Heksa menghentikan napasnya sejenak dan membuka telinga lebar-lebar ketika Diana akan menjawab pertanyaanya. Dengan jantung yang berdegup tak beraturan, Heksa terus memandang wajah ayu office girl yang terluka itu.
"Aku ... bakal coba, Sa. Tapi bagaimana kalau aku cuma buat kamu terluka?" kata Diana.
"Jangan pedulikan sakit hatiku. Aku sudah bahagia mendengar kamu menyetujui permintaanku. Terima kasih. Mulai besok, aku bakal antar jemput kamu kerja. Jangan nolak, ini salah satu cara biar aku lebih deket sama kamu."
"Iya, maaf jadi ngerepotin."
"Gak apa-apa, Sayang."
"Jangan panggil sayang, dong!"
"Kenapa emang?"
"Aneh aja."
"Kita kan udah jadian, Diana!"
"Baru juga lima menit. Pokoknya aku gak mau dipanggil sayang, titik!"
"Oke, titik."
"Kok titik sih?"
"Kamu sendiri yang bilang gak mau dipanggil sayang, maunya titik?"
"Sa, gak usah ngelawak, garing tau gak!" Diana memanyunkan bibirnya.
"Iya. Gak usah monyong-monyong gitu juga kali. Ayo, aku antar pulang!"
Diana tersenyum dan mengangguk. Heksa mengantar Diana pulang sekaligus akan memperkenalkan dirinya secara resmi kepada orang tua Diana tanpa gadis cantik ini tahu niat badboy ini.
Security keluarga Wijaya mencegat mobil mewah kuning ini dan hendak menanyakan keperluan bertandang ke rumah bosnya. Saat jendela kaca dibuka, Diana melambaikan tangan ke arah pria kekar berseragam putih itu.
"Mbak Diana? Silakan masuk!" kata security itu. Ia kemudian membuka lebar gerbang tralis besi hitam agar mobil bisa masuk.
Heksa keluar dan berputar hendak membukakan pintu untuk kekasih barunya. Namun, keromantisannya gagal ketika Diana dengan santainya membuka pintu itu sendiri dan keluar dengan tangan meremas perut.
"Ya ampun, ulangi! Masuk lagi!" Heksa mendorong tubuh Diana pelan agar gadis itu duduk kembali.
"Apaan sih, Sa? Perut aku sakit, nih. Kayaknya bekas ditendang orang itu tadi."
"Oh, maaf. Tadinya mau aku suruh masuk lagi, biar aku yang bukain pintu, Di. Kayak gak pernah pacaran aja, sih!" kata Heksa sambil menuntun Diana.
"Emang! Aku gak pernah pacaran!"
"What? Jadi aku pacar pertama kamu?"
Dengan tersipu malu, Diana menundukkan wajah dan mengangguk. Gadis cantik bermata sipit itu berjalan menahan sakit di perutnya. Dibantu Heksa yang terus memegangi lengannya.
Anisa yang tengah santai di ruang tamu melihat putrinya pulang dalam keadaan menyedihkan. Ia panik dan menghampiri Diana sambil menitikan air mata.
"Diana, kamu kenapa? Jatuh dari sepeda?"
"Dipukul orang, Bu," jawab Diana sambil menangis.
Heksa dan Anisa menuntun Diana ke ruang tamu. Gadis itu menyandarkan bahunya ke sandaran sofa berwarna putih tulang sambil terus meremas perutnya. Bulir bening pun tak henti-hentinya mengalir dari kedua netra kecilnya.
Diana menceritakan bagaimana kejadian bermula. Heksa pun membantu menjelaskan kepada Anisa. Ibu satu ini justru bangga atas aksi putri tunggalnya membela orang yang membutuhkan. Anisa meminta agar Diana memeriksakan diri ke rumah sakit. Namun, gadis berusia dua puluh lima tahun dengan kalakuan bak remaja ini menolak dan meminta untuk beristirahat di kamar saja.
Heksa berpamitan kepada Anisa dan Diana. Ia tak mau berlama-lama singgah dan mengganggu waktu istirahat sang kekasih.
"Terima kasih sudah antar anak saya," kata Anisa ketika mengantar Heksa sampai di depan pintu utama.
