Naik turun naik turun.
Pernah sampai menyentuh angka kemenangan seratus juta. Raden merasa di atas angin dan sangat yakin bisa mendapatkan uang dua ratus juta lebih dengan modal sepuluh juta. Hebatnya, dia bisa bertahan dari hari Jum'at sampai Senin. Celaka, Senin subuh, dia ambruk lagi. Semua kemenangan itu kembali lagi ke tangan bandar hingga tidak ada satu pun yang tersisa. Sengaja dia pulang ke rumah sekitar jam sembilan pagi, saat tidak ada satu pun orang di sana. Dia mengurung diri di dalam kamar berjam-jam lamanya. Pada akhirnya dia pun menyadari bahwa ini adalah titik awal dari kehancuran hidupnya. Hutang di rentenir belum dibayar, duit untuk membangun toko belum juga terkumpul, pinjaman pada Erika sudah tak tahu lagi berapa jumlahnya. Aset yang tersisa hanyalah HP dan motor. Nilainya tak lebih dari sepuluh juta. Lantas, apakah barang-barang itu yang akan jadi sasaraAh, Raden malas mengingat-ingat ilmu yang pernah dia pelajari dahulu. Yang dia pelajari tampak tidak relevan dengan apa yang dialami sekarang. Realitanya tidak sesuai dengan apa yang tertulis di buku. Erika masih berusaha menyadarkan. “Aku tidak merasa lelah ketika harus sering mengingatkan mu tentang kesabaran dan kebaikan. Soal uang, aku akan terus mengusahakannya. Dan soal anak keturunan, aku juga masih berusaha. Aku berobat ke dokter untuk menyembuhkan penyakitku. Dan kabar baiknya adalah aku masih punya peluang untuk hamil.” Tapi semua sudah terlambat. Erika kepalang jelek di mata Raden. Kalau saja mereka punya anak sejak dua tahun lalu atau dia tidak telat terlalu lama, ceritanya tidak akan seperti sekarang. Erika tidak mungkin jadi bulan-bulanan dan bahan hinaan. Tidak bakalan ada bahasan tentang dia wanita dusun dan tidak berpendidikan. Perkara itu muncul lantaran dia mandul. Intinya, jika dia sehat dan subur, semua akan baik-baik
Raden pulang ke rumah. Untuk menutupi semua keburukannya selama ini seperti berjudi dan bekerja mencari uang haram, ketika waktunya gajian, dan berada di rumah, dia berbicara dengan kedua orang tuanya. “Aku kembalikan pinjaman Ibu yang kemarin. Aku kasih lebih juga. Total lima juta.” Lalu dia menatap ayahnya dengan pandangan memelas, “Ayah, ini uang lima juta buat mencicil uang membangun toko kembali.” Artinya dia punya uang setidaknya sepuluh juta. Mereka tidak bisa untuk tidak bertanya. Cik Mat mengernyitkan kening dan berkata dengan raut wajah heran. “Berapa gaji mu?” Selain tidak mau bohong, Raden juga ingin sedikit menyenangkan mereka. “Gaji pokokku lima belas juta, Ayah. Dan ditambah bonus. Nanti aku juga akan kasih istriku nafkah lima juta. Sisanya untuk peganganku.” Cik Mat sampai melongo. “Lima belas juta? Kau kerja apa, Raden?” Orang tua mana yang tidak heran saat t
Namun, Erika pasti menolaknya. “Kan dulu aku sudah bilang untuk tidak usah mengembalikan uang itu, Kak. Aku ikhlas memberikannya padamu. Lagi pula apa yang merupakan milikku juga adalah milik mu.” Erika menolaknya secara halus dan tetap bersikukuh. Meski Raden merasa dirinya brengsek, namun dia tetap merasa dirinya sebagai lelaki, maka jika berbicara urusan uang dari perempuan, dia pasti akan mengusahakannya bagaimana pun caranya. Bagaimanapun dia tetap menjaga harga diri sebagai lelaki. Sejak mengenal Erika, dia tidak pernah sama sekali meminta uang dari istrinya tersebut. Apa yang dia kasih ke istrinya memang tidak banyak dan tidak bakal mencukupi semua kebutuhannya. Akan tetapi bukan berarti dia sudi makan duit dari perempuan. “Aku baru gajian. Mumpung aku ada duit, Erika. Terima lah. Bulan depan mungkin akan aku lunasi semuanya, kemudian baru bisa memberikan nafkah yang banyak pada mu.” Erika menggeleng
