Diana begitu bersemangat ketika mendapat panggilan kerja di perusahaan ternama di ibukota. Hutama Group yang merupakan perusahaan di bidang perakitan sepeda motor.
Gadis manis bertubuh kurus dengan rambut hitam sebatas bahu ini berlari menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca bening tebal. Matanya yang menyapu setiap sudut kantor membuat ia tanpa sengaja menabrak seorang lelaki berjas hitam yang berjalan dengan angkuhnya.
Diana terjatuh. Map berisi persyaratan awal masuk kerja pun jatuh berserakan. Mata gadis manis ini terus menatap pria yang ditabraknya. "Kamu," gumam Diana lirih tak berkedip.
Pria itu tampak kesal dengan Diana. Ia menyapu bahunya dengan telapak tangan. Seolah tubuh Diana membuat pakaiannya ternoda.
"Hey, kamu! Apa kamu karyawan baru di sini?" tanya seorang pria berkumis tipis yang berdiri di belakang Arvan. Dia adalah Malik, sekretaris Arvan. Malik bisa menduga jika Diana adalah karyawan baru karena pakaian yang dikenakan bukan seragam kantor. Ya, Diana masih mengenkan kemeja putih dan rok hitam.
"I ... iya, saya karyawan baru." Diana segera bangkit dan menundukkan kepala.
"Sekali lagi saya lihat kamu ceroboh, saya pastikan kamu tidak bisa bertahan," kata Arvan sambil berlalu pergi.
Diana memanyunkan bibirnya. Ia meniup rambut yang menutupi dahinya yang lebar dan menggerutu, "Kamu gak inget aku, Van?" Diana menunjuk-nunjuk ke arah Arvan dan Malik yang sedang berjalan menuju lift. Gadis ini terkejut ketika pria berkumis yang menegurnya tiba-tiba menoleh. Ia langsung berbalik, menggaruk kepalanya dan membuang napas berat.
"Jadi berantakan gini, kan!" Diana mengambil kertas yang berserakan dan menyatukannya ke dalam map. Gadis ceroboh ini menuju resepsionis dan mengatakan jika dia adalah karyawan baru di bagian office girl. Wanita cantik dengan make up tebal yang menjaga meja resepsionis mengarahkan office girl baru ini untuk pergi ke ruangan yang berada di ujung gedung.
"Aku rela gak kerja di kantor papah, demi ketemu kamu, Arvan," gumam Diana sambil melangkahkan kakinya menuju ruangan atasannya.
Sebuah ruangan cukup besar dengan pintu terbuka dimasuki Diana. Ia bertemu seorang atasan yang menyambutnya dengan sangat ramah. Diana diterima dengan baik oleh teman-teman sesama office girl mau pun office boy yang baru saja akan memulai pekerjaan mereka.
"Selamat datang, Diana. Kamu saya kasih tugas spesial. Gak perlu latihan, pokoknya spesial buat kamu aja," kata Pak Roni, atasannya.
"Benarkah? Terimakasih. Apa yang harus saya lakukan di hari pertama ini?" tanya Diana dengan antusias.
Pak Roni memberikan seragam baru berwarna biru muda untuk pegawai barunya. Ia mengatakan jika Diana bertugas mengurus keperluan direktur dan membersihkan ruangannya.
"Apakah direktur itu Arvan?"
"Husssst! Jangan sembarangan bicara! Emang dia temen kamu bisa panggil nama begitu? Panggil dia Pak Arvan," perintah Pak Roni.
"Siap, Pak!"
"Udah sana ganti baju! Terus bikin minuman buat Pak Arvan."
"Iya, Pak."
Diana masuk ke toilet yang ada di dalam ruangan itu. Teman-teman baru serta Pak Roni pun bergunjing. Mereka tertawa bahagia bukan karena mendapatkan teman baru. Namun, mereka lega karena akan ada orang baru yang akan menjadi korban keangkuhan sang CEO.
"Sudah! Kalian lanjutkan pekerjaan kalian sebelum Diana curiga," tukas Pak Roni.
