Sinar menerima suapan demi suapan yang diberikan Pras dengan hati kesal. Menahan sakit hati karena masih terngiang dengan bentakan suaminya tersebut. Selama itu, Sinar hanya mendiamkan Pras dan tidak memberikan seulas senyum pun pada pria itu.
“Bukannya aku sudah bilang, aku gak ngebentak kamu,” Pras dengan alibinya, meyakinkan diri karena memang tidak merasa membentak Sinar sama sekali.
“Terserah! Tapi aku sakit hati dengar omongan kamu tadi,” balas Sinar mengalihkan tatapannya dari wajah Pras.
“Tapi, aku benar, Nar.” Pras tetap bertahan dengan argumennya. “Gimana kalau ada Ato lewat? Atau yang lain, pak Juna misalnya? Dan mereka lihat kamu lagi begini?” satu telapak tangan Pras terbuka, untuk menunjuk Qaishar yang masih saja sibuk menyesap ASInya dengan sangat lahap.
“Ya, kamu bisa ngomong baik-baik, Mas,” sangkal Sinar. “Gak pake bentak-bentak.”
Meskipun sedari tadi mereka b
Usia Qaishar sudah memasuki hari ke sembilan. Lantas hari itu, adalah hari pertama Pras harus meninggalkan putra kesayangannya untuk bekerja.Rutinitas Sinar pun, mau tidak mau harus kembali seperti semula. Menyiapkan semua keperluan untuk Pras di pagi harinya. Meskipun, geraknya masih belum bisa selincah dan secepat dahulu kala. Rasa trauma serta nyeri akibat jahitan pada jalan lahirnya, masih menghantui hari-harinya jika hendak melakukan suatu hal.Sementara Sinar sibuk menyiapkan pakaian Pras yang warnanya sangat-sangat monoton, yakni hanya ada kemeja dengan satu warna yaitu putih. Sinar tidak perlu bingung lagi, jika harus memadu padankan jas dengan kemeja beserta dasinya yang hendak dipakai oleh Pras.Sementara itu, Pras sendiri tengah merebahkan diri bersama putra, yang sementara ini masih memiliki hobi tertidur itu. Tunggu saja dua atau tiga bulan lagi, maka bayi tersebut mungkin sudah bisa berguling-guling dan berteriak sekehendak hatinya.“
“Eits …” Sinar merentangkan kedua tangannya. Menghalangi Pras yang baru saja tiba dari kantor, untuk mendekati Qaishar yang masih terlelap. “Mandi dulu, baru boleh pegang-pegang.” Pras langsung memeluk tubuh Sinar secara tiba-tiba. Sedikit mengangkat wanita itu dan memutar tubuhnya. “Kalau pegang kamu boleh?” “Mandmm …” Bibir yang baru saja terbuka, dan hendak memuntahkan protes itu pun langsung dibungkam oleh Pras. Sementara Sinar, refleks saja mengalungkan tangannya dan ikut ke mana pun Pras membawanya. “Ayah, enam bulan lagi bebas,” kata Pras setelah melepas pagutan panasnya. Memberi senyum tipis pada sang istri sembari mengusap jejak basahnya yang masih tersisa di bibir Sinar. Kontan saja, manik bening milik Sinar itu langsung tampak berbinar mendengarnya. Sudut bibirnya pun tertarik lebar, sangat sempurna. “Serius, Mas?” Pras mengangguk, lalu menyambar satu kecupan lagi di bibir yang masih terbuka dengan rasa takjub itu. “
Sungguh, di kepala Sinar saat ini tertimbun banyak pertanyaan ketika melihat Bira ada di depannya. Pria itu hanya bisa menatap takjub, dengan sosok mungil yang masih memiliki hobi tidur itu. Bira tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk menggendong Qaishar, karena takut akan menyakitinya. Salah sedikit saja, Pras bisa saja menghabisinya. Lebih baik cari aman dengan hanya menatap, meskipun tangannya gemas ingin sekali membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. “Bira!” panggil Sinar yang duduk santai pada sofa khusus menyusui, yang dibelikan oleh Mira kala itu. Pria itu pun menoleh pada Sinar dengan cepat. “Apaan?” Bibir Sinar terbuka, tapi giginya menatup rapat seraya mendesis kesal sejenak. “Kamu, sama Gina, pacaran?” “Enggak!” “Jangan bohong kamu,” desak Sinar semakin menajamkan tatapannya. “Aku lihat story chat kamu waktu itu! Kalian pake baju couple warna biru pink!” Bira memberi ringisan pada Sinar seraya menggaruk le
Sinar memandang puas, dengan foto newborn Qaishar yang baru saja terpasang di kamar mereka. Terletak tepat di samping foto pernikahannya dengan Pras. Qaishar benar-benar tampan, dengan memakai tuksedo dan bergaya bak seorang presiden direktur. Dan kesemua ide untuk tema pemotretan tersebut, Praslah pencetusnya. Sepertinya, Qaishar akan benar-benar dipersiapkan untuk meneruskan tombak kepemimpinan Casteel High nantinya. “Ganteng, kan?” Pras yang baru saja keluar dari kamar mandi itu, langsung menghampiri Sinar. Berdiri di belakang sang istri lalu memeluknya. Menjatuhkan wajahnya pada ceruk leher Sinar kemudian berbisik. “Sama seperti ayahnya.” Dagu Sinar lantas langsung mengetat. Menarik wajahnya untuk melihat Pras. “Sejak kapan kamu jadi narsis, Mas? Jangan kecentilan ih!” seru Sinar merasa aneh karena sikap Pras barusan. “Awas ya, kalua berani macem-macem, aku habisin ulat bulu kamu itu!” “Kalau dihabisi, kamu gak bakal bisa punya anak lagi.” Pras me
Wajah datar Pras terdiam sebentar, seraya melihat Qaishar yang baru saja melepaskan bibir mungilnya dari tubuh Sinar. “Itu …” tunjuknya pada bagian tubuh yang cepat-cepat ditutup oleh Sinar.“Huh!” Sinar memicing tajam lalu bangkit perlahan untuk meletakkan bayi tampanya di box bayi. Masih memendam rasa curiga akan telepon dari Arista di pagi hari seperti ini.Sinar mengikuti Pras yang sudah melangkahkan kakinya ke menuju walk ini closet. Kembali duduk di sofa bench dan menatap tubuh polos itu mengganti pakaian dengan pakaian santai. Karena jam kerja masih beberapa jam lagi, maka Pras belum menggunakan setelah formalnya.“Yang tadi belum dijawab, kenapa Arista nelpo n pagi-pagi gini?”“Ada urusan kantor,” jawab Pras santai lalu memakai kaos oblongnya.“Iya apa? Kenapa harus nelpon pagi-pagi? Kenapa gak nelpon mas Lex? Arista, kan, sekretarisnya mas Lex?” Sinar tidak akan membiarkan
Arista memutuskan untuk mempercepat makan siangnya. Merasa canggung karena berada diantara Pras dan Sinar. Meskipun Sinar selalu mengajaknya berbicara panjang lebar, tapi, Arista sudah merasa sesuatu yang canggungm karena ada nama Bintang dalam pembicaraan mereka. Arista tahu benar, bagaimana sejarah hubungan antara Pras, Sinar dan Bintang. Sungguh sangat membingungkan dan merepotkan jika harus dipikirkan, Untuk itu, Arista tidak ingin memasukkan dirinya dalam kubangan kerumitan yang sama. Namun, di atas itu semua, Arista memiliki satu alasan kuat, yang menjadikan dirinya ingin segera lepas, dari permasalahan salah satu pemilik dari firma Sagara itu. “Kira-kira, kenapa ya, Mas. Arista gak mau sama Mas Bin?” tanya Sinar setelah Arista sudah pergi menjauh dari meja mereka. Sepanjang yang Sinar tahu dari penjelasan Arista, wanita itu baru kali ini diajak makan siang dengan Pras untuk membahas profil pembeli saham Surya. Biasanya, Arista hanya sebatas menelepon P
Suasana pagi itu begitu tenang. Sinar dan Pras tengah duduk tidak jauh dari kolam renang. Mencari sinar mentari pagi, untuk sekedar berjemur menghangatkan diri bersama keluarga kecil mereka.Ada sang bayi yang baru saja terlelap setelah menyesap ASInya. Serta Pras dan Sinar yang mengapitnya.“Mas …” Manik Sinar mengikuti sosok Bira, yang baru keluar dari rumah belakang dan hanya melambaikan tangan pada mereka. Pria itu berjalan dengan senyum mengembang dan sangat percaya dan menghilang ketika tubuhnya memasuki rumah depan.“Hm?”“Kenapa Bira belakangan ini, selalu pulang setiap weekend?” tanya Sinar dengan rasa penasaran yang begitu tinggi. “Udah gak FWBan sama Gina lagi, berarti, ya?”Sejak memiliki Qaishar, Pras tidak lagi membawa istrinya ke apartemen, bila adik bontotnya itu pulang ke rumah. Hati Pras sudah mulai sedikit melunak untuk satu hal ini. Pras sudah menaruh rasa percaya, pada Sina
Suasana pelataran kediaman Raja sore itu, sudah terlihat sangat meriah. Berbagai hiasan bertema otomotif, dengan berbagai tokoh mobil kartun, sudah semarak menghiasi pesta ulang tahun Qaishar yang pertama. Sedari Qaishar bayi, Pras sudah mengenalkan putranya itu dengan berbagai macam koleksi mobil yang ada di garasi. Kamar Qaishar pun, penuh dengan berbagai macam mainan yang memiliki roda empat. Ulang tahun kali ini, tentu saja Qaishar tidak merayakannya sendirian. Juga ada Bira, yang sekaligus merayakan ulang tahunnya yang ke 29 tahun. Namun, wajah bahagia tidak terpancar dari wajah Bira sedari tadi. Pria itu sibuk melihat ponsel, dan sesekali maniknya terarah pada pintu gerbang yang berada di ujung pelataran. Sepertinya, ada seseorang yang ditunggunya, tapi orang tersebut tidak kunjung datang. “Nungguin sapa, sih, Bir?” tegur Sinar sambil menepuk bahu Bira yang tengah melamun. “Oh!” Bira menoleh pada Sinar yang malam ini terlihat sangat luar