Bagi Sinar, Bintang adalah sosok suami yang sempurna. Sangat bertanggung jawab, dan tidak segan membantunya dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasa-rasanya, tidak ada yang tidak bisa Bintang lakukan.
Pria itu, juga sangat lihai dalam memasak, bahkan, terkadang rasa masakan yang dibuatnya justru lebih nikmat daripada milik Sinar sendiri.
Beruntung!
Hanya satu kata itu yang bisa diungkap Sinar, saat bisa memiliki seorang suami seperti Bintang.
Tapi kalau diselami lagi, ternyata tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Dibalik itu semua, Sinar harus bisa merelakan sebagian besar waktu Bintang untuk putranya lalu pekerjaannya. Setelah semua selesai, barulah giliran Sinar mendapatkan waktu berdua dengan sang suami.
Hal itu sudah berlangsung selama masa pernikahan mereka. Belum lagi, jika ibu Bintang yang memang sering sengaja mengadakan makan bersama, dan juga terang-terangan tidak mengajak Sinar di dalamnya.
Sinar sudah cukup bersabar untuk m
Jelang siang, Sinar menelepon Bintang agar tidak perlu datang ke apartemannya. Wanita itu hendak pergi mengunjungi sang bunda di butiknya. Mungkin sudah waktunya bagi July mengetahui segalanya. Kalau Sinar sebenarnya sudah bercerai dengan Bintang. Sekaligus ingin meminta saran, tentang tawaran Bintang untuk menikah secara siri terlebih dahulu. “Kamu gak kerja? Jam segini sudah nongol di butik?” July merupakan seorang modiste* yang sudah merintis usahanya sejak lulus SMA. Berawal dari menerima jahitan di rumah, hingga kini memiliki dua buah ruko hasil keringatnya sendiri yang dinamai Julynisme House, atau sering disebut JH oleh para pelanggannya. “Aku dipecat,” kata Sinar merebahkan diri pada sofabed yang tersedia di ruang kerja sekaligus tempat istirahat bagi sang bunda. “Dipecat?” July membuka kacamatanya, membiarkan tergantung di dada lalu menghampiri Sinar. Duduk di samping putrinya, ditepi sofa. “Kamu bikin ulah? Ada salah apa?” “Metro gan
Setelah sepuluh menit Pras menunggu Sinar di ujung koridor yang mengarah ke toilet. Wanita itu tidak kunjung keluar, untuk menampakkan batang hidungnya.Karena Pras bukan pria penganut kata sabar, maka ia berinisiatif untuk menyusul Sinar. Melewati koridor, kemudian berbelok lalu tercengang.Dua pintu kamar toilet yang saling berdampingan itu terbuka semuanya. Pras berjalan perlahan untuk menengok ke dalam. Tidak ada tanda-tanda Sinar di sana.Shoot!Kembali dengan emosi yang bergejolak. Pras bertanya kepada salah seorang pramuniaga yang ada di sana.“Apa … ada pintu lagi di belakang ruko ini?” tanya Pras dengan mengarahkan telunjuknya ke belakang punggungnya.Sang pramuniaga tersebut ternganga takjub sejenak, menatap Pras.“Mbak!”“Eh, iya, ada, Mas. Pintu ke belakang.”“Di mana?”“Lorong ini lurus, belok kiri terus belok kanan, ada taman belakang, nah,
“Pesangonmu sudah ditransfer, Nar.”Chat dari salah satu staff keuangan di Metro, membuat Sinar buru-buru membuka aplikasi mobile bangking-nya. Melihat rincian mutasinya selama tiga hari terakhir.“Lumayan.” gumamnya namun dengan bibir yang mengerucut kemudian, memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia ambil dengan kondisi hamil seperti ini. Ikut membantu sang bunda di JH bukanlah passion Sinar sama sekali. Meskipun ia memiliki bakat dalam hal jahit-menjahit, namun Sinar enggan berurusan dengan itu semua. Sinar sama sekali tidak tertarik.Terlihat juga nama Bintang di sana, pria itu juga mentransfer sejumlah nominal yang tidak bisa dibilang sedikit sebenarnya. Sinar tidak akan menolak atau mentransfer kembali uang tersebut. Toh ada anak Bintang yang tengah ia kandung saat ini, jadi pria itu juga punya kewajiban untuk menafkahinya.Kembali Sinar berpikir tentang tawaran Bintang untuk menikah siri, dengan pria itu. Dan
Keesokan paginya, setelah melalui rutinitas subuh dengan mengeluarkan seluruh isi perut alias morning sickness seperti biasa. Raga Sinar terasa lebih ringan.Setelah mandi, ia memutuskan untuk membuat sarapan sederhana dan tidak lupa membuat dua loyang kecil cheesecake khusus untuk Bira, yang akan datang melihat apartemennya. Satu untuk di makan di tempat, dan satu lagi untuk dibawanya pulang nanti.Tepat setelah Sinar menyelesaikan sarapannya, yang hanya berbekal telur dadar dan nasi hangat ditambah kecap. Bel apartemennya berbunyi, sudah dipastikan bahwa Biralah yang datang untuk menemuinya.Senyum yang tadinya melengkung sempurna kini mendadak berubah datar. Bira tidak sendirian, ada Pras di sampingnya. Tapi, untuk apa pria itu juga datang ke tempatnya?“A—ku kira kamu sendirian, Bir.”“Laki-laki dan perempuan itu, gak baik berada di dalam satu ruang hanya berdua.” Pras mengambil alih jawaban Bira, lalu mas
