penerangan di kamar mereka. “Setengah dua belas,” jawab Pras sudah menumpu kepalanya dengan satu tangan. “Tumben kamu bangun?” Sinar melirik pada baby monitor di sebelah lampu tidur. “Qai bangun?” Pras menggeleng dengan satu tangan menyentuh bibir tipis milik sang istri. “Ih! Kamu lagi pengen, ya, malem-malem bangunin aku?” dengkus Sinar juga memiringkan tubuhnya menatap Pras. “Iya, aku pengen nasi goreng.” Senyum yang tadinya mengembang di wajah Sinar, spontan meredup. Pras membangunkannya hampir tengah malam, hanya untuk mengatakan kalau pria itu ingin makan nasi goreng.
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama