Dengan kedua tangan terikat ke belakang, Adipati Ranamungkarna dan kepala desa Surananta dipaksa berlutut di tanah. Kondisi keduanya saat ini jauh berbeda dengan di saat-saat mereka masih berkuasa, baik di kadipaten Majasari maupun di desa tersebut.
Tidak terlihat tatapan mata garang yang selama ini mereka tunjukkan. Kebanggaan mereka berdua seketika runtuh dengan pandangan begitu banyaknya pasang mata yang seperti menelanjangi keduanya.
Setelah ditunggu untuk beberapa lama, Aji, Ratih, Diandra dan ibunya akhirnya sampai di depan kedua terdakwa.
"Angkat wajahmu dan lihat siapa yang ada di depanmu, Ranamungkarna! Kau bukan Adipati lagi, jadi aku tidak akan menyebutmu dengan sebutan itu!" kata Aji dengan nada yang sedikit keras.
Rasa malu membuat Ranamungkarna yang disebut Aji bukan lagi menjadi seorang Adipati, tak mampu mengangkat wajahnya. Dia tetap tertunduk menatap tanah yang menjadi tumpuannya berlutut.
Sumarta terlihat geram
"Enak saja kau bicara! Kenapa baru sekarang mengakuiku sebagai putrimu, kemarin kemana saja? Setelah keadaanmu seperti ini baru sadar. Kau tak lebih dari sampah yang pantas dihina!" Diandra tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Kedua bola matanya memerah terbakar emosinya yang memuncak."Sudah berapa banyak wanita seperti ibuku yang menjadi korban kebejatanmu, biadab?" sambungnya.Kodratnya sebagai wanita pun muncul. Jika sedang marah, tidak akan mungkin mengomel dalam waktu singkat.Aji mengulum senyum melihat kemarahan Diandra yang terlampiaskan. Dia merasa beruntung karena istrinya selama ini tidak pernah marah sampai sebegitunya. Paling hanya ngambek, itupun cuma sesaat saja karena dia pasti bisa mencairkan kemarahan istrinya.Pandangan lelaki tampan itupun tertuju kepada pengerjaan tiang gantungan yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.Para penduduk laki-laki tampak begitu bersemangat dalam mengerjakannya. Mereka berpiki
Kegembiraan jelas tergambar di wajah para penduduk desa. Kini mereka tinggal mencari pemimpin baru menggantikan Surananta.Setelah proses eksekusi selesai, Aji dan Ratih serta Diandra bersama ibunya, kembali ke rumah tempat ibu dan ana itu berdiam selama iniDalam pandangannya Aji bisa melihat kelegaan sudah dirasakan ibu dan anak tersebut. Terutama Gayatri, dia sudah mendapat keadilan dari musibah yang dialaminya 17 tahun lalu. Raut kesedihan yang dirasakannya sudah menghilang sama sekali, berganti semangat untuk menjalani hidup tanpa ada cercaan dan hinaan yang dialamatkan padanya."Bibi, jika kalian ingin keluar dari desa ini, pergilah ke istana. Bibi bisa bilang kepada paduka raja jika aku yang menyuruh, beliau pasti mengabulkan apapun permintaan Bibi," kata Aji.Gayatri menggeleng serasa menyunggingkan senyum. "Tidak perlu, Aji. Aku hanya minta keadilan saja selama ini untuk membersihkan nama baikku. Dan Bibi ucapkan terima kasih banyak k
Aji menghela napas panjang. Dia kemudian mengangguk dan terpaksa mengiyakan permintaan istrinya. Lagipula dia juga belum tahu jumlah kekuatan perguruan aliran hitam yang hendak mereka datangi.Tapi jika ditilik dari namanya yang cukup terkenal menurut penduduk, perguruan aliran hitam itu paling tidak besar kekuatannya sebanding dengan perguruan pedang naga milik mertuanya, atau sedikit lebih besar.Aji kembali memandang jauh ke depan. Rimbunnya pepohonan membuat jarak pandangnya terbatas dan tidak bisa menemukan sedikitpun bangunan tertangkap kedua bola matanya."Kau sudah siap?" tanya Aji seraya menoleh sedikit kepada Ratih yang berada di belakangnya."Selalu siap, Suamiku tercinta," jawab Ratih. Kedua tangannya memeluk erat perut Aji.Secara perlahan, Aji memacu kudanya menyusuri jalan setapak yang mengarah ke atas bukit.Semakin naik ke atas, suasana yang muncul begitu berbeda. Aji dan Ratih merasakan sesuatu seperti sedang mengamat