Yang muncul di dalam kepalanya adalah tidak lain dan tidak bukan : JUDI! Dari lima puluh juta yang dia bawa tadi sekarang tersisa empat puluh juta. Dadanya berdesir dan tangan sudah gatal. Dan semakin lama, Erika lah yang menderita pada akhirnya gara-gara perbuatan Raden ini. 'Lalu, apa aku mesti pergi menemui Jery lagi?' Tidak. Tidak akan. Raden tidak bakalan datang ke kos Jery. Sudah cukup kemarin dia habis banyak. Bukan karena apa, tapi lantaran Jery hobi main Slot. Sebanyak-banyak uang yang dibawa, jika sudah main game itu, pasti akan habis juga pada akhirnya. Sudahlah, Raden tidak mau bertemu dengan Jery saat ini. Sudah diprediksi pasti akan ambruk. Jadi, dia putuskan untuk pergi kembali ke gudang tempat dia bekerja. Ricko sempat terheran-heran ketika tahu bahwa Raden bermaksud bekerja di hari libur. Raden mengatakan pada Ricko bahwa dia sedang malas berada di rumah dan m
Senin sore. Raden sudah melupakan sederet kekalahan yang dialami kemarin-kemarin. Sebisa mungkin dia tampil fresh dan tidak terlihat kusut sedikit pun. Ketika bercermin, dia tidak melihat ada sisi buruk yang ada di wajahnya. Ya, dia bisa menyembunyikan sifat tercela lewat wajah dan penampilan. Pasalnya, sore hari ini Raden punya jadwal berkunjung ke rumah Masayu. Dia tidak boleh berpenampilan buruk dan memberikan kesan jelek pada Masayu dan keluarganya. Kebetulan hari itu Erika sedang kosong jadwal kajian. Dia berada di rumah dan cukup kaget melihat suaminya lebih berbeda dari biasanya. “Kak Raden, mau pergi ke mana?” tanya Erika mengangkat kedua alisnya. “Ke rumah teman,” balas Raden apa adanya dengan nada yang datar dan tanpa melihat wajah Erika. Erika masih mengawasi dengan pandangan heran. “Teman? Jery? Atau Roni? Teman yang mana?” “Kau tidak perlu tahu, Erika. Bukan urusan
Selama dalam perjalanan menuju rumah Masayu, ketika berada di atas sepeda motor, omongan Erika tadi masih terngiang-ngiang di telinga, dan memaksa Raden mengingat-ingat beberapa kenangan bersamanya. Ah, rupanya dia sekitar tiga tahun lalu merupakan pria baik-baik. Hampir lupa jika dulu berpenampilan islami dan rajin beribadah. Dia tidak menyangka kalau dulu rumah tangga mereka begitu harmonis dan bahagia. Namun sayang, segalanya kandas, lantaran satu penyebab utama : Istrinya mandul! Jika saja Erika layaknya wanita normal pada umumnya, masalah tidak bakal serunyam ini, dan tidak mungkin pula ujung-ujungnya dia bisa terlilit hutang dan bahkan sampai bekerja di tempat yang haram. Ajakan dan rayuan Erika tidak akan mengubah jalan pikirannya. Betapa pun baiknya Erika, toh pada akhirnya nanti rumah tangga mereka akan berakhir juga. Kekurangan yang Erika miliki tidak bisa ditoleransi sama sekali. Raden bisa menerima segala kek
Melihat betapa tampannya pria di depannya ini, Masagus menatap dengan penuh keceriaan. “Kita makan-makan!” serunya sambil mengambil potongan pempek lenjer dan mencelupkannya ke wadah cuko. Masayu menyenggol lengan Raden. “Jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri.” Sembari makan, mereka bercengkrama dan membahas beragam persoalan, salah satu hal yang dibahas adalah tentang budaya dan sejarah Palembang. “Kata Masayu, rumah keluarga mu masih Rumah Limas ya,” ujar Masagus. “Artinya kalian memang asli Wong Palembang.” Raden manggut sekali. “Betul, Pa.” “Rumah orang tua kami juga Rumah Limas. Rumah panggung dari kayu yang khas. Sesekali kami masih berkunjung ke sana. Merupakan kebanggaan tersendiri kalau masih bisa menjaga nilai-nilai budaya dan peninggalan orang terdahulu.” Masagus dan Sandra, sama seperti orang sini pada umumnya, yang masih setia dengan tradisi peninggalan kakek moyang. Sampai p
Raden tiba di rumah sekitar jam 9 malam, mendapati istrinya sudah tidur pulas di kamar. Laptopnya masih menyala. Barusan dia habis menulis. Karena capek dan sudah tak tahan, dia memilih tidur dan meninggalkan pekerjaannya. Raden teringat bahwa besok dia ada jadwal pergi ke acara festival pasar muslim tahunan. Ajakan dari Erika semakin menjauh saat dia mengingat kunjungan tadi ke rumah Masayu. Namun, saat dia membuka lemari dan bermaksud mengganti pakaian, dia melihat gamis, baju koko, sarung, dan celana cingkrang. Semuanya merupakan kostum yang dulu sering dia kenakan. Raden menggali memori-memori di kepalanya, mengingat-ingat masa beberapa tahun belakangan saat dia berada pada waktu awal pernikahan bersama Erika. Yang mana saat itu dia benar-benar menjadi seorang manusia yang tegak lurus dalam hal kebaikan. “Semua barang ini milikku?” bisiknya pada dirinya sendiri. Lantas dia pun berpikir tentang acara besok. Apa mungkin
Mayoritas atau bahkan semua pria ingin punya istri cantik dan fisiknya bagus. Dan Dennis tidak mungkin bisa membohongi dirinya bahwa dia mau punya istri yang enak dipandang. “Istri yang cantik bisa buat pria betah di rumah. Dan kalau pria sudah merasa puas, ketika berada di luar rumah, dia tidak akan berani macam-macam, dia tidak akan melirik wanita lain.” Canda Dennis dan tidak mau terlalu serius ketika menjawab pertanyaan Erika. “Memang tidak ada jaminan bahwa pria akan pasti selamat ketika berada di luar. Tapi setidaknya begitu dia mendapatkan istri yang cantik dan bikin betah di rumah, peluang untuk berzina di luar akan jauh lebih berkurang.” Jawaban dari Dennis lebih diplomatis dan memang dari dirinya sendiri. Dan tentu saja jawaban tersebut sebenarnya mewakili dari sekian banyak pria di dunia ini. Mendengar jawaban tersebut, Erika cuma bisa menahan senyum kemudian menanggapi. “Tapi cantik itu
Raden bisa membaur dengan baik bersama warga sekitar. Lebih dari itu, pencapaian bagi dirinya sendiri tentu saja dia telah berhasil mengubah hidupnya kembali pada jalan yang benar. Meski dia masih menjadi buronan dari bos besar narkoba, namun setidaknya dia berhasil keluar dari kubangan lumpur maksiat yang telah menyeretnya pada banyak perkara dosa. Ketika malam hari dan sedang sendiri di beranda rumah milik temannya, Raden lantas teringat dengan sosok yang lebih dari tiga tahun ini menemani hidupnya. Dia teringat dengan Erika, istri yang selama ini selalu peduli padanya. Dia membatin, “Erika, maafkan aku karena selama ini aku kerap menyusahkan dan menyakiti mu. Maafkan aku.’ Mulai detik ini Raden berjanji akan menemui istrinya lagi. Dia mengakui bahwa dirinya memang salah besar karena telah menyiakan orang yang sangat baik pada dirinya. Dia menyesal telah membohongi istrinya dan bahkan berniat ingin menceraikan pula.
Pokok kesembilan adalah bersabar dalam mengemban ilmu dan mengamalkannya. Raden berkata, “Seseorang tidak akan meraih ilmu kecuali dengan kesabaran. Baik sabar dalam menuntut ilmu, mengamalkan, maupun menyampaikannya.” Para ulama bersabar dalam menahan lapar, sedikit tidur, dan berjalan kaki ribuan kilo meter dalam proses belajar. Selanjutnya Raden masuk pada pokok kesepuluh, yakni berpegang teguh pada adab-adab ilmu. “Ibnu Qayyim berkata : Adabnya seseorang adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesannya. Dan tidak beradab merupakan kunci kehancuran dan kebinasaannya.” “Seorang ulama berkata : Dengan adab engkau akan memahami ilmu.” “Ibnu Sirin berkata : Dahulu mereka mempelajari adab layaknya mereka mempelajari ilmu.” Bahkan dari para salaf mendahulukan untuk mempelajari adab sebelum mempelajari ilmu. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk mempelajari adab
Meski Raden merasa berat menerima permintaan tersebut, namun karena terus didesak, akhirnya dia pun menerimanya. Dia berusaha menguatkan diri dan menumbuhkan kepercayaandiri. “Insya Allah, semoga Allah mudahkan.” Pak Syarif sontak mengucapkan kata syukur. “Alhamdulilah.” Karena Raden tidak tahu kapan dia akan pergi dari kampung ini, maka dia bilang pada Pak Syarif supaya jadwal mengajar dia dipercepat saja. Mungkin bisa jadi tiga hari lagi, atau satu pekan lagi dia mesti meninggalkan kampung ini.*** Keesokan paginya. Tepatnya pada hari Minggu di masjid. Lebih dari lima puluh jamaah pria dan wanita dari berbagai kalangan usia telah hadir di sana. Pak Syarif sebagai salah satu ketua di kampung tersebut telah meminta kepada masyarakat sekitar untuk menghadiri sebuah kajian. Maka sebagian masyarakat pun berbondong-bondong untuk pergi. Dan baiknya Pak Syarif, dia mengeluarkan uang sekitar satu juta untuk membeli k
Keberadaan Raden di sana telah membuat suasana baru dalam beribadah dan itulah yang semestinya terjadi. Tidak ada maksud apa pun sebelumnya dari Raden untuk mencari perhatian atau pun dengan sengaja ingin menata ulang sesuatu yang telah lama terjadi. Pastinya ini adalah kehendak dari Yang Maha Kuasa. Setidaknya dengan ini dia telah melakukan sesuatu yang benar dan sesuai dengan tuntunan. Lebih dari itu, setelah terpuruk karena ditimpa masalah yang amat berat, kini dia kembali mendapatkan ketenangan dan juga hidayah untuk kembali pada jalur yang benar. “Aku cuma menyampaikan kebenaran,” tuturnya pada semua orang di sana. Mayoritas orang-orang di masjid tersebut bersyukur atas kehadiran Raden yang telah meluruskan apa yang selama ini bengkok. Pasalnya urusan agama bukanlah sesuatu yang dianggap enteng, jika ada suatu kebenaran yang datang, entah itu dari siapa berasal, maka sudah barang tentu semestinya diterima.
Kemudian Raden membuat analogi sederhana. Ada orang tua yang mewariskan sebuah rumah pada anaknya dan berpesan pada anaknya tersebut untuk tetap menjaga rumah itu tanpa melakukan perubahan apa pun sama sekali. Orang tua itu melarang anaknya melakukan perubahan sedikit pun. Cukup tinggal dan menjaganya saja. Tidak lebih dari itu. Namun, karena anaknya mereka sok pintar dari orang tuanya dan punya pemikiran lebih baik, akhirnya dia pun mengubah warna cat rumah, membongkar, mengganti pajangan, merombak isi di dalamnya, sehingga rumah tersebut sangat berbeda dari pada sebelumnya. “Kalian sebagai orang tua suka dengan anak yang suka berinovasi seperti itu?” tanya Raden. Mereka semua serempak menggeleng. Tidak ada satu pun dari mereka yang setuju. Seperti itu juga dalam beragama. Nabi telah mewariskan sesuatu yang sempurna pada umatnya. Ketika kita menerima segalanya, lantas apa hak kita untuk mengub
Raden memimpin shalat berjamaah di masjid tersebut. Tak pernah terpikir di benaknya sama sekali setelah melewati masa-masa kelam dan penuh dosa akhirnya Allah memberikan hidayah dan keberkahan padanya. Jika Allah hendak membuat hamba berada pada jalan yang lurus, maka tidak ada satu pun yang bisa menghalangi. Sekarang hidayah dan pertolongan itu pun datang dan Raden tidak akan menyiakannya. Tentu saja hal yang saat ini dia lakukan menjadi pemicu untuk dia segera bangkit dari keterpurukan. Tidak ada tempat berserah diri dan meminta tolong, kecuali hanya pada Allah semata. Usai memimpin shalat maghrib berjamaah tadi, Raden membalik badan dan duduk menghadap jamaah, lalu berdzikir dengan suara kecil. Hal yang dia lakukan tentu tak biasa seperti yang biasa dilakukan masyarakat sekitar. Biasanya mereka melakukan dzikir dan doa bersama. Namun malam ini ceritanya sedikit berbeda, dan itu tentu saja membuat mereka bertanya-tanya.
“Coba kalau kemarin Anti kasih lihat foto Dennis pada ana. Mungkin ceritanya bakal beda,” ujar Erika. “Kan kemarin ana pernah mau lihat wajah pria terakhir yang jadi kenalan Anti.” Laura mengangguk. “Benar sih. Coba waktu itu ana kasih lihat fotonya. Hm. Tapi kok bisa kebetulan gitu yah.” “Qadarullah. Jadi, Ukhti masih kesal sama ana?” Cepat Laura menggelengkan kepala. “Tidak. Tidak lagi. Untuk apa pula ana kesal sama Ukhti?” “Baguslah kalau begitu.” Erika punya ide, dan mudah-mudahan idenya nanti berhasil. *** Sementara itu, di suatu tempat yang cukup jauh, Raden sedang berusaha menghilangkan kegelisahan dan keresahan di hati saat dia masih saja berada pengejaran bosnya. Tidak disangka kehidupannya bakal jadi berantakan seperti sekarang. Jika saja waktu itu dia tidak terjerat judi online, jika saja waktu itu dia tidak bekerja di tempa
Ketika sudah berada di kosnya, Erika mencoba menelepon Laura bermaksud menanyakan kenapa tiba-tiba dia hari ini tampak berbeda. Tapi Laura tidak mengangkat telepon itu sama sekali. Begitu Erika mengirimkan chat, Laura pun tidak juga membalasnya. Hal itu membuat Erika lantas semakin bertanya-tanya, kira-kira apakah gerangan yang membuat Laura begitu jutek padanya. Saat ini Erika tidak punya sahabat yang sangat dekat selain Laura. Tidak ada tempat curhat bagi Erika kecuali hanya pada Laura seorang. Namun kini Laura tidak menanggapinya sama sekali. Karena penasaran, akhirnya keesokan harinya dia berkeinginan mengunjungi rumah Laura selepas dari pulang mengajar. Mulanya Laura tidak menerima kehadiran Erika di rumahnya, tapi tidak mungkin juga Laura mengusirnya. “Ada apa mau main ke sini?” tanya Laura dengan cuek. Erika senyum dan berkata, “Maaf, Laura. Ada sesuatu yang ingin ana bicarakan. Bisakah minta waktunya