Arvan berlalu pergi hendak meninggalkan ruangan. Aroma tubuhnya seolah tertinggal dan tercium wangi menusuk hidung sekretarisnya, Malik.
"Terus aja bersikap dingin! Gak usah senyum biar gak nyaingin ketampanan Malik," gerutu pria berkumis tipis dengan percaya diri tinggi. Tangan kanannya mengusap rambut hitam berjambul dengan gaya persis seperti bosnya itu.
Sebelum tangannya memutar gagang pintu, Arvan berbalik. Ia menatap Malik dengan mata tajamnya. Pandangannya begitu angkuh dan ganas, seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. "Aku denger ucapan kamu!"
"Jangan bohong! Denger apaan? Dari tadi aku gak ngomong." Malik berkilah.
CEO arogan ini terus menatap wajah sang sekretaris. Bibirnya tak bergerak sama sekali. Jangankan untuk tersenyum, membuat bibir tipis pemuda tampan itu terbuka saja sudah sulit.
"Ampun, Pak. Saya khilaf." Malik merekatkan bibirnya. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat sampai bos muda itu benar-benar keluar dari ruangan.
Pewaris tunggal dari Hutama group akhirnya keluar dari ruang kerjanya. Ia mendapati office girl baru yang membuat lantainya ternoda tengah terisak. Perempuan itu berdiri dengan lututnya sembari membersihkan meja kerjanya dari serpihan kaca.
Sesekali Arvan melihat jemari karyawan barunya yang masih berdarah. Ia melangkahkan kakinya perlahan dan mendekati gadis berambut hitam sebahu itu.
"Kenapa masih di sini?" tanya Arvan tanpa ekspresi. Kedatangannya mengejutkan Diana yang masih terbayang serangga kecil yang sempat menempel di lehernya. Apa lagi ia baru saja membuat kegaduhan pada hari pertamanya bekerja di ruang CEO.
"Saya akan membersihkan ulang ruangan, Pak," jawab Diana menunduk dan tak berani menatap wajah Arvan.
"Jangan sampai lantai di sini pun kau kotori dengan darahmu!" ucap Arvan sambil berlalu pergi. Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana hitam yang ia kenakan. Sedangkan tangan kanannya membetulkan posisi dasi silver bergaris hitam yang terpasang rapi di lehernya yang jenjang.
Arvan terus berjalan tanpa tujuan. Ia pun tak tahu mengapa rasanya ingin keluar dan melihat kondisi gadis yang membuat lantai di ruang kerjanya kotor dengan tetesan darah. CEO muda ini mengembuskan napasnya kasar. Ia menuju lift dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke ruang HRD yang ada di lantai dua. Para staff personalia begitu gugup dan canggung ketika mereka melihat direktur mereka berkunjung untuk pertama kali.
Arvan berjalan dengan mata menyapu ke setiap meja staff di ruangan itu. Satu meja yang menarik perhatiannya adalah meja seorang laki-laki bertubuh gempal. Sang CEO menemukan banyak bungkus makanan ringan. Ia mendekat dan lagi-lagi hanya matanya yang berbicara.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pegawai yang baru saja selesai menelan keripik kentang terakhir di mulutnya.
"Kemasi barang-barangmu sekarang dan selamat liburan," jawab Arvan dengan senyum angkuhnya dan menunjukkan sedikit lesung pipi.
"Maksud, Bapak?"
"Mulai besok saya tidak ingin lihat kamu di kantor ini lagi!" Arvan pergi begitu saja. Ia mengabaikan karyawan personalia yang memohon pengampunan agar tidak dikeluarkan. Mendengar pria gempal itu terus merengek membuat Arvan menghentikan langkahnya. Ia mendekati sebuah meja dan memukul keras meja itu dengan telapak tangannya.
Braaaakkk
"Saya tidak mau melihat hal seperti ini lagi! Apa jam istirahat yang saya berikan kurang?" sungut Arvan tak bisa mengendalikan emosinya. Kemarahan Arvan pun membuat semua karyawan personalia terdiam dan tak ada yang berani buka suara.
"Kenapa diam? Apa kalian tuli?" bentak Arvan lagi. Tetap saja tidak ada yang berani menjawab pertanyaan CEO yang tengah murka ini.
"Berikan saya biodata terbaru office girl yang baru bekerja hari ini!" perintah Arvan dengan posisi berdiri yang masih sama. Kedua tangannya berdecak pinggang. Ia memejamkan mata dan mengatur napas untuk meredakan emosinya.
"Ini, Pak." Salah satu karyawan memberikan data diri dari Diana. Arvan menerima kertas putih itu dengan merebutnya paksa. Tanpa membacanya terlebih dahulu, ia langsung melipat kertas itu dan membawanya pergi.
CEO angkuh ini kembali ke ruangannya dengan kertas terlipat di tangan kanannya. Malik sang sekretaris yang juga sahabatnya itu masih berada di dalam ruangan. Lelaki muda berkumis tipis itu tengah mengamati Diana yang sudah kembali dan sedang membersihkan darah di lantai.
"Hei, bos, dari mana kamu?" tanya Malik sok akrab yang terkadang tak tahu di mana posisinya.
Diana mengangkat wajahnya, menatap ke arah teman kecilnya. Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Keduanya saling berpandangan meski hanya tiga detik.
"Bos, kertas apa itu?" Malik mengganggu suasana. Ia hampir saja mendapatkan kertas biodata di tangan Arvan. Untung saja tangan bos muda ini bergerak cepat dan dapat menghindarinya.
"Keluar!" perintah Arvan dengan tegas, lirih namun menusuk.
Malik pun hanya bisa menghela napas panjang. Keluar ruangan dengan bibir komat-kamit memberikan sebuah umpatan. Kelakuannya terhadap Arvan bukan karena ia tidak sopan. Malik hanya ingin sahabatnya itu kembali seperti dulu. Sebelum menjabat sebagai CEO, Arvan adalah pemuda yang ramah, baik hati, dan sangat mengerti teman. Semua keadaan berubah ketika Chintya yang dipacarinya selama lima tahun memilih menikah dengan orang lain yang menurutnya lebih kaya. Wanita itu tak tahu jika Arvan adalah pewaris tunggal Hutama Group karena pria berjambul itu selalu merahasiakan identitas keluarganya. Satu tahun setelah Chintya mencampakannya, Arvan ditunjuk untuk mengurus perusahaan karena kondisi ayahnya yang sakit-sakitan.
Melihat Malik yang sudah keluar, Arvan duduk di meja kerjanya. Kertas biodata masih tetap pada genggaman nya. Ia terus menatap Diana yang baru saja selesai membersihkan bercak darah di lantai.
"Sudah selesai?" tanya Arvan ketika melihat Diana tengah mendorong meja kerjanya.
"Sudah, Pak." Gadis berambut pendek itu menatap teman kecilnya yang sudah berubah menjadi sesosok pemuda tampan. Pesonanya dengan rambut hitam berjambul, kulit putih, bibir tipis, dan hidung mancung tak akan ada yang bisa menolaknya. Termasuk Diana yang khilaf. Ia terus pandangi wajah itu dan membayangkan sebuah senyum tersimpul menujukkan dua lesung pipi.
"Kamu gak denger apa yang saya bilang?" tanya Arvan yang membuyarkan lamunan Diana.
"Hah? Iya, Pak? Bapak barusan bicara?"
"Keluar!" tegas Arvan.
Diana mendorong meja kerjanya menuju pintu sambil mengumpat, "Dasar es batu!"
Glirrrriiit greeeek!
Pintu sudah tertutup rapat. Kini hanya Arvan sendiri di dalam ruangan yang luas. Ruang kerja dengan fasilitas lengkap. Selain meja kerja, terdapat lemari untuk menyimpan berkas, satu set sofa hitam, meja kecil di sudut ruangan berisi foto masa kecilnya, dan sebuah televisi layar datar yang tergantung di tembok. Ruangan yang selalu dingin sedingin sikapnya itu menjadi tempat ternyamannya ketika berada di kantor.
