“Pras?” tanya Bintang dengan penuh keterkejutan, “Maksudmu, Prasetyo Sagara? Pemilik Firma Sagara? Dia ada di Jakarta?”
Sinar mengangguk. “Mas Bin, kenal sama Pras?” bertanya balik untuk lebih memastikan. Setelah pergi dengan memupuk amarah yang meluap-luap keluar dari kantor Pras. Sinar memesan taxi, pergi untuk menemui Bintang, sang suami yang tidak jadi ia gugat cerai.
"Ya."
“Emang, harusnya dia di mana kalau gak di Jakarta?”
“Singapur,” tukas Bintang. “Dia juga punya firma hukum di sana, dan biasanya, dia cuma beberapa bulan sekali baru pulang ke Jakarta, itupun pas weekend, cuma satu atau dua hari.”
Sinar sudah menceritakan semua tentang perbuatan yang dilakukan Pras kepada Bintang. Praslah yang telah menyerahkan semua dokumen tentang penyelewengan APBD ke pihak berwenang. Dan, Sinar juga mengadu, kalau Pras akan membuat mereka bercerai segera mungkin.
Bintang meraih tangan Sinar yang duduk di sebelahnya. Mengusap punggung tangan wanita yang saat ini tengah mengandung anaknya dengan lembut. “Urusan Pras, biar aku yang selesaikan. Aku akan temui dia malam ini.”
“Mas Bin kenal baik dengan dia?” Sinar penasaran, bagaimana hubungan suaminya itu dengan Pras. Apa hanya sebatas urusan kerja, layaknya reporter dan nara sumbernya, atau lebih dari itu. “Dia itu mengerikan dan sepertinya gak peduli sama sekali dengan pendapat orang.”
“Dia teman SMA, bisa dibilang rival sebenarnya. Dan kami pisah setelah lulus, dia lanjut kuliah ke Singapur dan aku tetap di Jakarta.” terang Bintang. “Jangan terlalu dipikirkan, yang terpenting sekarang itu, yang di sini.” tangan Bintang jatuh, tepat di atas perut Sinar yang masih rata. Ia sudah tidak sabar, untuk menunggu kelahiran bayi hasil buah cintanya dengan wanita yang dicintainya.
Jatuh cinta pada pandangan pertama. Itulah yang dirasakan Bintang saat bertemu dengan gadis itu tiga tahun yang lalu di Balai Kota. Kala itu, Sinar tengah keluar gedung balai kota bersama sang ayah untuk makan siang bersama. Kedua ayah dan anak itu terlihat sedang mendebatkan sesuatu sembari terus berjalan menuju kafetaria yang ada di sana.
Kemudian, tidak ada kesulitan, saat Bintang mencari tahu semua perihal tentang Sinar. Karena Prabu, merupakan salah satu nara sumber yang sering diwawancarai oleh Bintang, ketika masih menjadi reporter dahulu kala.
Dari situlah, Bintang mulai mendekati Sinar, dengan menelepon dan juga kerap mendatangi kantor gadis itu, untuk sekedar mengajaknya makan siang. Lantas gayungpun bersambut, Sinar juga memiliki rasa yang sama dengannya.
Namun, ada satu masalah yang menghalangi hubungan mereka kala itu. Bintang sudah memiliki istri dan seorang anak laki-laki.
Lantas, dengan mengatasnamakan sebuah rasa yang disebut cinta. Bintang menceraikan sang istri yang sedari awal tidak pernah ia cintai. Bintang menikah dengan Daya karena sebuah keterpaksaan, untuk memenuhi permintaan terakhir dari mendiang kakaknya sebelum meninggal karena kecelakaan. Daya merupakan istri dari kakak kandung Bintang, yang baru dinikahi selama dua bulan.
“Tapi, Mas … Pras juga bilang, kalau dia akan pastikan kita bercerai.”
“Dia bilang begitu?”
Sinar mengangguk.
“Kenapa?”
Gelengan kepala Sinar yang pelan itu, membuat Bintang mengambil ponsel dari saku kemeja seragamnya. Pria itu menelepon seorang reporter senior, yang ia letakkan pada desk politik.
“Ar, aku dengar, Prasetyo Sagara ada di Jakarta, apa itu ada kaitannya dengan pencalonan Pak Raja untuk maju di pemilihan gebernur mendatang?”
“Ya, Pak.” jawab Arvan, sang reporter senior yang dihubungi Bintang, tanpa ragu. “Saya sempat ketemu dan wawancara sedikit sama Pak Pras. Katanya, beliau akan menetap di Jakarta untuk jadi kuasa hukum serta tangan kanan Pak Raja sampai proses pencalonan selesai.”
“Kenapa berita mentahnya belum aku terima sampai sekarang?” tanya Bintang sedikit kesal. “Bagaimana kalau media lain sudah memberitakannya terlebih dahulu? Apa kamu mau Pak Abdi -Pemred Network- murka kalau kita kecolongan berita penting?”
Terdengar helaan berat diujung sana. “Bukan begitu Pak Bintang, hari ini saya ada wawancara eksklusif dengan Pak Pras, jadi saya rasa—”
“Ada wawancara eksklusif dengan Pras, tapi aku baru diberi tahu sekarang, Ar?” Bintang menunduk dan memijat pangkal hidungnya untuk berpikir sejenak. “Jam berapa, Ar?” tanyanya kemudian.
“Jam 7, Pak. sekalian makan malam di lounge Big Season.” jawab Ar.
“Wawancara eksklusif tapi di lounge hotel? Apa gak terlalu mencolok? Kita stasiun televisi yang harus bawa kamera, bukan dari media cetak, yang hanya butuh hape untuk wawancara.” pungkas Bintang. “Tolong konfirmasi sekali lagi, dan kabari aku segera.”
“Baik, Pak.”
Setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Arvan, Bintang menggenggam jemari Sinar dengan erat. Menatap istri tercintanya itu lamat-lamat. “Aku pulang telat nanti malam, ada yang mau aku bicarakan dengan Pras.”
Sinar mengangguk, kemudian meraih wajah suaminya. Mendaratkan satu kecupan ringan pada bibir Bintang. “Aku ke rumah bunda dulu, beliau pasti syok karena ayah tersandung kasus hukum.”
“Hati-hati, begitu sampai rumah, langsung kabari aku.”
Sebelum benar-benar pergi, Bintang mendaratkan pagutan yang begitu dalam di bibir istrinya. Menyesap semua rasa yang mampu membuat semua panca inderanya selalu meregang tenang.
"I love you, sweetheart."
"I love you, too."
--
Pras meletakkan botol air mineral, yang baru saja diteguknya dengan wajah datar. Melihat Bintang yang menarik kursi bersebrangan dengannya lalu duduk di sana. Sesi wawancara eksklusifnya telah usai lima menit yang lalu, namun Pras masih ingin duduk santai sejenak untuk melepas penat.
Pras memilih meja yang terletak di pojok. Ada 4 buah meja lainnya, yang sengaja ia reservasi agar wawancaranya tidak terlalu terganggu pengunjung lain. Tapi tetap saja, semuanya terlihat mencolok karena wawancara tersebut dilakukan di tempat umum.
“Kamu mengancam istriku, Pras?” Bintang tidak ingin berbasa-basi, karena ia tahu benar Pras bukan orang yang suka bertele-tele. “Sampai ayah mertuaku kamu jebloskan ke penjara.”
Pras tenang menatap datar, tanpa menunjukkan emosi apapun di wajahnya.
“Aku baru tahu kalau kamu sudah bercerai dengan Daya.”
“Jangan mengalihkan masalah, Pras.”
“Tapi, aku gak menyalahkanmu, kalau kamu lebih memilih Sinar. Karena dia benar-benar—”
“Jaga bicaramu, Pras.” Bintang tidak suka, saat Pras membicarakan istrinya dengan penuh minat seperti itu.
Pras membenarkan posisi duduknya agar semakin nyaman. “Besok, asistenku akan mengirimkan dokumen ke kantormu, tanda tanganilah dengan sukarela.”
“Dokumen?”
“Surat perceraianmu dengan Sinar.” ungkap Pras santai dan tanpa beban sedikitpun.
Bintang tertawa sinis untuk menanggapi Pras. Pria di depannya kini, dari dulu tidak pernah berubah. Tetap angkuh, penuh percaya diri dengan segala ambisi yang selalu di luar nalar.
“Kami batal bercerai, Pras, dan memilih rujuk setelah adanya mediasi.” terang Bintang dengan penuh percaya diri. “Lagipula, Sinar sekarang sedang mengndung anakku, jadi, jauhkan semua pikiran kotormu itu.”
“Aku simpulkan, Sinar mau diajak rujuk karena dia tengah hamil. Tapi apa dia tahu …” Pras sengaja menggantung kalimatnya, kemudian bersandar sembari mengusap dagunya sekilas. “Kalau … selama satu bulan lebih kalian berpisah, kamu sering mengunjungi rumah mantan istrimu dan tidur di sana.”
Kepercayaan diri Bintang jatuh terpuruk begitu saja, saat melihat seringai licik tersungging begitu nyata di wajah Pras. Bintang lupa, kalau Pras adalah orang yang akan benar-benar mematangkan semua rencananya terlebih dahulu, sebelum mengeksekusinya.
Pras pasti sudah menyelidiki semua hal tentang Bintang, sebelumnya. Hingga pria itu yakin, pasti akan mendapatkan apa yang dikehendakinya.
“Jangan mengancamku, Pras.”
“Ah! Aku juga dengar, kalau kamu mempunyai perusahaan trading house yang bergerak di bidang ekspor, impor dan distribusi. Bagaimana … kalau ada barang lartas* yang tiba-tiba ditemukan di dalam peti kemas yang mengatasnamakan perusahaanmu itu?”
“PRAS!”
“Besok, tunggu asistenku beserta berkas yang harus kamu tandatangani jam 10 pagi, di kantormu.”
--
*Barang lartas : Barang yang dilarang atau dibatasi pemasukan dan pengeluarannya.
Sinar melemparkan ponselnya dengan keras ke arah Bintang. Jika saja, kepala pria itu tidak langsung bergeser ke arah kiri, mungkin sisi wajah Bintang saat ini sudah lebam, terkena benda pipih dengan lebar 6,4 inchi itu.Ponsel tersebut berakhir membentur dinding, yang ada di belakang Bintang dengan keras. Kemudian jatuh terhempas retak, di lantai marmer begitu saja.“Kamu main-main sama aku, Mas? Aku sudah setuju untuk rujuk demi anak yang aku kandung, tapi sekarang, kamu malah cerain aku!” jerit Sinar, sudah tidak dapat lagi membendung gejolak yang akhirnya tumpah membanjiri pipinya. "Kamu mau balas dendam sama aku!"“Ini bukan mauku, Nar.” hela Bintang maju satu langkah untuk mendekati Sinar. Namun, gadis itu juga mundur satu langkah, untuk menghindari Bintang. “Perusahaanku akan bermsalah dan para karyawan juga akan kehilangan mata pencahariannya, kalau aku gak tanda tangan surat cerai itu.”“Kamu lebih menting
Bulu mata nan lentik itu terbuka perlahan. Maniknya mengerjab pelan, menyesuaikan pendaran cahaya yang masuk ke dalam mata. Bau khas dari rumah sakit membuat Sinar pelan-pelan sadar, kalau dirinya masih berada di tempat yang sama. “Sudah aktingnya?” Manik Sinar membola seketika. Kembali, napasnya seolah tercekat saat mendengar suara pria yang sudah membuat hidupnya runyam. Tapi, untuk apa pria itu di sini? Sinar kembali mengerjab, memastikan lagi keberadaannya saat ini. Dan benar, ia masih berada di rumah sakit. Terbaring lemah, dan hal terakhir yang sempat tersemat di pikiran Sinar ialah, ia tengah menjenguk keponakan Bira di ruang VIP. Sinar bangkit perlahan, posisi duduknya sedikit membungkuk malas. Terkesiap saat menatap wajah arogan, yang tengah duduk santai di sofa, tanpa melepas tatapan tajamnya pada Sinar. “Hapemu dikunci, jadi, kami gak bisa menghubungi keluargamu.” ujar Pras dengan intonasi datarnya. “Bukannya aku gak mau men
“Kamu baik-baik aja, Nar?” tanya Harsa setelah rapat redaksi pagi selesai. Gadis itu terlihat pucat dengan lingkaran hitam yang menggantung di bawah mata. “Kalau sakit, kamu bisa pulang dan istirahat.”Sinar menutup laptopnya lalu tersenyum menatap Harsa. “Saya sehat, Pak. Cuma kurang tidur.” jawabnya jujur. “Permisi.”Sinar perpamitan terlebih dahulu, keluar dari ruang rapat dengan memeluk laptop di depan dada. Duduk di meja kerjanya dan bersiap merangkum semua resume rapat dan mengirimkannya ke email redaksi Metro.“Nar, tolong gantiin Farah untuk rapat direksi di atas setengah jam lagi.” pinta Harsa yang baru saja menerima telepon dari direktur utama. “Farah gak masuk, dan sebentar lagi ada rapat kecil pemegang saham.”Namun, sejurus kemudian Harsa dengan cepat meralat ucapannya. “Sepertinya gak usah, Nar. biar saya minta anak iklan aja yang gantiin Farah. Kamu sebaiknya pula
Begitu pintu mobil ditutup dari luar, Pras membuka matanya perlahan. Menegakkan kepala dan membuang pandangan ke luar jendela. Ingatannya kembali berputar, akan rekaman pertemuan yang terjadi antara dirinya dan Daya, sekitar seminggu yang lalu di sebuah rooftop bar. “Aku baru dengar kalau kamu cerai dengan Bintang.” Pras memandang cinta pertamanya itu lamat-lamat. Wajah kalem keibuan dengan senyum khas yang begitu hangat, selalu mampu mencairkan hatinya dahulu kala. “Yaa, udah lama sih.” Daya menyematkan senyum manisnya. “Kamu, tumben ngajak ketemuan? Udah berapa lama yaa … kapan balik Singapur lagi?” ingatan Daya berputar di saat ia masih menjadi junior Pras di kampus saat itu. Dan pria itu tidak pernah lagi menemuinya, sejak Daya memberi Pras sebuah kartu undangan pernikahannya dengan Jagad, kakak Bintang. “Kenapa kamu cerai dengan Bintang, Day?” Pras tidak pernah berubah, ia selalu saja tidak bisa berbasa basi untuk mengungkapkan tujuannya. Pria itu juga t
Butuh dua kali Harsa men-dial nomor Pras, sampai sang pengacara itu mengangkat teleponnya. “Hmm.” Tidak ada kata sapaan yang terdengar dari ujung sana saat Pras sudah mengangkat telepon dari Harsa. Hanya sebuah gumaman angkuh yang pastinya menjengkelkan indera pendengaran. “Kamu memecat Sinar, Pras? tanpa berdiskusi terlebih dahulu denganku? dia itu sekretarisku.” Harsa tidak perlu berbicara formal dengan sang pemilik baru Metro Ibukota itu, karena ia sudah mengenal Pras sedari pria itu masih menjejakkan awal karirnya menjadi pengacara. “Aku pemilik Metro sekarang, Om. Dan, aku sudah bilang dari awal kalau akan merombak manajemen di sana dan sekred Om itu salah satunya.” “Pras.” Harsa meraup separuh wajahnya. “Nyari sekred yang bisa dibilang multitalenta dan gak pernah mengeluh seperti Sinar itu sekarang susah! Apalagi, dia sudah 3 tahun jadi sekred di Metro. Seluruh wartawan cabang sudah kenal akrab dan Sinar tahu past