Diana keluar dengan seragam barunya. Kemudian ia menerima perintah pertama dari atasannya untuk membawakan kopi dan membersihkan ruangannya.
"Dapur ada di sana!" tunjuk Pak Roni pada sudut ruangan.
"Meja berisi alat kerja kamu itu ya! Selamat bekerja," sambung Pak Roni.
Diana menuju dapur untuk membuatkan kopi hitam untuk Arfan. Secangkir kopi panas sudah siap dibawa ke ruangan CEO yang ada di lantai lima belas. Office girl baru ini meletakkan kopi itu di atas meja kerjanya. Kemudian ia mendorong meja itu keluar Ruangan OB menuju lift.
Diana sudah tak sabar untuk melihat wajah Arvan lagi. Ia berharap pertemuan kedua ini akan membuat Arvan mengingat dirinya yang pernah ditolong beberpa tahun lalu ketika mereka masih bertetangga.
"Van, inget aku, please!" Kata Diana sambil menyatukan kedua tangannya dan memejamkan matanya.
Gadis manis yang mengurai rambut pendeknya itu sudah sampai di lantai lima belas. Dengan tingkat kepercayaan yang tinggi ia menuju ruang CEO.
Tok ... tok ... tok ....
Diana mengetuk pintu kayu bercat cokelat tua dengan papan tulisan nama sang CEO tergantung di atasnya. Gadis manis ini memutar gagang pintu dan membuka pintu itu lebar agar meja kerjanya bisa masuk.
"Permisi, Pak. Saya karyawan baru yang bertugas membersihkan ruangan Bapak," kata Diana sambil menatap Arvan yang sedang membaca laporan dengan menundukan kepala. Tak ada satu pun kata yang kaluar dari mulut CEO angkuh itu. Membuat Diana mengembuskan napas panjang dan kecewa karena Arvan tak melihat wajahnya walau hanya satu detik saja.
Ia ambil secangkir kopi panas dari mejanya dan meletakannya di meja kerja Arvan.
"Ini kopinya, Pak." Diana meletakan cangkir berisi kopi panas di sebelah kiri Arvan.
"Taruh sebelah sini!" jawab Arvan tanpa menoleh. Suara beratnya membuat Diana semakin berdebar. Apa lagi ketika melihat wajah tampan nan dingin dengan rambut berjambul yang membuat Arvan semakin memancarkan karismanya.
"I ... iya," jawab Diana dengan gugup.
Diana sudah memindahkan cangkir kopi itu di sebelah kanan. Kemudian ia melanjutkan pekerjaanya untuk membersihkan ruangan.
Diambilnya sapu dan Diana mulai menyapu ruangan itu dari sudut dekat dengan jendela kaca yang lebar. Di sudut ruangan terdapat sebuah meja kecil berisi foto berbingkai. Sebuah potret ketika Arvan kecil yang tengah digendong ayahnya.
"Coba sekarang kamu senyum seperti di foto itu! Kenapa kamu berubah menjadi dingin seperti ini? Sekali saja aku ingin lihat senyum kamu," batin Diana sambil terus memandangi potret Arvan.
"Kamu kerja apa mau ngelamun!" tegur Malik yang membuat Diana terkejut. Ia menoleh dan melihat Malik sudah duduk di hadapan Arvan.
"Sejak kapan dia masuk? Kok aku gak denger pintu dibuka sih?" gerutu Diana dalam hati.
"Maaf, saya akan menyapu sekarang."
Diana mulai mengayunkan tangan kanan yang sedang memegang sapu. Tiba-tiba seekor laba-laba melompat dari tirai ke lengan baju nya. Laba-laba adalah binatang yang paling ditakuti Diana. Dahinya berkeringat menahan takut. Ia berhenti bergerak agar laba-laba itu pergi. Justru binatang kecil itu berjalan mendekati pundaknya.
"A ...." Diana berteriak. Kakinya melangkah mundur dan tak sengaja menabrak foto yang ada di meja hingga foto itu jatuh dan bingkai pun pecah.