"Tidak apa-apa, Tante. Mulai besok, saya akan menjaga Diana. Saya akan antar jemput Diana."
"Lho, apa tidak merepotkan kamu, Nak?"
"Gak, Tante. Saya tulus melakukan ini demi pacar saya," ucap Heksa dengan penuh percaya diri.
"Kalian pacaran?"
"Iya, Tante."
"Selama hubungan kalian memberikan dampak yang positif kepada Diana, tante gak masalah, kok. Tante dukung."
"Syukurlah, kalo begitu, Heksa pamit dulu, Tante."
"Iya, hati-hati di jalan ya!"
"Iya, Tante."
Anisa kembali masuk dan mengantar putrinya ke kamar. Ia memerintahkan anak gadis semata wayangnya itu untuk beristirahat.
"Mamih keluar apa tunggu di sini?"
"Keluar aja, emang Diana anak kecil apa?"
"Mamih tau kamu udah tua, udah pantes nikah, tapi kelakuan kadang masih kayak bocah."
"Kapan Diana kayak bocah?"
"Sering, contohnya aja waktu ngumpet pas Arvan dateng cuma karena kamu gak mau kalo Arvan tau kamu office girl di kantornya."
"Iya, Mih. Udah ah, sana keluar, Diana mau istirahat."
Anisa keluar dan membiarkan Diana di kamar berbaring di bawah selimut yang hangat. Setelah dipastikan sang mamih keluar, gadis berponi ini mengambil ponsel di dalam tasnya. Ia membuka pesan dari Arvan yang belum sempat ia buka.
[Iya, aku Arvan. Kamu apa kabar?]
Pesan itu dikirim pada pukil 07.00 pagi. Sedangkan sekarang sudah jam sepuluh pagi. Diana seharusnya sedang berada di kantor. Menatap wajah dingin sang CEO, menyiapkan kopi dan membersihkan ruangannya. Namun, karena menolong Pak Miko, ia harus rela rebahan di rumah dan hanya melepas rindu melalui tulisan.
[Kamu lagi ngapain? Masih inget aku gak?] balas Diana.
Putri tunggal tuan Wijaya ini tak menyangka jika pesannya akan dibalas begitu cepat. "Apa dia gak sibuk? Kok langsung bales?"
Arvan:
[Lagi males kerja. Lupa-lupa inget, udah lama juga kita gak ketemu, ya!]
Diana:
[Iya, udah dua puluh tahun, pasti kamu sekarang lebih keren dari dulu. Oh, iya, males kerja kenapa?] Diana.
Arvan:
[Keren? Udah pasti. Aku males kerja soalnya ada office girl yang tiap hari bikin aku bete. Namanya sama lho sama kamu, Diana.]
"Bete? Apa aku nyebelin banget? Awas aja besok kalo aku kerja, aku bakal kerjain kamu, Van!" gerutu Diana kesal.
Diana:
[Kenapa bisa bikin bete?]
Arvan:
[Males bahas, ah. Eh, nanti siang makan bareng mau gak?]
Satu pesan masuk dari Heksa muncul ditengah-tengah obrolan mereka. Diana mengambil boneka kelinci besar yang ada di sampingnya. Menjadikannya bantal dan melanjutkan jemarinya menari-nari di atas layar.
"Heksa, kayak gak abis ketemu, apa kayak gini kalo pacaran? Baru ketemu aja udah kirim pesan," gumam Diana yang jomblo seumur hidup. Kejombloan yang akhirnya berakhir dengan datangnya Heksa sebagai kekasih karena janji bukan cinta.
Heksa:
[Diana, kamu lagi ngapain?]
Diana:
[Lagi mancing!]
Heksa:
[Mancing? Wah, pacarku punya hobi anti mainstream, mancing di mana?]
Diana:
[Aku bohong, Bambank! Lagian udah tau badan pada memar pake tanya lagi ngapain!]
Heksa:
[Kali aja kamu butuh aku, atau kamu mau aku beliin sesuatu?]
Diana membaca pesan Heksa. Kemudian menutupnya dan membuka pesan Arvan yang belum sempat ia balas. Pada saat kedua ibu jarinya akan mengetik, Anisa membuka pintu kamar dan menawarinya satu gelas jus melon.
"Apa, Mih?" tanya Diana yang masih berbaring bersama boneka kelincinya.
"Jus melon." Anisa mendekat dan memberikan jus itu kepada putrinya.
Diana meminum seteguk demi seteguk minuman segar itu. Ia menyandarkan bahunya pada tembok dan salah satu tangan memegang ponsel sambil membalas pesan.
Diana:
[Iya, kamu dateng ke rumah bawain aku burger sama coklat dingin ya, aku tunggu gak pake lama!]
Diana melanjutkan meneguk jus pada gelas di tangan kanannya.
Ting!
Notifikasi dua pesan masuk bersamaan. Pesan dari Heksa dan Arvan.
Heksa:
[Kok gak bales?]
Arvan:
[Nanti pulang kerja aku bawain ya, kalo sekarang aku gak bisa.]
Diana bingung dengan balasan mereka. Ia yakin sudah membalas Heksa. Namun, Diana tak mengerti apa yang dimaksudkan Arvan. Ia membaca ulang pesan Heksa dan memang ia belum membalasnya. Kemudian Diana membuka pesan Arvan dan baru menyadari permintaan burger dan cokelat dingin kepada Heksa justru ia kirimkan kepada sang CEO.
Sontak seluruh jus yang ada di mulutnya ia muncratkan. Gadis cantik yang sudah pantas untuk menikah ini panik. Ia segera meletakan gelas di atas nakas, turun dari ranjang, mondar-mandir sambil menggaruk-garuk rambutnya.
"Bagaimana ini? Kenapa aku bisa ceroboh?" gumam Diana panik. Ia terus memegang ponselnya dan tak tahu harus membalas apa untuk Arvan.
Bersambung....
Arvan tengah bermain ponsel dan mengabaikan pekerjaannya. Beberapa kali Malik mempertanyakan rapat dengan staf keuangan yang kemarin tertunda. Namun, CEO dingin ini seolah tak mendengar dan terus menatap layar ponselnya. Ia tengah menunggu balasan pesan dari Diana, teman kecilnya.Malik mulai kesal. Ia berdiri dari kursi di hadapan Arvan yang hanya berbatasan dengan meja kerja. Penasaran dengan apa yang dilihat bosnya, sekretaris berkumis tipis ini melangkah dan berdiri di belakang Arvan. Ia membaca pesan dengan nama kontak Diana.Malik mengusap matanya, mendekatkan wajahnya ke arah ponsel Arvan untuk memastikan nama yang ia baca. Malik menoleh ke wajah Arvan yang begitu serius menatap gawai hingga tak sadar akan keberadaannya yang tengah membaca pesan dari Diana itu."Astaga, sepertinya aku perlu ke dokter mata. Setelah keanehan yang dialami Heksa, sekarang Arvan. Jangan-jangan office girl itu pake susuk jaran goy
"Hua ... kamu pasti cari kesempatan ya!" teriak Diana setelah menyadari dirinya menindih Heksa."Aku gak ngapa-ngapain! Kan kamu yang tadi mukul-mukul aku, dorong aku sampe jatuh," jawab Heksa membela diri.Diana tak bisa berkata lagi. Ia merebut cup minumannya yang masih berada di tangan Heksa. Cup kosong itu dibalik dan meneteskan satu tetes cokelat dingin terakhir ke lantai."Abis," kata Diana lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan wajahnya yang kusut."Jangan sedih gitu, dong!" Heksa memegang erat kedua pipi Diana. Membuat bibir tipis gadis itu maju seperti paruh burung yang terbuka."Aku mau lagi," kata Diana memelas."Kita keluar, yuk! Aku traktir kamu sepuasnya. Mau gak?""Mau.""Tante mana? Aku mau ijin dulu bawa anak gadisnya pergi.""Kayaknya di kamar. Aku panggilin ya! Sekalian a
"Siapa yang ngijinin bahas Chintya di sini?" kata Malik menirukan Arvan.Arvan melirik ke arah sekretarisnya. Tanpa kata, hanya sebuah tatapan tajam yang begitu menusuk."Sorry. Oke, aku ganteng aku diem." Malik merapatkan bibirnya."Bisa saja berita itu hanya isu," jawab Arvan singkat."Entah isu atau kabar nyata. Aku cuma nyaranin ke kamu, kalo kamu masih mencintainya, bukankah kesempatan untuk merebut hati Chintya kembali? Lagi pula sekarang Chintya sudah tahu kalau kamu pewaris tunggal Hutama Group kan?""Tidak perlu repot-repot ikut campur urusan pribadiku!" tegas Arvan."Stop, please! Waktu kumpul bertiga kayak gini tuh jarang terjadi. Gak usah bahas masalah gak penting gitu bisa gak?" tukas Malik melerai perdebatan antara Heksa dan Arvan sebelum masalah memuncak.Diana yang awalnya canggung semakin canggung dan tak berselera
"Heksa baik, kok, Pih. Cuma penampilannya aja kayak gitu," bela Diana."Coba kamu punya pacar seperti Arvan, Papih bakal dukung seratus persen.""Kalo Diana sama Heksa emang didukung berapa persen, Pih?""Sepuluh persen," ujar Wijaya sambil berlalu masuk ke dalam rumah."Diana juga maunya sama Arvan, tapi Arvan mencintai orang lain. Biarlah, liat dia tiap hari di tempat kerja aja udah seneng," batin Diana melihat kedua orang tuanya berjalan beriringan.Gadis manis bermata sipit ini masuk ke dalam kamarnya. Ia membuka ponselnya yang sepi tanpa notifikasi. Keputusannya memberitahu Arvan untuk tidak mengganggunya lagi sedikit disesali Diana."Aku terlaku ceroboh, harusnya kasih alasan lain biar tetep hubungan sama Arvan," kata Diana sambil meletakkan ponselnya di atas kasur.***Arvan baru saja tiba di rumah. Ia bergegas members
Diana masih terlelap memeluk boneka kelinci yang selalu menamani tidurnya setiap malam. Rasa kantuknya harus terganggu ketika ponselnya yang ada di kasur terus berdenting. Dengan mata yang masih tertutup ia meraba-raba kasur dengan tangannya hingga akhirnya gadis itu dapat menggapai benda pipih yang belum berhenti berdering."Hallo," sapa Diana dengan suara paraunya."Aku jemput kamu kerja ya!""Ini siapa?""Apa nomorku tidak kamu simpan?"Diana melihat layar ponselnya dan tertera nama Heksa. "He-he, aku simpen kok, Sa.""Buruan siap-siap, sebentar lagi aku jemput kamu.""Sebentar lagi? Emang sekarang jam berapa?""Jam setengah tujuh, Sayang!"Diana segera membuka matanya dan melihat jam dinding. Ia segera mematikan ponsel dan melompat dari atas tempat tidur menuju kamar mandi yang berada di
Diana bergegas menuju ruangan cleaning service. Ia menyapa semua karyawan yang sudah datang. Salah satu dari mereka adalah Razen. Karyawan yang paling dekat dengannya selain Pak Roni dan Pak Miko."Pagi semuanya," salam Diana sambil memasukkan sling bag cokelat miliknya ke dalam loker."Kamu udah baikan, Di?" tanya Pak Roni."Mendingan, Pak. Masih agak perih luka di dahi sebenaernya. Tapi cuma luka kecil begini. Sayang kalo sampe gak masuk kerja," tukas Diana. Padahal yang disayangkan gadis ini bukan masalah pekerjaan. Melainkan tidak bertemu dengan Arvan, si beruang kutub."Sepeda kamu ada di parkiran, Di. Kalo motor pak Miko udah aku anter kemarin. Maaf aku gak bisa anter sepeda kamu, aku gak tau rumah kamu soalnya," kata Razen."Gak apa-apa. Makasih kalian udah baik banget sama aku."Jam kerja sudah dimulai. Diana segera mengganti pakaiannya dengan seragam
Satu jam menjelang istirahat siang, Malik mengajak Arvan dan Heksa untuk makan siang bersama di luar. Namun, Arvan menolaknya dengan alasan malas untuk pergi. "Emang kamu gak laper? Atau kita suruh Diana aja buat beli makan?" celetuk Malik. "Gak. Jangan!" tolak Heksa. "Kamu ini kenapa, sih? Jangan mentang-mentang dia pacar kamu terus gak boleh kita suruh?" "Bukan gitu, Malik. Tapi dia butuh istirahat juga kan?" "Kan waktu masih satu jam, dia juga bisa istirahat nanti." "Ya udahlah, terserah." "Gimana, Van? Kamu setuju sama ide aku yang super brilian ini?" "Terserah!" Malik segera menelepon Pak Roni. Atasan Diana di bagian cleaning service. Sekretaris berkumis tipis itu meminta Diana agar segara menuju ruangan Arvan secepatnya. Dalam waktu sepuluh meni
"Heksa, kamu lembur bareng Malik sore ini!" perintah Arvan satu jam sebelum jam kantor usai."Lembur? Ngapain?""Kamu asisten aku, Sa. Jadi bantuin bawa laporan atau entah nanti," sahut Malik."Kenapa dadakan? Aku harus anter Di ...." Heksa menghentikan ucapannya. Hatinya galau, segalau hujan yang belum juga reda. Tatapan matanya tertuju pada jendela kaca yang lebar. Melihat hujan yang turun dengan derasnya. "Bagaimana Diana pulang nanti?" batinnya."Bilang juga ke Diana buat cari snack dan makan malam untuk seratus orang," kata Arvan sambil menatap wajah sahabatnya."Maksud kamu Diana juga lembur?" Heksa tidak yakin dengan apa yang didengarnya."Iya.""Van, kamu serius? Sekarang Diana juga ngurus makanan meeting?" tanya Malik."Iya. Apa kau tidak setuju?""Bukan begitu. Aneh aja seorang Arvan ken
Diana yang akan diantar oleh Anton tiba-tiba melihat mobil Heksa melaju cepat ke arah kantor. Gadis itu menolak untuk diantar ayah kekasihnya itu. Ia memilih untuk kembali ke kantor saja dengan berjalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh."Maaf ya, Om. Sepertinya Heksa ke kantor. Saya mau ke Heksa aja," kata Diana."Oh, ya sudah kalau begitu."Diana berjalan cepat. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena ponselnya tertinggal di loker. Ia kegirangan dan berpikir di saat dirinya susah Heksa selalu ada di dekatnya.Diana terkejut melihat Heksa yang tengah berbicara dengan Chintya. Ia berjalan mengendap untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dekat."Sa, ide kamu ini gak keren. Aku dimaki-maki sama Malik karena meniru gaya Diana," ucap Chintya."Lalu, kenapa kamu minta aku menjemputmu? Apa benar-benar gagal total?""Arvan sa
"Van, bangun!" Chintya panik. Ia mengguncang-guncangkan tubuh mantan kekasihnya yang tergolek lemah tak berdaya.Pintu ruangan yang terbuka membuat karyawan di lantai lima belas melihat kejadian itu. Salah seorang karyawan segera meminggirkan meja kerja Diana yang menghalangi jalan.Lelaki berusia empat puluh tahunan itu mendekati sang CEO dan menelepon ambulance melalui ponselnya."Pak Arvan kenapa, Mbak?" tanya lelaki berkumis itu."Gak tau. Dia bilang tadi dingin. Badannya panas," jawab Chintya yang terisak.Berita tentang Arvan yang pingsan segera menyebar ke seluruh penjuru kantor. Samar-samar Malik yang sedang mengejar Diana pun mendengarnya. Ia berbalik arah dan menuju lantai lima belas.Dengan napas yang tersengal Malik memegang kening sahabatnya itu. "Arvan kenapa dipaksain masuk kalo lagi sakit gini, sih!""Saya sudah tele
Arvan menyunggingkan bibirnya. Kedua tangannya memegang setir. Namun, ia tidak menyalakan mesin mobil. CEO tampan ini akan meneruskan perannya sebagai tuan misterius untuk mengorek tentang perasaan Diana terhadapnya. "Ya, aku gak boleh ungkapin sekarang. Aku seneng ternyata kamu mencintaiku. Apa lagi setelah aku tau kamu tidak benar-benar menyukai Heksa," gumam Arvan. Ia keluar dari mobil dan menikmati guyuran hujan malam yang semakin deras. Kedua tangannya merentang. Kepala menengadah. Seolah tetesan-tetesan air itu membuat jiwanya begitu tenang. Kaus yang dikenakannya basah kuyup. Menempel ke tubuh. Membuat lekukan dadanya yang bidang jelas terlihat. Asisten rumah tangga di keluarga Hutama mengintip dari balik jendela. Ia khawatir anak majikannya itu akan sakit. Wanita paruh baya itu bekerja di keluarga Hutama sejak mereka hijrah ke ibukota. Ia sangat hapal jika Arvan
Diana mendorong tubuh Heksa dengan keras. "Lepasin! Ngapain sih, Sa?" Diana mengelap bibirnya. "Lho? Kenapa? Kan di telepon aku udah bilang tadi mau cium nyata." "Jangan lagi-lagi! Aku udah gak pengin makan malem." Diana masuk ke dalam rumah dengan basah kuyup. "Kok gitu? Aku laper, Di." Heksa yang sama-sama basah membuntuti Diana yang baru selangkah melewati pintu. "Pulang gak? Aku gak mau ketemu sama kamu!" bentak Diana. "Kok marah? Jangan marah dong, Di. Please!" "PULANG!" teriak Diana lagi. Membuat Wijaya dan Anisa menghampiri mereka. "Kalian kenapa?" tanya Anisa ketika melihat Heksa yang sedang memohon dan putrinya yang sedang cemberut dengan bibir merahnya yang luntur. "Heksa tuh, Mih. Bikin kesel aja. Diana udah males. Suruh dia pulang!" Diana meninggalkan Heks
Diana bersiap untuk menemui penggemar misteriusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Gadis dengan model rambut baru ini berdandan dengan ilmu rias ala kadarnya.Diana memilih sebuah dress marun sebatas lutut dengan lengan sebatas siku. Gadis yang biasa menggunakan riasan simpel dengan warna natural kini lebih berani menggunakan riasan tebal.Pipi pink merona dengan eyeshadow berwrna pink. Alis yang dibentuk tebal seperti artis-artis di televisi. Serta lipstick merah menyala yang membuat bibir Diana begitu seksi dan menggoda."Unch ... unch ... kece banget. Tinggal gemukin badan dikit biar gak rata begini. Aku gak kalah cantik juga dari si sint ... Chintya? Gak! Aku panggil dia sinting aja," kata Diana sambil berdiri di depan cermin.Ia membuka almari kaca berisi koleksi tas dan sepatunya. Diana mengambil tas berwarna hitam mengkilap serta sebuah high heels merah serupa dengan warna bibirnya.
Di saat jam makan siang, Arvan kembali menghilang. Meninggalkan Malik tanpa sebuah pesan.CEO muda yang tengah jatuh cinta ini ternyata membeli sebuah ponsel dan nomor baru. Benda canggih yang spesial yang akan digunakan untuk meneror Diana.Arvan mengirimkan pesan kepada Malik bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada pria yang belum pernah pacaran itu.Ternyata, Arvan kembali ke rumah. Ia turun dari mobil dan langsung menuju dapur sambil bersenandung."Ku ingin engkau menjadi milikku. Aku akan mencintaimu, menjagamu, selama hidupku. Dan aku kan ber ...." Arvan berhenti bernyanyi lagu milik Romance Band yang berjudul Ku Ingin Kamu itu karena asisten rumah tangganya melihatnya dengan tatapan aneh."Ada apa sih, Mbok?" tanya Arvan."Jangan mendekat, Den!""Kenapa?"
Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi.Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu."Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya."Gak ada.""Klien udah datang. Lagi nunggu kamu.""Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya.Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya.Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.
Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya.Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka."Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya."Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan.""Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat.""Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana."Kayaknya mati, Di.""Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah.""Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be
Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu."Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik.Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala."Siapa nama kalian?""Heksa, Pak," jawab Heksa."Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis."Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu.Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam."Siapa nama kamu?"Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor."Apa?" kata pria berkumis itu.