Sebelum ketiga orang itu bergerak, Aji terlebih dahulu memajukan tangannya, "Sebentar, Kisanak! Biarkan istriku menyingkir terlebih dulu. Aku tahu kalian adalah pendekar sejati, jadi tidak akan menyakiti seorang wanita, bukan?""Hahahaha ...! Tentu saja kami adalah pendekar sejati. Dia boleh menyingkir, tapi jika kau mati, istrimu yang cantik itu akan menjadi milik kami!" jawab seorang dari mereka, sambil menjilat bibirnya."Kau benar, Teman. Sayang sekali jika kulit mulus wanita itu tergores senjata kita," sahut orang lainnya.Meskipun geram mendengarnya, Aji berusaha menahannya. Diantahu jika keselamatan Ratih lebih utama dari pada mengikuti rasa geramnya.Begitu juga dengan hati dia merasa dilecehkan oleh ucapan dua orang lelaki tersebut tangannya sudah terkepal kuat, tapi Aji langsung memegang tangannya."Jangan turuti emosimu. Sebaiknya kau menyingkir dulu dan carilah tempat yang aman!" kata Aji pelan."Berhati-hatilah, Kakang," b
"Gerakan mereka cepat sekali," Bukan sekali sajaAji bertarung melawan beberapa orang sekaligus. Tapi dia merasa, serangan kali ini yang paling membuatnya kerepotan. Kemampuan mereka menggunakan cakram tajam untuk menyerang dari kejauhan di sela-sela serangan jarak pendek begitu menakutkan.Di antara gelapnya malam yang hanya diterangi sedikit sinar yang keluar dari perapian, Aji harus merelakan sebuah tendangan mendarat di tubuhnya dan membuatnya terdorong ke belakang. Dia menjejakkan kakinya kanannya untuk menahan dorongan tubuhnya agar tidak lebih meluncur jauh lagi."Bagaimana bisa mereka melihat dalam kegelapan seperti ini?" tanya Aji dalam hati keheranan. Lelaki tampan itu merasa harus lebih mengasah lagi kemampuannya melihat di kegelapan malam. Pengalaman beroperasi malam hari semasa menjadi perampok nyatanya kurang membantu dalam pertarungan kali ini.Dia lalu mengalirkan sedikit energinya dan memusatkannya di mata untuk membantunya melihat lebih je
Tanpa diduga keempat sosok yang mengepung Aji, ledakan energi yang begitu kuat dan juga panas menghempaskan tubuh mereka. Beruntung mereka masih sempat mengerahkan tenaga dalam untuk menahan hawa panas yang bisa membuat tubuh mereka mengering dalam hitungan detik.Hanya saja mereka harus merelakan tubuh satu-satunya yang mereka miliki menghajar pepohonan."Sialan! Ternyata dia masih punya kekuatan begitu besar," gumam seorang dari mereka. Darah mengalir keluar dari sudut bibirnya akibat luka dalam yang diterimanya. Tubuhnya menggeliat menahan rasa nyeri di punggungnya yang menghantam pohon besar.Ketiga temannya segera bergabung bersamanya. Raut wajah mereka menunjukkan rasa heran dan juga terkejut dengan apa yang baru saja ditunjukkan lawannya."Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya lelaki yang memiliki postur tubuh agak pendek tapi kekar."Kalau kalian mau bicara, sebaiknya nanti saja setelah arwah kalian berkumpul
Aji menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas sosok hitam yang berdiri 7 meter di depannya. Setelah beberapa detik dia baru menyadari jika sosok hitam itu memakai topeng yang bentuknya menyeramkan."Sepertinya kau perlu memeriksakan matamu, Kisanak," jawabnya dengan nada mengejek."Bangsat, mataku baik-baik saja!" hardik Karman. Bukannya terkejut atau takut, Aji malah tersenyum geli mendengar bentakan Karman. "Kalau matamu masih sehat, kenapa kau masih bertanya apa yang aku lakukan kepada anggotamu?"Karman mendengus geram. Kehormatannya sebagai wakil ketua perguruan Tengkorak Hitam, seperti begitu diremehkan oleh lelaki yang sudah membunuh 4 anggotanya yang bertugas menjaga puncak bukit."Bajingan tengik! Kau harus harus membayar atas apa yang sudah kau lakukan kepada anggotaku!" Kembali Karman membentak dengan suara keras.Aji menghela napas berat. "Kenapa kalian selalu berbicara dengan suara yan
"Apakah alasanku penting bagimu?" Aji terkekeh pelan. Sesekali matanya melirik ke arah Ratih yang sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar.Beruntung kondisi di atas bukit itu begitu gelap sehingga Karman tidak melihat lirikan yang dilakukan Aji."Aku bertanya sekali lagi kepadamu, Bedebah! Katakan apa alasanmu membunuh keempat anggotaku!?" bentak Karman.Aji menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Karman, "Keempat orang itu sudah menghalangi perjalananku, jadi aku terpaksa membunuh mereka.""Bukit ini sampai ke arah sana memang tempat terlarang, jadi wajar jika mereka menghalangimu. Karena tugas mereka memang untuk menjaga agar tidak ada orang yang melewati puncak bukit ini," sahut Karman cepat."Hehehehe ... sejak kapan bukit ini sampai ke sana dikuasai perseorangan? Apakah bukit ini milik nenek moyangmu?" Aji terkekeh sambil membalas ucapan Karman."Atau karena di sana ada perguruan aliran hitam ya