Diana semakin ketakutan ketika laba-laba itu justru mulai berjalan di lehernya yang jenjang. Arvan kesal karena bingkai fotonya pecah. Dengan raut wajah yang merah, Arvan mengambil laba-laba kecil dari leher Diana dan menginjak dengan sepatunya hingga hancur tak berbentuk.
"Kamu lihat, foto saya jadi pecah!" sungut Arvan yang membuat Diana tak bisa membendung air matanya.
Dengan tangan gemetar, gadis ini membersihkan pecahan kaca dengan gugup hingga melukai jarinya. Diana tak menyadari jika darahnya menetes di lantai. Ia memasukkan serpihan kaca itu ke dalam meja kerjanya dan mendorongnya keluar ruangan.
"Baru kerja udah bikin ulah. Biar aku bilang ke HRD suruh pecat dia," kata Malik.
"Tunggu!" ucap Arvan sambil melihat tetesan darah di lantai ruangannya.
"Iya?"
"Jangan pecat dia."
"Kenapa?"
"Apa aku perlu menjelaskan padamu?"
Bersambung....
Arvan berlalu pergi hendak meninggalkan ruangan. Aroma tubuhnya seolah tertinggal dan tercium wangi menusuk hidung sekretarisnya, Malik."Terus aja bersikap dingin! Gak usah senyum biar gak nyaingin ketampanan Malik," gerutu pria berkumis tipis dengan percaya diri tinggi. Tangan kanannya mengusap rambut hitam berjambul dengan gaya persis seperti bosnya itu.Sebelum tangannya memutar gagang pintu, Arvan berbalik. Ia menatap Malik dengan mata tajamnya. Pandangannya begitu angkuh dan ganas, seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. "Aku denger ucapan kamu!""Jangan bohong! Denger apaan? Dari tadi aku gak ngomong." Malik berkilah.CEO arogan ini terus menatap wajah sang sekretaris. Bibirnya tak bergerak sama sekali. Jangankan untuk tersenyum, membuat bibir tipis pemuda tampan itu terbuka saja sudah sulit."Ampun, Pak. Saya khilaf." Malik merekatkan bibirnya. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat sampai bos muda itu benar-benar keluar dari ruangan. 
Hari pertama Diana bekerja begitu melelahkan. Ia berjanji pada diri sendiri harus bisa bertahan demi Arvan. Semua teman satu profesinya sudah pulang. Tinggal ia sendiri yang duduk bersandar tembok sambil menatap telunjuknya yang terluka."Kenangan di ruangan kamu, Van. Perihnya gak sebanding sama sikap dingin kamu yang seperti es batu, fyuh!" gerutu Diana. Ia mengambil sling bag cokelat dan keluar ruangan. Sesekali matanya berkeliling berharap melihat wajah yang sudah dua puluh tahun ia rindukan."Gak keliatan, mungkin udah pulang," kata Diana lirih sambil mengembuskan napas kasar.Diambilnya gawai berwarna hitam dari dalam tasnya. Ia akan menghubungi supir pribadinya agar menjemput tepat di depan perusahaan. Setelah berpikir dua kali, gadis manis ini mengurungkan niatnya."Lupa, aku kan miskin, lulusan SD, lucu gak sih tiba-tiba dijemput pake mobil? Aku harus pulang naik metromini." Diana berjalan santai di trotoar. Menikmati udara sore ibukota y
"Lho, Diana mana, Mih?" tanya Wijaya kepada istrinya. Mereka baru saja akan memperlihatkan putri mereka yang cantik kepada keluarga Hutama. Namun, gadis itu sudah menghilang."Tadi di belakang kita, kok," jawab Anisa.Wijaya mencoba menghubungi putrinya melalui telepon. Akan tetapi nomor tidak aktif. "Gak aktif, Mih.""Ke toilet mungkin. Aku sempet liat gadis pake baju pink di belakang kalian lari. Atau mungkin malu ketemu kita?" ujar Hutama."Anak itu memang selalu bikin ulah akhir-akhir ini," kata Wijaya.Orang tua Diana begitu takjub melihat perubahan Arvan. Anak berusia delapan tahun yang dulu sering bermain dengan putrinya kini tumbuh menjadi pria tampan. Kemeja ketat yang digunakannya menunjukkan bahunya yang lebar."Apa kamu benar Arvan?" tanya Anisa."Iya, Tante." jawab Arvan dengan senyum yang begitu pelit."Diana pasti nyesel gak liat kamu, kamu masih ingat wajah Diana kan?""Lupa-lupa ingat, sud
Jam kerja baru saja dimulai. Malik dan Arvan tengah melihat berkas-berkas mengenai keuangan perusahaan. Tiba-tiba Heksa menerobos masuk tanpa permisi sambil menebar senyum yang menunjukkan gigi gingsulnya."Hey, aku udah senyum manis banget gini, lho! Kenapa kalian cuma liatin doang?" kata Heksa mendekat dan duduk di atas meja kerja si CEO dingin."Senyum? Yang ada aku mual tau gak?" jawab Malik."Astaga, punya temen kenapa pada kaku banget gini.""Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya sekretaris berkumis tipis yang belum pernah merasakan hangatnya belaian seorang wanita."Aku mau lamar kerjaan ke Arvan."Jawaban dari Heksa membuat CEO muda ini meletakkan berkas yang ada di tangannya. Ia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi dan menatap sepupu badboy-nya itu."Apa?" tanya Arvan dengan singkat."Aku mau jadi OB, please!" Heksa memohon dengan menyatukan kedua tangannya."Gak!""Kenapa?""Aku gak suka
Diana kembali ke ruangan khusus office girl dan office boy yang ada di lantai bawah. Raut wajahnya sangat murung. Pak Roni dan rekan-rekan cleaning service menduga jika teman baru mereka itu mendapatkan perlakuan buruk dari sang CEO seperti karyawan-karyawan sebelumnya yang tak mampu bertahan lebih dari satu hari."Kamu kenapa, Diana?" tanya Razen, salah seorang office boy."Gak apa-apa, Kak.""Kamu masih betah kan kerja di sini?""Iya, aku betah, kok."Pak Roni mendekat dan memberikan semangat kepada anak buah barunya itu. Ia mengatakan jika pekerjaan Diana lebih ringan dibandingkan teman-teman yang lain."Lebih ringan gimana, Pak?" tanya Diana tak mengerti."Jumlah kita yang dua puluh orang ini ada tugas masing-masing. Setiap orang bertugas di satu lantai. Kamu kan beda, Diana. Kamu cuma satu ruangan doang, lho." ujar Pak Roni."Iya, satu ruangan, tapi ruangan itu isinya beruang kutub,'' gerutu Diana kesal.Jam maka
Diana melihat kedua orang tuanya pulang membawa banyak belanjaan. Mereka berdua begitu antusias melihat Arvan. Begitu juga Arvan yang tersenyum ramah dengan bekas tetangga saat kecil itu."Di, Arvan kenal orang tua kamu?" bisik Heksa."Iya.""Tapi gak kenal kamu?""Kami temen waktu kecil, tapi Arvan udah lupa sama aku.""Sepertinya kamu sengaja jadi OB di kantor dia buat deketin Arvan 'kan?""Iya, udah jangan berisik, nanti ketahuan!"Heksa dan Diana kembali mengamati Arvan dari celah pintu lemari. Pertemuan yang sangat lama antara Arvan dan kedua orang tua Diana membuat gadis bermata sipit dan pria berambut mohawk ini tertidur di dalam lemari. Diana menyandarkan kepalanya pada bahu Heksa. Sedangkan sang badboy bersandar pada dinding lemari dengan telapak kaki yang sedikit keluar dan membuat pintu lemari sedikit terbuka."Diana belum pulang juga, kemana ya, Pih?" tanya Anisa."Entahlah, coba Mamih telepon," perintah Wija
Cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela kaca membuat Diana terbangun. Ia menggeliat dan menyadari ponselnya masih ada di genggamannya.Mata yang malas untuk membuka tiba-tiba saja terbelalak ketika melihat dua pesan masuk tertera di layar ponselnya. Jemarinya mengusap layar benda pipih itu dan membuka pesan teratas. Sebuah pesan dari Heksa yang menagih janjinya semalam. Diana tak membalas pesan itu dan berlanjut membuka pesan kedua.[Kau ingat aku? Si baik hati yang selalu kau gandeng saat kecil.]Membaca balasan itu, Diana bingung dan akhirnya membaca kembali pesan di atasnya. Pesan pertama dari nomor itu adalah panggilan namanya. Senyum manis tersimpul di bibir gadis cantik ini. Ia tak menyangka jika Arvan akan mengiriminya pesan. Dengan lincah jemarinya menari di atas layar dan berpura-pura bertanya.[Apa kamu Arvan?]Hatinya terus berbunga-bunga w
Heksa menghentikan napasnya sejenak dan membuka telinga lebar-lebar ketika Diana akan menjawab pertanyaanya. Dengan jantung yang berdegup tak beraturan, Heksa terus memandang wajah ayu office girl yang terluka itu."Aku ... bakal coba, Sa. Tapi bagaimana kalau aku cuma buat kamu terluka?" kata Diana."Jangan pedulikan sakit hatiku. Aku sudah bahagia mendengar kamu menyetujui permintaanku. Terima kasih. Mulai besok, aku bakal antar jemput kamu kerja. Jangan nolak, ini salah satu cara biar aku lebih deket sama kamu.""Iya, maaf jadi ngerepotin.""Gak apa-apa, Sayang.""Jangan panggil sayang, dong!""Kenapa emang?""Aneh aja.""Kita kan udah jadian, Diana!""Baru juga lima menit. Pokoknya aku gak mau dipanggil sayang, titik!""Oke, titik.""Kok titik sih?"
Diana yang akan diantar oleh Anton tiba-tiba melihat mobil Heksa melaju cepat ke arah kantor. Gadis itu menolak untuk diantar ayah kekasihnya itu. Ia memilih untuk kembali ke kantor saja dengan berjalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh."Maaf ya, Om. Sepertinya Heksa ke kantor. Saya mau ke Heksa aja," kata Diana."Oh, ya sudah kalau begitu."Diana berjalan cepat. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena ponselnya tertinggal di loker. Ia kegirangan dan berpikir di saat dirinya susah Heksa selalu ada di dekatnya.Diana terkejut melihat Heksa yang tengah berbicara dengan Chintya. Ia berjalan mengendap untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dekat."Sa, ide kamu ini gak keren. Aku dimaki-maki sama Malik karena meniru gaya Diana," ucap Chintya."Lalu, kenapa kamu minta aku menjemputmu? Apa benar-benar gagal total?""Arvan sa
"Van, bangun!" Chintya panik. Ia mengguncang-guncangkan tubuh mantan kekasihnya yang tergolek lemah tak berdaya.Pintu ruangan yang terbuka membuat karyawan di lantai lima belas melihat kejadian itu. Salah seorang karyawan segera meminggirkan meja kerja Diana yang menghalangi jalan.Lelaki berusia empat puluh tahunan itu mendekati sang CEO dan menelepon ambulance melalui ponselnya."Pak Arvan kenapa, Mbak?" tanya lelaki berkumis itu."Gak tau. Dia bilang tadi dingin. Badannya panas," jawab Chintya yang terisak.Berita tentang Arvan yang pingsan segera menyebar ke seluruh penjuru kantor. Samar-samar Malik yang sedang mengejar Diana pun mendengarnya. Ia berbalik arah dan menuju lantai lima belas.Dengan napas yang tersengal Malik memegang kening sahabatnya itu. "Arvan kenapa dipaksain masuk kalo lagi sakit gini, sih!""Saya sudah tele
Arvan menyunggingkan bibirnya. Kedua tangannya memegang setir. Namun, ia tidak menyalakan mesin mobil. CEO tampan ini akan meneruskan perannya sebagai tuan misterius untuk mengorek tentang perasaan Diana terhadapnya. "Ya, aku gak boleh ungkapin sekarang. Aku seneng ternyata kamu mencintaiku. Apa lagi setelah aku tau kamu tidak benar-benar menyukai Heksa," gumam Arvan. Ia keluar dari mobil dan menikmati guyuran hujan malam yang semakin deras. Kedua tangannya merentang. Kepala menengadah. Seolah tetesan-tetesan air itu membuat jiwanya begitu tenang. Kaus yang dikenakannya basah kuyup. Menempel ke tubuh. Membuat lekukan dadanya yang bidang jelas terlihat. Asisten rumah tangga di keluarga Hutama mengintip dari balik jendela. Ia khawatir anak majikannya itu akan sakit. Wanita paruh baya itu bekerja di keluarga Hutama sejak mereka hijrah ke ibukota. Ia sangat hapal jika Arvan
Diana mendorong tubuh Heksa dengan keras. "Lepasin! Ngapain sih, Sa?" Diana mengelap bibirnya. "Lho? Kenapa? Kan di telepon aku udah bilang tadi mau cium nyata." "Jangan lagi-lagi! Aku udah gak pengin makan malem." Diana masuk ke dalam rumah dengan basah kuyup. "Kok gitu? Aku laper, Di." Heksa yang sama-sama basah membuntuti Diana yang baru selangkah melewati pintu. "Pulang gak? Aku gak mau ketemu sama kamu!" bentak Diana. "Kok marah? Jangan marah dong, Di. Please!" "PULANG!" teriak Diana lagi. Membuat Wijaya dan Anisa menghampiri mereka. "Kalian kenapa?" tanya Anisa ketika melihat Heksa yang sedang memohon dan putrinya yang sedang cemberut dengan bibir merahnya yang luntur. "Heksa tuh, Mih. Bikin kesel aja. Diana udah males. Suruh dia pulang!" Diana meninggalkan Heks
Diana bersiap untuk menemui penggemar misteriusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Gadis dengan model rambut baru ini berdandan dengan ilmu rias ala kadarnya.Diana memilih sebuah dress marun sebatas lutut dengan lengan sebatas siku. Gadis yang biasa menggunakan riasan simpel dengan warna natural kini lebih berani menggunakan riasan tebal.Pipi pink merona dengan eyeshadow berwrna pink. Alis yang dibentuk tebal seperti artis-artis di televisi. Serta lipstick merah menyala yang membuat bibir Diana begitu seksi dan menggoda."Unch ... unch ... kece banget. Tinggal gemukin badan dikit biar gak rata begini. Aku gak kalah cantik juga dari si sint ... Chintya? Gak! Aku panggil dia sinting aja," kata Diana sambil berdiri di depan cermin.Ia membuka almari kaca berisi koleksi tas dan sepatunya. Diana mengambil tas berwarna hitam mengkilap serta sebuah high heels merah serupa dengan warna bibirnya.
Di saat jam makan siang, Arvan kembali menghilang. Meninggalkan Malik tanpa sebuah pesan.CEO muda yang tengah jatuh cinta ini ternyata membeli sebuah ponsel dan nomor baru. Benda canggih yang spesial yang akan digunakan untuk meneror Diana.Arvan mengirimkan pesan kepada Malik bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada pria yang belum pernah pacaran itu.Ternyata, Arvan kembali ke rumah. Ia turun dari mobil dan langsung menuju dapur sambil bersenandung."Ku ingin engkau menjadi milikku. Aku akan mencintaimu, menjagamu, selama hidupku. Dan aku kan ber ...." Arvan berhenti bernyanyi lagu milik Romance Band yang berjudul Ku Ingin Kamu itu karena asisten rumah tangganya melihatnya dengan tatapan aneh."Ada apa sih, Mbok?" tanya Arvan."Jangan mendekat, Den!""Kenapa?"
Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi.Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu."Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya."Gak ada.""Klien udah datang. Lagi nunggu kamu.""Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya.Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya.Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.
Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya.Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka."Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya."Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan.""Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat.""Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana."Kayaknya mati, Di.""Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah.""Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be
Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu."Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik.Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala."Siapa nama kalian?""Heksa, Pak," jawab Heksa."Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis."Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu.Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam."Siapa nama kamu?"Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor."Apa?" kata pria berkumis itu.