Arvan menyandarkan bahunya pada sandaran kursi. Ia mengangkat kertas biodata yang ia lipat itu. "Untuk apa aku sampai meminta kertas gak penting ini?" Arvan membuka laci meja kerjanya dan menaruh biodata Diana di dalam laci itu tanpa membacanya terlebih dahulu. Saat laci itu akan ditutup, ia teringat akan kenangan indahnya bersama Chintya. Sebuah potret ketika mereka masih bersama disimpan dalam laci itu. CEO dingin ini mengambil foto itu, melihatnya sekilas dan membuangnya di tempat sampah yang ada di bawah meja kerjanya.
Bersambung....
Hari pertama Diana bekerja begitu melelahkan. Ia berjanji pada diri sendiri harus bisa bertahan demi Arvan. Semua teman satu profesinya sudah pulang. Tinggal ia sendiri yang duduk bersandar tembok sambil menatap telunjuknya yang terluka."Kenangan di ruangan kamu, Van. Perihnya gak sebanding sama sikap dingin kamu yang seperti es batu, fyuh!" gerutu Diana. Ia mengambil sling bag cokelat dan keluar ruangan. Sesekali matanya berkeliling berharap melihat wajah yang sudah dua puluh tahun ia rindukan."Gak keliatan, mungkin udah pulang," kata Diana lirih sambil mengembuskan napas kasar.Diambilnya gawai berwarna hitam dari dalam tasnya. Ia akan menghubungi supir pribadinya agar menjemput tepat di depan perusahaan. Setelah berpikir dua kali, gadis manis ini mengurungkan niatnya."Lupa, aku kan miskin, lulusan SD, lucu gak sih tiba-tiba dijemput pake mobil? Aku harus pulang naik metromini." Diana berjalan santai di trotoar. Menikmati udara sore ibukota y
"Lho, Diana mana, Mih?" tanya Wijaya kepada istrinya. Mereka baru saja akan memperlihatkan putri mereka yang cantik kepada keluarga Hutama. Namun, gadis itu sudah menghilang."Tadi di belakang kita, kok," jawab Anisa.Wijaya mencoba menghubungi putrinya melalui telepon. Akan tetapi nomor tidak aktif. "Gak aktif, Mih.""Ke toilet mungkin. Aku sempet liat gadis pake baju pink di belakang kalian lari. Atau mungkin malu ketemu kita?" ujar Hutama."Anak itu memang selalu bikin ulah akhir-akhir ini," kata Wijaya.Orang tua Diana begitu takjub melihat perubahan Arvan. Anak berusia delapan tahun yang dulu sering bermain dengan putrinya kini tumbuh menjadi pria tampan. Kemeja ketat yang digunakannya menunjukkan bahunya yang lebar."Apa kamu benar Arvan?" tanya Anisa."Iya, Tante." jawab Arvan dengan senyum yang begitu pelit."Diana pasti nyesel gak liat kamu, kamu masih ingat wajah Diana kan?""Lupa-lupa ingat, sud
Jam kerja baru saja dimulai. Malik dan Arvan tengah melihat berkas-berkas mengenai keuangan perusahaan. Tiba-tiba Heksa menerobos masuk tanpa permisi sambil menebar senyum yang menunjukkan gigi gingsulnya."Hey, aku udah senyum manis banget gini, lho! Kenapa kalian cuma liatin doang?" kata Heksa mendekat dan duduk di atas meja kerja si CEO dingin."Senyum? Yang ada aku mual tau gak?" jawab Malik."Astaga, punya temen kenapa pada kaku banget gini.""Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya sekretaris berkumis tipis yang belum pernah merasakan hangatnya belaian seorang wanita."Aku mau lamar kerjaan ke Arvan."Jawaban dari Heksa membuat CEO muda ini meletakkan berkas yang ada di tangannya. Ia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi dan menatap sepupu badboy-nya itu."Apa?" tanya Arvan dengan singkat."Aku mau jadi OB, please!" Heksa memohon dengan menyatukan kedua tangannya."Gak!""Kenapa?""Aku gak suka
Diana kembali ke ruangan khusus office girl dan office boy yang ada di lantai bawah. Raut wajahnya sangat murung. Pak Roni dan rekan-rekan cleaning service menduga jika teman baru mereka itu mendapatkan perlakuan buruk dari sang CEO seperti karyawan-karyawan sebelumnya yang tak mampu bertahan lebih dari satu hari."Kamu kenapa, Diana?" tanya Razen, salah seorang office boy."Gak apa-apa, Kak.""Kamu masih betah kan kerja di sini?""Iya, aku betah, kok."Pak Roni mendekat dan memberikan semangat kepada anak buah barunya itu. Ia mengatakan jika pekerjaan Diana lebih ringan dibandingkan teman-teman yang lain."Lebih ringan gimana, Pak?" tanya Diana tak mengerti."Jumlah kita yang dua puluh orang ini ada tugas masing-masing. Setiap orang bertugas di satu lantai. Kamu kan beda, Diana. Kamu cuma satu ruangan doang, lho." ujar Pak Roni."Iya, satu ruangan, tapi ruangan itu isinya beruang kutub,'' gerutu Diana kesal.Jam maka
Diana melihat kedua orang tuanya pulang membawa banyak belanjaan. Mereka berdua begitu antusias melihat Arvan. Begitu juga Arvan yang tersenyum ramah dengan bekas tetangga saat kecil itu."Di, Arvan kenal orang tua kamu?" bisik Heksa."Iya.""Tapi gak kenal kamu?""Kami temen waktu kecil, tapi Arvan udah lupa sama aku.""Sepertinya kamu sengaja jadi OB di kantor dia buat deketin Arvan 'kan?""Iya, udah jangan berisik, nanti ketahuan!"Heksa dan Diana kembali mengamati Arvan dari celah pintu lemari. Pertemuan yang sangat lama antara Arvan dan kedua orang tua Diana membuat gadis bermata sipit dan pria berambut mohawk ini tertidur di dalam lemari. Diana menyandarkan kepalanya pada bahu Heksa. Sedangkan sang badboy bersandar pada dinding lemari dengan telapak kaki yang sedikit keluar dan membuat pintu lemari sedikit terbuka."Diana belum pulang juga, kemana ya, Pih?" tanya Anisa."Entahlah, coba Mamih telepon," perintah Wija
Cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela kaca membuat Diana terbangun. Ia menggeliat dan menyadari ponselnya masih ada di genggamannya.Mata yang malas untuk membuka tiba-tiba saja terbelalak ketika melihat dua pesan masuk tertera di layar ponselnya. Jemarinya mengusap layar benda pipih itu dan membuka pesan teratas. Sebuah pesan dari Heksa yang menagih janjinya semalam. Diana tak membalas pesan itu dan berlanjut membuka pesan kedua.[Kau ingat aku? Si baik hati yang selalu kau gandeng saat kecil.]Membaca balasan itu, Diana bingung dan akhirnya membaca kembali pesan di atasnya. Pesan pertama dari nomor itu adalah panggilan namanya. Senyum manis tersimpul di bibir gadis cantik ini. Ia tak menyangka jika Arvan akan mengiriminya pesan. Dengan lincah jemarinya menari di atas layar dan berpura-pura bertanya.[Apa kamu Arvan?]Hatinya terus berbunga-bunga w
Heksa menghentikan napasnya sejenak dan membuka telinga lebar-lebar ketika Diana akan menjawab pertanyaanya. Dengan jantung yang berdegup tak beraturan, Heksa terus memandang wajah ayu office girl yang terluka itu."Aku ... bakal coba, Sa. Tapi bagaimana kalau aku cuma buat kamu terluka?" kata Diana."Jangan pedulikan sakit hatiku. Aku sudah bahagia mendengar kamu menyetujui permintaanku. Terima kasih. Mulai besok, aku bakal antar jemput kamu kerja. Jangan nolak, ini salah satu cara biar aku lebih deket sama kamu.""Iya, maaf jadi ngerepotin.""Gak apa-apa, Sayang.""Jangan panggil sayang, dong!""Kenapa emang?""Aneh aja.""Kita kan udah jadian, Diana!""Baru juga lima menit. Pokoknya aku gak mau dipanggil sayang, titik!""Oke, titik.""Kok titik sih?"
Arvan tengah bermain ponsel dan mengabaikan pekerjaannya. Beberapa kali Malik mempertanyakan rapat dengan staf keuangan yang kemarin tertunda. Namun, CEO dingin ini seolah tak mendengar dan terus menatap layar ponselnya. Ia tengah menunggu balasan pesan dari Diana, teman kecilnya.Malik mulai kesal. Ia berdiri dari kursi di hadapan Arvan yang hanya berbatasan dengan meja kerja. Penasaran dengan apa yang dilihat bosnya, sekretaris berkumis tipis ini melangkah dan berdiri di belakang Arvan. Ia membaca pesan dengan nama kontak Diana.Malik mengusap matanya, mendekatkan wajahnya ke arah ponsel Arvan untuk memastikan nama yang ia baca. Malik menoleh ke wajah Arvan yang begitu serius menatap gawai hingga tak sadar akan keberadaannya yang tengah membaca pesan dari Diana itu."Astaga, sepertinya aku perlu ke dokter mata. Setelah keanehan yang dialami Heksa, sekarang Arvan. Jangan-jangan office girl itu pake susuk jaran goy
Diana yang akan diantar oleh Anton tiba-tiba melihat mobil Heksa melaju cepat ke arah kantor. Gadis itu menolak untuk diantar ayah kekasihnya itu. Ia memilih untuk kembali ke kantor saja dengan berjalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh."Maaf ya, Om. Sepertinya Heksa ke kantor. Saya mau ke Heksa aja," kata Diana."Oh, ya sudah kalau begitu."Diana berjalan cepat. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena ponselnya tertinggal di loker. Ia kegirangan dan berpikir di saat dirinya susah Heksa selalu ada di dekatnya.Diana terkejut melihat Heksa yang tengah berbicara dengan Chintya. Ia berjalan mengendap untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dekat."Sa, ide kamu ini gak keren. Aku dimaki-maki sama Malik karena meniru gaya Diana," ucap Chintya."Lalu, kenapa kamu minta aku menjemputmu? Apa benar-benar gagal total?""Arvan sa
"Van, bangun!" Chintya panik. Ia mengguncang-guncangkan tubuh mantan kekasihnya yang tergolek lemah tak berdaya.Pintu ruangan yang terbuka membuat karyawan di lantai lima belas melihat kejadian itu. Salah seorang karyawan segera meminggirkan meja kerja Diana yang menghalangi jalan.Lelaki berusia empat puluh tahunan itu mendekati sang CEO dan menelepon ambulance melalui ponselnya."Pak Arvan kenapa, Mbak?" tanya lelaki berkumis itu."Gak tau. Dia bilang tadi dingin. Badannya panas," jawab Chintya yang terisak.Berita tentang Arvan yang pingsan segera menyebar ke seluruh penjuru kantor. Samar-samar Malik yang sedang mengejar Diana pun mendengarnya. Ia berbalik arah dan menuju lantai lima belas.Dengan napas yang tersengal Malik memegang kening sahabatnya itu. "Arvan kenapa dipaksain masuk kalo lagi sakit gini, sih!""Saya sudah tele
Arvan menyunggingkan bibirnya. Kedua tangannya memegang setir. Namun, ia tidak menyalakan mesin mobil. CEO tampan ini akan meneruskan perannya sebagai tuan misterius untuk mengorek tentang perasaan Diana terhadapnya. "Ya, aku gak boleh ungkapin sekarang. Aku seneng ternyata kamu mencintaiku. Apa lagi setelah aku tau kamu tidak benar-benar menyukai Heksa," gumam Arvan. Ia keluar dari mobil dan menikmati guyuran hujan malam yang semakin deras. Kedua tangannya merentang. Kepala menengadah. Seolah tetesan-tetesan air itu membuat jiwanya begitu tenang. Kaus yang dikenakannya basah kuyup. Menempel ke tubuh. Membuat lekukan dadanya yang bidang jelas terlihat. Asisten rumah tangga di keluarga Hutama mengintip dari balik jendela. Ia khawatir anak majikannya itu akan sakit. Wanita paruh baya itu bekerja di keluarga Hutama sejak mereka hijrah ke ibukota. Ia sangat hapal jika Arvan