Bagi Sinar, Bintang adalah sosok suami yang sempurna. Sangat bertanggung jawab, dan tidak segan membantunya dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasa-rasanya, tidak ada yang tidak bisa Bintang lakukan. Pria itu, juga sangat lihai dalam memasak, bahkan, terkadang rasa masakan yang dibuatnya justru lebih nikmat daripada milik Sinar sendiri. Beruntung! Hanya satu kata itu yang bisa diungkap Sinar, saat bisa memiliki seorang suami seperti Bintang. Tapi kalau diselami lagi, ternyata tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Dibalik itu semua, Sinar harus bisa merelakan sebagian besar waktu Bintang untuk putranya lalu pekerjaannya. Setelah semua selesai, barulah giliran Sinar mendapatkan waktu berdua dengan sang suami. Hal itu sudah berlangsung selama masa pernikahan mereka. Belum lagi, jika ibu Bintang yang memang sering sengaja mengadakan makan bersama, dan juga terang-terangan tidak mengajak Sinar di dalamnya. Sinar sudah cukup bersabar untuk m
Jelang siang, Sinar menelepon Bintang agar tidak perlu datang ke apartemannya. Wanita itu hendak pergi mengunjungi sang bunda di butiknya. Mungkin sudah waktunya bagi July mengetahui segalanya. Kalau Sinar sebenarnya sudah bercerai dengan Bintang. Sekaligus ingin meminta saran, tentang tawaran Bintang untuk menikah secara siri terlebih dahulu. “Kamu gak kerja? Jam segini sudah nongol di butik?” July merupakan seorang modiste* yang sudah merintis usahanya sejak lulus SMA. Berawal dari menerima jahitan di rumah, hingga kini memiliki dua buah ruko hasil keringatnya sendiri yang dinamai Julynisme House, atau sering disebut JH oleh para pelanggannya. “Aku dipecat,” kata Sinar merebahkan diri pada sofabed yang tersedia di ruang kerja sekaligus tempat istirahat bagi sang bunda. “Dipecat?” July membuka kacamatanya, membiarkan tergantung di dada lalu menghampiri Sinar. Duduk di samping putrinya, ditepi sofa. “Kamu bikin ulah? Ada salah apa?” “Metro gan
Setelah sepuluh menit Pras menunggu Sinar di ujung koridor yang mengarah ke toilet. Wanita itu tidak kunjung keluar, untuk menampakkan batang hidungnya.Karena Pras bukan pria penganut kata sabar, maka ia berinisiatif untuk menyusul Sinar. Melewati koridor, kemudian berbelok lalu tercengang.Dua pintu kamar toilet yang saling berdampingan itu terbuka semuanya. Pras berjalan perlahan untuk menengok ke dalam. Tidak ada tanda-tanda Sinar di sana.Shoot!Kembali dengan emosi yang bergejolak. Pras bertanya kepada salah seorang pramuniaga yang ada di sana.“Apa … ada pintu lagi di belakang ruko ini?” tanya Pras dengan mengarahkan telunjuknya ke belakang punggungnya.Sang pramuniaga tersebut ternganga takjub sejenak, menatap Pras.“Mbak!”“Eh, iya, ada, Mas. Pintu ke belakang.”“Di mana?”“Lorong ini lurus, belok kiri terus belok kanan, ada taman belakang, nah,
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama