Hari pertama Diana bekerja begitu melelahkan. Ia berjanji pada diri sendiri harus bisa bertahan demi Arvan. Semua teman satu profesinya sudah pulang. Tinggal ia sendiri yang duduk bersandar tembok sambil menatap telunjuknya yang terluka.
"Kenangan di ruangan kamu, Van. Perihnya gak sebanding sama sikap dingin kamu yang seperti es batu, fyuh!" gerutu Diana. Ia mengambil sling bag cokelat dan keluar ruangan. Sesekali matanya berkeliling berharap melihat wajah yang sudah dua puluh tahun ia rindukan.
"Gak keliatan, mungkin udah pulang," kata Diana lirih sambil mengembuskan napas kasar.
Diambilnya gawai berwarna hitam dari dalam tasnya. Ia akan menghubungi supir pribadinya agar menjemput tepat di depan perusahaan. Setelah berpikir dua kali, gadis manis ini mengurungkan niatnya.
"Lupa, aku kan miskin, lulusan SD, lucu gak sih tiba-tiba dijemput pake mobil? Aku harus pulang naik metromini." Diana berjalan santai di trotoar. Menikmati udara sore ibukota yang pengap dan tak sesegar ketika ia di desa. Saat lampu merah menyala, perempuan berambut hitam sebatas bahu ini menyeberang tepat di depan mobil lamborghini berwarna kuning.
Seorang pemuda dengan jam tangan hitam bermerk tengah menyetir mobil mewah itu. Kacamata hitam menutupi matanya dari silaunya cahanya mentari sore. Pakaian yang dikenakannya sangat kasual. Hanya kaus abu-abu polos dipadukan celana pendek hitam dan sepatu kets warna senada dengan kaus. Lelaki muda itu tampak terus memperhatikan Diana yang sudah sampai di seberang jalan.
Derrrrrtttt
Getar ponselnya membuat ia mengalihkan pandangan dari gadis manis yang menarik perhatiannya itu. "Arvan, ngapain sih? Ganggu aja," gerutu pria yang ternyata sahabat karib dari Arvan. Dia adalah Heksa.
"Hallo, Van. Ganggu aja, ada apa sih?" tanya Heksa sambil menyetir karena lampu yang sudah berubah menjadi hijau.
"Ganggu? Emang kamu lagi ngapain?"
"Liatin cewek cantik."
"Sialan! Aku cuma mau bilang malam ini kita gak jadi pergi, aku ada acara keluarga dadakan sama ayah."
"Oke, selamat bersenang-senang, Mr. Arrogant!" ledek Heksa dan mematikan sambungan teleponnya.
***
"Mamih, Diana pulang!" seru Diana yang baru tiba di ruang tamu mewah bernuansa emas dan putih. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa empuk berwarna putih tulang. Seorang asisten rumah tangga yang sudah merawat Diana sejak kecil menghampirinya.
"Non, mau mbok ambilkan minum?" tanya wanita paruh baya dengan tubuh gemuk yang bernama mbok Asih.
"Iya, air dingin, Mbok!"
"Iya, Non."
Diana mengelap keringat yang membasahi wajah cantiknya. Mbok Asih datang membawakan segelas air dingin untuk membasahi kerongkongan gadis manis itu yang kering.
"Diana, kamu dari mana sih?" Seorang wanita cantik berbibir merah tebal turun dari tangga. Ia adalah Anisa, ibu dari Diana.
"Lagi ada misi penting. Mamih, beliin sepeda bekas dong!" pinta Diana dengan manja.
"Bekas? Buat apaan?"
"Buat misi Diana yang super penting ini, besok harus sudah ada."
"Iya, nanti mamih suruh supir buat cari. Sekarang kamu mandi, siap-siap, nanti ada acara penting sama temen lama papih."
"Siapa?"
"Nanti kamu juga tau, kok. Ceritanya mau reunian, mumpung sama-sama tinggal di ibukota."
"Diana gak ikut ya, Mih!"
"Harus ikut, kalo gak mau gak apa-apa sih, tapi kamu harus bantu kerja di kantor papih. Gimana?"
"Iya, Diana ikut." Perempuan berusia dua puluh lima tahun ini mendengkus kesal. Ia memanyunkan bibirnya sambil beranjak dari sofa empuk dan berpindah menuju kamarnya yang nyaman.
Dilemparnya tas cokelat ke atas kasur dengan seprei pink bermotif bunga sakura. Ia duduk di meja riasnya sambil bercermin. Menatap wajahnya sendiri dan meyakinkan dirinya jika tak ada yang berubah sejak ia kecil. Diana memang tidak pernah merubah gaya rambutnya. Selalu dipotong rata sebatas bahu dengan poni menutupi dahinya. Ia ambil sebuah foto berbingkai yang ada di depan cermin. Foto dirinya bersama Arvan ketika mereka kecil.
"Wajar sih kalau Arvan gak inget, ternyata wajahku waktu kecil bulet banget kayak melon." gumam Diana.
Gadis cantik bemata sipit dengan poni yang terus menutupi dahinya ini beranjak dari tempat tidur. Lelah bekerja seharian, ia memilih untuk tidur sebentar. Ia rebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Ditemani sebuah boneka kelinci besar yang sudah menemaninya tidur sejak bayi.
Tepat pukul 18.30, Anisa membangunkan sang putri yang masih tidur. Padahal, mereka harus berangkat pada acara reuni pukul tujuh malam. Berkali-kali wanita dengan gaun malam berwarna hitam ini memanggil nama anaknya. Sama sekali tak ada respon. Terpaksa ia menggoyang-goyangkan tubuh Diana dan mengancamnya, "Kalo gak mau ikut gak apa-apa, kok. Nanti Mamih bilang ke Papih kalo kamu besok mau kerja di kantor."
Ancaman dari sang mamih berhasil. Diana bangun dengan mata sipitnya yang baru setengah terbuka. Ia menguap tanpa menutupi mulutnya, menggeliat, meregangkan otot-otonya yang kaku.
Gadis yang tak pernah pacaran ini bangun dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia bergegas membersihkan diri demi ikut orang tuanya ke acara reuni mereka agar terhindar dari ancaman untuk bekerja di kantor keluarga.
Tiga puluh menit berlalu. Diana menuruni tangga, menemui kedua orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tamu. Gadis ini mengenakan make up natural, dengan rambut terurai seperti biasanya. Sebuah gaun pink berlengan pendek dengan panjang sebatas lutut dikenakan Diana. Dipadukan dengan sepatu wedges putih dan sling bag berwarna dusty pink.
"Cantik sekali kamu, Diana!" puji Wijaya, Papih dari Diana.
"Iya lah, Diana emang cantik pake baju apapun, Pih," sahut Diana menujukkan barisan gigi putihnya.
Dalam perjalanan menuju restoran, tempat di mana akan diadakannya reuni, Diana terlalu fokus dengan gadgetnya. Sibuk dengan sosial media yang sudah memiliki banyak pengikut. Sampai-sampai ia tak dengar jika kedua orang tuanya sering menyebut nama Arvan.
"Diana, kita sudah sampai, simpan dulu ponselnya!" kata sang mamih.
"Iya, Mih." Diana menyimpan benda pipih berwarna hitam berbentuk segi empat itu ke dalam tasnya. Kemudian ia turun mengikuti langkah kedua orang tuanya dari belakang.
Restoran yang mereka kunjungi berkonsep saung-saung dengan pemandangan kolam ikan koi yang sangat luas. Untuk menuju saung nomor lima, mereka harus menyeberang sebuah jembatan kayu. Dari jauh sudah terlihat satu keluarga yang sudah menunggu rombongan Wijaya. Seorang lelaki paruh baya berjas hitam melambaikan tangan ke arah Wijaya. Diana sempat melihat orang itu. Namun, yang membuatnya terkejut adalah ketika sesosok pemuda berkemeja putih menoleh. Diana menghentikan langkahnya. Ia segera berputar dan berlari menjauh.
"Kenapa si Es Batu ada di situ?" gerutu Diana sambil berlari menutupi wajahnya dengan tas.
Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan jika dirinya sudah jauh dari jangakauan CEO angkuhnya itu.
Braaaakk
Diana menabrak seseorang. Ia hampir jatuh. Untung saja orang yang bertabrakan dengannya sigap meraih tangan gadis bergaun pink itu.
"Kamu?" tanya pemuda yang bertabrakan dengan Diana. Ia adalah penegemudi lamborghini yang melihat Diana menyeberang jalan, Heksa.
"Siapa? Kamu kenal aku? Apa kamu temen OB ku di kantor?"
"OB? Em ... iya, kita temen OB di mana ya? Aku sering pindah kerja soalnya. Sampe lupa kamu temenku yang di mana?" Heksa berbohong agar tahu informasi tempat kerja Diana.
"Aku anak baru di Hutama Group, udah dulu ya! Sampai ketemu besok!" Diana melambaikan tangan dan pergi.
"Jadi dia OB di kantor Arvan. Bagus, kita bakal ketemu beneran besok, Cantik!"
Bersambung....
"Lho, Diana mana, Mih?" tanya Wijaya kepada istrinya. Mereka baru saja akan memperlihatkan putri mereka yang cantik kepada keluarga Hutama. Namun, gadis itu sudah menghilang."Tadi di belakang kita, kok," jawab Anisa.Wijaya mencoba menghubungi putrinya melalui telepon. Akan tetapi nomor tidak aktif. "Gak aktif, Mih.""Ke toilet mungkin. Aku sempet liat gadis pake baju pink di belakang kalian lari. Atau mungkin malu ketemu kita?" ujar Hutama."Anak itu memang selalu bikin ulah akhir-akhir ini," kata Wijaya.Orang tua Diana begitu takjub melihat perubahan Arvan. Anak berusia delapan tahun yang dulu sering bermain dengan putrinya kini tumbuh menjadi pria tampan. Kemeja ketat yang digunakannya menunjukkan bahunya yang lebar."Apa kamu benar Arvan?" tanya Anisa."Iya, Tante." jawab Arvan dengan senyum yang begitu pelit."Diana pasti nyesel gak liat kamu, kamu masih ingat wajah Diana kan?""Lupa-lupa ingat, sud
Jam kerja baru saja dimulai. Malik dan Arvan tengah melihat berkas-berkas mengenai keuangan perusahaan. Tiba-tiba Heksa menerobos masuk tanpa permisi sambil menebar senyum yang menunjukkan gigi gingsulnya."Hey, aku udah senyum manis banget gini, lho! Kenapa kalian cuma liatin doang?" kata Heksa mendekat dan duduk di atas meja kerja si CEO dingin."Senyum? Yang ada aku mual tau gak?" jawab Malik."Astaga, punya temen kenapa pada kaku banget gini.""Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya sekretaris berkumis tipis yang belum pernah merasakan hangatnya belaian seorang wanita."Aku mau lamar kerjaan ke Arvan."Jawaban dari Heksa membuat CEO muda ini meletakkan berkas yang ada di tangannya. Ia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi dan menatap sepupu badboy-nya itu."Apa?" tanya Arvan dengan singkat."Aku mau jadi OB, please!" Heksa memohon dengan menyatukan kedua tangannya."Gak!""Kenapa?""Aku gak suka
Diana kembali ke ruangan khusus office girl dan office boy yang ada di lantai bawah. Raut wajahnya sangat murung. Pak Roni dan rekan-rekan cleaning service menduga jika teman baru mereka itu mendapatkan perlakuan buruk dari sang CEO seperti karyawan-karyawan sebelumnya yang tak mampu bertahan lebih dari satu hari."Kamu kenapa, Diana?" tanya Razen, salah seorang office boy."Gak apa-apa, Kak.""Kamu masih betah kan kerja di sini?""Iya, aku betah, kok."Pak Roni mendekat dan memberikan semangat kepada anak buah barunya itu. Ia mengatakan jika pekerjaan Diana lebih ringan dibandingkan teman-teman yang lain."Lebih ringan gimana, Pak?" tanya Diana tak mengerti."Jumlah kita yang dua puluh orang ini ada tugas masing-masing. Setiap orang bertugas di satu lantai. Kamu kan beda, Diana. Kamu cuma satu ruangan doang, lho." ujar Pak Roni."Iya, satu ruangan, tapi ruangan itu isinya beruang kutub,'' gerutu Diana kesal.Jam maka
Diana melihat kedua orang tuanya pulang membawa banyak belanjaan. Mereka berdua begitu antusias melihat Arvan. Begitu juga Arvan yang tersenyum ramah dengan bekas tetangga saat kecil itu."Di, Arvan kenal orang tua kamu?" bisik Heksa."Iya.""Tapi gak kenal kamu?""Kami temen waktu kecil, tapi Arvan udah lupa sama aku.""Sepertinya kamu sengaja jadi OB di kantor dia buat deketin Arvan 'kan?""Iya, udah jangan berisik, nanti ketahuan!"Heksa dan Diana kembali mengamati Arvan dari celah pintu lemari. Pertemuan yang sangat lama antara Arvan dan kedua orang tua Diana membuat gadis bermata sipit dan pria berambut mohawk ini tertidur di dalam lemari. Diana menyandarkan kepalanya pada bahu Heksa. Sedangkan sang badboy bersandar pada dinding lemari dengan telapak kaki yang sedikit keluar dan membuat pintu lemari sedikit terbuka."Diana belum pulang juga, kemana ya, Pih?" tanya Anisa."Entahlah, coba Mamih telepon," perintah Wija
Cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela kaca membuat Diana terbangun. Ia menggeliat dan menyadari ponselnya masih ada di genggamannya.Mata yang malas untuk membuka tiba-tiba saja terbelalak ketika melihat dua pesan masuk tertera di layar ponselnya. Jemarinya mengusap layar benda pipih itu dan membuka pesan teratas. Sebuah pesan dari Heksa yang menagih janjinya semalam. Diana tak membalas pesan itu dan berlanjut membuka pesan kedua.[Kau ingat aku? Si baik hati yang selalu kau gandeng saat kecil.]Membaca balasan itu, Diana bingung dan akhirnya membaca kembali pesan di atasnya. Pesan pertama dari nomor itu adalah panggilan namanya. Senyum manis tersimpul di bibir gadis cantik ini. Ia tak menyangka jika Arvan akan mengiriminya pesan. Dengan lincah jemarinya menari di atas layar dan berpura-pura bertanya.[Apa kamu Arvan?]Hatinya terus berbunga-bunga w
Heksa menghentikan napasnya sejenak dan membuka telinga lebar-lebar ketika Diana akan menjawab pertanyaanya. Dengan jantung yang berdegup tak beraturan, Heksa terus memandang wajah ayu office girl yang terluka itu."Aku ... bakal coba, Sa. Tapi bagaimana kalau aku cuma buat kamu terluka?" kata Diana."Jangan pedulikan sakit hatiku. Aku sudah bahagia mendengar kamu menyetujui permintaanku. Terima kasih. Mulai besok, aku bakal antar jemput kamu kerja. Jangan nolak, ini salah satu cara biar aku lebih deket sama kamu.""Iya, maaf jadi ngerepotin.""Gak apa-apa, Sayang.""Jangan panggil sayang, dong!""Kenapa emang?""Aneh aja.""Kita kan udah jadian, Diana!""Baru juga lima menit. Pokoknya aku gak mau dipanggil sayang, titik!""Oke, titik.""Kok titik sih?"
Arvan tengah bermain ponsel dan mengabaikan pekerjaannya. Beberapa kali Malik mempertanyakan rapat dengan staf keuangan yang kemarin tertunda. Namun, CEO dingin ini seolah tak mendengar dan terus menatap layar ponselnya. Ia tengah menunggu balasan pesan dari Diana, teman kecilnya.Malik mulai kesal. Ia berdiri dari kursi di hadapan Arvan yang hanya berbatasan dengan meja kerja. Penasaran dengan apa yang dilihat bosnya, sekretaris berkumis tipis ini melangkah dan berdiri di belakang Arvan. Ia membaca pesan dengan nama kontak Diana.Malik mengusap matanya, mendekatkan wajahnya ke arah ponsel Arvan untuk memastikan nama yang ia baca. Malik menoleh ke wajah Arvan yang begitu serius menatap gawai hingga tak sadar akan keberadaannya yang tengah membaca pesan dari Diana itu."Astaga, sepertinya aku perlu ke dokter mata. Setelah keanehan yang dialami Heksa, sekarang Arvan. Jangan-jangan office girl itu pake susuk jaran goy
"Hua ... kamu pasti cari kesempatan ya!" teriak Diana setelah menyadari dirinya menindih Heksa."Aku gak ngapa-ngapain! Kan kamu yang tadi mukul-mukul aku, dorong aku sampe jatuh," jawab Heksa membela diri.Diana tak bisa berkata lagi. Ia merebut cup minumannya yang masih berada di tangan Heksa. Cup kosong itu dibalik dan meneteskan satu tetes cokelat dingin terakhir ke lantai."Abis," kata Diana lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan wajahnya yang kusut."Jangan sedih gitu, dong!" Heksa memegang erat kedua pipi Diana. Membuat bibir tipis gadis itu maju seperti paruh burung yang terbuka."Aku mau lagi," kata Diana memelas."Kita keluar, yuk! Aku traktir kamu sepuasnya. Mau gak?""Mau.""Tante mana? Aku mau ijin dulu bawa anak gadisnya pergi.""Kayaknya di kamar. Aku panggilin ya! Sekalian a
Diana yang akan diantar oleh Anton tiba-tiba melihat mobil Heksa melaju cepat ke arah kantor. Gadis itu menolak untuk diantar ayah kekasihnya itu. Ia memilih untuk kembali ke kantor saja dengan berjalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh."Maaf ya, Om. Sepertinya Heksa ke kantor. Saya mau ke Heksa aja," kata Diana."Oh, ya sudah kalau begitu."Diana berjalan cepat. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena ponselnya tertinggal di loker. Ia kegirangan dan berpikir di saat dirinya susah Heksa selalu ada di dekatnya.Diana terkejut melihat Heksa yang tengah berbicara dengan Chintya. Ia berjalan mengendap untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dekat."Sa, ide kamu ini gak keren. Aku dimaki-maki sama Malik karena meniru gaya Diana," ucap Chintya."Lalu, kenapa kamu minta aku menjemputmu? Apa benar-benar gagal total?""Arvan sa
"Van, bangun!" Chintya panik. Ia mengguncang-guncangkan tubuh mantan kekasihnya yang tergolek lemah tak berdaya.Pintu ruangan yang terbuka membuat karyawan di lantai lima belas melihat kejadian itu. Salah seorang karyawan segera meminggirkan meja kerja Diana yang menghalangi jalan.Lelaki berusia empat puluh tahunan itu mendekati sang CEO dan menelepon ambulance melalui ponselnya."Pak Arvan kenapa, Mbak?" tanya lelaki berkumis itu."Gak tau. Dia bilang tadi dingin. Badannya panas," jawab Chintya yang terisak.Berita tentang Arvan yang pingsan segera menyebar ke seluruh penjuru kantor. Samar-samar Malik yang sedang mengejar Diana pun mendengarnya. Ia berbalik arah dan menuju lantai lima belas.Dengan napas yang tersengal Malik memegang kening sahabatnya itu. "Arvan kenapa dipaksain masuk kalo lagi sakit gini, sih!""Saya sudah tele
Arvan menyunggingkan bibirnya. Kedua tangannya memegang setir. Namun, ia tidak menyalakan mesin mobil. CEO tampan ini akan meneruskan perannya sebagai tuan misterius untuk mengorek tentang perasaan Diana terhadapnya. "Ya, aku gak boleh ungkapin sekarang. Aku seneng ternyata kamu mencintaiku. Apa lagi setelah aku tau kamu tidak benar-benar menyukai Heksa," gumam Arvan. Ia keluar dari mobil dan menikmati guyuran hujan malam yang semakin deras. Kedua tangannya merentang. Kepala menengadah. Seolah tetesan-tetesan air itu membuat jiwanya begitu tenang. Kaus yang dikenakannya basah kuyup. Menempel ke tubuh. Membuat lekukan dadanya yang bidang jelas terlihat. Asisten rumah tangga di keluarga Hutama mengintip dari balik jendela. Ia khawatir anak majikannya itu akan sakit. Wanita paruh baya itu bekerja di keluarga Hutama sejak mereka hijrah ke ibukota. Ia sangat hapal jika Arvan
Diana mendorong tubuh Heksa dengan keras. "Lepasin! Ngapain sih, Sa?" Diana mengelap bibirnya. "Lho? Kenapa? Kan di telepon aku udah bilang tadi mau cium nyata." "Jangan lagi-lagi! Aku udah gak pengin makan malem." Diana masuk ke dalam rumah dengan basah kuyup. "Kok gitu? Aku laper, Di." Heksa yang sama-sama basah membuntuti Diana yang baru selangkah melewati pintu. "Pulang gak? Aku gak mau ketemu sama kamu!" bentak Diana. "Kok marah? Jangan marah dong, Di. Please!" "PULANG!" teriak Diana lagi. Membuat Wijaya dan Anisa menghampiri mereka. "Kalian kenapa?" tanya Anisa ketika melihat Heksa yang sedang memohon dan putrinya yang sedang cemberut dengan bibir merahnya yang luntur. "Heksa tuh, Mih. Bikin kesel aja. Diana udah males. Suruh dia pulang!" Diana meninggalkan Heks
Diana bersiap untuk menemui penggemar misteriusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Gadis dengan model rambut baru ini berdandan dengan ilmu rias ala kadarnya.Diana memilih sebuah dress marun sebatas lutut dengan lengan sebatas siku. Gadis yang biasa menggunakan riasan simpel dengan warna natural kini lebih berani menggunakan riasan tebal.Pipi pink merona dengan eyeshadow berwrna pink. Alis yang dibentuk tebal seperti artis-artis di televisi. Serta lipstick merah menyala yang membuat bibir Diana begitu seksi dan menggoda."Unch ... unch ... kece banget. Tinggal gemukin badan dikit biar gak rata begini. Aku gak kalah cantik juga dari si sint ... Chintya? Gak! Aku panggil dia sinting aja," kata Diana sambil berdiri di depan cermin.Ia membuka almari kaca berisi koleksi tas dan sepatunya. Diana mengambil tas berwarna hitam mengkilap serta sebuah high heels merah serupa dengan warna bibirnya.
Di saat jam makan siang, Arvan kembali menghilang. Meninggalkan Malik tanpa sebuah pesan.CEO muda yang tengah jatuh cinta ini ternyata membeli sebuah ponsel dan nomor baru. Benda canggih yang spesial yang akan digunakan untuk meneror Diana.Arvan mengirimkan pesan kepada Malik bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada pria yang belum pernah pacaran itu.Ternyata, Arvan kembali ke rumah. Ia turun dari mobil dan langsung menuju dapur sambil bersenandung."Ku ingin engkau menjadi milikku. Aku akan mencintaimu, menjagamu, selama hidupku. Dan aku kan ber ...." Arvan berhenti bernyanyi lagu milik Romance Band yang berjudul Ku Ingin Kamu itu karena asisten rumah tangganya melihatnya dengan tatapan aneh."Ada apa sih, Mbok?" tanya Arvan."Jangan mendekat, Den!""Kenapa?"
Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi.Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu."Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya."Gak ada.""Klien udah datang. Lagi nunggu kamu.""Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya.Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya.Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.
Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya.Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka."Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya."Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan.""Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat.""Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana."Kayaknya mati, Di.""Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah.""Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be
Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu."Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik.Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala."Siapa nama kalian?""Heksa, Pak," jawab Heksa."Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis."Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu.Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam."Siapa nama kamu?"Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor."Apa?" kata pria berkumis itu.