Diana mendorong tubuh Heksa dengan keras. "Lepasin! Ngapain sih, Sa?" Diana mengelap bibirnya. "Lho? Kenapa? Kan di telepon aku udah bilang tadi mau cium nyata." "Jangan lagi-lagi! Aku udah gak pengin makan malem." Diana masuk ke dalam rumah dengan basah kuyup. "Kok gitu? Aku laper, Di." Heksa yang sama-sama basah membuntuti Diana yang baru selangkah melewati pintu. "Pulang gak? Aku gak mau ketemu sama kamu!" bentak Diana. "Kok marah? Jangan marah dong, Di. Please!" "PULANG!" teriak Diana lagi. Membuat Wijaya dan Anisa menghampiri mereka. "Kalian kenapa?" tanya Anisa ketika melihat Heksa yang sedang memohon dan putrinya yang sedang cemberut dengan bibir merahnya yang luntur. "Heksa tuh, Mih. Bikin kesel aja. Diana udah males. Suruh dia pulang!" Diana meninggalkan Heks
Diana bersiap untuk menemui penggemar misteriusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Gadis dengan model rambut baru ini berdandan dengan ilmu rias ala kadarnya.Diana memilih sebuah dress marun sebatas lutut dengan lengan sebatas siku. Gadis yang biasa menggunakan riasan simpel dengan warna natural kini lebih berani menggunakan riasan tebal.Pipi pink merona dengan eyeshadow berwrna pink. Alis yang dibentuk tebal seperti artis-artis di televisi. Serta lipstick merah menyala yang membuat bibir Diana begitu seksi dan menggoda."Unch ... unch ... kece banget. Tinggal gemukin badan dikit biar gak rata begini. Aku gak kalah cantik juga dari si sint ... Chintya? Gak! Aku panggil dia sinting aja," kata Diana sambil berdiri di depan cermin.Ia membuka almari kaca berisi koleksi tas dan sepatunya. Diana mengambil tas berwarna hitam mengkilap serta sebuah high heels merah serupa dengan warna bibirnya.
Di saat jam makan siang, Arvan kembali menghilang. Meninggalkan Malik tanpa sebuah pesan.CEO muda yang tengah jatuh cinta ini ternyata membeli sebuah ponsel dan nomor baru. Benda canggih yang spesial yang akan digunakan untuk meneror Diana.Arvan mengirimkan pesan kepada Malik bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada pria yang belum pernah pacaran itu.Ternyata, Arvan kembali ke rumah. Ia turun dari mobil dan langsung menuju dapur sambil bersenandung."Ku ingin engkau menjadi milikku. Aku akan mencintaimu, menjagamu, selama hidupku. Dan aku kan ber ...." Arvan berhenti bernyanyi lagu milik Romance Band yang berjudul Ku Ingin Kamu itu karena asisten rumah tangganya melihatnya dengan tatapan aneh."Ada apa sih, Mbok?" tanya Arvan."Jangan mendekat, Den!""Kenapa?"
Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi.Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu."Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya."Gak ada.""Klien udah datang. Lagi nunggu kamu.""Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya.Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya.Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.
Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya.Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka."Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya."Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan.""Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat.""Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana."Kayaknya mati, Di.""Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah.""Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be
Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu."Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik.Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala."Siapa nama kalian?""Heksa, Pak," jawab Heksa."Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis."Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu.Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam."Siapa nama kamu?"Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor."Apa?" kata pria berkumis itu.