Sekali lagi Pras menyapu tajam setiap sudut apartemen Sinar dengan tatapannya. Kakinya tidak melangkah ke manapun. Masih terpaku ditempat yang sama. Terakhir, maniknya jatuh dengan dingin pada Sinar kemudian Bintang."Ayo, Bir!"Pras melangkahkan kaki panjangnya melewati sepasang mantan suami istri, yang menurutnya telah melakukan drama murahan. Sinar ternyata tidak sepintar seperti gosip yang ia dengar dari keluarganya, maupun beberapa karyawan kalangan Metro. Buktinya, ucapan Bintang yang terlihat omong kosong dan tidak masuk akal, masih bisa dipercaya oleh wanita itu.Bagi Pras, Sinar tidak lebih dari wanita lainya. Bodoh dan mudah terpedaya dengan kebohonhan pria yang dicintainya."Bira, tunggu!” Sinar beranjak menuju dapur dan memasukkan dua buah cheesecake yang sudah ia buat khusus untuk Bira ke dalam paper bag yang sudah disiapkan sebelumnya. Setelah itu, ia memberikan tas berbahan kertas berwarna cokelat itu kepada Bira.
Seminggu berlalu sejak keributan yang terjadi di apartemen milik Sinar. Kini, ia sudah tinggal bersama sang bunda juga adik laki-lakinya. Menempati kamarnya dahulu kala, yang tidak tampak berubah sedikitpun.Hatinya lebih terasa tenang. Berharap, hari itu, adalah hari terakhir ia bertemu dengan Pras. Lagipula, nominal yang ditransfer oleh Pras ke rekeningnya atas penjualan apartemen, bisa membuat Sinar tidak kekurangan apapun. Bahkan sampai bayinya lahir kelak, uang hasil penjualan apartemen, pemberian Bintang, serta tabungannya, sangatlah mencukupi.Tapi, tidak mungkin kan, kalau dirinya hanya hidup dari itu semua. Anaknya kelak tidak akan kecil terus-terusan. Semakin lama akan semakin dewasa dan membutuhkan biaya yang lumayan besar.Mungkin, bersabar dulu sampai kehamilannya selesai, barulah Sinar akan mencari kerja. Cita-cita untuk menjadi full time mommy yang bisa mengurus anaknya 24 jam selama seminggu, menguap begitu saja, hanya karena seorang Pra
Sinar berdiri setelah selesai menghabiskan makanannya, tidak ingin berlama-lama dengan Bira. Ia masih merasakan sebuah ketakutan tersendiri, jika mengingat Pras yang tidak menginginkan Sinar dekat dengan keluarganya.“Mau ke mana habis ini?” Bira mensejajarkan langkahnya dengan Sinar yang tampak berjalan dengan tergesa.“A—ku, mau nyalon,” secepat kilat Sinar mencari alasan, yang sekiranya Bira tidak dapat mengikuti apa yang akan dilakukannya. Dan, pergi ke salon adalah alasan yang sepertinya tepat. “Aku mau perawatan, menenangkan pikiran dari ulah kakakmu yang sa—”Sinar tidak melanjutkan kalimatnya, sekali lagi pikirannya terus saja ingin memaki Prasetyo Sagara. Jika tidak ingat saat ini tengah hamil, Sinar akan mengumpat serta merutuk pria itu di setiap tarikan napasnya.Bira membuang napas pasrah. Ia ingin menemani Sinar sebenarnya, tapi Bira angkat tangan jika harus menemani seorang wanita di salon. Apa
Titik bening itu masih saja menetes di wajah Sinar, ketika ia sudah sampai di rumah. Supir taxi yang mengantarkannya pun hanya bisa berempati, karena tidak satupun dari ocehan sang supir yang ditanggapi oleh Sinar sepanjang perjalanan.Sinar memutuskan untuk langsung mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Menghilangkan rasa panas yang menyelimuti tubuhnya, dari ujung kepala hingga kaki. Sinar ingin mengenyahkan semua racun, yang berputar-putar di otaknya karena Daya. Wanita itu memang pantas dijuluki sebagai ular, karena begitu licik dan mulutnya begitu berbisa.Setelah selesai membersihkan diri. Sinar memutuskan untuk menelepon Bintang, ada sesuatu yang harus ditanyakannya, dan ia ingin mendengar sendiri jawaban langsung dari pria itu.Tidak perlu menunggu lama, pria yang ia hubungi segera mengangkat teleponnya di nada tunggu ke dua.“Halo sayang.” sapa Bintang di ujung sana begitu manis, seolah tidak ada hal yang terjadi dan disembuny
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama