Senin sore.
Raden sudah melupakan sederet kekalahan yang dialami kemarin-kemarin. Sebisa mungkin dia tampil fresh dan tidak terlihat kusut sedikit pun. Ketika bercermin, dia tidak melihat ada sisi buruk yang ada di wajahnya. Ya, dia bisa menyembunyikan sifat tercela lewat wajah dan penampilan. Pasalnya, sore hari ini Raden punya jadwal berkunjung ke rumah Masayu. Dia tidak boleh berpenampilan buruk dan memberikan kesan jelek pada Masayu dan keluarganya. Kebetulan hari itu Erika sedang kosong jadwal kajian. Dia berada di rumah dan cukup kaget melihat suaminya lebih berbeda dari biasanya. “Kak Raden, mau pergi ke mana?” tanya Erika mengangkat kedua alisnya. “Ke rumah teman,” balas Raden apa adanya dengan nada yang datar dan tanpa melihat wajah Erika. Erika masih mengawasi dengan pandangan heran. “Teman? Jery? Atau Roni? Teman yang mana?” “Kau tidak perlu tahu, Erika. Bukan urusanSelama dalam perjalanan menuju rumah Masayu, ketika berada di atas sepeda motor, omongan Erika tadi masih terngiang-ngiang di telinga, dan memaksa Raden mengingat-ingat beberapa kenangan bersamanya. Ah, rupanya dia sekitar tiga tahun lalu merupakan pria baik-baik. Hampir lupa jika dulu berpenampilan islami dan rajin beribadah. Dia tidak menyangka kalau dulu rumah tangga mereka begitu harmonis dan bahagia. Namun sayang, segalanya kandas, lantaran satu penyebab utama : Istrinya mandul! Jika saja Erika layaknya wanita normal pada umumnya, masalah tidak bakal serunyam ini, dan tidak mungkin pula ujung-ujungnya dia bisa terlilit hutang dan bahkan sampai bekerja di tempat yang haram. Ajakan dan rayuan Erika tidak akan mengubah jalan pikirannya. Betapa pun baiknya Erika, toh pada akhirnya nanti rumah tangga mereka akan berakhir juga. Kekurangan yang Erika miliki tidak bisa ditoleransi sama sekali. Raden bisa menerima segala kek
Melihat betapa tampannya pria di depannya ini, Masagus menatap dengan penuh keceriaan. “Kita makan-makan!” serunya sambil mengambil potongan pempek lenjer dan mencelupkannya ke wadah cuko. Masayu menyenggol lengan Raden. “Jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri.” Sembari makan, mereka bercengkrama dan membahas beragam persoalan, salah satu hal yang dibahas adalah tentang budaya dan sejarah Palembang. “Kata Masayu, rumah keluarga mu masih Rumah Limas ya,” ujar Masagus. “Artinya kalian memang asli Wong Palembang.” Raden manggut sekali. “Betul, Pa.” “Rumah orang tua kami juga Rumah Limas. Rumah panggung dari kayu yang khas. Sesekali kami masih berkunjung ke sana. Merupakan kebanggaan tersendiri kalau masih bisa menjaga nilai-nilai budaya dan peninggalan orang terdahulu.” Masagus dan Sandra, sama seperti orang sini pada umumnya, yang masih setia dengan tradisi peninggalan kakek moyang. Sampai p
Raden tiba di rumah sekitar jam 9 malam, mendapati istrinya sudah tidur pulas di kamar. Laptopnya masih menyala. Barusan dia habis menulis. Karena capek dan sudah tak tahan, dia memilih tidur dan meninggalkan pekerjaannya. Raden teringat bahwa besok dia ada jadwal pergi ke acara festival pasar muslim tahunan. Ajakan dari Erika semakin menjauh saat dia mengingat kunjungan tadi ke rumah Masayu. Namun, saat dia membuka lemari dan bermaksud mengganti pakaian, dia melihat gamis, baju koko, sarung, dan celana cingkrang. Semuanya merupakan kostum yang dulu sering dia kenakan. Raden menggali memori-memori di kepalanya, mengingat-ingat masa beberapa tahun belakangan saat dia berada pada waktu awal pernikahan bersama Erika. Yang mana saat itu dia benar-benar menjadi seorang manusia yang tegak lurus dalam hal kebaikan. “Semua barang ini milikku?” bisiknya pada dirinya sendiri. Lantas dia pun berpikir tentang acara besok. Apa mungkin
Kenapa Erika bisa begitu dekat dengan Laura padahal dia cukup banyak kenalan dari teman pengajian? Manusia akan cenderung bergaul dengan sesama mereka saja. Satu frekuensi. Satu visi. Satu pemikiran. Satu hobi. Dari sekian banyak kenalannya, cuma Laura yang dikira sama seperti dirinya. Laura bukan berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Parahnya, dia cuma tamatan SD sehingga membuat dia agak minder kalau bergaul dengan orang lain. Karena pendidikan yang minim, dia cuma bisa bekerja di toko biasa dengan bayaran setengah dari UMR. Erika dan Laura bisa begitu dekat lantaran mereka punya nasib yang sama. Mereka bukanlah tipe wanita yang high class dan gila popularitas. Cenderung tertutup dan tidak suka asal pilih sahabat. Tidak suka main sosmed apalagi buka aurat dan joget-joget. Latar belakang keluarga pun tidak bisa dibanggakan. Namun satu hal yang memperkuat hubungan persahabatan mereka, yakni bersahabat memang tujuann
Erika sebenarnya mungkin tahu, tapi dia justru bertanya, “Apa memangnya alasannya?” Laura sejenak menghela napas sesal dan menjawab dengan nada yang tak enak. “Ya apa lagi kalau bukan karena tentang pendidikan. Ukhti, pria mana yang mau dengan ana yang cuma tamatan SD?” Beberapa tahun terakhir, ketika Laura menjajaki jalan ta’aruf dan mengenal sejumlah pria, dia pasti terhenti tatkala si pria tahu jika Laura tak mengenyam pendidikan yang cukup dulunya. Mereka semua pasti meniggalkan Laura lantaran hal tersebut. Itulah Laura sampai mengatakan alasannya sangat klasik. Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja karena pendidikan. Laura sampai kesal ketika dia punya kenalan calon suami tapi tak kunjung sampai akhir, dan dia pun sangat sering berpikir untuk tidak lagi mencoba mencari karena frustasi. Dia mulai jenuh mencari calon pasangan hidup sebab tiap kali dia berusaha, selalu saja digagalkan lantaran si pria tidak mau kalau pu
Kenapa Erika tertarik? Karena kualifikasi yang tertulis di sana adalah minimal tamatan SMA, hafal sepuluh juz Qur’an, hafal lima ratus hadits, dan punya pengalaman mengajar. Dia merasa masuk dalam kriteria guru agama wanita yang sedang dibutuhkan. Ya, dia akan bersaing dengan pelamar lainnya. “Kapan lamaran pekerjaan ini ditutup?” tanyanya pada petugas stan. “Akhir bulan ini,” jawab pria itu. “Masih ada waktu sekitar satu minggu lagi.” “Baiklah. Terima kasih.” Kemudian Erika pun mengajak Laura beranjak dari sana, pulang. Sembari berjalan Laura berkata, “Semoga kau diterima, Ukhti. Aamiin.” Sebagai sahabat, Laura mendoakan yang terbaik buat Erika. Baginya, Erika memang orang yang punya ilmu agama yang baik. Hafalan cukup banyak dan terpenting adalah bisa bahasa Arab, baik membaca kitab maupun berbicara. Menurutnya Erika memang pantas menjadi guru di sekolah, bukan s
Pagi hari itu di Sekolah Dasar Islam Al-Mubarrok. Erika dengan gamis dan jilbab besar warna hitam berjalan memasuki gerbang sekolah. Di sana dia sempat berbicara dengan satpam sekolah sebelum diarahkan ke bagian kepegawaian. Setibanya di sana sekitar jam sembilan kurang tiga puluh. Kebetulan pada saat itu belum ada pendaftar atau pelamar lain yang tiba di sana. Bisa jadi karena lamaran ini telah berlangsung selama tiga minggu dan sisa satu minggu lagi, mungkin sudah banyak peserta yang sudah melamar kemarin-kemarin. Erika tiba lebih cepat. Jam sembilan nanti pintu ruangan tersebut baru dibuka buat para pelamar. Lalu dia pun duduk di kursi yang telah disediakan. Sembari menunggu selama tiga puluh menit, dia membaca Qur'an di mushaf yang selalu dia bawa. Ketika pintu itu dibuka, seorang pria berjenggot tipis menyapanya. “Assalamu'alaikum. Antum mau melamar?” “Waalaikumsalam warahmatullah.” Erika berdiri dan
Hari itu juga Erika langsung menandatangani kontrak kerja selama tiga tahun di SDI Al-Mubarrok. Dennis mendesak Pak Yahya agar prosesnya lebih dipercepat sebab khawatir kalau Erika nantinya malah melamar di tempat lain. “Bagaimana dengan ijazah ana, Pak Yahya? Ana kan cuma tamatan SMA.” Erika terharu sekaligus bingung. Namun, Pak Yahya tidak mungkin keliru dalam mengambil keputusan. “Ijazah mu SMA, tapi ilmu dan keahlian mu setara lulusan sarjana dari Timur Tengah. Itu kata Ustadz Dennis.” Terdengar sangat berlebihan. Meski Erika tak pernah merasa dirinya pintar apalagi dianggap seperti lulusan luar negeri, akan tetapi penilaian orang lain memang begitu, menganggap dia memang lebih dari sekadar tamatan SMA. Dennis melirik Erika sekilas dan berpikir bahwa jika wanita ini saja pintarnya bukan main, lantas bagaimana dengan suaminya? Dia berpikir bahwa bisa jadi suami Erika adalah ustadz atau guru di sekolah.