“Sinar!”
Harsa, Pemimpin Redaksi -pemred- dari Metro Ibukota, menghampiri wanita itu dengan tergesa. Metro merupakan perusahaan media cetak yang sudah cukup terkenal dan memiliki nama di ibukota.
Sedangkan Sinar, merupakan sekretaris redaksi -sekred- yang sudah bekerja di Metro selama kurang lebih 3 tahunan. Ia cukup beruntung, karena tidak harus menghadapi regulasi tes yang menyita waktu, ketika melamar menjadi sekred yang seleksinya lumayan ketat. Hal itu dikarenakan, Harsa langsung mencatutnya dari staff iklan, untuk menggantikan sekred lama yang terpaksa berhenti, karena harus menikah dengan rekan satu kantor.
“Butuh sesuatu, Pak?” tanya wanita cantik berusia 24 tahun yang selalu terlihat rapi dan sopan ketika berkerja.
“Ayahmu, hari ini diperiksa pejabat berwenang, kamu sudah dengar?”
Tangan Sinar mengepal erat. Wajahnya mengeras sekaligus memanas. Jantungnya seketika berdenyut ngilu, memikirkan satu nama.
Pras!
Pria itu benar-benar menyerahkan semua dokumen penyelewengan APBD ke pihak berwenang. Pras tidak main-main dengan apa yang telah diucapkannya kepada Sinar kemarin.
Berusaha mengatur napas, karena bagaimanapun, ada sebuah nyawa yang kini bersemayam di tubuhnya. Sinar tidak boleh stress dan menanggung banyak pikiran di benaknya.
Tapi ... apa bisa seperti itu?
“Bo—leh, saya izin pulang, Pak Harsa?” Sinar berusaha menarik sudut bibirnya, meskipun terlihat datar karena memikirkan nasib sang ayah.
“Boleh, silakan.” Harsa turut prihatin akan musibah bertubi yang tiba-tiba menimpa Sinar. Baru saja sekretarisnya itu, mengalami cobaan dalam biduk rumah tangganya, hingga memutuskan untuk bercerai. Kini ayahnya, tengah diperiksa karena terlibat kasus korupsi.
Sinar pergi dengan terburu. Lebih memilih menggunakan ojek o****e daripada harus menggunakan motornya sendiri. Karena dengan tangan tremornya, Sinar tidak yakin akan sampai ke tempat yang dituju dengan selamat.
Alih-alih pergi untuk menemui sang ayah ataupun pulang ke rumah untuk menemui sang bunda. Sinar malah pergi mendatangi Firma Sagara, dengan emosi yang meledak-ledak.
“Prasetyo Sagara, ada Mbak?” Sinar bahkan tidak ingin menggunakan sopan santunnya dengan memakai kata ‘pak’, saat bertanya pada bagian front office. “Saya mau ketemu.”
“Ditunggu sebentar.” karena bagian front office yang bernama Rima, sudah beberapa kali bertemu dengan Sinar. Maka gadis itu langsung menghubungi sekretaris Pras, memberitahu bahwa Sinar ingin bertemu dengan sang pemilik firma.
“Maaf, Bu Sinar. Pak Pras sedang sibuk, tidak bisa diganggu.”
Kelopak mata Sinar menutup, menahan geramannya. Mulutnya sudah gatal untuk memberi sumpah serapah pada sang pengacara licik, nan arogan tersebut.
Beruntung, sejurus kemudian Sinar melihat Ashi baru saja mendorong pintu kaca dan hendak melewatinya.
“Mbak Ashi.” Sinar menghentikan langkahnya, perutnya tiba-tiba saja keram, hingga ia harus mengatur napas sejenak agar ketegangan yang ada segera menghilang.
“Bu Sinar gak papa?” Ashi menghampiri Sinar dengan tergesa, membawa wanita itu untuk duduk di sofa ruang tunggu. Menyodorkan segelas air mineral yang sudah di tusuk sedotan terlebih dahulu. “Minum dulu, Bu.”
Sinar langsung meminumnya hingga tandas. “Di mana ruangan Prasetyo Sagara, Mbak?”
Ashi mengerjab, ada hubungan apa sebenarnya antara Sinar dan pemilik firma tempatnya bekerja. Tapi, ia tidak berani untuk bertanya lebih lanjut, mencari tahu tentang kehidupan pribadi seorang Pras, sama saja dengan mencari mati.
“Bu Sinar sudah ada janji?”
“Sudah.” dustanya. “Tadi mau tanya ke Mbak Rima, tapi keburu lihat Mbak Ashi datang, bisa antarkan saya?”
Ashi mengangguk, “Silakan ikut saya.”
Sesampainya di lantai dua, Ashi menunjuk sebuah ruang bersekat kaca yang terletak di ujung koridor.
Setelah mengucap terima kasih, Sinar bergegas melangkahkan flat shoesnya dan memasuki ruang Pras dengan menerobos meja sekretaris begitu saja. Sinar bahkan tidak mengetuk pintu terlebih dahulu.
Arista, sang sekretaris langsung gelagapan dan menyusul Sinar tepat di belakang wanita itu. “Pak Pras, maaf, Ibu—”
Pras mengangkat tangan kanannya, lalu memberi gestur mengusir Arista, agar keluar dari ruangannya.
“Dasar manusia licik!” maki Sinar yang masih bisa di dengar oleh Arista yang masih berada di bibir pintu hendak keluar.
“Thanks, I’ll take that as compliment.” balas Pras tanpa melihat Sinar sama sekali. Pria itu tengah sibuk mengernyitkan dahi, membaca berkas yang berada di tangannya.
“PRAS!”
“Yes, sunshine?” jawab Pras masih serius dengan berkasnya. “Kapan kita bisa bersenang-senang di apartemenku? Aku bukan pria yang suka memaksa wanitanya saat berada di atas ranjang. Aku lebih senang melakukannya atas dasar suka sama suka. Agar kita berdua bisa lebih menikmatinya.”
“Bermimpilah, Pras, bermimpi!” jerit Sinar.
“Yeahh,” Pras melemparkan berkasnya di atas meja. Mengangkat wajah sembari menatap Sinar yang masih berdiri dengan wajah emosi. “Beberapa malam ini, aku memang sering memimpikanmu, Nar. Dan semuanya hanya berujung dengan emisi nokturnal, and I hate that!” decaknya.
Sinar bergidik mendengarnya, lalu kembali memaki Pras dengan mengeluarkan semua sumpah serapahnya.
Pras hanya menatap datar, tidak berekpresi apapun. Pria itu malah mengambil botol air mineral yang ada di meja kerjanya, lalu meminumnya hingga tandas.
“Oh, aku juga punya kabar baik buatmu.” Pras membuka bibir kissablenya untuk berucap saat Sinar sudah berhenti mengumpat. “Aku akan mempercepat proses perceraianmu dengan Bintang.”
“What the fudge! What the hell are you doing!”
“Mengabulkan keinganmu, bercerai dengan Bintang Galexia.”
“Are you stupid or what?” kerutan di dahi Sinar terlihat begitu dalam. “Kami, rujuk!”
“Naaah, kalau aku bilang kalian cerai, maka kalian akan bercerai, sebentar lagi, dan itu pasti.”
“Pras—”
“Jangan pernah menantangku, Nar. Karena bisa aku pastikan, selain ayahmu yang sebentar lagi akan mendekam di penjara, gak akan ada satupun kantor advokat yang mau menerima adikmu magang. Dan kamu tahu apa yang akan terjadi kalau Jonas gak diterima dimanapun?” seringai tipis nan pongah terlukis samar pada wajah Pras.
“Cita-citanya untuk jadi pengacara, tinggallah angan semata.”
Tatapan benci Sinar semakin menjadi-jadi. Tahun depan, adiknya, Jonas, akan menyelesaikan studi S1-nya di bidang hukum. Jika Pras sampai memboikot kantor advokat maupun firma hukum yang ada, agar tidak menerima Jonas, bagaimana nasib adiknya ke depannya.
Tapi, apa benar Pras dapat melakukannya? Siapa sebenarnya pria itu? sebegitu besarkah pengaruhnya di dunia hukum? Hingga dapat mempermainkan nasib seseorang seperti membalik telapak tangan?
Pras bangkit dari duduknya, mengancing jasnya sebentar lalu berjalan menghampiri Sinar dan berhenti tepat di depan wanita itu. Tatapan mereka beradu dalam konteks yang berbeda.
Seketika Sinar menahan napas, tubuhnya terpaku beku dengan tatapan horor. Kedua tangan Pras terangkat ke belakang kepala Sinar dan melepas ikatan rambut wanita itu yang dicepol asal. Sinar bahkan bisa menghirup aroma maskulin dengan feromon yang luar biasa, dan mampu membuat tiap lekuk tubuhnya meremang.
Shoot! Bahkan feromon yang menguar dari tubuh Bintang, pria yang dicintainya tidak memabukkan seperti ini.
“Ah … rambutmu bergelombang ternyata, aku suka.” ungkap Pras kemudian membuang scrunchie yang sempat mengukung surai legam Sinar itu, ke sembarang arah. “Dan, jangan pernah mengikat rambut ikalmu itu ketika menemuiku.”
Sinar berusaha menyadarkan diri dari semua pesona Pras. “Ini rambut punyaku, milikku! Jadi cuma aku yang berhak mengaturnya, dan juga suamiku tentunya!”
“Sebentar lagi akan jadi mantan suami.” ucap Pras kembali memperjelas situasi yang akan dihadapi Sinar ke depannya.
“PRAS!” Sinar melayangkan satu pukulan keras namun terkesan putus asa di dada tegap Pras.
Pria itu pun sempat meringis, karena pukulan Sinar memang cukup membuat dadanya memanas.
“Kalau gak ada lagi yang ingin kamu bicarakan.” Sejurus kemudian, telunjuk Pras mengarah pada pintu kaca. “Itu pintu keluarnya.”
“Pras?” tanya Bintang dengan penuh keterkejutan, “Maksudmu, Prasetyo Sagara? Pemilik Firma Sagara? Dia ada di Jakarta?”Sinar mengangguk. “Mas Bin, kenal sama Pras?” bertanya balik untuk lebih memastikan. Setelah pergi dengan memupuk amarah yang meluap-luap keluar dari kantor Pras. Sinar memesan taxi, pergi untuk menemui Bintang, sang suami yang tidak jadi ia gugat cerai."Ya."“Emang, harusnya dia di mana kalau gak di Jakarta?”“Singapur,” tukas Bintang. “Dia juga punya firma hukum di sana, dan biasanya, dia cuma beberapa bulan sekali baru pulang ke Jakarta, itupun pas weekend, cuma satu atau dua hari.”Sinar sudah menceritakan semua tentang perbuatan yang dilakukan Pras kepada Bintang. Praslah yang telah menyerahkan semua dokumen tentang penyelewengan APBD ke pihak berwenang. Dan, Sinar juga mengadu, kalau Pras akan membuat mereka bercerai segera mungkin.Bintang merai
Sinar melemparkan ponselnya dengan keras ke arah Bintang. Jika saja, kepala pria itu tidak langsung bergeser ke arah kiri, mungkin sisi wajah Bintang saat ini sudah lebam, terkena benda pipih dengan lebar 6,4 inchi itu.Ponsel tersebut berakhir membentur dinding, yang ada di belakang Bintang dengan keras. Kemudian jatuh terhempas retak, di lantai marmer begitu saja.“Kamu main-main sama aku, Mas? Aku sudah setuju untuk rujuk demi anak yang aku kandung, tapi sekarang, kamu malah cerain aku!” jerit Sinar, sudah tidak dapat lagi membendung gejolak yang akhirnya tumpah membanjiri pipinya. "Kamu mau balas dendam sama aku!"“Ini bukan mauku, Nar.” hela Bintang maju satu langkah untuk mendekati Sinar. Namun, gadis itu juga mundur satu langkah, untuk menghindari Bintang. “Perusahaanku akan bermsalah dan para karyawan juga akan kehilangan mata pencahariannya, kalau aku gak tanda tangan surat cerai itu.”“Kamu lebih menting
Bulu mata nan lentik itu terbuka perlahan. Maniknya mengerjab pelan, menyesuaikan pendaran cahaya yang masuk ke dalam mata. Bau khas dari rumah sakit membuat Sinar pelan-pelan sadar, kalau dirinya masih berada di tempat yang sama. “Sudah aktingnya?” Manik Sinar membola seketika. Kembali, napasnya seolah tercekat saat mendengar suara pria yang sudah membuat hidupnya runyam. Tapi, untuk apa pria itu di sini? Sinar kembali mengerjab, memastikan lagi keberadaannya saat ini. Dan benar, ia masih berada di rumah sakit. Terbaring lemah, dan hal terakhir yang sempat tersemat di pikiran Sinar ialah, ia tengah menjenguk keponakan Bira di ruang VIP. Sinar bangkit perlahan, posisi duduknya sedikit membungkuk malas. Terkesiap saat menatap wajah arogan, yang tengah duduk santai di sofa, tanpa melepas tatapan tajamnya pada Sinar. “Hapemu dikunci, jadi, kami gak bisa menghubungi keluargamu.” ujar Pras dengan intonasi datarnya. “Bukannya aku gak mau men
“Kamu baik-baik aja, Nar?” tanya Harsa setelah rapat redaksi pagi selesai. Gadis itu terlihat pucat dengan lingkaran hitam yang menggantung di bawah mata. “Kalau sakit, kamu bisa pulang dan istirahat.”Sinar menutup laptopnya lalu tersenyum menatap Harsa. “Saya sehat, Pak. Cuma kurang tidur.” jawabnya jujur. “Permisi.”Sinar perpamitan terlebih dahulu, keluar dari ruang rapat dengan memeluk laptop di depan dada. Duduk di meja kerjanya dan bersiap merangkum semua resume rapat dan mengirimkannya ke email redaksi Metro.“Nar, tolong gantiin Farah untuk rapat direksi di atas setengah jam lagi.” pinta Harsa yang baru saja menerima telepon dari direktur utama. “Farah gak masuk, dan sebentar lagi ada rapat kecil pemegang saham.”Namun, sejurus kemudian Harsa dengan cepat meralat ucapannya. “Sepertinya gak usah, Nar. biar saya minta anak iklan aja yang gantiin Farah. Kamu sebaiknya pula
Begitu pintu mobil ditutup dari luar, Pras membuka matanya perlahan. Menegakkan kepala dan membuang pandangan ke luar jendela. Ingatannya kembali berputar, akan rekaman pertemuan yang terjadi antara dirinya dan Daya, sekitar seminggu yang lalu di sebuah rooftop bar. “Aku baru dengar kalau kamu cerai dengan Bintang.” Pras memandang cinta pertamanya itu lamat-lamat. Wajah kalem keibuan dengan senyum khas yang begitu hangat, selalu mampu mencairkan hatinya dahulu kala. “Yaa, udah lama sih.” Daya menyematkan senyum manisnya. “Kamu, tumben ngajak ketemuan? Udah berapa lama yaa … kapan balik Singapur lagi?” ingatan Daya berputar di saat ia masih menjadi junior Pras di kampus saat itu. Dan pria itu tidak pernah lagi menemuinya, sejak Daya memberi Pras sebuah kartu undangan pernikahannya dengan Jagad, kakak Bintang. “Kenapa kamu cerai dengan Bintang, Day?” Pras tidak pernah berubah, ia selalu saja tidak bisa berbasa basi untuk mengungkapkan tujuannya. Pria itu juga t
Butuh dua kali Harsa men-dial nomor Pras, sampai sang pengacara itu mengangkat teleponnya. “Hmm.” Tidak ada kata sapaan yang terdengar dari ujung sana saat Pras sudah mengangkat telepon dari Harsa. Hanya sebuah gumaman angkuh yang pastinya menjengkelkan indera pendengaran. “Kamu memecat Sinar, Pras? tanpa berdiskusi terlebih dahulu denganku? dia itu sekretarisku.” Harsa tidak perlu berbicara formal dengan sang pemilik baru Metro Ibukota itu, karena ia sudah mengenal Pras sedari pria itu masih menjejakkan awal karirnya menjadi pengacara. “Aku pemilik Metro sekarang, Om. Dan, aku sudah bilang dari awal kalau akan merombak manajemen di sana dan sekred Om itu salah satunya.” “Pras.” Harsa meraup separuh wajahnya. “Nyari sekred yang bisa dibilang multitalenta dan gak pernah mengeluh seperti Sinar itu sekarang susah! Apalagi, dia sudah 3 tahun jadi sekred di Metro. Seluruh wartawan cabang sudah kenal akrab dan Sinar tahu past
Bagi Sinar, Bintang adalah sosok suami yang sempurna. Sangat bertanggung jawab, dan tidak segan membantunya dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasa-rasanya, tidak ada yang tidak bisa Bintang lakukan. Pria itu, juga sangat lihai dalam memasak, bahkan, terkadang rasa masakan yang dibuatnya justru lebih nikmat daripada milik Sinar sendiri. Beruntung! Hanya satu kata itu yang bisa diungkap Sinar, saat bisa memiliki seorang suami seperti Bintang. Tapi kalau diselami lagi, ternyata tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Dibalik itu semua, Sinar harus bisa merelakan sebagian besar waktu Bintang untuk putranya lalu pekerjaannya. Setelah semua selesai, barulah giliran Sinar mendapatkan waktu berdua dengan sang suami. Hal itu sudah berlangsung selama masa pernikahan mereka. Belum lagi, jika ibu Bintang yang memang sering sengaja mengadakan makan bersama, dan juga terang-terangan tidak mengajak Sinar di dalamnya. Sinar sudah cukup bersabar untuk m
Jelang siang, Sinar menelepon Bintang agar tidak perlu datang ke apartemannya. Wanita itu hendak pergi mengunjungi sang bunda di butiknya. Mungkin sudah waktunya bagi July mengetahui segalanya. Kalau Sinar sebenarnya sudah bercerai dengan Bintang. Sekaligus ingin meminta saran, tentang tawaran Bintang untuk menikah secara siri terlebih dahulu. “Kamu gak kerja? Jam segini sudah nongol di butik?” July merupakan seorang modiste* yang sudah merintis usahanya sejak lulus SMA. Berawal dari menerima jahitan di rumah, hingga kini memiliki dua buah ruko hasil keringatnya sendiri yang dinamai Julynisme House, atau sering disebut JH oleh para pelanggannya. “Aku dipecat,” kata Sinar merebahkan diri pada sofabed yang tersedia di ruang kerja sekaligus tempat istirahat bagi sang bunda. “Dipecat?” July membuka kacamatanya, membiarkan tergantung di dada lalu menghampiri Sinar. Duduk di samping putrinya, ditepi sofa. “Kamu bikin ulah? Ada salah apa?” “Metro gan
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama