“Eits …” Sinar merentangkan kedua tangannya. Menghalangi Pras yang baru saja tiba dari kantor, untuk mendekati Qaishar yang masih terlelap. “Mandi dulu, baru boleh pegang-pegang.”
Pras langsung memeluk tubuh Sinar secara tiba-tiba. Sedikit mengangkat wanita itu dan memutar tubuhnya. “Kalau pegang kamu boleh?”
“Mandmm …”
Bibir yang baru saja terbuka, dan hendak memuntahkan protes itu pun langsung dibungkam oleh Pras.
Sementara Sinar, refleks saja mengalungkan tangannya dan ikut ke mana pun Pras membawanya.
“Ayah, enam bulan lagi bebas,” kata Pras setelah melepas pagutan panasnya. Memberi senyum tipis pada sang istri sembari mengusap jejak basahnya yang masih tersisa di bibir Sinar.
Kontan saja, manik bening milik Sinar itu langsung tampak berbinar mendengarnya. Sudut bibirnya pun tertarik lebar, sangat sempurna. “Serius, Mas?”
Pras mengangguk, lalu menyambar satu kecupan lagi di bibir yang masih terbuka dengan rasa takjub itu. “
Sungguh, di kepala Sinar saat ini tertimbun banyak pertanyaan ketika melihat Bira ada di depannya. Pria itu hanya bisa menatap takjub, dengan sosok mungil yang masih memiliki hobi tidur itu. Bira tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk menggendong Qaishar, karena takut akan menyakitinya. Salah sedikit saja, Pras bisa saja menghabisinya. Lebih baik cari aman dengan hanya menatap, meskipun tangannya gemas ingin sekali membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. “Bira!” panggil Sinar yang duduk santai pada sofa khusus menyusui, yang dibelikan oleh Mira kala itu. Pria itu pun menoleh pada Sinar dengan cepat. “Apaan?” Bibir Sinar terbuka, tapi giginya menatup rapat seraya mendesis kesal sejenak. “Kamu, sama Gina, pacaran?” “Enggak!” “Jangan bohong kamu,” desak Sinar semakin menajamkan tatapannya. “Aku lihat story chat kamu waktu itu! Kalian pake baju couple warna biru pink!” Bira memberi ringisan pada Sinar seraya menggaruk le
Sinar memandang puas, dengan foto newborn Qaishar yang baru saja terpasang di kamar mereka. Terletak tepat di samping foto pernikahannya dengan Pras. Qaishar benar-benar tampan, dengan memakai tuksedo dan bergaya bak seorang presiden direktur. Dan kesemua ide untuk tema pemotretan tersebut, Praslah pencetusnya. Sepertinya, Qaishar akan benar-benar dipersiapkan untuk meneruskan tombak kepemimpinan Casteel High nantinya. “Ganteng, kan?” Pras yang baru saja keluar dari kamar mandi itu, langsung menghampiri Sinar. Berdiri di belakang sang istri lalu memeluknya. Menjatuhkan wajahnya pada ceruk leher Sinar kemudian berbisik. “Sama seperti ayahnya.” Dagu Sinar lantas langsung mengetat. Menarik wajahnya untuk melihat Pras. “Sejak kapan kamu jadi narsis, Mas? Jangan kecentilan ih!” seru Sinar merasa aneh karena sikap Pras barusan. “Awas ya, kalua berani macem-macem, aku habisin ulat bulu kamu itu!” “Kalau dihabisi, kamu gak bakal bisa punya anak lagi.” Pras me
Wajah datar Pras terdiam sebentar, seraya melihat Qaishar yang baru saja melepaskan bibir mungilnya dari tubuh Sinar. “Itu …” tunjuknya pada bagian tubuh yang cepat-cepat ditutup oleh Sinar.“Huh!” Sinar memicing tajam lalu bangkit perlahan untuk meletakkan bayi tampanya di box bayi. Masih memendam rasa curiga akan telepon dari Arista di pagi hari seperti ini.Sinar mengikuti Pras yang sudah melangkahkan kakinya ke menuju walk ini closet. Kembali duduk di sofa bench dan menatap tubuh polos itu mengganti pakaian dengan pakaian santai. Karena jam kerja masih beberapa jam lagi, maka Pras belum menggunakan setelah formalnya.“Yang tadi belum dijawab, kenapa Arista nelpo n pagi-pagi gini?”“Ada urusan kantor,” jawab Pras santai lalu memakai kaos oblongnya.“Iya apa? Kenapa harus nelpon pagi-pagi? Kenapa gak nelpon mas Lex? Arista, kan, sekretarisnya mas Lex?” Sinar tidak akan membiarkan
Arista memutuskan untuk mempercepat makan siangnya. Merasa canggung karena berada diantara Pras dan Sinar. Meskipun Sinar selalu mengajaknya berbicara panjang lebar, tapi, Arista sudah merasa sesuatu yang canggungm karena ada nama Bintang dalam pembicaraan mereka. Arista tahu benar, bagaimana sejarah hubungan antara Pras, Sinar dan Bintang. Sungguh sangat membingungkan dan merepotkan jika harus dipikirkan, Untuk itu, Arista tidak ingin memasukkan dirinya dalam kubangan kerumitan yang sama. Namun, di atas itu semua, Arista memiliki satu alasan kuat, yang menjadikan dirinya ingin segera lepas, dari permasalahan salah satu pemilik dari firma Sagara itu. “Kira-kira, kenapa ya, Mas. Arista gak mau sama Mas Bin?” tanya Sinar setelah Arista sudah pergi menjauh dari meja mereka. Sepanjang yang Sinar tahu dari penjelasan Arista, wanita itu baru kali ini diajak makan siang dengan Pras untuk membahas profil pembeli saham Surya. Biasanya, Arista hanya sebatas menelepon P
Suasana pagi itu begitu tenang. Sinar dan Pras tengah duduk tidak jauh dari kolam renang. Mencari sinar mentari pagi, untuk sekedar berjemur menghangatkan diri bersama keluarga kecil mereka.Ada sang bayi yang baru saja terlelap setelah menyesap ASInya. Serta Pras dan Sinar yang mengapitnya.“Mas …” Manik Sinar mengikuti sosok Bira, yang baru keluar dari rumah belakang dan hanya melambaikan tangan pada mereka. Pria itu berjalan dengan senyum mengembang dan sangat percaya dan menghilang ketika tubuhnya memasuki rumah depan.“Hm?”“Kenapa Bira belakangan ini, selalu pulang setiap weekend?” tanya Sinar dengan rasa penasaran yang begitu tinggi. “Udah gak FWBan sama Gina lagi, berarti, ya?”Sejak memiliki Qaishar, Pras tidak lagi membawa istrinya ke apartemen, bila adik bontotnya itu pulang ke rumah. Hati Pras sudah mulai sedikit melunak untuk satu hal ini. Pras sudah menaruh rasa percaya, pada Sina
Suasana pelataran kediaman Raja sore itu, sudah terlihat sangat meriah. Berbagai hiasan bertema otomotif, dengan berbagai tokoh mobil kartun, sudah semarak menghiasi pesta ulang tahun Qaishar yang pertama. Sedari Qaishar bayi, Pras sudah mengenalkan putranya itu dengan berbagai macam koleksi mobil yang ada di garasi. Kamar Qaishar pun, penuh dengan berbagai macam mainan yang memiliki roda empat. Ulang tahun kali ini, tentu saja Qaishar tidak merayakannya sendirian. Juga ada Bira, yang sekaligus merayakan ulang tahunnya yang ke 29 tahun. Namun, wajah bahagia tidak terpancar dari wajah Bira sedari tadi. Pria itu sibuk melihat ponsel, dan sesekali maniknya terarah pada pintu gerbang yang berada di ujung pelataran. Sepertinya, ada seseorang yang ditunggunya, tapi orang tersebut tidak kunjung datang. “Nungguin sapa, sih, Bir?” tegur Sinar sambil menepuk bahu Bira yang tengah melamun. “Oh!” Bira menoleh pada Sinar yang malam ini terlihat sangat luar
Jelang malam, satu per satu keluarga besar yang berkumpul itu pun, akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan Bira, setelah acara foto bersama selesai, pria itu langsung berpamitan pergi entah ke mana. Aida hanya bisa menduga, kalau Bira akan merayakan ulang tahunnya dengan teman-temannya di luar sana. Hanya satu pesan yang selalu diberikan Aida kepada ketiga anaknya ketika hendak bersenang-senang di luar sana. Jangan sampai menyentuh minuman keras, barang sedikit pun. Karena dari situlah nantinya, induk dari semua masalah bermula. “Kamu perhatiin Bira, gak, sih, dari tadi, Mas?” Sinar duduk di depan meja rias sembari melepas beberapa aksesoris yang ada di rambutnya. Melihat Pras yang tengah melepas baju Qaishar dari pantulan cermin. “Kayak lagi nungguin orang, mukanya juga suntuk.” “Bira itu sudah dewasa, jadi, biarlah dia urus masalahnya sendi— Qai …” Qaishar yang baru saja melepaskan seluruh baju itu, langsung berjalan pelan dengan t
Baby monitor yang berada di nakas itu mengeluarkan suara, tepat, di saat Pras melepas seluruh hasratnya pada Sinar. Dalam keadaan masih terengah, Pras dengan terpaksa menarik diri dan melepas penyatuannya. Terengah puas dan terpejam untuk menikmati sebuah rasa yang tidak akan pernah puas untuk direguk. Sementara itu, Sinar buru-buru berlari menuju walk ini closet untuk mengambil daster lalu memakainya dengan cepat. Membuka connecting door dan mendapati Qaishar sudah terduduk tepat di balik pintu. Tempat tidur Qaishar memang didesain sangat rendah, agar balita satu tahun itu tidak kesulitan jika hendak naik turun ke tempat tidurnya. Selain itu, lantai di kamar Qaishar juga dilapisi dengan karpet tebal, untuk menghindari benturan-benturan yang tidak diinginkan. “Bubu …” Sinar terkekeh kemudian berjongkok dengan cepat. Menjulurkan kedua tangannya dan Qaishar pun langsung menyambut dengan riang. “Mimik,” lanjut Qaishar ketika sudah berada di gendo
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama